Jumat, 29 April 2011

Harapan seorang peminta

Tuhan aku lapar
lapar sekali
aku ingin kau memberiku makan
bukan uang
makan Tuhan
hanya makan
sepiring nasi ditambah lauk pauk sudah cukup Tuhan
nanti akan kubawa pulang untuk keluargaku di rumah
setidaknya Tuhan
sepiring saja cukup
cukupo kok Tuhan
jangan beri aku uang lagi
aku hanya butuh makan

Untuk sebuah janji

panas, tapi aku masih berlari pagi ini
mengejar yang kuharap dan kunanti
meski punggungku sakit karena beban
tapi aku masih berjalan dengan penuh keriangan
aku ada janji denganNya
yang kupikir harus kutepati pagi ini

melewati hiruk pikuk grombolan manusia yang berjalan santai
aku melesat cepat
tak terlihat
peluhku mengucur deras
tapi terlibas oleh angin yang selangkah mendahuluiku
aku mengejarnya lagi
mencoba mendahuluinya dengan kedua kaki
yang sejak dulu bertahan sebagai pijakan

kaki ini yang menopangku saat lelah
kaki ini yang membawaku sampai rumah
dan kaki ini juga yang mengantarkanku hingga ranah impian tergapai
di puncak yang tertinggi

aku masih berjalan setengah berlari
melesat lagi
didampingi kicauan burung yang senantiasa bernyanyi
bergumul dan bersenda dengan yang lain
untuk sebuah janji
aku menepis sinar matahari yang panas tak terkendali
ya... untuk sebuah janji

Minggu, 24 April 2011

Santailah Bro... ini cuma cerpen

Entah rasanya memang gue perlu nulis ini... Hello siapapun kalian yang baca cerpen-cerpen gue yang ada di sini... please.... jangan menganggap apa yang gue tulis tuh nyata. Haduh... zaman sekarang gitu... Ayolah kalian harus bisa pintar-pintar menilai... memahami dan mengerti... bahwa cerpen itu hanyalah karangan fiksi... yang memang biasanya ditulis berdasarkan pengalaman penulisnya tapi disertai dengan daya imajinasi penulisnya dan diolah sedemikian rupa menjadi hasil karya penulis itu....
Gue ngakak awalnya tiba-tiba ada yang sms gue sampai sebegitu ngerinya... tapi akhirnya sms itu bikin gue was-was dan mikir yang enggak-enggak. Hadehhh jangan sampe deh gara-gara gue nulis cerita itu ada yang ngambek marah or kesel bahkan Geer... please deh... lo cuma menginspirasi.... toh cerita itu emang lo banget ya... emang lo ngomong kaya gitu persis? enggak kan....
Biar nggak jadi salah paham gue sengaja nulis ini. Toh gue jelasin lewat sms lo juga kayanya nggak respon. halah beginian doang aja sampe dibikin serius. Nggak nyangka gue sampai bikin pro dan kontra... Padahal cerpen Tentang kamu ini rencananya bakal gue masukin dalam kumpulan cerpen gue yang akan gue terbitin bulan juli nanti. Hahahahaha kacau-kacau... Yah kalau ada yang keberatan mah sorry banget. Tapi maaf ini kan tulisan gue... gue mau nulis apa juga ya suka-suka gue....yah lo mau nulis tentang gue juga boleh hak lo hak siapapun... Cuma sumpah gue ngakak aja... jangan terlalu serius bung jadi orang... pusing sendiri jadinya nanti. santailah bro

Sabtu, 23 April 2011

tentang kamu part 3 ending

Bismilah…
Aku tulis ini sebagai bentuk akhir realisasi pikiranku tentang kamu… kenapa aku bilang akhir? Ya karena kupikir inilah saatnya mengakhiri segala kisah-kisah tentang kamu… setidaknya ini bisa dijadikan sebagai pengalaman dan titik tolak dari kekecewaan yang akhirnya kamu tunjukkan untukku. Kamu sakit, iya menurutku kata sakit adalah kata yang pas ditujukan untukmu. Bukan kata aneh lagi. Terakhir kita bertemu, kamu masih seaneh biasanya dengan sifat kaku dan segela keterbatasanmu yang lebih banyak kamu tunjukkan untukku. Tidak tahukah kamu, hubungan pertemanan yang awalnya kamu bilang pyur berlandaskan atas dasar sahabat antara kamum adam dan kaumu hawa bagiku hanya omong kosong semata. Toh semua perkataanmu waktu itu menjadi boomerang untuk dirimu sendiri. Kamu yang berucap dan kau pula yang berkhianat.
Kamu bilang akan menikahiku setelah aku lulus nanti, perkataanmu yang meyakinkan dan berulang secara terus menerus secara tidak sadar menumbuhkan rasa percaya dalam hatiku. Kamu bahkan tak pernah tahu itu bukan? Aku sudah pernah bilang padamu agar jangan pernah memberi harapan padaku tapi apa, nyatanya yang kamu buat justru berbalik 180 derajat kini. Kamu tahu, pernyataanmu yang berulang itu secara sadar maupun tidak membuatku sedikit melambung. Tapi untungnya aku masih terikat pada tanah saat itu, jadi setidaknya aku masih belum terbang bebas dan jauh.
Bagiku kini kamu hanyalah sekadar debu… yang dengan mudahnya bisa aku hapus kapan saja aku mau. Rasanya terlalu lama kamu melekat dalam pikiran dan keseharianku. Kini saatnya untuk membuangmu… tempat seharusnya kamu dibuang. Aku sudah tidak peduli lagi atas segala cerita dan harapan-harapan yang menurutku palsu yang dengan setia masih kamu tunjukkan untukku. Aku tidak silau lagi olehmu…
Kamu tiba-tiba saja hilang hampir selama sepekan ini… tak ada kabar bahkan aku menghubungimu saja sulit. Kamu yang mulai masuk dalam hatiku dan secara diam-diam kamu pergi begitu saja tanpa salam perpisahan atau sekadar berpamitan. Maksudmu apa? Kamu bilang kamu tidak pernah main-main dengan ucapanmu… kamu bilang hanya aku yang bisa merajut lukamu saat kamu terjatuh dulu… aku masih ingat kata demi kata yang terucap lancar dari bibirmu saat itu. Bahkan aku hapal setiap jeda yang kamu alihkan saat kamu menyeruput tehmu untuk melanjutkan kalimatmu lagi yang saat itu kupikir bertujuan untuk meyakinkanku atas keputusanmu. Tapi apa… semua itu hanya semu kini. Pernahkah kamu sadar betapa aku selalu berusaha mengerti keadaanmu bahkan aku selalu berusaha untuk memberimu sedikit perhatian atas kondisimu.
Kamu sakit… sepertinya kejiwaanmu sedikit terganggu… apa yang kamu pikirkan tidak sesuai dengan apa yang kamu ucapkan dan yang kamu lakukan. Awalnya aku berpikir kamu benar-benar lelaki baik-baik… yang mencoba menjadi sempurna dengan caramu sendiri. Tapi ternyata dugaanku salah… salah besar… dan aku akan belajar dari kesalahanku ini… berhati-hati dan selalu waspada terhadap setiap kaum adam… terlebih oleh adam sepertimu. Ambisimu terlalu menakutkan… obsesimu terlalu besar… tanpa pikiran matang dan ke depan kau menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Kau gila… kau sakit… setidaknya aku bersyukur tidak terperangkap dalam kegilaanmu dan kesakitanmu terlalu lama….
Kamu laki-laki kaku tanpa ekspresi yang berani mengungkapkan kegilaan dan perlakuan biadabmu terhadap orang yang kamu kehendaki. Aku tersedak hari itu, tersedak dengan perubahan gaya penampilanmu yang menurutku bukan kamu. Biasanya kamu begitu rapi dan cakap mengenakan batik atau hem lengan pendek untuk menemuiku… tapi saat itu kamu lain kamu berbeda… kamu asing… dengan kaos oblong berwarna merah menyala dan dengan balutan jeans kamu menemuiku secara mendadak… kacamatamu kamu lepas dan kamu ganti dengan  softlens… dan kamu bilang “aku sekarang bukan aku yang dulu”. Aneh… aku masih setia menyebutmu dengan kata itu… kata setiaku yang kutunjukkan dari awal pertemuan kita hingga saat itu ya hingga saat itu saja. Titik.
Saat aku tanya kamu kenapa… kamu malah tertawa… kamu bilang kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan… kamu bilang semua berjalan sesuai dengan rencanamu… semua berjalan mengikuti targetmu dan kamu sendiri juga bilang semua ini memang takdir Tuhan. Tapi sungguh aku nggak ngerti apa maksudmu saat itu… Aku masih mengatakan kamu aneh…sangat aneh dan benar-benar aneh. Tapi kata-kata anehku akhirnya terhenti dengan sendirinya… sampai akhirnya kau memberikanku sebuah amplop. Amplop setebal 5mm kurasa dengan bentuk persegi panjang berwarna coklat muda, lembut, dan terkesan hangat. Saat aku tanya ini apa kamu hanya tersenyum dan menyuruhku membuka amplop itu… dan dengan cepat akupun segera mengikuti perintahmu. Membuka amplop itu.
Kelu lidahku… tercekat dalam rasa kaget. Hingga akhirnya kuteguk esteh manis beraroma melati dengen tergesa dan terburu-buru. Kau masih mentapku saat itu dan aku merinding. Merinding karena kamu… keanehanmu. Aku masih diam membaca itu. Surat undangan pernikahan. Namamu tertera di sana dengan bentuk huruf modifikasi seperti kaligrafi… dan di bawahnya tertera nama seorang perempuan… tapi bukan namaku…(kamu tidak pernah tahukan bahwa sedikit demi sedikit kalimatmu yang mengajakku untuk menikah setelah aku lulus nanti secara perlahan masuk ke lubuk hati dan jujur membuatku benar-benar berharap).
Entah kenapa saat itu aku biasa saja… sedikit kesal memang tapi untungnya aku tidak menangis karena sedih… aku tidak menangis karena benci atau merasa tertipu olehmu… ini semua berkat benteng dalam hatiku yang selalu berkata bahwa kalimatmu saat itu hanya selingan canda walaupun terus menerus kamu ucapkan. Walaupun pada akhirnya kalimat ajakanmu saat itu memang berhasil membuatku berharap. Tapi sungguh aku menjadi sangat takut dengan kamu… laki-laki yang mulai memunculkan ekspresi dengan berbagai tindakan.
“Ini perempuan yang waktu itu kamu certain bukan?” ucapku pada akhirnya bertanya juga. Dan dengan tersenyum kamu mengangguk dan mengiyakan. Belum sempat aku mempertanyakan “kok bisa?” dengan lancar kamu bercerita… bercerita tentang apa yang kamu lakukan… perbuatan konyol, bodoh, dan menjijikanmu… sungguh kamu di luar dugaan dan melesat jauh dari nalar logikaku. Kamu seperti bukan kamu yang aku kenal.
“aku pernah bilangkan ke kamu bahwa aku adalah orang yang ambisius… dan aku mendapatkan apa yang aku mau. Mungkin kamu bilang aku psikopat, tapi itulah aku. Kamu tahu… aku mendapatkan dia juga pada akhirnya…” ucapmu saat itu dan aku masih tercekat merasa was-was dan ingin cepat beranjak darimu.
“Aku miliki dia malam itu…dan itu membuatnya bertekuk lutut.” Ucapmu… Deg! Saat itu jantungku berdegub dua kali lebih cepat dari biasanya. Aku takut dengan kata-katamu. Ingin rasanya aku mempertanyakan dengan rinci maksud perkataanmu. Tapi rasanya cukup. Kamu sakit!
“Itu undangan buat kamu… aku sih berharapnya kamu mau datang. Tapi terserah juga. Setidaknya aku udah ngasih tahu ini. Sorry banget udah sering ngusik hidupmu selama hampir tiga bulan belakangan ini. Maksih banget udah mau nemenin aku.” Ucapmu kembali lugu dan polos seprti bukan kamu yang biasanya dan aku saat itu hanya tersenyum kecut dan masam.
Tanpa ba.. bi... bu… be… bo… lagi aku berjalan meninggalkan rumah makan tempat biasa kita bertemu setelah sebelumnya aku meninggalkan beberapa dua lembar uang sepuluh ribuan di meja itu. Jalanku percepat… walau suara teriakanmu masih terasa ditelinga memanggil-manggil namaku. Aku tahu kamu mengejarku saat itu, tapi beruntung… aku terselamatkan oleh angkutan berwarana biru kelabu.
Kamu tidak tahu, tidak peka, atau benar-benar tidak punya perasaan sih… demi sebuah targetmu untuk menikahi wanita yang telah bersemayam dihatimu selama hampir dua tahun di tahun 2011 ini sampai membuatmu gelap mata. Membuatmu gila tindakanan. Kamu telah mampu membuatku merasa jijik, takut, dan was-was. Kupikir setelah penolakan itu kamu akan tersadar bahwa dia bukan jodohmu atau apalah tapi kamu malah bertindak nekat dan ngawur. Kamu benar-benar sakit… dengan enteng dan mudahnya kamu cerita tentang perlakuan biadab yang kamu lakukan ke dia. Kamu perkosa dia… sungguh kamu biadab…
Aku menangis di dalam angkutan kelabu yang entah akan membawaku kemana… untungnya hanya ada tiga orang dalam angkutan itu, setidaknya suara isakku tidak terlau jelas terdengar karena tersamar oleh suara angkutan lain yang juga berlalu-lalang. Seorang ibu-ibu… yang duduk di sebelahku sempat menanyakan kondisiku, tapi dengan  segera aku menjawabnya tidak apa-apa. Aku bohong… biarkan saja toh ibu-ibu itu tidak perlu tahu apa yang aku rasakan.
Pikiranku tentang kamu yang dewasa, baik, dan berpikir panjang runtuh seketika. Kamu sakit… aku tahu rasanya jadi dia… bahkan aku berani bertaruh dia mau menikah denganmu juga kerena terpaksa karena perbuatanmu. Entah apa yang ada dipikiran dia sampai mau juga menikah denganmu terlepas dari apa yang telah kamu lakukan kepadanya. Kalau aku yang ada di posisinya saat itu (nauzubilah) aku pasti sudah membunuhmu… dengan tanganku sendiri. Sumpah… kalaupun tidak bisa membunuhmu aku pasti akan lapor polisi atau apalah. Mungkin pikiranku egois… tapi sungguh akan kulakukan itu. Sedangkan dia… mungkin pada akhirnya mau menikah denganmu kerena ia berpikir panjang. Takut dan mungkin malu atas aib yang kamu lakukan dan akan menimpa keluarganya terlebih jika dia sampai hamil. Entahlah… jawabannya hanya dia yang tahu. Yang jelas kamu benar-benar sakit dan untukku kamu berhasil membuatku kecewa. Selamat!
Bukan aku namanya kalau hanya karena keadaan seperti ini menyerah, pasrah atau terkungkung dalam kesedihan yang begitu mendalalam. Sakitku cukup sehari titik. Kisah tentangmu cukup sampai disini… memang akhir bahagia dan sempurna yang sepertinya dari awal aku harapkan tidak terealisasi. Kamu sudah mati bagiku… ya mati.. Tapi setidaknya… kamu memberikan suatu pengalaman dalam hidupku untuk belajar mengenal pribadi manusia yang “aneh dan sakit” sepertimu. Kupikir cerita-cerita tentang pribadi manusia yang ambisius dan psikopat biasa saja karena aku terbiasa menemukannya dalam cerita. Tapi ternyata aku menemukan hal itu dalam nyata melalui kamu… orang yang hampir dua tiga bulan ini mengisi keseharianku. Diam yang dingin, diam yang kelabu. Diam yang kaku, diam yang sakit.
Saat ini aku bersiap untuk memulai melanjutkan kembali jalan hidupku yang kurasa akan menarik dan penuh dengan kejutan nantinya. Sungguh aku percaya bahwa aku adalah perempuan baik-baik yang nantinya akan mendapatkan lelaki baik-baik juga. Dan tentu saja bukan kamu orangnya… tapi mungkin kamu yang lain… yang entah sekarang sedang apa dan di mana … yang jelas suatu saat nanti kamu yang lain akan menemuiku… amien

                                                                                                                                   Depok 23 April 2011

tentang kamu part 2

Tentang Kamu Part 2
Kamu…
aku merasa menemukanmu saat sakit… sakit hati yang rasanya tak bisa kubendung lagi. Awalnya aku hanya menganggapmu sebagai kawan dunia maya yang labil dan kesepian. Aku selalu hapal tentang kamu. Tapi hanya sebatas itu, nggak lebih… tapi itu awalnya… permulaannya saja. Saat ini aku ingin berharap lebih dari itu. Entah karena ini adalah pelarianku, atau memang aku butuh kamu. Yang jelas hanya kamu yang sekarang mampu merajut luka dalam hatiku.
Dulu saat kamu masih SMA, kita berkenalan lewat dunia maya, tentu saja tujuanku saat itu iseng-iseng mencari jodoh. Walaupun aku tahu mustahil rasanya bertemu jodoh melalui perkenalan dunia maya. Kamu mengadd nick emailku dan akupun demikian… kamu bukan yang spesial saat itu, bukan… karena targetku saat itu mencari orang yang statusnya sama seperti aku, mahasiswa. Saat itu aku baru beberapa tahun menyandang status sebagai mahasiswa di perguruan tinggi negri di daerah Bandung. Perguruan tinggi yang bergengsi bagi kaum adam sepertiku, ITB.
Semuanya berjalan begitu saja… sampai akhirnya aku jarang sekali menyapamu bahkan ketika kamu sedang online, kamu pun demikian. Hampir beberapa tahun berlalu, hingga akhirnya di tahun 2007 kamu menyapa aku duluan. Biasa saja aku menjawab dan tidak terlalu menanggapimu bermacam-macam, maklum saat itu aku sedang sibuk untuk memulai menyusun skripsi. Tapi karena aku merasa kamu kawan di list messangerku yang cukup lama bertengger akhirnya aku sedikit menanyakan tentang kegiatanmu. Saat itu, kamu bercerita tentang status baru yang kausandang sebagai mahasiswa di universitas negri di depok. Jujur aku agak senang karena aku punya kawan yang cukup pintar juga. Kamu masuk jurusan sastra. Aku bangga… tapi saat itu fokusku bukan ke kamu tapi ke skripsiku… lagi pula saat itu ada gadis lain yang sudah mengisi hatiku. Renata. Dia juniorku yang kupikir bisa menjadi pacarku. Setelah wisuda nanti aku bertekad untuk menembaknya menjadi pacarku. Ya tekadku sudah bulat. Maklum selama kuliah aku tidak pernah berhubungan atau yang biasa lazim disebut orang sebagai “pacaran” mungkin karena sifat dan pribadiku yang sangat tertutup. Lagi pula kebanyakan semua teman-temanku laki-laki.
Juni 2008 aku sah menyandang gelar sebagai sarjana. Dalam Wisudaku, Renata hadir… kupikir ia khusus hadir untuk menyambut kelulusanku tapi ternyata tidak. Ia hadir justru untuk mendampingi Ryan, temanku. Pertanyaanku terjawab sudah. Ternyata selama ini aku salah memahami dan mengartikan  kedekatan dan perhatian yang diberikan Renata kepadaku. Ryan, yang memang teman dekatkulah yang ternyata ada dihatinya.hufft… Aku diam saja saat itu, memang aku juga tidak bisa berekspresi apa-apa..Toh aku memang orang yang kaku. Tapi setidaknya rasa sakit itu bisa terobati dengan kehadiran Ibuku. Seandainya saja ayah masih hidup pasti dia akan bangga melihat toga yang aku kenakan. Jujur, aku bangga dengan hidupku sendiri. Kuliah ini mampu aku selesaikan dengan biayaku sendiri, setidaknya aku tidak merepotkan Ibu. Dan setelah ini aku akan bisa membantu ibu untuk membiayai adik-adikku.
Tuhan memang yang terbaik, segala rencana hidupku berjalan sesuai dengan segala harapanku. Aku mampu membantu membiayai sekolah adik-adikku. Hampir dua tahun sudah aku bekerja di salah satu perusahaan Swasta terbesar di Jakarta, aku bekerja di bagian IT. Umurku baru 24 tahun saat itu, aku merasa sudah yakin dan mampu untuk membangun rumah tangga seperti teman-teman sekantorku yang kebanyakan sudah menikah. Walaupun beberapa ada yang memiliki prinsip untuk menikah saat usia matang dan mapan sekitar umur 30-an. Menurutku kematangan dan kemapanan tidak hanya bisa diukur lewat umur saja. Tapi dilihat dari cara berpikir dan bagaimana orang bisa mencapai target itu dalam hidupnya. Mungkin pemikiranku terlalu pendek dan sederhana tapi entah kenapa aku ingin sekali menikah di tahun 2011. Terlebih, selama dua tahun belakangan ini aku memang dekat dengan teman sekantorku. Kami bertemu saat sama-sama sedang interview dan kami berdua sama-sama diterima tapi berada pada divisi yang berbeda.Di mataku dia perempuan yang cukup mandiri. Awalnya aku merasa biasa saja dengannya, tapi entah mengapa lama-kelamaan aku seperti ketergantungan dengannya. Saat aku sedang bermasalah dengan orang rumah ia selalu memberiku nasehat-nasehat. Aku yakin seyakin-yakinnya bahwa ia juga memiliki perasaan yang sama denganku.
Entah mengapa di tahun 2011 aku mentargetkan diri untuk menikah bersama dia. Tabungan yang kumiliki rasanya cukup untuk menikah dan melanjutkan hidup ke depan bersamanya. Tinggal akunya saja yang bicara untuk melamarnya. Tapi sungguh… aku bukan laki-laki yang gampang menyatakan atau menampilkan ekspresi suka atau cinta. Rasanya untuk menyampaikan itu berat sekali. Aku masih ingat sekali, saat itu setelah pulang kerja aku berniat membicarakan itu dengan dia. Tapi, ternyata dia sudah keburu pulang. Sesampainya di rumah akupun segera mengirimkan pesan singkat untuk mengajak dia menonton hari minggu depan dan dia pun menyanggupinya. Hatiku senang.. benar-benar senang saat itu.
                                                            ******************
Aku masih ingat sekali… saat itu, saat di kantor iseng-iseng aku online menggunakan id emailku yang lama. Semenjak kerja aku mempunyai email khusus yang kupergunakan untuk urusan kantor saja. Tiba-tiba saja kamu online lalu menyapaku… “ masih inget gue” tentu saja aku masih ingat… karena kamu satu-satunya teman yang telah lama bertengger dilist messangerku yang seingatku seorang mahasiswa di universitas cukup bergengsi di Indonesia. Sebenarnya aku merasa sedikit aneh denganmu… karena aku pikir rasanya nick email yang kamu punya sudah tidak layak lagi untuk kamu pakai. Toh, kamu sudah mahasiswa bukan anak SMA lagi. Tapi entah mengapa aku seperti bercermin… aku juga masih mempertahankan email lamaku ini. Hahahahaha
Kamu… kamu adalah orang yang terbuka yang pernah aku kenal… buktinya apa saja kamu ceritakan ke aku… kamu sedang skripsi… dan kupikir topik yang kamu ambil untuk skripsi cukup menarik. Aku masih ingat ketika kamu bercerita bahwa orang-orang yang membaca judul skripsimu—mengenai orang-orang difabel—selalu beranggapan bahwa kamu mengkaji sebuah dongeng atau cerita binatang. Curhatan kamu yang menurutku penuh dengan rasa kesal justru membuatku tertawa sendiri. Sifatmu sedikit seperti anak kecil. Semenjak itu hampir setiap hari aku chating denganmu. Membicarakan hal-hal yang nggak penting dan penting. Nggak penting karena pembicaraan kita ke mana-mana, penting karena pembicaraan kita menyangkut skripsimu. Aku senang bisa membantumu, dan entah mengapa aku senang membuatmu penasaran. Makanya aku tak pernah memberitahu mengenai identitasku, yang kubuka tentang kedokku hanyalah kegiatanku yang sedang bekerja dan statusku yang belum menikah itu saja.
Chating denganmu membuatku belajar banyak untuk menyampaikan ekspersi… mungkin karena kamu anak sastra jadi dengan mudahnya kamu menyampaikan sesuatu yang ada dipikiranmu. Hal itu membuatku belajar sedikit demi sedikit untuk menyampaikan apa yang aku pikirkan dan aku rasakan dalam bentuk ekspresi, bukan pikiran semata. Terlebih sedikit demi sedikit aku mulai berani menunjukkan  persaanku terhadap dia—menunjukkan perhatianku kepadanya dan sebagainya. Itu semua kupelajari dari cerita-ceritamu yang saat itu sedang berhubungan dengan seorang laki-laki yang kau sebut sebagai “pacar”.
Akhirnya niatku untuk melamar dia setelah menonton film di hari Minggu itu tersampaikan sudah. Setelah kuutarakan keingginanku untuk menjadi pendamping hidupnya dia malah terdiam. Aku masih ingat dan hafal mati dengan ekspresi mukanya yang kaget. Sampai akhirnya dia sedikit tertawa kecil. Dia tak pernah tahu betapa beratnya kalimat-kalimat yang kuanggap serius dan sakral itu meluncur dari mulutku. “Lo kenapa? Stress?” itu kalimat yang dia ucapkan untukku. Tapi dengan tegas saat itu aku mengulanginya. “Lo mau nggak nikah sama gue tahun ini?” Ketika kuulangi lagi dia benar-benar terdiam. Sampai akhirnya dia menatapku perlahan dan mengatakan bahwa dia selama ini menganggapku hanya sebagai sahabat bahkan seperti kakak dan perasaanya padaku saat itu tak lebih. Titik.
Rasanya seketika masa depanku tertutup pekat, gelap, sesak… atau apalah aku tak bisa lagi berkata-kata… jawabannya hanya bisa membuatku menelan kekecewaan yang terdalam. Aku memang jarang sekali berhubungan dekat dengan seorang perempuan, sekalinya dekat… selalu berulang bahwa aku salah mengartikan kebaikan dan perhatian yang mereka berikan padaku. Kesal dan ingin sekali aku berteriak saat itu, tapi sekali lagi… aku adalah lelaki tanpa ekspresi… yang kulakukan hanya diam… diam dan diam… bahkan saat mengantarkan dia pulang ke rumah tak ada sepatah kata pun yang aku sampaikan untuknya. Dan sepertinya dia tahu itu. Aku hancur saat itu.
Di saat hancur itu, aku merasa butuh seseorang untuk kuajak bicara.. dan entah kenapa aku mulai online dan mencari sosokmu. Dan ternyata kamu online saat itu. Belum sempat aku mengklik nickmu kamu justru menyapa aku duluan. Tiba-tiba saja kamu bercerita tentang apa yang baru saja kamu alami. Ternyata malam itu kita sedang sama-sama patah hati. Kamu baru saja diputusin sama pacarmu sedangkan aku baru saja ditolak oleh orang yang ingin kujadikan sebagai pendamping hidupu. Tapi saat itu aku tidak bisa cerita padamu karena kamu sudah memulai duluan untuk menceritakan kisahmu padaku. Dan aku hanya bisa menanggapi ceritamu dengan sesingkat mungkin. Rasanya kekalutanku bertambah saat itu. Dan malam itu hanya kamu yang bercerita… ya kamu yang bercerita.
Entah mengapa saat dipagi hari aku merasa butuh mencurahkan sedikit rasa sesal, kecewa, dan kebodohan yang aku lakukan. Dan akhirnya aku mengirimkan sms aneh kepadamu… dengan segera kau membalasnya dan menanyakan mengapa dan apa yang terjadi kepadaku. Sengaja aku tidak membalasnya karena aku ingin membicarakan ini denganmu… malamnya melalui chating. Akhirya akupun berhasil menceritakan apa yang aku rasakan terhadap perempuan itu… kamu menanggapi dengan bijak dan baik. Tapi entah mengapa aku benar-benar mersa butuh seseorang saat itu. Makanya aku mengajakmu untuk bertemu minggu depan… pertemuan itu  kutegaskan sebagai realisasi dari sebuah pertemanan karena kau sendiri pernah bilang bahwa aku adalah sahabat dunia mayamu. Aku ingin merealisasikan kata “sahabat” dalam dunia nyata  yang bisa melihat kondisi fisikku dan kekalutan yang kurasakan secara nyata.
Aku bukan lelaki yang hidup dalam sebuah permainan dan tidak pernah berniat bermain-main denganmu. Karena kupikir kita adalah sahabat maka aku berniat menemuimu secara baik-baik yaitu di rumahmu. Kamu menyanggupinya dan akhirnya kita bertemu. Canggung dan merasa aneh pada awalnya ketika aku bisa bertatap dengan orang yang hampir beberapa tahun kukenal lewat dunia maya. Aku pun bisa melihat ekspresi kagetmu saat itu… tapi sudahlah… saat itu yang kubutuhkan hanyalah bercerita dan didengarkan.
Kamu mendengarkanku secara baik-baik… mungkin ada banyak kalimat dalam curhatku yang berulang, tapi sungguh apa yang kuceritakan saat itu adalah segala pikiran yang hinggap di kepalaku. Saat itu aku yang bercerita… hanya aku… dan kamu adalah pendengar… ya pendengar… sesekali kau timpali nasehat untukku yang jujur saja tidak dapat aku terima. Sabar… Ikhlas… aku asing dengan kata-kata itu karena kupikir kata-kata itu sama sekali tak mampu menyingkirkan rasa sakit dan sedihku. Bayangkan…ajakanku untuk  menikah dengan orang yang hampir dua tahun kusuka dan mungkin kucinta ditolak begitu saja. Mungkin rasa sakit yang aku ceritakan padamu terlalu lebai. Tapi sungguh itu sangat sakit buatku.  
Lega… bercerita tentang rasa sakit hati itu akhirnya membuatku membongakar tentang jati diriku kepadamu. Entah mengapa setiap kau bertanya aku selalu menjawabnya dengan senang hati bahkan dengan lancarnya aku bercerita tentang keluargaku kepadamu. Aneh… biasanya aku malas kalau ada yang menanyakan tentang keluargaku. Ketika kau kehabisan pertanyaan entah mengapa aku ingin sekali mengetahui rencana hidupmu ke depannya. Aku ingat sekali kamu pernah bercerita bahwa kamu ingin menikah setelah kamu lulus. Dan akhirnya aku mempertanyakan itu lagi. “Ya… kalau habis lulus ada yang ngelamar sih mau deh.. “ itu kalimat yang keluar dari mulutmu… walaupun mungkin kalimat yang keluar dari mulutmu itu hanya candaan yang tak perlu ditanggapi, entah kenapa aku justru menanggapinya.
“Kamu lulus bulan apa?” itu pertanyaan yang akhirnya aku ajukan untukmu dan kamu menjawab “Insaya Allah Juli… tapi wisudanya September kayanya”. Jawaban darimu entah mengapa menjadi angin segar untukku. Entah kenapa… tidak ada alasan untuk itu… tahu-tahu kalimatku untuk menikahimu meluncur begitu saja…aneh… begitu lancar… lancar sekali… tidak seperti waktu aku menyatakan kalimat yang kuucapkan pada dia. Aku tidak tahu kenapa… sungguh tidak tahu. Walaupun mungkin saat itu kamu menanggapinya dengan sedikit ketus… ya  dengan gaya mu seperti biasa “Ngomong apa sih?”…
Sekali itu aku bertemu denganmu… dan ingin selalu bertemu denganmu… setiap kali bertemu aku selalu menanyakan tentang bulan kelulusanmu… dan kamu selalu terlihat bosan menjawabnya dengan gaya ketusmu “sekitar Juli….tapi wisudanya September” Sampai akhirnya saat pertemuan kedua dan ketiga… dengan berulang kamu menanyakan hal itu… “Kenapa sih nanya terus, gue lulus kapan?”. Entah kenapa jawabanku selalu sama… “untuk menikahimu”.
Entahlah ini akan berakhir seperti apa… yang jelas aku tidak ingin berakhir sama seperti waktu itu… biarkan waktu berjalan mengiringi kebersamaan kita untuk saat ini. Walau aku tak bisa member perhatian lebih kepadamu saat ini karena kesibukanku tapi niatku untuk menemuimu setiap akhir pekan selalu kulaksanakan. Rasanya seperti minum obat…
                                                                                                                                                                                                                                                                                    19 April 2011

tentang kamu part1

Tentang Kamu part 1(cerbung)

Ini semua tentang kamu.. ya hanya tentang kamu. Kamu ingat, kita sudah lama berteman lewat yahoo messanger mungkin sekitar 5—6 tahunan. Ya pertemanan kita lewat dunia maya telah berlangsung saat pertama kali aku memiliki email “biscute_yummy” tepatnya saat aku duduk di kelas dua SMA. Saat itu pikiranku masih polos dan semua orang yang aku ajak chating selalu aku jadikan teman dalam list messangerku. Walaupun ketika aku sedang online dan kamu sedang online kita jarang bertegur sapa bahkan untuk menyapa hai saja rasanya enggan. Hal ini hampir berlangsung hampir selama empat tahun… sampai akhirnya aku duduk di perguruan tinggi di semester empat atau lima akhirnya kamu menyapa aku duluan. Dan tetap seperti biasa sapaan hanya berakhir dengan sapaan “ok terima kasih”.
Jujur saat itu aku masih saja selalu lupa tentang kamu… bahkan untuk sekadar mengetahui nama umur dan lokasi keberadaanmu aku saja tak pernah ingat kecuali nick emailmu. Tapi anehnya kamu selalu ingat siapa aku, umurku, bahakan menanyakan kuliahku. Semuanya biasa saja benar-benar biasa saja. Sampai akhirnya ketika aku duduk di semester delapan. Saat itu aku baru punya modem internet jadi aku selalu online, entah mengapa sampai saat ini aku setia mempertahankan nick yummy_bicute yang mungkin menurut orang-orang nick ini agak alay. Hahahahahahaha. Tapi aku juga punya email yang benar-benar profesional kok.
Aku masih ingat malam itu, malam saat aku sedang suntuk oleh skripsiku yang mandeg karena berbagai masalah keluarga yang sedikit mengganggu pikiranku. Setiap suntuk aku selalu menghabiskan waktuku dengan chating… ya… aku suka sekali dengan chating… berkenalan dengan orang melalui dunia maya hanya untuk sekadar pembuang rasa bosan dan penat. Dan entah kenapa saat aku masuk atau bergabung dalam room layanan dalam yahoo messanger tak kutemukan orang yang asyik untuk aku ajak mengobrol. Dan entah mengapa saat itu mataku tertuju pada nick yahoomu. Aku pun langsung mengklik dua kali pada namamu dan tiba-tiba saja aku menyapamu seperti ini “masih inget gue”
Nggak sampai dua menit kamupun langsung membalas “masih, anak UI jurusan Sastra kan?” wah… ingatanmu sangat kuat. Akhirnya kita pun mengobrol saat itu. Bahkan obrolan yang kurasa ngalor ngidul bisa kamu imbangi dengan mudah. Setidaknya kamu tahu segala-galanya tentang aku, walaupun tidak semua. Sedangkan aku?hmm mengetahui namanu saja tidak. Yang aku tahu kamu sudah kerja saja dan belum menikah.
Semenjak saat itu aku menganggapmu sebagai sahabat dunia maya paling berharga yang aku punya. Kamu agak sedikit tertutup sedangkan aku begitu sangat terbuka denganmu. Setiap aku ada masalah apapun kamu selalu bantu cari solusi… masalah skripsiku tentang orang difabel pun kamu tahu dan ngerti banget…bahkan kamu bantu aku nyari bahan-bahan untuk itu. Bahkan untuk masalah pacarku saja kamu mau dengar dan kadang ngasih nasehat. Pokoknya aku ngerasa deket dengan kamu walau sekalipun kita nggak pernah ketemu, bertatap muka bahkan tukeran foto. Semua hanya pyur sahabat lewat media itu.
Karena kesibukan kuliah dan berbagai macam hal hampir seminggu kita nggak pernah chat lagi. Sampai akhirnya saat itu aku masih ingat tanggalnya, 28 februari 2011… aku diputusin pacarku (padahal kami berencana melanjutkan hubungan ke arah yang lebih serius setelah aku lulus nanti) yah awalnya sih agak berat menerima itu… tapi aku beryukur juga sih… karena sekarang aku tahu dia yang sebenarnya… lelaki pengecut, pecundang, dan tak bermoral. Saat itu aku langsung curhat ke kamu… dan tumben-tumbennya kamu hanya menanggapi itu dengan sederhana. Hmfff kamu memang aneh dan sulit ditebak… kupikir dengan aku cerita ke kamu, kamu bisa kasih solusi atau sekadar nasehat. Tapi entahlah kamu hanya jawab secara singkat. Agak kesal sih tapi ya sudahlah. Hingga akhirnya, pagi-pagi aku terbangun aku mendapat tiga rangkaian pesan darimu—sebelumnya kita telah bertukar nomor—yang membuatku agak aneh dan bingung. Kamu bilang kamu telah melakukan kebodohan dalam hidupmu, kamu bilang kamu menghancurkan cita-citamu, dan kamu bilang kamu laki-laki terplinplan sedunia. Aku jelas nggak ngerti waktu itu maksud smsmu apa. Ketika aku balas smsmu… kamu malah tidak membalas.
Kamu memang aneh… malamnya ketika aku online buru-buru aku mempertanyakan itu… dan saat itulah sedikit demi sedikit aku tahu tentang kamu. Kamu bilang kalau kamu habis ditolak oleh cewek… bahakan kamu sudah berniat melamarnya… saat itu habis-habisan kamu curhat ke aku. Aku mendengarkan, merasakan karena pada saat itu posisiku juga sedang sakit hati. Walaupun beda ya. Entah kenapa tiba-tiba suatu hari kamu ngajak aku untuk ketemuan dan aku ingat kamu bilang sendiri ke aku kalau kita hanya sahabatan, nggak boleh kecewa saat ketemuan walaupun tampang kita nggak sesuai dengan harapan. Dan akupun setuju, niatku benar-benar lurus hanya sahabatan denganmu. Nggak lebih. Kamu ingin kita ketemu agar persahabatan yang terjalin di dunia maya ini benar-benar terealisasi di kehidupan nyata. Tak seperti orang-orang kebanyakan yang biasa ngajakin orang ketemu di suatu tempat seperti mal kafe dsb. Kamu tiba-tiba saja minta alamat rumahku karena kamu berniat menemuiku secara baik-baik di rumah. Ya akhirnya seminggu setelah itu kamu ngajak aku ketemuan. Kebetulan saat itu aku sedang berkunjung di rumah orangtuaku di daerah yang amat sangat kau ketahui. Kupikir kau tidak akan datang, tapi ternyata kau datang juga.
Rasanya saat itu kaku… kalimat-kalimat guyonan yang biasa keluar di media messanger tak keluar sepatahpun. Kita sama-sama kaku, dan untuk memecah kekakuan itu kau mengajakku pergi ke luar mencari tempat untuk sekadar mengobrol setelah sebelumnya kau berpamitan ke keluargaku untuk mengajakku pergi.
Obrolan itu pun akhirnya pecah… kau cerita tentang wanita pujaanmu… dan aku yang biasanya cerewet saat itu hanya bisa terdiam mendengarkan dirimu bercerita… tentang dirimu… ya hanya tentang dirimu… rasa sakit yang kau rasakan. Entah aku ngerasa kamu sedikit lebai… padahal aku juga lebai sih… kamu bilang sakit hati banget… iya sih aku tahu… pasti sakit hati banget. Tapi, aku pikir kalau cowok bisa dengan mudah aja ngilangin rasa patah hati, ternyata enggak juga toh. Kamu saat itu terlihat sedikit hancur… putus asa dsb. Aku bsaat itu hanya bisa memberikan motivasi semampuku. Sampai akhirnya mukamu sedikit cerah dank au bilang sudah agak bisa melupakan rasa sakit hati itu. Akhirnya kita membicarakan hal lain, tapi tetap saja kamu yang menjadi topik utamanya.
 Kamu ternyata lulusan teknik perguruan tinggi negri di Bandung. Makanya aku sedikit paham betapa kaku dan tidak terbukanya kamu. Kamu cerita sedikit tentang keluargamu dan sampai akhirnya kau menanyakan rencana hidupku setelah lulus nanti. Entah kenapa dengan tiba-tiba dan sedikit dengan nada bercanda kau bilang ingin menikahiku. Aneh… kamu orang teraneh yang pernah aku temuin. Untung waktu itu aku hanya menganggap kata-katamu sebagai banyolan belaka. Tapi entah kenapa kamu selalu mengulang-ngulang perkataan itu bahkan sampai saat ini. Memang aku pernah bercerita bahwa aku ingin menikah setelah lulus… tapi waktu itu rencanaku bukan sama kamu. Hmfff. Kamu memang aneh
Sebenarnya banyak kisah yang mau aku curahkan tentang kamu… tapi aku ingin tahu dulu ini endingnya kaya apa? Aku nggak mau gegabah menulis seperti cerpen-cerpenku yang kubuat dengan akhir cerita bahagia. Takutnya nanti ini malah berakhir duka lara… Tapi setidaknya aku bisa mencurahkan sedikit tentang kamu… walau jujur sebenarnya aku ingin tahu kamu punya maksud apa? Sampai ini ditulis pun aku masih nggak tahu maksud kamu apa,  terima kasih karena kamu selalu menemani akhir pekanku sampai saat ini. Aku takut jadi berharap dan sebaliknya dengan kamu… Please… semoga waktu ini dan itu cepat berlalu. Biar aku tahu jawabannya…

                                                                                                                                 Depok, 17 April 2011




Jumat, 08 April 2011

artikel sastra wayang

REFLEKSI PENOKOHAN BIMA DALAM MAHABARATA DENGAN PENAMAAN KERETA API BIMA[1]
R. D. Rengganis



Abstrak
Mahabarata merupakan salah satu epos yang berasal dari India. Epos Mahabarata terkenal hampir di seluruh dunia. Secara garis besar epos ini bercerita tentang pertempuran baratayuda antara pandawa dengan kaum kurawa yang tak lain adalah perang saudara. Tokoh pandawa terdiri atas lima orang, yakni Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Shadewa. Bima, merupakan salah satu tokoh dalam pandawa yang cukup menonjol. Kekuatan, kehebatan, dan sikap Bima begitu kuat tergambar dalam Mahabarata. Ketenaran tokoh Bima dalam Mahabarata tak dapat dipungkiri mengilhami penamaan sebuah kereta api yang juga mengusung nama Bima, yakni Kereta Api Bima. Dalam jurnal ini penulis akan memaparkan refleksi penokohan Bima dengan penamaan Kereta Api Bima.


Kata Kunci: Mahabarata, Refleksi, Makna.


Pendahuluan

Mahabarata merupakan salah satu epos yang berasal dari India. Penulis Mahabrata adalah Vyasa—cucu dari pengamat Veda terkenal—yang mengkontribusikan dirinya untuk korpus dari Veda. Vyasa, membuat Mahabrata sebagai Veda kelima (Fitzgerald, 1983). Cerita Mahabarata hampir tersebar di seluruh belahan dunia bahkan sampai ke Indonesia.
Di Indonesia, cerita Mahabarata mengalami proses pembauran dengan kebudayan lokal. Akan tetapi cerita ini tetap mengusung kisah peperangan Baratayuda antara Pandawa dengan Kurawa. Menurut Liaw (1991:77) Inti cerita Mahabarata sebenarnya ialah sejarah bangsa Bharata yang terdiri dari 24.000 seloka.
Cerita Mahabarata telah diadaptasi ke beberapa bentuk media, seperti film Mahabarata[3], Wayang[4], dan komik.[5]Hal ini membuktikan bahwa ketenaran cerita Mahabarata memang masih bertahan sampai saat ini. Tokoh-tokoh dalam Mahabarata yang cukup terkenal, yakni Pandawa. Pandawa merupakan sebutan terhadap lima tokoh kesatria yang menjadi sentral dalam kisah ini. Pandwa terdiri dari Yudistira, Bima, Arjuna, dan si kembar Nakula Shadewa. Ketenaran salah satu tokoh Pandwa, yakni Bima bahkan hingga menginspirasi penamaan salah kereta api di Indonesia, yakni Kereta Api Bima.
Nama Kereta Api Bima jika didengar oleh orang yang memiliki konteks pengetahuan latar belakang terhadap Mahabarata akan memberikan kesan bahwa penamaan kereta api tersebut mungkin berkaitan dengan salah satu tokoh Pandawa. Akan tetapi jika nama Kereta Api Bima didengar oleh orang yang tidak memiliki konteks pengetahuan latar belakang terhadap Mahabarata, nama tersebut mungkin tidak akan memberikan kesan apa-apa. Nama Kereta Api Bima merupakan suatu teks yang merujuk terhadap suatu konteks. Menurut Belsey apa yang melekat pada teks adalah suatu kisaran kemungkinan makna (Allen, 2004: 1).
Kereta Api Bima sebagai sebuh nama kereta api merupakan teks yang mengandung makna yang dapat dipaparkan. Menurut Hirsch makna adalah apa yang diwakili oleh tanda-tanda teks itu; di lain pihak “arti” menggambarkan hubungan makna itu dengan seseorang (Allen, 2004:2). Berkaitan dengan hal tersebut penulis mencoba menggunakan pendekatan semiotik. Semiotik sebagai ilmu tentang tanda selalu menghubungkan suatu tanda dengan “sesuatu yang diwakilinya” (Muradi, 1990: 29). Penulis melihat kecenderungan atas penamaan Kereta Api Bima sebagai sebuah teks yang berkaitan dengan bahasa sebagai tanda atas pemaknaan terhadap sesuatu dalam hal ini terhadap tokoh Bima.
Menurut Saussure dalam Course de Linguistique Generale bahasa adalah sistem tanda; dan tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak terpisahkan satu sama lain: signifiant (penanda) dan Signifie (petanda); significant aspek formal atau bunyi pada tanda itu dan Signifie adalah aspek kemaknaan atau konseptual (Teeuw, 1984: 43). Dari ulasan di atas penulis berpendapat bahwa penokohan Bima dalam Mahabarata merefleksikan penamaan Kereta Api Bima tersebut. Oleh karena itu dalam jurnal ini penulis akan memaparkan penokohan Bima dan membandingkannya dengan penamaan Kereta Api Bima sebagai refleksi atas penokohan tersebut.

Sekilas tentang Mahabarata
Secara garis besar Mahabarata merupakan cerita kephlawanan  yang menghadirkan peperangan besar antara Pandawa—terdiri atas Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa—dan pasukannya melawan Kurawa—Druyodana dan 99 adiknya—beserta pasukannya. Sebenarnya perang tersebut merupakan perang saudara karena Pandawa adalah anak Pandu—adik dari Dastarasta, ayah Kurawa.
Sifat iri Duryodana terhadap Pandawa telah tertanam semenjak ia kecil. Pada akhirnya sifat iri tersebut menjadi dengki dan membuat Duryodana rela melakukan apa saja agar Pandawa dapat tersingkir. Bahkan Duryodana sempat beberapa kali mencoba membunuh Pandawa walaupun pada akhirnya selalu gagal. Konflik antara Pandawa Kurawa pada akhirnya berujung pada perang besar yang terjadi di padang Khuruksetra selama 18 hari.

Sekilas tentang Kereta Api Bima
Kereta Api Bima pertama kali diluncurkan pada bulan Maret 1967. Kereta ini merupakan awal dari sejarah pengoperasian kereta api dengan fasilitas pengatur suhu ruangan atau Air Conditioner di Indonesia. Kereta Api Bima melayani perjalanan JakartaSurabaya. Perjalanan Gambir—Surabaya Gubeng (825 km) melalui lintas Selatan ditempuh dalam waktu kurang lebih 13 jam dan berhenti di Stasiun Cirebon, Purwokerto, Yogyakarta, Solo Balapan, Madiun, Kertosono dan Jombang.
Diawal pengoperasiannya, KA Bima dilengkapi dengan fasilitas tempat tidur dan eksterior kereta yang sengaja dicat dengan warna biru. Namun sesuai dengan keinginan dari pelanggan, sejak tanggal 9 Juni 1990 KA Bima mengalami perubahan interior menjadi kereta eksekutif dengan tetap dilengkapi fasilitas pendingin ruangan (AC). Untuk meningkatkan pelayanan kepada pelanggan sejak tanggal 1 Agustus 2002 rangkaian KA Bima sengaja diganti dengan rangkaian kereta api sekelas Argo dengan kapasitas angkut sebanyak 400 orang (membawa rangkaian 8 kereta kelas eksekutif).

Refleksi Penokoh Bima dengan Nama Kereta Api Bima
Dalam cerita Mahabarata, Bima merupakan anak ke dua Pandu yang dilahirkan dari persenggamaan Kunti dengan Dewa Angin. Bima digambararkan sebagai tokoh yang sangat kuat dan tidak ada bandingannya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

Dan begitulah pada hari yang sama dengan kelahiran Duryodana, lahir Bima yang sangat kuat dan hebat, dan suara di langit memaklumkan, “Tak satupun mahluk yang kuat daripada Bima.” Pada suatu hari tatkala Kunti tiba-tiba berdiri karena dikejutkan oleh seekor harimau , bayi yang sedang berada di pangkuannya itu terjatuh ke atas sebuah batu, yang menyebabkan batu hancur manjadi debu karena benturan itu (Lal, 2008: 37)

Selain kuat, tokoh Bima juga memiliki kekuatan berlari yang hebat. Bahkan kekuatan Bima dan saudaranya melibihi kekuatan atau kemampuan anak-anak Dastarasta. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

Sementara itu, putra-putra pandu tumbuh menjadi dewasa di dalam keraton; dalam segala hal mereka melebihi kemampuan putra Dastarasta. Bima juara berlari, memanah, bersantap, dan mendebarkan debu ke mata lawan-lawannya (Lal, 2008: 41)

Kehebatan Bima jika direfleksikan terhadap Kereta Api Bima sangatlah sesuai. Kereta Api Bima dianggap memiliki kecepatan yang dapat dirujuk atau diintepretasikan  terhadap kecepatan berlari Bima dalam cerita Mahabarata. Menurut Belsey mengonseptualisasikan “interpretasi” sebagai suatu alat untuk menghasilkan makna. Makna sebuah teks tergantung pada interpretasi (Allan, 2004: 2). Dalam hal ini kecepatan Bima dalam berlari dapat diintepretsikan terhadap kecepatan Kereta Api Bima dalam menempuh perjalanan jauh (JakartaSurabaya).
Kekuatan Bima dalam cerita Mahabarata juga dapat terlihat ketika ia membawa ke empat saudaranya dan ibunya—Kunti pada malam hari untuk menghindari bahaya pembakaran yang dilakukan oleh Duryodana. Bima menggendong ke empat saudaranya, yakni Yudistira, Arjuna, Nakula dan Shadewa melewati terowongan yang memang telah mereka siapkan sebelumnya dalam menghadapi serangan Duryodana dan kawan-kawannya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

Terbangun oleh gemertak api, penduduk kota berkumpul di sekitar istana itu, berdiri tanpa memberikan pertolongan, menyaksikan kebakaran itu sepanjang malam, dan menyimpulkan bahwa puncorana telah berhasil membakar kakak-beradik Pandawa hidup-hidup.
Tapi para Pandawa berjalan menerobos gelap sampai mereka tiba di tepi gangga, mereka menyebarngi dengan sebuah perahu, menuju ke selatan, dibimbing oleh bintang-bintang. Mereka merasa lelah, haus, dan mengantuk, tapi Bima yang tak kenal lelah dengan mudahnya mengangkat ibu dan keempat saudaranya untuk dipanggul di pundaknya meneruskn perjalanan sampai akhirnya ia meletakkan mereka yang sudah kehabisan tenaga, untuk tidur di tempat yang terbuka di dalam hutan itu, dan ia sendiri tetap menjaga mereka (Lal, 2008: 59)


Dari kutipan di atas dapat dilihat kekuatan Bima yang berjuang untuk menyelamatkan keluarganya dengan cara menggedongnya tanpa lelah. Penokohan dalam hal kekuatan Bima pun dapat ditelisik dan diinterpretasikan terhadap Kereta Api Bima.


Gambar 1.[6]


Kereta Api Bima beroperasi pada malam hari dan berjalan menembus birunya malam yang dapat disingkat dengan kata BIMA (Biru Malam). Selain itu kata Bima dianalogikan pula dengan nama dari salah satu tokoh pewayangan Bima yang memang digambarkan memiliki karakter tubuh tinggi besar, kokoh, kekar, kuat dan pemberani. Sejumlah karakter itu sengaja dilekatkan pada Kereta Api Bima untuk menggambarkan keandalan perjalanan dan kualitas pelayanannya yang selalu siap dalam berbagai cuaca (PJKAI, 2002).
Keterangan tersebut memberikan penjelasan terhadap penggunaan nama Bima dalam Kereta Api Bima yang memang merujuk pada penokohan Bima dalam cerita Mahabarata. Ciri fisik Kereta Api Bima yang kuat dan kokoh  dapat dipadu padankan dengan ciri fisik tokoh Bima. Hal tersebut dapat dijadikan seagai salah satu alasan bahwa  nama Kereta Api Bima sebagai suatu teks yang mengandung makna dapat diintepretasikan sebagai sebuah tanda atau lambang yang merujuk pada tokoh Bima.


Kesimpulan
Refleksi penokohan Bima dalam Mahabarata dapat dikaitkan terhadap pemaknaan nama Kereta Api Bima. Nama Kereta Api Bima sebagai suatu teks mengandung suatu makna yang dapat dirujuk dan diintepretasikan terhadap suatu hal. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa nama Kereta Api Bima memiliki kecenderungan pemaknaan yang merujuk pada tokoh Bima dalam cerita Mahabarata. Hal ini juga bergantung pada konteks pengetahuan latar belakang yang dimiliki oleh seseorang terhadap cerita Mahabarata.



Daftar Pustaka.
Allen, Dr. Pamela. 2004. Membaca dan Membaca lagi [re]interprtasi Fiksi Indonesia 1980—1995. Magelang: Buku Indonesia Tera.
Fitzgerald, James L. 1983. “The Great Epic of India as A Religious Rhetoric: A Fresh Look at The Mahabarata”  Journal of  The American Academy of Religion, Vol 51 no 4. 611—630. Oxford University Press. URL: http://www.jstor.org/stable/1462584. (Diakses pada 21 September 2010).
LaL, P. 2008. Mahabarata. Jakarta: Pustaka Jaya.
Liaw Yock Fang. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik 1. Jakarta: PT Erlangga.
Muradi, Supardy. 1990. Kesusasteraan Daripada Perspektif Semiotik. Selangor: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
PJKAI. 2002. “Karakteristik Kereta Api Bima”. www.kereta api indonesia/bima?/ac/php. diakses pada 22 Desember 2010.



[1]Jurnal ini sebagai pemenuhan tugas ujian akhir semester mata kuliah sastra wayang.
[2] Penulis adalah mahasiswa program studi Indonesia angkatan 2007.
[3]Film Mahabarata versi India pernah ditayangkan di Indonesia, saat ini terdapat kartun Litle Khrisna di MNC TV. Litlte Khrisna merupakan perwujudan tokoh Khrisna di masa kecil. Khrisna merupakan salah satu tokoh yang terdapat dalam cerita Mahabarata.
[4] Wayang Purwa  sebagai  salah satu kebudayaan rakyat yang sangat digemari oleh orang Jawa.
[5] R.A Kosasih mengarang komik dengan berbagai judul, seperti Mahabarata, Bharatayuda, Lahirnya Rahwana, dan Pandawa Seda dengan mengambil latar cerita Mahabarata.
[6] Kereta Api Bima nampak samping dengan nuansa warna putih dengan gradasi garis bewarna biru. Kereta Api Bima berangkat saat senja menjelan malam.

Sabtu, 02 April 2011

break, happy ending

Break!! Happy Ending
“kita break aja seminggu” ucap Dio sambil menatapku tajam dan penuh emosi.
“kenapa nggak sekalian putus aja?” ujarku tak mau kalah. Ini sudah yang ketiga kalinya Dio mengucapkan kalimat itu, terakhir dia mengucapkan kalimat itu saat menjelang peringatan hari jadian kami selama 2 tahun. Rasanya kesabaranku sudah habis. Masa pacaran yang akan genap menjadi tiga tahun seminggu mendatang tak pernah membuatnya berkaca dan belajar. Aku selalu membina hubungan dengan seseorang secara serius. Tapi, rasanya Dio tidak pernah berniat menjadikan hubungan ini ke arah yang lebih serius.
“Kok, kamu ngomong gitu sih? Maksudnya apa? Kamu mau putus? Katanya kamu serius berhubungan dengan aku?” ujar Dio sedikit keras ke arahku. Seketika itu juga, orang-orang yang berada di sekitar meja dan tempet duduk kami menoleh. Menyaksikan sedikit bagain dari kisah drama cinta yang aku alami.
“Biasa aja ngomongnya Di, aku nggak suka dibentak!” ujarku ketus tapi santai. Sesaat aku meneguk jus orange yang sudah berada di mejaku sejak beberapa menit yang lalu. Kesejukkan jus ini setidaknya bisa menghapus panas ditenggorokanku. Sesaat Dio terdiam, seperti memikirkan sesuatu. Pikirannya sedang mengolah kata demi kata yang akan ia utarakan padaku.
“Maaf, Nggi… aku nggak bermaksud ngebentak kamu. Tapi aku nggak mau putus sama kamu. Kita butuh refresh Nggi… hampir tiga tahun kita pacaran masa kamu rela ngelepasin hubungan kita begitu aja.” Ucapnya sedikit melunak. Aku hanya bisa mendesah perlahan.
“Bukan gitu Di, aku tuh nggak suka dengan kata Break. Seakan-akan kita putus sesaat mencari sesuatu yang hilang, yang kosong diantara kita tanpa menyelesaikan dan mencari jalan keluar. Ini tuh seperti lari dari masalah Di…  Kalau memang kamu serius berhubungan sama aku, kamu tuh harus tunjukin ke aku upaya kamu untuk nyeleseiin masalah kita. Bukan dengan entengnya kamu ngomong brek begitu aja. Kalimat ini udah yang ketiga kalinya kamu ucapkan Di, dan aku rasa kamu sama sekali gak pernah mau belajar untuk dewasa.” Jelasku panjang lebar. Entah akhirnya aku berani mengeluarkan kalimat-kalimat ini. Mungkin karena kesabaranku dengannya sudah habis.
“Trus kamu mau akunya gimana?” ujarnya sambil menatapku dalam seolah mencari pembearan atas semua usulannya tadi.
“bukan itu seharusnya pertanyaan yang kamu layangkan ke aku Di… bukan itu.” Jawabku kesal dan membuang muka berusaha menghindari tatapannya.
“lalu apa?” tanyanya memaksa.
“Di, aku nggak mau kita break. Kalaupun ada masalah diantara kita langsung kita selesaikan. Kita sama-sama belajar untuk nyelesein ini bukan menghindarinya.” Jelasku sambil melipat kedua tangan. Entah mengapa aku bisa mencintai adam seperti ini. Posesif, protektif, tapi memang dia baik dan care. Tapi kedewasaannya tidak pernh muncul. Selalu harus aku yang memulai untuk menyelesaikannya. Bahkan untuk hal sepele sedikitpun.
“Iya, kamu bener nggi… aku memang selalu menghindari masalah karena aku takut menghadapinya dan menerima kenyataan yang nggak bisa sesuai dengan hati dan keinginanku. Aku nggak suka ngelihat kamu jalan sama Arva. Bagiku itu menyakitkan Nggi.”
“Kan aku udah jelasin semuanya ke kamu Di, kalau aku sama Arva  temenan. Toh dia juga sudah lama  pacaran dengan  Ingga. Bahkan Arva berniat untuk melamar Ingga minggu depan. Masa kamu nggak percaya sam aku sih. Di, dengerin aku ya… kemarin itu Arva minta bantuan aku untuk nyari cicin. Dia mau bikin kejutan ke Ingga hari ini… makanya dia minta tolongya ke aku. Beneran nggak ada apa-apa diantara aku sama dia. Bahkan dia udah aku anggep seperti saudara Di…” jelasku panjang lebar.
“Oh gitu…hmm…”
“iya, emang mau gimana lagi. Kalau kamu nggak percaya aku suruh Arva ke sini ya. Biar jelasin semuanya.” Jelasku sambil mengeluarkan hp dari tas mungil berwarna silver dan berniat menghubungi Arva. Belum sempat aku menekan tombol, tiba-tiba Dio menyuruhku menaruhnya.
“Iya aku percaya…maafin aku Nggi…”
“iya aku maafin. Lain kali kamu jangan kaya gini ah. Tiba-tiba telpon aku, marah-marah. Minta Break padahal aku nggak tahu apa-apa. Aku juga minta maaf deh kemarin nggak bilang-bilang kalau nganterin Arva. Disamping karena pulsaku kemarin habis, aku juga nggak bawa hp. Lagi pula kalau aku minta izin sama kamu juga belum tentu dikasih. Ya kan… karena aku tahu kamu orangnya cemburuan banget.”
“Iya..iya… aku maafin. Tapi lain kali bilang aja ya. Jadi aku nggak termakan hasutan orang lagi.” Jelas Dio menyesal.
“Kamu emang tau dari siapa sih, kalau kemarin aku pergi sama Arva? Weni ya?” tanyaku dan berusaha menebak. Sepertinya memang iya. Karena Dio hanya diam seribu bahasa dan menjawab pertanyaanku dengan tatapan penuh maaf. Sepertinya memang Weni, karena kemarin secara tak sengaja aku berpapasan dengannya. Perempuan itu sampai sekarang masih saja berusaha mendapatkan Dio dengan cara menjatuhkan aku. Hmmff
“iya… kemarin Weni ngasih tahu aku… habis dia bilang ke aku kalau kamu sama Arva lagi di mal lihat-lihat cincin. Udah gitu kamu nggak bisa dihubungi. Coba deh kamu bayangin, pacar kamu pergi sama org lain yang notabene-nya mantan pacarnya terus lihat-lihat cicin. Apa yang kamu rasain kalau ada diposisi aku?” Tanya Dio berusaha membenarkan segala prasangkanya.
“Iya aku cemburulah pastinya, tapikan setidaknya aku akan sabar nungguin pacar aku ngasih penjelasan… Bukan dengan marah-marah kaya tadi. Ya kan? Karena aku pacaran nggak sehari dua hari sama dia… hampir tiga tahun dan aku percaya sama dia kalau nanti dia akan mejelaskan sesuatu sama aku…” Jelasku.
“Iya Nggi kamu bener… aku terlalu posesif dan protektif… itu semua sifat dasar aku Nggi… tapi itu semua terjadi karena aku takut kehilangan kamu… itu saja Nggi..”Jelas Dio parau. Ya aku tahu kalimat ini memang tulus keluar begitu saja dari mulutnya.
“Iya Di.. aku ngerti kamu banget, tapi ya itu tadi aku harap kamu mau percaya sama aku, nggak mikir macem-macem. Aku ngerti kamu, tapi coba deh kamu belajar ngertiin aku sedikit aja. Kamu harus berubah Di, atau lebih tepatnya kita harus sama-sama berubah. Aku suka sama kamu komplit dengan segala sikap, kelebihan dan kekurangan yang kamu miliki. Aku harap kamu juga sebaliknya. Belajarlah menyelesaikan masalah secara baik-baik Di, jangan suka mengambil keputusan secara sepihak seolah-olah kamu yang benar dan paling benar.” Jelasku santai… sambil tersenyum menatapnya. Ia menggenggam tanganku kini sambil berusaha mencerna kalimat-kalimat yang aku luncurkan ke dalam otaknya.
“Iya, aku akan berubah Nggi… kamu bantu aku ya. Aku akan belajar untuk terus memperbaiki diri.” Jelasnya tersenyum dan membuatku mengangguk.
“Anggi… Anggi…” teriak seorang perempuan dari kejauhan memanggil-manggil namaku. Dengan seketika aku menoleh mencari sumber suara itu. Ingga
“Hei, Ngga… kok tahu aku di sini” Ucapku kaget  dan tiba-tiba saja dia memeluku erat. “Hei kamu kenapa seneng banget hari ini…” Tanyaku sambil menyuruhnya duduk di sebelahku.
“Dio… kakak gue yang cantik ini gue pinjem sebentar ya… lima menit aja” Ujar Ingga lalu memperbaiki posisi duduknya menghadap ke arahku. Dio pun mengangguk dan mempersilakan kembaranku untuk menguasai diriku saat ini.
“Lihat… lihat… aku dilamar sama Arva…” Ujar Ingga sambil memperlihatkan cicin emas yang melingkar dijari manisnya. “ pinter banget sih Nggi milihin cicin ini… aku suka bentuknya…” Jelas Ingga sambil terus memperhatikan cicin bermata satu itu dengan bahagia.
“Arva udah cerita semua?”Tanyaku tiba-tiba dan Ingga hanya mengangguk senang.
“Maafin Ingga ya Nggi… udah mikir yang jelek-jelek ke Anggi kemarin sore. Udah ngediemin Anggi seharian ini. Maaf… maaf banget.” Jelas Ingga penuh sesal. Ya memang, perjalanan bersama Arva kemarin cukup menimbulkan banyak masalah. Tapi tak apalah… buat dijadikan pelajaran untuk semua.
“iya nggak apa-apa Ngga… ini aku juga baru nyelesein masalah sama Dio…, trus Arvanya ke mana?” tanyaku sambil mencari sosok Arva.
“Itu dia… dia habis parkir” jelas Ingga sambil menunjuk lelaki berkaos coklat yang datang mendekati meja kami.
Sesaat Dio menatapku, entah tatapannya mengandung arti apa yang pasti hanya senyuman yang bisa kuberikan padanya.
“Dio… maafin gue ya, kemaren udah minjem pacar lo nggak bilang-bilang… lo berdua nggak ada masalah kan? Tanya Arva yang tiba-tiba duduk di samping Dio. Saat ini beberapa pasang mata di dekat tempat kami duduk terus memperhatikan. Sepertinya mereka sedikit kaget melihat keberadaanku dan Ingga yang kembar identik.
“Iya tuh, Dio tadi marah sama gue. Tapi kita udah baikan sih. Ya kan Di?” Tanyaku sambil menatap ke matanya dan Dio pun mengangguk. Tak berapa lama, pelayan menghampiri kami, berniat untuk menanyakan untuk pesanan tambahan. Ingga dan Arva pun memesan segelas minuman.
“Dio, lo harus baik-baik sama kakak gue, dia saying banget tahu sama lo… awas lo ya kalau nyakitin… lo harus berhadapan sama gue dan Arva.heheheheh” Ledek Ingga membuatku tersenyum. Dio hanya tertawa mendengar celotehan Ingga, hah inilah yang membuatku tampak berbeda dengan Ingga, sikapnya yang ceria dan gampang berubah suasana hati selalu membuat orang-orang disekelilingnya merasa nyaman walau kadang ia selalu ambekan. Tapi aku suka, Ingga melengkapkan segala sifatku.
“Rencananya keluargaku jadi melamar Ingga minggu depan Nggi… Kamu nggak apa-apa ya dilewatin sama adikmu” jelas Arva menanyakan hal itu padaku.
“Nggak apa-apa kok, silakan banget malah, terus rencana nikahnya kapan?” tanyaku antusias.
“Rencananya sih tiga bulan lagi… mohon doanya saja” Jelas Arva sambil menatap Ingga.
“Amien, semoga terlaksana ya…dan berjalan sebagaimana mestinya” Jawabku. Kulirik Dio perlahan, aku tahu dia sedang berpikir… iya, sebenarnya aku juga ingin Dio cepat-cepat melamarku, tapi aku tahu… semua ada waktunya.
“Amien” ujar Arva dan Ingga berbarengan.
“Terus kalian kapan?”Tanya Ingga tiba-tiba sambil menoleh ke arahku lalu berbalik menatap Dio. Aku hanya tersenyum simpul sambil mengangkat kedua bahuku.
“Kita lihat saja nanti” Ujar Dio, tersenyum penuh ekspresi. Aku tidak tahu apa makna dibalik senyuman itu… tapi yang pasti ada sesuatu yang ia sembunyikan.
                                                                                                ***********
“Udah cepet, semua udah nunggu di ruang tamu tuh… kalian berdua masih aja cekikikan di sini” Ujar Bunda menyuruh Ingga dan aku keluar dari kamar. Hari ini adalah hari lamaran Ingga, tepat dengan hari jadianku dengan Dio. Jam menunjukkan pukul 09.00, Ingga sudah cantik dengan kebaya hijau muda dan ssanggul mungil di kepalanya. Adikki jadi dilamar hari ini… aku senang. Keluarga Arva sudah menunggu di ruang tamu. Semuanya mengenakan kemeja batik senanda, hanya Arva saja yang menggunakan jas hitam. Dia terliht gagah dengan pakaian itu. Ya… kamu beruntung Arva mendapatkan adikku.
“Nggi… kok malah ngelamun di sini… ayo ke ruang tamu…” Ajak Ingga sambil menarik tanganku.
“Aku lagi nunggu Dio… Dia juga mau dateng. Mungkin macet kali ya.” Jawabku sambil terus memperhatikan jam yang melingkar di lengan kiriku. Karena acara segera dimulai akupun segera masuk ke ruang tamu. Hp digengamanku selalu kulirik, kalau-kalau Dio menelepon atau mengirim pesan untukku.
“Bagaimana… bisa kita mulai acaranya?” Tanya Pak Rustam, Pakdeku, selaku perwakilan dari keluarga Ingga.
“Silakan… silakan…” Jawab Ayah Arva yang duduk berhadapan dengan Pakde Rustam.
Belum sempat Pakde mengucapkan salam sebagai tanda dimulainya acara, tiba-tiba dari arah teras terdengar suara beberapa orang mengucapkan salam. Dio
Entah apa, yang terjadi saat ini. Dio membawa keluarganya beserta barang-barang seserahan seperti yang dibawa keluarga Arva. Aku hanya tertegun saja ketika pakde mempersilakan Dio beserta keluarganya masuk ke dalam rumah. Ingga berceloteh meledekku senang. Dio menatapku sambil tersenyum penuh arti, mata kirinya berkedip menunjukkan kejutannya padaku. Jas putih yang ia kenakan saat ini membuatnya tampak berwibawa, dan lebih tampan dari biasanya.
“Saya, sebagai Ayah Dio, berniat untuk melamar putri Bapak… Nak Anggi…” Ujar Ayah Dio, sambil menjabat tangan Ayahku lalu Pakde Rustam. Entah rasanya kejutan ini benar-benar membuatku salah tingkah. Aku hanya bisa tersenyum… sedangkan ayah dan pakde Rustam tertawa…
“Wah… hari ini yang dilamar ada dua orang ya… Waduh… anak kembarku mau diminta orang secara bersamaan” Ledek ayah sambil menatapku ke arah aku dan Ingga.
Aku hanya tersenyum… entah kenapa hatiku merasa lega… kado special hari jadianku bersama Dio ternyata adalah sebuah lamaran. Aku tak pernah tahu kapan ia merencanakan ini semua. Karena yang aku tahu, ia adalah seorang perencana yang baik dan perfeksionis. Tapi jujur aku suka hadiah ini. Aku suka caranya.
“Wah, maaf ya Pak, kedatangan keluarga kami tanpa konfirmasi dulu, tapi sungguh ini semua kehendak dan keinginan anak kami. Dia sudah merencanakan ini semua hampir tiga bulan yang lalu. Dan mohon maaf Pak, saya lancang dan terlalu yakin bahwa putri Bapak, nak Anggi bersedia menerima lamaran anak kami Dio… Jadi hari ini keluarga kami tidak hanya bermaksud untuk melamar putri Bapak saja, tapi Dio juga berniat untuk menikahi Anggi hari ini juga. Kalau Bapak tidak berkeberatan, maaf sekali.” Ujar Ayah Dio, dengan sangat memohon. Jelas saja keluargaku kaget… bahakn aku sendiri hanya bisa mematung. Tak bisa berekspresi. Sementara Ingga sudah berceloteh dan bersemangat.
“Anggi… mau aja… udah terima aja Yah, kak Anggi pasti mau…” Ucap Ingga bersemangat. Seketika ayah menoleh ke arahku… meminta kepastian dan jawaban atas pertanyaan ayah Dio. Sementara Dio menatapku penuh harap. Ya inilah yang aku impikan sebenarnya, tapi semua ini muncul di luar pikiran dan logikaku. Saat itu aku hanya bisa mengaggukan kepala. Tanda setuju dan sisanya aku menangis haru…
Ya… hari itu Dio melamarku dan menikahiku… Hari itu Arva melamar Ingga… dan hari itu menjadi hari berbahagia dalam hidupku sampai saat ini….

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                Depok, 2 April 2011
 11.00 wib
 Makasih Oky atas inspirasinya