Selasa, 25 Oktober 2011

saya tertinggal jauh

saya sepertinya yang memulai semuanya. tapi entah kenapa saya merasa tertinggal jauh. jauh dari lubuk hati saya yang terdalam saya merasa jatuh. entah berapa kali saya melewati krikil dan bebatuan tak berujung hingga kaki ini terasa melepuh. begitu panas dan memerah.
saya melihat orang yang memulainya setelah saya justru memakai sendal bahkan beralaskan karpet kin. saya benar-benar tertinggal jauh. tidakkah ada yang bersedia membantu saya berlari. atau setidaknya mengajak saya berlari bersama. saya benar-benar merasa ditinggalkan. tapi entah kenapa selama ini saya merasa belum memulai. belum melakukan sesuatu. belum bergerak. bahkan belum berpaling sedikitpun. selama ini yang bergerak hanyalah pikiran saya. sementara fisik saya terdiam dan berkarat. saya seperti lumutan. lama-kelamaan saya takut ini menjalar hingga ke otak. hingga pada akhirnya saya tidak bisa berpikir lagi.

dalam kegundahan yang saya ibaratkan berlebihan menjadi sebuah nesatapa. saya mengutuk diri saya. mencerca ketakutan saya. dan saya merasa jauh lebih buruk dibandingan eekor keledai. ketika saya membandingkan diri saya dengan seekor binatang sebenartnya saya sedang meratap ketidakbergunaan saya selama ini.

Saya memang tertinggal jauh dari kalian. tapi entah kenpa saya hanya sedikit merasa sedih. saya yakin saya percaya pasti ada saatnya saya akan terbang ke manapun saya suka. saya akan bergerak ke mana pun orang membutuhkan saya. saya merasa lebih berarti jika saya dibutuhkan oleh orang lain. saya lebih berarti lketika menjadi matahari ketimbang menjadi awan putih.

                                                                                                        saya sedang "sakit"

Minggu, 23 Oktober 2011

dingin yang rapuh

dan ketika dingin mengekarkan keanggunannya dalam senyap
para kabut pun berbondong-bondong mengangkatnya sambil menerpa
bukan dalam hujan yang temaran
tapi
dalam desau mesiu yang tersapu angin. semakin lama kian membeku
membuat dingin rapuh, lalu luluh lantah. kabut pun berpencar mendapatkan serpihannya :)

Kamis, 20 Oktober 2011

saya pilih menjadi kafilah

diam saya berpikir
mencerna setiap ejekan para nafsu bumi yang menggelegar
Bicara saya bertindak
menumpas perasaan jahat yang mengelilingi sukma dalam sanubari
tindakkan saya menguatkan
seluruh anggota badan dalam menerjang segala kemungkinan yang ada

saya tahu saya kamu
tapi kamu tidak akan pernah tahu
siapa saya
---------------- depok 20 oktober 2011---------

Rabu, 19 Oktober 2011

GUE VS GUE

Gue Vs Gue

“Lo kenapa sih? Kok seminggu ini kaya ngehindarin gue terus Ra? Gue bikin salah sama Lo ya?” Tanya Aleta sahabat gue saat keluar kelas. Gue Cuma bisa ngejawab pertanyaan Leta dengan gelengan kepala yang tertunduk. Aleta masih saja duduk di sebelahku menunggu untaian kalimat yang meluncur dari mulutku.
Nggak mungkin dong aku mengakui semuanya. Emang udah seminggu ini aku  mejauhi Leta. Aku nggak mau sampai dia tahu bahwa sebenarnya udah lama aku suka sama pacar barunya. Lagian, aku juga nggak mau nyakitin sahabat sendiri. Apa kata orang nanti kalau aku ngehianatin sahabat sendiri.
“Terus kenapa?” Tanya Aleta lagi sedikit memaksa dan aku hanya bisa diam. “Aha… Gue tahu Ra, Lo lagi naksir cowok ya? Lo nggak mau ngasih tahu gue kan?” Tebak Leta bikin aku gelagapan.
“Eh… apaan sih, enggak kok. Udah ah, Gue mau ke kantin. Laper!” Jawabku berusaha menghindar dan berjalan meninggalkan Leta.
“Lo nggak masuk kelas Pak Hartoyo Ra?” teriak Leta, sementara aku berjalan semakin cepat meninggalkan dia.
                                                *******
“Pokoknya gue nunggu lho, Ra! Awas aja kalau sampai nggak datang. Gue pecat jadi sahabat setia loh!” Ucap Leta di sebrang telepon. Sore ini dia mau mengajakku nonton di Pelangi. Yah, apa boleh buat, biar sekalian Leta nggak curiga sama sikapku belakangan ini akhirnya aku pun berangkat juga menuju Pelangi.(read:Plaza Semanggi)
“Rara…” Terdengar suara cowok dari arah belakang, sesaat aku pun menoleh.
“Wahyu… Lho, ngapain Lo di sini?” Tanyaku kaget melihat cowok berwajah tirus dan berkaca mata minus itu berdiri di hadapanku. Sesaat aku tertegun membayangkan imajinasi bodohku terhdap Wahyu.
“Ya gue mau nonton lah… Gue sama Leta janjian mau nonton di sini. Lo sendiri?” Tanya Wahyu sambil tersenyum simpul. Sial, kenapa sih dia mesti senyum kaya gitu ke gue?
“Eh… Lho, gue juga mau nonton sama Leta di sini.” Jawabku dan Wahu hanya manggut-manggut. Sial… sial… mau Lo apa sih Ta? Lo sengaja ya, masa mau nonton bertiga? atau Lo sengaja mau manas-manasin gue? Entah, aku harus pasang wajah seperti apa. Kondisi seperti ini sungguh membuatku tertekan. Di satu sisi aku senang karena aku bisa bertemu dengan Wahyu, tapi di sisi lain rasanya kacau. Kesal! Terlebih kalau ternyata Leta sengaja ngajak nonton bertiga. Sungguh!
Sudah hampir 15 menit, aku dan Wahyu menunggu Leta. Tapi yang ditunggu tak kunjung muncul. Sambil menunggu, Wahyu mengajakku berbincang. Pembicaraan yang tak jelas arah dan tujuannya ini cukup membuatku senang. Sungguh, rasanya seperti aku yang sedang menjalin kasih dengannya. Saat tengah asyik bersua ponsel di saku celanaku bergetar. di layar terulis Leta calling.
“Halo… Lo lagi di mana Ta? Lama banget sih, terus maksud Lo apa? kita mau nonton bertiga? Lo sih enak ada Wahyu, lha Gue? Masa Gue kaya kambing congek ngeliatin Lo berdua pacaran!” cerocosku panjang lebar sambil berjalan menjauh dari Wahyu. Aku berjalan ke arah toilet perempuan yang jaraknya tak jauh dari tempat duduk tadi.
“Duh… Lo bawel amat sih Ra! Sabar dulu kek, maksud Gue kan baik. Biar Lo nggak bete… siap tahu aja kalau kita jalan bertiga bakalan lebih seru.  Tapi, sorry banget nih Ra, kayanya gue nggak bisa nonton bareng kalian deh. Pas mau berangkat tadi nyokap gue pingsan. Kayanya tekanan darahnya turun. Gue lagi nunggu dokter. Gue minta tolong ya, Lo bisa nolongin gue nggak?” Ucapa Aleeta memberikan penjelasan.
“Ya ampun kok bisa Ta? Lo mau minta tolong apa? Gue pasti Bantu kok.”
“Temenin Wahyu nonton ya. Please… kasian dia udah nunggu. Lagian Lo berdua juga udah ada di Pelangi kan? Mau ya… ya… Please. Nanti gue bilangin Wahyu. Pasti dia mau.” Ujar Leta memohon. Deg, secuil hatiku bersorak girang. Entah.
“Apaan sih Ta… ogah  ah” Jawabku berkilah.
“Ra… ayo dong, sekali aja. Kasian Wahyu. Gue juga kasian sama Lo. Padahal Gue yang janjiin.” Mohon Leta penuh harap.
 Akhirnya aku terima juga permintaan Leta. Sebenernya kalau boleh jujur aku seneng banget. Apalagi Wahyu dengan senang hati bersedia aku temani. Aku jadi ngerasain rasanya jadi Leta. Beruntung banget dia bisa dapetin Wahyu. Wahyu baik banget. Habis nonton dia mengajak  aku makan bersama. Sampai akhirnya dia mengantarkan aku pulang.
“ Maksih ya Yu untuk traktirannya.” ucapku sambil menyerahkan helm.
“Sama-sama Ra, seneng gue jalan sama Lo, Oke gue balik ya. Have a nice dream” Ucap Wahyu dan ia pun berlalu.
 Huaaaa… rasanya hari ini bahagia banget. seandainya Wahyu itu cowok sendiri… Ah..  ngomong apa sih!Gila… gila… sadar Ra… inget… inget… udah ada yang punya. Sahabat sendiri pula.
                                                *********
“Oh… gitu. Tapi nggak ada cewek yang ngedeketin Wahyu kan? Tanya Leta di kelas mengenai acara nonton kemarin. Aku pun menjawab dengan gelengan kepala.
“Ntar ke Fakultas Wahyu mau nggak? temenin Gue. Dia hari ini tanding futsal.”
“Enggak deh, Gue habis ini langsung mau ke kosan. Badan gue rada nggak enak” tolak  kuberbohong. Jujur sebenarnya pengen banget ngelihat Wahyu main Futsal. Tapi aku nggak mau jadi pagar makan tanaman.
                                                ********
Malam ini aku bener-bener nggak habis pikir. Masa Wahyu sms. Awalnya sih ngomongin tentang Aleta. tapi kok lama-lama malah tanya-tanya tentang aku. Wahyu nanya alesanku nggak lihat dia tanding futsal bareng Leta. Aku bilang aja lagi nggak enak badan. Eh dia jadi sok perhatian gitu. Aku curiga, jangan-jangan. Akh… . Akhirnya buru-buru gue menyudahi sms-an sama Wahyu. Aku ingat Leta…
Hari ini Leta izin nggak kuliah. Mamanya masuk RS. Aku berniat untuk menjenguk tante Widi setelah jam terakhir nanti.
“Ra…” teriak seorang cowok saat aku berjalan meninggalkan kampus.
“Lho, Wahyu… Aleta nggak masuk. Nyokapnya masuk RS. Gue baru mau jenguk ke sana.” Jelasku.
“Iya, Gue tahu kok. Lo ada waktu sebentar nggak? temenin gue cari makan yuk. Bosen gue makan di kantin.” Ajak Wahyu. Sebenarnya tadi aku udah nolak. Tapi, berhubung Wahyunya maksa akhirnya aku nyerah juga.
Aku bener-bener nggak nyangka. setan itu jahat banget ya! Dia sudah berhasil mempengaruhiku. Buktinya sampai malem aku baru pulang. Padahal tadi niatnya aku mau ke RS jenguk tante Widi, mama Leta. Eh aku malah asyik sama Wahyu. Sepertinya aku memang bukan teman yang baik.
                                                ******
Pagi ini aku menghubungi Leta. Ternyata dia masih di RS, aku minta maaf belum sempet jenguk mamanya. Tapi, aku janji pulang kuliah nanti akan ke sana.
“Ra…” teriak Wahyu saat aku lagi jalan ke luar kampus. Tiba-tiba dia memberikan aku helm
“Maaf Yu, Gue nggak bisa. Gue mau jenguk nyokapnya Leta.”Tolakku halus. Tapi Wahyu maksa dan untuk ke dua kalinya akhirnya aku menyerah juga.
“Lo mau nggak Ra jadi cewek Gue?” Ucap Wahyu tiba-tiba setelah pelayan kafe memberikan pesanan minuman kami. Deg. Pertanyaan ini memang tengah aku nantikan keluar dari mulut Wahyu. Tapi Sumpah aku kaget, apa yang ada di otaknya Wahyu sampai dia ngomong kaya gitu. “Gue suka sama lo Ra. Gue juga yakin kalau sebenernya Lo juga suka sama Gue” Ucap Wahyu lagi sambil menggenggam tanganku.
“Lo ngomong apa sih? Jangan Ngaco deh Yu!
“Lo juga suka sama gue kan Ra?”
“Trus Aleta?”
“Gue udah putusin dia tadi. Jujur gue nggak yakin sama perasaan gue ke dia. Tapi gue yakin banget sama perasaan gue ke Lo” ujar Wahyu dengan mimik muka meyakinkan.
“Tapi kan…”
“Ah… udahlah Ra, Lo juga suka sama Gue kan?”
“Gue…
                                                            ******
“Makasih Ra, udah mau jengukin nyokap gue. Nyokap Gue udah baikan kok, besok juga udah boleh pulang. Tapi gue lagi sedih banget nih Ra…” Ucap Leta sambil meluk gue erat. Gue pun membalas pelukan erat Leta.
“Iya, Gue tahu. Wahyu mutusin Lo kan?” Ucapanku membuat Leta kaget. aku pun akhirnya menjelaskan semuanya ke dia.
“Udah jangan Bego, Cowok kaya dia nggak pantes Lo tangisin. Asal Lo tahu ya, Wahyu itu nggak pantes buat Lo. Tadi sebelum gue ke sini dia nembak gue…”
“Wahyu nembak Lo Ra? Trus Lo jawab Apa?” Tanya Leta kaget.
“Dengan tegas gue nolak dia, malah gue sempet nyiram muka dia pake jus. Habis gue nggak nyangka aja kalau cowok kaya dia play boy. Lagian Gila apa sampe gue ngehianatin Lo. Seribu Wahyu juga bisa gue dapetin Ta, tapi satu orang Lo tuh susah nyarinya!” Tegasku
“Maksih ya Ra, well gue sedikit lega Ra..”
“Gue juga lega Ta… bahkan gue menang…”
“menang? menang apa?” Tanya Leta bingung
“Menang ngelawan diri gue sendiri” ungkapku lepas dan puas. J

Senin, 17 Oktober 2011

muridku...

Muridku Tercinta
Ini sudah menjadi keputusanku, setidaknya aku bisa memenuhi permintaan hati yang sudah bergejolak semenjak menyelesaikan KKN  satu tahun yang lalu. Aku berniat untuk menjadi tenaga pengajar di daerah pelosok Indonesia, entah di daerah mana nantiya aku akan mengabdi. Tapi yang jelas keputusanku sudah bulat. Seminggu setelah diwisuda, aku akan bergabung dengan lembaga Mengajar Indonesia yang mendistribusikan manusia yang memang berdedikasi tinggi untuk mengabdi kepada masyarakatnya dengan cara mengajar di daerah pelosok di seluruh Indonesia. Saat ini yang masih mengganjal dipikiranku hanya satu, mendapat restu dari kedua orangtuaku, terutama mama.
“Pokoknya mama tetap nggak mengizinkan, Kamu mau jadi apa kalau pergi ke tempat-tempat kaya begitu Ra? Mama menyekolahkanmu tinggi-tinggi berharap agar kamu bisa meneruskan usaha papamu. Ya, setidaknya kalaupun kamu tidak meneruskan usaha papa, kamu bekerjalah di Jakarta. Nggak perlu sampai jauh-jauh ke pelosok sana. Waktu KKN kan kamu sudah pernah, masa masih kurang saja sih.” Mama tetap pada pendiriannya. Ini sudah yang ketiga kali aku membicarakan hal ini dengan mama. Tapi, tetap saja jawaban mama membuat nyaliku sedikit ciut. Kalau orang tua tidak meridhoi bagaimana aku bisa menjalankan pekerjaanku ini dengan hati ikhlas dan lapang.
“Ma, ayolah, izinkan Rara. Rara hanya satu tahun saja kok Ma. Rara janji. Habis itu Rara pasti akan bantu untuk ngurusin usaha papa. Rara nggak pernah minta apa-apa dari mama, tapi untuk kali ini Rara mohon Ma, izinin Rara. Di pelosok-pelosok sana masih banyak anak-anak yang putus sekolah Ma. Bukan karena kemiskinan saja yang membuat mereka bodoh Ma, tapi mereka tidak punya tenaga pendidik yang bisa membuat mereka bangkit. Setidaknya Rara dan teman-teman Rara bisa membantu itu Ma. Tapi, kalau mama tetap tidak meridhoi Rara tidak akan berangkat kok, Rara nggak mau jadi anak durhaka.” Ucapku melemah aku sudah kehabisan kalimat. Entah harus melakukan apa lagi agar mendapat persetujuan dari Mama.
“Sekali tidak tetap tidak Ra!” Ucap Mama sambil berlalu menuju kamarnya. Papa yang semenjak tadi mendengarkan pembicaraan kami hanya tersenyum saja. Senyum papa sedikit melegakanku.  Bergegas papa berdiri lalu mengusap punggungku perlahan.
“Sabar ya, Papa akan bantu kamu ngomong ke mama” Ucap papa ringan dan aku pun mengangguk senang.
                                                                        ********
Aku sudah mendapatkan surat pemberitahuan dari Lembaga Mengajar Indonesia melalui e-mail. Di dalam surat itu aku akan ditugaskan di pelosok Timur Indonesia, Irian Jaya. Rencana keberangkatan dua minggu lagi. Tapi sampai sekarang mama masih belum meridhoi aku.
“Ra… ini kamu dapat kiriman surat.” Ujar mama tiba-tiba masuk ke kamarku disaat aku sedang mengeprint surat pemberitahuan tersebut. Hasil printannya jatuh ke lantai karena aku kaget dengan kehadiran mama. Mama segera memungut kertas yang baru aku print dan sekilas membacanya.
“Kamu belum membatalkannya juga Ra” Ucap mama panik dan terduduk di kasur tepat dibelakang kursi tempatku duduk. Seketika aku terdiam. Irian Jaya kan jauh Ra, mama tetap nggak mengizinkan. Kamu mau ngapain ke sana? Ujar mama lagi kali ini diselingi dengan tetesan air mata. Aku menatap mata mama dalam, berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa memang inilah keinginanku.
“Ma, di sana aku tuh mau ngajar. Mengajar anak-anak dari SD, SMP, dan mungkin saja SMA. Memang sih hal ini tidak sesuai dengan penjurusan manajemen Rara. Tapi, Ma… entah kenapa hati Rara tuh bergelora dan mengebu-gebu untuk melakukan hal itu. Kasihan Ma anak-anak negri ini yang kurang mendapat perhatian pemerintah dalam hal pendidikan. Rara ingin sekali melihat anak-anak di negri kita itu pintar, ya setidaknya punya semangat dan cita-cita yang tinggi. Ayolah ma, izinin Rara untuk mengabdi Ma, setahun itu nggak lama kok Ma. Rara janji akan ngasih mama kabar terus. Rara janji akan menjaga diri baik-baik di sana.” Ujarku sembari berlutut dihadapanan Mama.
Mama hanya menangis dan meremas surat dan kertas yang kuprint tadi. Aku terdiam. Mama pun demikian. Sampai akhirnya mataku tertuju pada surat yang dipegang oleh mama. Amplop bergambar orang yang diwarnai dengan krayon menarik perhatianku. Perlahan kupegang tangan mama dan kubuka kepalan tangannya terhadap amplop itu. Tidak salah lagi, ini surat dari Dina, anak perempuan yang pernah kuajar saat aku KKN di pelosok Jawa Timur. Tulisan tangannya bisa kuhapal dengan benar. Aku pun bergegas membuka dan membaca isi suratnya
Untuk kakak Rara
Kak, apa kabar?. Semoga keadaan kakak dan keluarga kakak di Jakarta baik-baik selalu. Kami sekarang senang karena disekolah kami sudah ada guru. Meskipun hanya dua orang. Tapi kata Pak Lurah,  guru-guru itu akan terus mengajar di sekolah kami. Kami semangat belajar Kak. Bahkan aku mendapatkan ranking 1 di kelas. Aku dan teman-teman rindu sekali dengan kakak terlebih dengan cerita-cerita kakak yang selalu membuat kami bersemangat melakukan sesuatu.
Oh iya, kabar mama kakak bagaimana? Mamaku pernah bilang kalau Kak Rara itu baik dan pintar  karena mamanya super baik dan super pintar sehingga bisa membuat kak Rara seperti itu. Salam ya kak buat mamanya kakak. Aku mau jadi seperti Kak Rara yang pintar dan baik hati. Meskipun mamaku tidak pintar karena tidak bersekolah seperti aku tapi mamaku baik dan selalu menyemangati aku agar menjadi pintar seperti kakak.
Dini dan teman-teman di sini  senang pernah punya pengalaman kebersamaan dengan kakak. Semoga kakak tidak melupakan kami ya. Salam sejuta cinta untuk kakak. Kami selalu mendoakan kakak agar kakak dan keluarga kakak selalu bahagia. Parjimin, Sugeng, Cipto, Nisa, dan Siti titip salam buat kakak. Doakan kami ya kak agar tahun ini bisa masuk SMP. Oh iya, bersama dengan surat ini, kami kirimkan gelang buatan kami yang terbuat dari rotan. Gelang ini ada lima, pas untuk keluarga kakak. (Mama kakak, Ayah kakak, dan dua orang kakaknya kakak).

Air mataku menetes setelelah membaca surat itu, segera saja kurogoh gelang yang berada dalam amplo berwarna itu. Gelang yang indah dan kuat. Segera saja kupakaikan gelang yang berada digenggamanku ke lengan kiri mama.
“Ma, ini gelang dari murid Rara waktu KKN. Ini buat mama katanya. Mama baca deh suratnya.” Ujarku sambil menyerahkan secarik kertas yang berisi tulisan tangan rapi. Sekilas mama hanya melirik, tapi aku tetap menyodorkannya agar mama mau membaca. Mama pun membaca surat itu sementara aku beralih duduk di sampingnya. Mama terdiam setelah membaca surat itu. Aku pun tak berani membuka suara.
“Kamu berangkat tanggal berapa, Ra?” ucap mama tiba-tiba dan membuatku sumringah.
“Mama ngizinin Rara?” tanyaku bersemangat. Mama pun mengangguk. Aku segera memeluknya erat. Hatiku plong rasanya.
“Tapi kamu harus janji untuk terus-terusan kasih kabar ke mama. Anak perempuan mama cuma kamu. Mama nggak mau terjadi apa-apa sama kamu. Mama juga harus minta nomor teman-teman kamu yang lain sekalian sama nomor pemimpin lembaga itu.
                                                                        *****

Besok aku akan berangkat ke Irian Jaya. Semua barang-barang yang kubutuhkan sudah kupersiapkan dengan matang. Siang ini keluargaku mengajakku makan diluar, yah mungkin untuk melepas kepergianku karena aku baru akan pulang selama satu tahun lagi. Mama terus saja berada di dekatku, memperhatikanku, seolah-olah aku akan meninggalkan dia untuk selamanya. Sementara ayah dan kedua kakakku bersikap biasa saja. Mereka sudah tahu dan bisa menerima kepergianku seperti ini. Hanya saja mereka selalu berpesan agar aku selalu menjaga diri baik-bik di tanah orang.
“Pa, bukan tanah orang… tanah kita Pa” ujarku membetulkan kalimat papa dan papapun mengangguk membenarkan ucapanku. Setelah selesai makan siang bersama aku tidak langsung pulang bersama keluargaku. Rissa dan Dita sahabat baikku selama kuliah kuajak bertemu. Pasti rasanya akan rindu sekali jika tidak bertemu dengan mereka berdua selama satu tahun.
“Lo bener-bener ajib banget ya… orang mah habis lulus kerja kek atau ngelanjutin kuliah S2, eh lo malah jadi relawan untuk ngajar ke pelosok-pelosok sana.” Rissa membuka percakapan sambil menyeruput capucinonya. Sebulan setelah lulus dia langsung diterima bekerja di bank swasta. Penampilan dan dandanannya sudah banyak berubah.
“ye… ini gue juga kerja kali… kerja hati… hahahaha ya udahlah lo berdua doain aja biar di san ague lancar, aman, dan damai. Hehehe” ujarku berceloteh.
“Iya.. kami berdua pasti ngedoain lo kok. Btw  besok berangkat jam berapa? Besok gue ada panggilan interview jadi kayanya nggak bisa ikut deh. Maaf banget ya Ra” ucap Dita sambil menjabat tanganku.
“Iya nggak apa-apa. Gue ngerti kok, Lo berdua udah pada sibuk sekarang. Makanya gue ngajakin ketemuannya sekarang. Besok gue berangkat jam 7. Transit dulu di Sulawesi. Gabung sama relawan yang dari sana.” Jelasku panjang lebar.
“Ra, gue mau tanya dong, tujuan lo ikut itu apa sih? Sayang waktu Lo terbuang kali… nanti balik dari di sana orang-orang mah udah pada jadi apa… eh lo baru ribed nyari kerjaan lagi” tanya Rissa. Sesaat aku terdiam berusaha mengolah kalimat dalam otak agar jawabanku tepat dan sesuai.
“Justru gue nggak buang-buang waktu kali… gue memanfaatkan waktu Ris… untuk mencapai kesuksesan, terkadang kita perlu menunda kesuksesan lainnya. Nah, gue sudah memikirkan ini secara matang. Gue ingin berbuat sesuatu… yang intinya sih kesuksesan juga… tapi kesuksesan untuk gue dan orang banyak. Yah kita lihat nanti deh, mungkin hasilnya tidak akan tampak pada setahun kemudian… tapi pasti suatu saat nanti kesuksesan itu aka nada dan semoga berlangsung terus menerus” ujarku sedikit berfilosofi. Entah Rissa mengerti jawabanku atau tidak tapi itu memang yang ada dalam pikiranku.
                                                *********
Kini aku sudah berada di Sulawesi untuk bertemu dengan relawan yang lain. Mama tadi  mengantar kepergianku dengan beruarai air mata. Aku membalasnya dengan pelukan hangat dan senyuman terbaik yang aku punya. Inilah pilihanku dan hatiku terasa senang.
“Ra… ikut briefing dulu sebentar” ujar Bu Wilda membuyarkan lamunanku. Aku pun beranjak dan bergabung dengan relawan lainnya. Bu Wilda memberikan penjelasan tentang persiapan kedatangan kami ke Irian Jaya. Kami, para relawan terdiri dari enam orang untuk ditempatkan di setiap desa. Aku sekelompok dengan Rio, Dedik, Mawar, Gea, dan Rusna. Mereka berasal dari Jakarta jua, sama seperti aku. Tapi, rata-rata umur mereka dua tahun lebih tua di atasku sehingga aku pun memanggil mereka semua dengan sebutan kakak.
Setibanya di Irian Jaya, kami disambut oleh Wakil bupati di daerah tersebut. Kami pun langsung didistribusikan ke berbagai desa terpencil di Irian Jaya. Perjalanan menggunakan jalur darat dan laut telah kami tempuh. Hingga akhirnya kami sampai pada malam hari di sebuah desa terpencil yang tanahnya sedikit kering. Mungkin karena sedang musim kemarau. Desa tersebut hanya terdiri dari beberapa rumah dengan bilik kayu. Tanpa lantai dan banyak sekali hewan berkeliaran.
“Kalian akan tinggal di sini, maaf beta tidak bisa bantu banyak” Ujar Pak Geo selaku pemimpin selama perjalanan kami ke desa ini, sembari mempersilakan kami masuk di sebuah gubuk berukuran 4x5 meter.
“Oh terima kasih Pak. Ini sudah lebih dari cukup bagi kami.” Ujar Kak Rio dan beberapa jam kemudian pun Pak Geo pamit. Besok beliau akan menunjukkan sekolah yang akan kami ajar. Sungguh aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan anak-anak besok.Kak Rio selaku ketua kami pun mulai membagi bagian-bagian kamar dengan alat seadanya (tali raffia dan sarung) karena memang dalam ruangan ini tidak terdapat sekat sama sekali kecuali untuk kamar mandi. Karena perjalanan yang cukup melelahkan akupun tertidur pulas hingga lupa memberikan kabar kepada keluargaku di Jakarta.
                                                            *********
Ini hari pertama aku mengajar di sini. Sungguh rasanya aku ingin menangis melihat anak-anak ini bersekolah tanpa berseragam, tanpa alas kaki. Tetapi, mereka semangat mendengarkan  pelajaran yang kuberikan. Aku mendapat bagian mengajar bahasa Indonesia untuk anak-anak SMA kelas 3. Tidak seperti kebanyakan pengajar yang mengajar disebuah ruangan tertutup. Di tempat ini aku mengajar di tempat terbuka. Bukan karena ini sekolah alam, hanya saja ruang kelas di sekolah ini digunakan secara bergantian. Hanya karena anak kelas tiganya terdiri dari 4 orang, mereka harus mengalah tidak menggunakan ruangan kelas kecuali saat ujian saja.
Kak Rusna dan kak Gea bertugas mengajar kelas satu dan dua yang jumlah muridnya sedikit lebih banyak sekitar 12-15 orang. Sedangkan Kak Rio, Kak Dedik, dan Kak Mawar bertugas untuk mengadakan sosialisasi dan pendistribusian buku pelajaran yang kami bawa dari Jakarta. Tapi, entah kenapa aku sangat heran melihat sekolah ini karena sepenglihatan mata, hanya terdapat dua orang guru berseragam. Sepertinya sekolah ini hanya memiliki dua guru itu saja. Kejadian ini mengingatkanku saat KKN di Jawa Timur dulu.
“Kak, kakak sampai kapan mengajar kami di sini?” tanya Moru muridku yang kulihat paling aktif bertanya saat pelajaran tadi.
“selama satu tahun” jawabku sambil tersenyum. Kami berjalan beriringan. Sesaat kemudian Moru berteriak ke arah teman-temannya.
“kakak ini akan sama-sama kita….” Teriaknya kepada teman-temannya yang ada dibelakang. Teman-temannya pun bersorak gembira. Aku hanya tersenyum melihat ekspresi mereka. Perjalananku baru dimulai..
                                                ********
“kamu nanyanya kaya lagi investigasi aja Ra?” tanya kak Rio, saat aku menanykan mengenai jumlah guru di sekolah yang kami ajar.
“Habis aku penasaran kak. Memangnya tidak ada penyaluran guru dari pemerintah ya? Selama ini mereka belajar bergantian menunggu guru dan menunggu kelas. Setahu aku pns bukannya banyak ya?” tanyaku polos.
“Sebenarnya pemerintah sudah mengupayakan itu Ra… memang jumlah Guru PNS banyak. Terlebih saat ada lowongan PNS guru sudah banyak yang mendaftar. Tapi ya itu tadi… setelah mereka tahu bahwa mereka ditempatkan di daerah pelosok mereka mengurunkan niatnya. Yah, itulah…” Belum sempat Kak Rio meneruskan kata-katanya kak Gea sudah menyahut.
“berarti yang salah ya pribadinya Ra… nyalinya ciut…”
“Betul-betul-betul” Jawabku menirukan gaya upin dan ipin. “Eh kak, ngerasa nggak sih, kalau anak-anak di sini itu pintar sekali. Aku kasih tahu sekali aja langsung paham. Udah gitu semangatnya itu loh… kalah deh semangat belajarku saat kuliah.” Ujarku bercerita mengingat siang tadi saat aku belajar dengan Moru dan kawan-kawannya.
“Nah… kamu sudah tahu itu, kamu juga harus memotivasi mereka Ra… agar mereka tidak hanya berhenti di SMA dan bekerja menjadi buruh. Pacu terus semangat mereka untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi Ra… ingat tugas kita di sini. Kita tidak hanya mengajar saja. Kita juga harus membangun mimpi dan harapan mereka dan membantu mewujudkannya. Tidak usah memikirkan masalah biaya… yang penting mereka pintar dan terpacu untuk melanjutkan pendidikan.” Ujar Kak Rio berapi-api dan membuat hatiku berkobar.
“Sipp Kak… ayo kita bersama-sama membangun ini semua” ujarku sambil tersenyum dan berekspresi gaya “merdeka”. Kak Rio dan kakak yang lainnya tertawa melihat aksiku.
                                                ***********
“Kalian habis lulus nanti mau melanjutkan ke mana?” tanyaku suatu hari saat berjalan-jalan bersama murid-muridku tercinta.
“Beta mau bantu keluarga cari uang Kak.” Ucap Maria sambil tersenyum
“Kalau beta mau  jadi pemain bola kak” Ucap Theo
“Beta tak tahu jadi apa kak? Beta jadi seperti ini saja” Verra menjawab tak bergairah.
“Beta mau jadi seperti kakak” Moru berteriak sambil tersenyum ke arahku. Langkahku terhenti seketika. Kuputuskan untuk duduk di bawah pohon sambil mengajak mereka berempat duduk bersama-sama.
“Maria,  kamu mau cari uang dengan cara apa? Bekerja? Menjadi apa? Tanyaku antusias. Sesaat Maria terdiam mungkin tidak tahu harus berbuat apa. “Theo mau jadi pemain bola? Hmm… kalau kamu benar-benar giat berlatih dan kalao memang permainanmu sangat bagus sekali… kakak akan bantu kamu untuk bergabung menjadi pemain bola.” Jawabku.
“Kakak tidak bohong?” Theo berapi-api dan aku pun menggeleng. Setahuku Theo memang gemar sekali bermain bola. Permainannya juga sangat bagus, terlebih ia mampu mengalahkan kak Rio dan kak Dedik beberapa minggu yang lalu. Di daerah ini masih banyak tanah lapang sehingga mereka bisa saja main bola dengan baik karena memang alam sudah menyediakannya. Tidak seperti di Jakarta, bermain bola saja harusmenyewa tempat.
“Vera mau jadi seperti ini saja? Memangnya Vera tidak punya mimpi? Vera jangan kalah dengan teman-teman yang lain. Mumpung bermimpi itu gratis atau tidak bayar. Bermimpilah Ver, tapi jangan lupa untuk mewujudkannya.” Jelasku dan Vera pun terdiam.
“Kak, sebenarnya Vera ingin sekali menjadi dokter. Tapi, kata mamak vera nggak boleh mimpi aneh-aneh yang tidak akan terjadi.” Jelas Vera sedih dan menunduk.
“Wah itu keren banget lho… Vera nanti bisa bantu menyembuhkan orang-orang yang sakit. Kenapa mamak bilang tidak boleh? Apa karena tidak ada biaya?” tanyaku mencari tahu. Vera pun mengangguk.
“Tenang, Vera tidak usah takut memikirkan biaya. Yang penting vera benar-benar belajar yang rajin dan mau melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi untuk menjadi dokter saja itu sudah cukup. Masalah biaya nanti dibantu sama lembaga kakak.” Jelasku
“Kalau beta bagaimana? Tanya Moru tak mau kalah.
“Moru juga harus belajar yang rajin. Moru kan mau menjadi guru… berarti nanti melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negri yang khusus kependidikan. Memang Moru mau menjadi guru apa?” tanyaku antusias.
“Moru mau jadi guru bahasa Indonesia kak…” jawab Morum sumringah dan akupun tersenyum.
“Nah itu bagus… untuk Moru dan Vera … kakak berharap sekali kalian bisa mewujudkan mimpi kalian. Kakak yakin kalian bisa lulus ujian nasional tahun ini dan kakak sangat berharap kalian mau ikut ujian seleksi masuk perguruan tinggi negri. Kalau kalian bisa lulus itu, percaya sama kakak… itu adalah kunci gerbang kesuksesan kalian. Kalian tidak perlu memikirkan biaya. Ingat Tuhan kita kaya, tidak usah takut kekurangan, pasti nanti Tuhan mau membantu siapa saja yang mau terus berusaha dan tidak mengenal putus asa. Sedangkan untuk Theo, kamu kan mau jadi pemain bola… sebenarnya kakak sih mau ngasih kejutan buat kamu. Tapi kakak sudah tidak sabar untuk memberitahunya. Kak Rio, kemarin ke kota… ia mendaftarkan kamu untuk ikut klub bola. Tapi, kamu harus lulus ujian nasional dulu…” ujarku perlahan tetapi Theo malah berteriak senang dan kegirangan.
“Lalu Beta bagaimana kak?” tanya Maria sedikit ragu ke arahku. Aku mendekapnya perlahan. “Maria… kamu tuh pintar, sayang kalau habis lulus SMA ini kamu langsung bekerja. Memangnya kamu tidak ingin melanjutkan pendidikan dulu ke perguruan tinggi. Nanti di sana kamu bisa bertmu dengan berbagai macam orang sehingga bisa memperluas wawasan kamu. Ingat dunia ini luas loh… masa kamu tidak ingin menginjakkan kaki di tempat lain selain di desa ini? Ini berlaku untuk Theo, Moru, dan vera juga ya. Kalian ini masih muda. Masih panjang perjalanan kalian. Yang penting kalian punya niat yang kuat, usaha yang tak kenal memnyerah, dan berdoa tanpa henti saja Tuhan pasti bersama kalian. Jelasku panjang lebar membuat mereka berempat terdiam. Terlihat gairah masa depan pada mata bening mereka. Ah… anak-anak polos dan pintar ini memang layak untuk diperjuangkan.
“Kak, beta mau melanjutkan pendidikan. Beta akan ikut saran kakak…beta bersemangat kak, mungkin nanti beta akan mengambil kuliah yang berhubungan dengan tanah dan pertanian.” Ujar Maria bersemangat dan aku pun tersenyum mendengar penjelasannya.
                                                            *******
Sudah hampir setahun aku di sini, tak terasa dua minggu lagi kami akan kembali ke Jakarta. Keluargaku terutama mama sudah tak sabar menemuiku. Mama sudah rindu sekali denganku sehingga setiap hari menjelang kepulanganku mama selalu menghubungiku dan menceritakan persiapannya menyambut kepulanganku. Aku memang rindu sekali dengan mama, makanya aku senang dan sudah tidak sabar untuk pulang ke rumah. Tapi, disisi lain aku juga sedih karena aku tidak bisa menunggui Moru, Vera, Maria, dan Theo untuk menghadapi ujian Nasional 3 minggu lagi.
“Kakak, tenang saja… kami pasti mampu menyelesaikan soal ujian nasional dengan baik. Kan kakak selama ini yang mengajari kami. Kakak harus percaya kepada kami. Nanti kalau pengumuman ujian nasional sudah keluar kami akan kabari kakak lewat pos.” Jelas Moru ketika aku mengucapkan salam perpisahan. Aku senang semakin lama mereka semakin optimis. Mereka tidak takut menghadapi ujian saja aku sudah senang. Air mataku menetes saat mereka menyalamiku satu persatu. Mereka pun menangis. Mereka sudah kuanggap sebagai adik sendiri.
Sebelum aku meninggalkan mereka, aku memberikan uang yang kuamplopi. Uang tersebut kuberikan satu persatu kepada mereka. Sesaat mereka mengembalikan amplop itu kepadaku.
“Lho kenapa dikembalikan ke kakak? Tanyaku bingung.
“Kakak sudah memberi kami banyak hal, ilmu, saran, wawasa, cinta, kasih sayang dan masih banyak lagi. Itu sudah cukup buat kami kakak.” Ujar Moru sambil menangis.
“iya Moru benar” Maria menyahut dan ikut menangis juga. Theo dan Vera pun demikian.
“Kakak, memberikan uang ini untuk kalian pergunakan untuk mendaftar seleksi penerimaan mahasiswa baru nanti. Sedangkan untu Theo untuk bekal selama tinggal di kota nanti. Kalau kalian menolaknya kakak akan sedih sekali. Kakak hanya minta satu hal kepada kalian semua… wujudkan cita-cita kalian. Itu saja” jelasku masih menangis dan akhirnya memeluk mereka berempat.

                                                                        *****
Akhirnya aku kembali ke Jakarta, mama menyambut kedatanganku dengan sukacita. Setahun berjalan begitu cepat. Tapi keadaan keluargu tidak banyak yang berubah. Hanya saja beberapa minggu lagi aku harus sudah bersiap untuk menepati janjiku bekerja di perusahaan papa. Sebagai pekerja kantoran tentunya. Selama beberapa hari kepulanganku, mama menemaniku tidur. Kami bercerita banyak hal, dan tentu saja aku menceritakan keempat murid-muridku yang super hebat dan jenius.
Waktu terus bergulir hingga tak terasa sudah tiga bulan setelah kepulanganku dari Irian Jaya. Aku sudah tidak sabar mengetahui hasil Ujian Nasional mereka. Kak Rio menghubungiku siang tadi dan memberi kabar bahwa mereka berempat lulus ujian nasional. Aku senang bukan kepalang tak lupa bersujud dan bersyukur atas keberkahan yang diberikan Tuhan untuk mereka semua. Moru, Vera, dan Maria menepati janjinya untuk mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negri. Dulu aku sempat memberikan nasihat kepada mereka agar memilih PTN di luar Irian Jaya agar mereka bisa mengenal, mempelajari daerah yang lain serta memperluas wawasan. Entah mereka akan mengikuti saranku atau tidak yang pasti mendengar mereka ikut seleksi ujian saja aku sudah senang dan bahagia.
                                                            ******
Sudah hampir empat tahun aku sibuk pada pekerjaanku di perusahaan papa, entah kenapa aku tiba-tiba rindu sekali kepada Moru, Vera, Theo, dan Maria. Aku benar-benar kehilangan kabar mereka berempat. Kabar terakhir yang kuketahui Maria, Vera, dan Moru diterima berkuliah tapi aku sendiri tak tahu tempatnya di mana. Ketika kutanyakan kepada Kak Rio, dia bilang sudah kehilangan kontak dengan Pak Gio di sana. Aku kini hanya bisa memandangi foto bersama mereka. Semoga kalian sukses semua. Amien.
“Rara… Dandra sudah menjemput kamu tuh. Kamu sudah siap belum?” Teriak mama dan membuyarkan lamunanku. Ini aktivitasku sekarang, bekerja dan bekerja.
“Iya Ma… suruh tunggu sebentar” Jawabku sedikit berteriak. Bergegas aku mengambil tas kerjaku dan berjalan ke luar kamar. Dandra di ruang tamu Ma? Tanyaku sambil mencium kening mama.
“Iya… Ra…Oh iya… tadi malam pas kamu sudah tidur ada yang telepon cari kamu. Namnya kalau nggak sama Vera siapa gitu. Mama bilang saja kamu sudah tidur.” Ujar mama sambil memberiku segelas susu.
“Vera ma? Beneran… ya ampun itu murid Rara yang waktu di Irian Jaya dulu” ucapku bersemangat.
“Mungkin iya Ra,soalnya logatnya juga beda… mungkin nanti dia telepon lagi. Nanti mama kasih no hp kamu aja ya” jelas mama dan aku pun mengangguk girang. Bergegas aku menemui Dandra, tunanganku.
“Eh, Dan… Vera kata mama telepon aku tadi malam. Aku udah kangen berat sama mereka. Wahhh aku seneng banget hari ini. Padahal baru aja tadi aku mikirin mereka.” Jelasku dan Dandra pun tersenyum.
“Wah… semoga aja ya, kamu bisa ketemu mereka lagi” Ujar Dandra sambil mengajakku ke luar rumah. Baru saja aku menjawab “amien” kini di depanku dua perempuan berambut kriting tersenyum sambil menatapku.
“Kakak…” ujar mereka sambil langsung memeluku. Vera dan Maria. Akupun membalas pelukan mereka hangat. “Kami akhirnya bertemu kakak juga. Kami rindu sekali” ujar Maria sambil menatapku. Empat tahun tidak bertemu sudah banyak perubahan yang terjadi pada dua gadis hitam manis ini.
“Kok bisa sampai sini? Ayo masuk-masuk” ujarku sambil menyegerakan mereka masuk. Akupun memanggil mama dan segera memperkenalkan mereka berdua kepada mama dan Dandra. Dandra pun mengetahui bahwa aku pasti tidak akan masuk kerja hari ini segera pamit dan membiarkan aku bernostalgia bersama murid-muridku. Vera dan Maria bercerita bahwa selama empat tahun ini mereka mengenyam pendidikan di universitas negri. Vera mengambil pendidikan dokternya di Universitas Airlanggan sementara Maria mengambil pendidikan Ilmu pertanian di IPB. Betapa kagetnya aku karena tak berapa lama kemudian seorang lelaki berperawakan tinggi datang dihadapanku. Moru. Ia kini bertambah tinggi. Ia bercerita bahwa dirinya telah selesai menempuh pendidikan keguruan di Bandung. Merka sengaja tak memberitahuku bahwa selama ini mereka berada di Jawa karena mereka ingin menunjukkan keberhasilan yang sudah mereka dapatkan. Sungguh tak ada sia-sia. Mama yang semenjak tadi menyaksikan nostalgia kami ikut meneteskan air mata.
“Theo bagaimana? Tanyaku karena kini hanya dia yang belum kuketahui kabarnya/ Bergegas Moru mengelurakan ponselnya dan memperlihatkan foto Theo yang mengenakan seragam sepak bola. “Minggu depan dia ada pertandingan di Jakarta Kak, semoga kakak bisa melihat bersama dengan kita.” Ujar Moru membuat air mataku tak berhenti menangis.


                                                                                    Untuk murid-muridku tercinta
                                                                                    Depok, 10 September 2011






Selasa, 11 Oktober 2011

Ini hari pertama saya menangis di bulan oktober.




Hahaha saya sengaja memulai ini dengan tawa saya. Tawa yang saya paksakan karena saya takut kesetrum bila tetesan air mata saya menetes ke komputer mungil ini. Seharusnya saya menuliskan kebahagian-kebahagiaan yang saya alami beberapa hari belakangan ini. Tapi nyatanya, rasa sedih, dendam, kesal, gondok dan eneg yang menguasai hati dan pikiran saya kali ini. Ya namanya juga manusia.
 Ada kalanya bahagia dan ada kalanya sedih. Entah kenapa tanggal 10 bulan 10 tapi tahun 2011 ini hari saya diisi dengan kesedihan yang teramat sangat. Semenjak pagi saya telah dikuasai oleh rasa iri, ditambah kejadian siang hari membuat saya kesal, marah, jengah, dongkol, dan sebagainya persaan yang dapat dengan mudahnya dipengaruhi oleh musuh –musuh nabi dan malaikat. Setan. Dan semuanya membuncah ketika menjelang isya. Padahal saya sudah menutupinya dengan memaksakan bersikap ceria dan sebiasa mungkin . Tapi, hati memang tidak pernah dan tidak akan berbohong, toh selepas salat Isya saya menangis juga. Saya tahan rasa tangis itu dengan suara sepelan mungkin agar tidak ada satupun orang yang mendengar. Saya hanya butuh di dengarkan oleh tiga, Dzat, serta malaikat raqib dan atid yang selama ini setia berada di dekat saya bahkan di mana pun saya berada. Entahlah, mungkin karena tidak ada yang bisa saya ajak untuk berbagi atau memang tidak ada yang mau berbagi kesedihan dan pengalaman menyebalkan hari ini dengan saya, maka saya menorehkannya dalam sebuah tulisan ini.
 Saya sudah mencoba apa yang dilakukan seseorang untuk mengurahi rasa marah, dendam, dongkol, kecewa, sakit hati atau apapun itu namanya dengan berbagai cara. Dari duduk berbaring hingga saya tengkurap tetap saja saya merasa kesal. Bahkan air wudhu pun rasanya sulit untuk mengahpus semua penyakit hati itu. Ya mungkin ini satu-satunya cara yang bisa meredam kemarahan saya. Menulis.  Kalau boleh jujur saya juga membutuhkan manusia untuk saya ajak berbagi. Tapi kok, beberapa teman bahkan sahabat terdekat saya sepertinya sedang tidak mempunyai waktu untuk sekadar mendengar atau meredam sedikit saja amarah saya. Apa selama ini saya kurang mendengarkan orang lain? Atau memang saya tidak peduli dengan urusan orang lain? Atau memang… ah saya pun tidak tahu, prasangka-prasangka yang mungkin buruk ini meluncur begitu saja dalam ketikan-ketikan saya tulis di sini.
Saya butuh didengarkan dan saya butuh dipahami. Salah. Lebih tepatnya saya butuh dihibur. Saya merasa selama ini, atau selama hidup saya saya senang menghibur  orang lain. Saya senang membuat orang lain tertawa melihat tingkah laku saya, saya bahagia ketika orang mendengarkan cerita-cerita saya. Tapi ketika saya sedih seperti ini sepertinya tidak ada yang mau mendengarkan saya. Saya terlihat putus asa sekali hari ini. Sangat putus asa. Tapi untunglah keputusasaan ini tidak lantas membuntukan pikiran saya untuk melakukan hal-hal negative. Yang saya rasakan setelah menulis ini adalah sedikit kelegaan dan  maaf saya jadi sedikit lapar. Air mata saya masih menetes ini tapi setidaknya saya masih bisa tersenyum. Dan untungnya tidak dipaksakan. Hahahahahahah saya lega… lega…
Meskipun kelegaan ini hanya sedikit tapi semoga saja nanti bisa lega beneran karena habis ini saya akan tertidur dan melupakan kejadian hari ini. Kejadian dari pagi hinggan siang, dan lebih diperparah ketika sore hari seperti tadi. Saya jadi tidak suka dengan hari ini. Keadaan hari ini membuat saya bertengkar dengan sahabat saya, membuat saya salah paham, dan tentu saja membuat emosi saya semakin memuncak.  Jujur saya katakana, saat ini saya sedang bingung. Bersyukurlah kalian semua yang memiliki orang-orang terkasih untuk berbagi. Saya? Saya hanya membagi ini kepada blog saya tercinta. Blog saya yang sudah saya tinggalkan semenjak hampir dua minggu. Padahal saya janji akan menghadirkan kisah-kisah indah setelah saya kembali dari perjalanan singkat kemarin (SURABAYA-TUMPANG-MALANG) saya masih menyimpan beberapa cerita bahagia, dan berencan untuk menulis artikel yang menurut saya uniq dan pantas untuk saya bahas. Tapi entah kenapa, cerita ini justru dimulai dengan kesedihan saya. Kesediah yang saya anggap tiada tara. Karena benar-benar membuat saya sedih dan kecewa. Terlebih sumber terbesar dari masalah ini adalah KOMUNIKASI. Huahhhhhhh saya baru saja membuang napas perlahan. Saya jadi flu. Gara-gara menagis, mata saya jadi sempat. Saya menyesal telah berlaku dan bersikap tidak menyenangkan terhadap orang-orang yang hari ini menghubungi saya. Terutama untuk mama saya. Maaf ya ma, tadi nggak bermaksud menjawab dengan jutek, judes, dan galak. Mama hanyalah orang tidak bersalah yang mendapat imas dari kekecewaan saya dari pagi hingga sore ini. Tapi, entah mengapa saya yakin mama saya akan pahm dan mengerti. Semoga saja.
Saya tidak suka hari ini. Benar-benar tidak suka. Hari ini adalah hari saat saya dikecewakan manusia-manusia yang tidak berprikemanusiaan. Tidak sesuai dengan pengamalan pancasila terutama sila ke dua. Hahahahahaha saya malah membahas ini terlalu jauh. Tapi saya suka. Karena dengan begini saya bisa berhenti menagis. Dengan melakukan ini saya bisa senyum-senyum sendiri. Dan entah mengapa dengan begini saya yakin, yakin, seyakin-yakinnya bahwa kedua malaikat di kanan dan kiri saya mengangguk tersenyum. Biarkan saya menghayal dan biarkan saya mempercayai hayalan saya itu. Dengan itulah saya bisa sedikit demi sedikit tidak terlalu banyak membenci hari ini. PAYAH! Tapi saya suka kepayahan ini