Senin, 31 Desember 2012

Resolusi di 2013

31 Desember 2012

Kuhabiskan di pagi hari dengan menyapu dan mengepel lantai,

Menuju rumah Rissa, sahabat

Lalu kami menikmati mengisi mimpi

Untuk tahun 2013 dan 5 tahun yang akan datang (semoga masih diberi kesempatan)

Menjelma seperti aisyah

Menuju Rumah Tuhan, di dunia

Sendagurau langkah bersama kawan setiap masa

Membeli yang hidup untuk dimatikan

Mengumpulkan koin kehidupan

Bersama menyantap dengan salah seorang induk

Memiliki dan menguasi ciptaan dari ciptaan yang tak abadi

Menaklukan hasrat egois yang tak terkendali

Menorehkan goresan yang abadi di dunia lainnya

Memiliki hasil cetak dari pikiran yang ditinggikan

Dan pada masanya kembali pada Nya. Sang penguasa yang berkuasa atas segala kehendak jiwa raga dan juga seluruh dunia beserta isinya

Ditorehkan di situ tempat pitung mampir hidup.

Ditandatangani kami berdua

Rissa dabn Reisa

Saling bertukar dan mengaminkan ^_^

Sampai berjumpa di 2013

Bahagia milik kita

Published with Blogger-droid v2.0.4

Kamis, 27 Desember 2012

kisah adikku

Kisah kamis: Untuk monyet beli pisang


Jam 9 pagi tadi aku dan adikku (usia 4 tahun) baru pulang dari pasar tradisional. aku mengajarinya untuk mengenal proses jual beli yang sesungguhnya. Tidak seperti proses jual beli seperti yang terjadi di pasar modern (swalayan) yang segalanya membeli dan melayani diri sendiri, di pasar tradisional ini aku mengajarkannya untuk berinteraksi langsung dengan penjual melalui proses tawar menawar. Sesekali aku juga memperkenalkan beberapa jenis uang padanya.


" yang ini Rp5000, ini bisa untuk beli pisang" sambil menunjukkan uang bergambar Pangeran Diponegoro kepadanya.


"Kalau yang ini Rp1000, ini bisa buat beli permen" jelasku sederhana. Adikku sangat antusias sekali dan dia pun langsung mempraktekannya. Saat berhenti di tukang buah dengan sengaja aku menyuruhnya untuk membeli pisang, dengan semangat ia menyerahkan uang Rp5000 pada bapak penjual pisang langgananku. Adiku terlihat senang, terlebih beberapa pedagang menyapanya dan menayakan dirinya.


Di usia 4 tahun, dia memang lebih kritis, ingin tahu banyak hal dan senang bercerita apa saja yang dilihatnya. Ilmu yang kuajarkan tadi pagi di pasar ternyata langsung dipraktekannya siang ini. Ya... siang ini.


Jam 11 siang tadi, ada segrombolan orang yang mengamen dengan bantuan seekor monyet yang biasa dikenal dengan sebutan topeng monyet. Adikku yang sangat senang sekali dengan hewan bergegas menghampiriku bermaksud mengajakku melihat pertunjukan itu yang kebetulan berada di depan rumah.

Dengan bergegas akupun mengiyakannya setelah sebelumnya aku mengambil uang seribuan. Belum sempat aku keluar pintu rumah, adikku mendorongku masuk ke dalam. Tidak mengizinkanku ke luar.


"Lho katanya mau lihat topeng monyet? Tanyaku merayunya


"Uangnya kulang kakak, nanti monyetnya nggak bisa beli pisang" ujarnya sambil menunjuk uang seribu yang aku genggam.

Seketika aku terdiam mencerna kata-kata dan pikirannya. Sejauh itukah pikirannya?


"Ayo kakak, uangnya kasih yang gambal pangelan" ujarnya sambil menarik lenganku. Aku tersenyum dengan ucapan adikku meski sampai saat ini ia belum bisa mengucap huruf R.

Bergegas aku mengambil dompetku dan mengeluarkan uang bergambar Pangeran Diponegoro.


"Nih.." ujarku menyerahkan uang itu padanya. Dia senang sekali.


"Monyetnya bisa makan pisang deh." Ujarnya lalu mengajakku ke luar.


"Dek, pisangnya adek kasih satu gih buat monyetnya. Buat monyetnya makan habis ini" tawarku


"Iya... nanti uangnya buat monyet beli pisang besok pagi ya, sekalang monyetnya makan pisang punya Chia." Jelasnya sambil mengambil sebuah pisang di atas meja.


Kami pun menonton pertunjukann meski terbilang sudah terlambat karena lima menit kemudian pertunjukan itu usai. Dan disaat terakhir, sang pengamen pun mengitari penonton untuk meminta saweran.


"Abang ini buat beli pisang monyetnya ya" ujar adikku sambil menyerahkan uang bergambar Pangeran Diponegoro.


"Monyet... ini buat kamu" ujar adikku lagi sambil menyerahkan sebuah pisang ambon pada sang monyet. Monyetpun langsung melahapnya


"Kakak, monyetnya makan pisang chia" ujar adikku sambil tersenyum dan menunjuk ke arah sang monyet yang langsung melahap habis pisang yang baru diberikan.


"Dek, monyetnya mau main lagi, mau lihat nggak?" Ujar abang-abang yang tadi menarik saweran ke arah adikku. Adikku pun bersorak senang. Sang abang sepertinya tahu kalau aku dan adikku menonton pertunjukannya tadi telat. Beruntungnya adikku


-RD-


Published with Blogger-droid v2.0.4

Rabu, 26 Desember 2012

Ucapan dan Doa untuk yang kehilangan umur

Ucapan selamat dan doakan


Ulang tahun ya... hmmm moment itu mungkin ada yang senantiasa menunggu dan mungkin juga ada yang menghindar. Yang menunggu biasanya ingin sekali mendapatkan ucapan di hari kelahirannya. Apalagi kalau memang bener-bener berharap dapat ucapkan atau dapat hadiah dari orang spesial. Ciee...


Tapi ada juga loh, orang yang menutup atau menyembunyikan hari kelahirannya. Alasannya juga macem-macem. Dari yang males umurnya diketahui orang sampai yang males nraktir-nraktir karena jadi kebiasaan yang ulang tahun yang traktir. Hahaha (kalau orang luar mah yang kebiasaannya enak, yang ulamg tahun yang ditraktir)


Terlepas dari itu semua, ada yang ingin lebih dijadikan fokus utama dalam pembahasan kali ini. Saya lebih suka membahas tentang ucapan selamat bagi yang berulang tahun. Biasanya kalau di fb ada pemberitahuan tentang siapa yang berulang tahun hari ini. Sangking banyaknya teman sampai-sampai kadang kita bertanya-tanya kenal apa enggak sama orang itu. Yang males dan emang ngerasa nggak kenal terkadang tidak mengucapkan, kalau yang sebatas kenal paling juga ngucapinnya sebatas ucapan selamat "HBD yaa" dan ada juga yang kenal dan memang berniat memberikan selamat dan doa. Kamu termasuk orang yang mana?


Alhamdulillah semoga nggak termasuk ketiganya, lho?

Iya... maksudnya semoga termasuk orang yang kaya gini: kenal nggak kenal (tapi kalau emang temenan di fb)  ikut ucapkan selamat dan turut mendoakan dihari kelahirannya. Itu sederhana tahu, tapi efeknya... beuh... ruarrr biassaaa. Kita belajar berbagi kebahagiaan dengan orang lain lewat doa kita yang kita haturkan untuk dia, dan siapa tahu saja malah mempererat tali silahturahmi yang tadinya nggak kenal jadi kenal dan masih banyak lagi.


Meski... sebenarnya terkadang ucapan itu layaknya dihaturkan untuk Ibu yang melahirkan dia. Bukan hanya dia saja. Kan yang biasa mendapat ucapan selamat waktu seorang bayi dilahirkan adalah ibunya. Namun semua berangsur-angsur bergeser dan ucapan selamat beralih ke diri anak itu.


Oh iya... saya juga terkadang menyampaikan ucapan selamat dengan ucapan yang berbeda semisal ucapan "turut berduka cita, atas kehilangan umur... " lah iya... umur kita kan memang bertambah, tapi secara real kesempatan hidup kita berkurang. Catat... jadi semakin dekat kita dengan ajal semakin banyak yang harus kita persiapkan


Dunia hanya pemberhentian sementara. Akhiratlah tempat abadi selamanya. Dan apa salahnya kita mendoakan yang baik-baik untuk sahabat,keluarga,saudara, dan teman yang kehilangan umurnya?


Semua itu hanya pemikiran saya. Pemikiran sederhana yang mengganjal dipikiran

Alhmdulillah terlampiaskan ^_^


Published with Blogger-droid v2.0.4

Jumat, 21 Desember 2012

Rapot Mama

Kisah jumat ini: Rapot mama
“kamu tuh gimana sih… masa matematika dapet 6” Seorang Ibu berjalan ke luar dari gedung sekolah dasar di daerah pinggiran Jakarta. Air mukanya merah entah karena panas matahari pagi atau karena sebuah buku bersampul merah yang sedang ditentengnya itu.

“Tapi kan nilai olahragaku bagus ma dapat 9.” Ujar sang anak berseragam merah putih tak mau kalah. Kini mata mereka beradu. Lalu tiba-tiba sang anak tertunduk. Mereka berjalan di depanku. Paham sekali rasanya berada di posisi anak itu. Aku hanya bisa membuang napasku perlahan. Matematika… ya…

Kami akhirnya satu angkutan. Supir angkot rasanya enggan hanya membawa tiga orang penumpang. Sang supir lebih memilih menunggu penumpang penuh. Dan aku bersiap melihat adegan demi adegan antara Ibu dan anak tadi.

“Nggak usah main PS lagi. Liburan ini pokoknya kamu belajar. Kamukan udah kelas 6. Mau nanti nggak lulus?” Ucapan Sang Ibu kini sedikit dipelankan. Sang anak tetap saja terdiam. Matanya beralih ke kaca melihat lalu lalang kendaraan. Sepertinya ingin menangis.

“kebanyakan main sih.” Ucap Ibu itu masih terbawa emosi.
Tak berapa lama kemudian beberapa penumpang naik juga. Rata-rata memang Ibu bersama anaknya yang mengenakan seragam. Ya mungkin hari ini memang hari penerimaan rapot.

“Eh… Mama Aldi… gimana Aldi rapotnya?” Baru saja mereka duduk obrolan sudah pecah. Sang Ibu yang semenjak tadi memasang muka masam seketika berekspresi membaik.

“Eh mama Dita… Aldi rapotnya jelek. Matematikanya dapat 6. Kebanyakan main ini mah. Cuma dapat ranking 5” Ujar sang Ibu sambil menunjukkan rapot anaknya. Ibu yang dipanggil mama Dita itu segera mendekatkan diri melihat hasil rapot yang ditunjukkan tersebut.

“Ih itu bagus… Cuma matematika saja yang dapat 6. Lainnya 8 tuh. Olahraganya 9.” Ujar Ibu tersebut . Kata-katanya membesarkan hati. Meski aku sendiri tak ada sangkut pautnya.

“Olahraga buat apa coba. Nanti tuh yang di UN kan kan matematika. Masa matematika 6. Mau masuk SMP mana coba?” Sang Ibu tetap saja kekeuh dengan pendapatnya.
“Dita masih kelas 4 mah masih santai ya… ranking berapa Dita?” Tanya sang Ibu ingin tahu nilai rapot anak temannya itu.

“Eh mama Aldi… siapa tahu Aldi bakatnya memang di olahraga. Nanti bisa jadi atlet lho dia. Dita nggak dapat ranking. Tapi emang salah saya juga sih. Habis sibuk dagang terus jadi nggak ada waktu untuk ngajarin Dita. Tapi alhmdulillah nilainya di atas rata-rata.” Jelas sang Ibu sumringah. “Mama Aldi sih waktunya banyak ya. Jadi bisa ngajarin Aldi. Saya jamin deh pasti nanti lulus. Insha Allah dapat SMP Negerilah.” Ujar Ibu itu sambil menyalami tangan Ibu yang dipanggilnya mama Aldi.

“Aamiin” Jawab Ibu tersebut perlahan dan dengan sedikit parau.

“Oh iya Mama Aldi… aku turun sini ya… udah janji mau beliin donat buat Dita” Ujar sang Ibu tak berapa lama kemudian  lalu turun tepat di depan pasar diikuti dengan ibu-ibu lainnya. Kini angkot berjalan lagi. Hanya ada kami bertiga sebagai penumpang.

“Di… mama nggak pernah ngajarin kamu ya?” Tiba-tiba saja suara sang Ibu memecah keheningan. Sang anak menoleh lalu menggelengkan kepalanya. Seketika tangannya menarik lengan sang anak. “maafin mama ya…” ujarnya sambil merangkul anaknya. Ada tetesan air di sudut mata sang Ibu. Wajah sang anak seketika berubah. Dia tersenyum sambil mencium tangan Ibunya.

“Nanti Aldi belajar yang giat lagi…. “ hanya kalimat itu yang sempat kudengar karena aku harus turun. Aku mengakui kehebatan sang Ibu yang mau meminta maaf untuk anaknya sendiri. hal ini tentu menjadi rapot tersendiri untuk sang Ibu. Dan di jumat ini semoga keberkahan menyertai kita semua. aamiin

-RD-

Kamis, 13 Desember 2012

Ayah: boleh kupinjam, tubuhmu?

Ayah, boleh kupinjam tubuhmu?

Badanmu sudah merapuh

Lelahmu sudah berlabuh

Bolehkan kupinjam tubuhmu saat subuh?

Saat ayam-ayam membangunkanmu untuk memulai hari, diawali dari memuja Rabbi berlanjut mencari sesuap nasi. Kupinjam sebentar saja agar tubuh dan pikiranmu lebih leluasa bersandar dengan rajutan asa yang ingin kau sampaikan pada Nya


Ayah, boleh kupinjam tanganmu?

Urat-urat tanganmu sudah merekat

Kulitmu yang halus sudah berkerat

Boleh kupinjam tanganmu sesaat?

Sebentar saja kupinjam agar bisa kupijat dan kuobati luka di tanganmu secara cermat. Luka yang muncul saat tangan-tanganmu bergerak mengais rezeki hingga senja habis kau susuri


Ayah boleh kupinjam kakimu?

Telapak kakimu kini melepuh

Menerjang waktu bepuluh peluh

Boleh kupinjam kakimu yang kini sepuh?

Yang senantiasa kauandalkan dalam menghabiskan masa.

untuk melanglangbuana berbagai benua. Pinjamkan aku sesaat saja, untuk sekadar kuraba dan kurasa

Sudah sejauh mana benua-benua yang telah kau kunjungi dan kuasai

Untuk menghidupi kami: anak-anakmu ini.


Dear ayah yang kurindukan tapi jarang kutemui. Yang kucintai meski sering meleset janji. Yang menua meski berjiwa muda. Yang kami cintai dengan segenap relung hati

^_~√


Published with Blogger-droid v2.0.4

Rabu, 12 Desember 2012

Daun salam untuk beli seragam



Kisah inspiratif: Daun salam untuk beli seragam

“Ibu nanti beliin aku seragam baru ya?” Ujar seorang anak kepada ibunya di tengah hiruk pikuk pasar. Sang Ibu yang bekerja sebagai penjual daun salam hanya bisa menatap wajah anaknya getir. Sudah hampir dua hari ini dagangan daun salamnya belum laku. Para penjual bumbu dapur di pasar menolak daun salamnya lantaran masih memiliki stok yang sangat banyak.

“Ibu… beliin Dito seragam yang itu” Ujar Dito sambil menunjuk ke arah patung manekin anak-anak yang mengenakan seragam merah putih. Sang Ibu hanya tersenyum melihat keinginan anaknya. Sudah hampir seminggu ini Dito bersekolah tanpa mengenakan seragam lantaran seragamnya sudah kekecilan. Seragam yang ia gunakan pertama kali semenjak kelas 1 SD bertahan hingga kini ia duduk di kelas 5 kini  sudah tak muat lagi.

“Nanti kalau hari ini daun salam Ibu laku kita pasti beli seragam.” Ujar sang Ibu sambil mengajak sang anak berjalan melewati penjual seragam. Sang Ibu masih terus berusaha menawarkan daun salamnya ke pedagang lain tapi apa mau dikata semuanya menolak. Padahal Ibu sudah membawa hampir sekarung daun salam yang mencapai berat hampir 7kg.

Hampir tiga jam sang Ibu menawarkan daun salamnya ke pasar tapi hingga menjelang siang daun salam tidak juga menarik perhatian bagi penjual bumbu dapur. Karena lelah, Ibu mengajak Dito untuk beristirahat sejenak.



“Ibu… capek ya… sini Bu Dito aja yang bawain. Siapa tahu ada yang mau beli” Ujar Dito mencoba membawa karung berisi daun salam yang dipegang sang Ibu.

“Udah nggak usah… habis ini kamu masuk sekolah. Udah mau jam 1. Sementara kamu pakai baju biasa dulu saja ya Nak” Ujar sang Ibu mencoba membujuk sang anak. Dito pun mengangguk mengerti dan paham maksud ibunya. Segera saja sang Ibu mengeluarkan selembar uang seribuan dan menyerahkannya kepada sang anak.

“Ini nanti buat naik angkot. Nanti sore kalau Ibu belum pulang kamu tunggu Ibu di rumah saja ya.” Pesan sang Ibu dan Dito pun mengangguk. Sebelum Dito pergi, Ibu sempat membeli dua buah pisang goreng dan memberikannya kepada Dito untuk mengganjal perut anaknya yang semenjak pagi belum makan.

Dito pun berangkat ke sekolah yang jaraknya lumayan dari pasar. Meski sebenarnya ia sedih karena ke sekolah tak berseragam seperti teman-temannya yang lain tapi ia tidak malu. Sudah bisa bersekolah saja baginya sudah beruntung. Di sekolah, teman-teman tidak ada yang mengejeknya karena sebagian teman-temannya tahu kondisi keluarga Dito. Lagi pula di kelas, Dito tergolong anak yang pintar.

Saat jam istirahat Dito mengeluarkan bekal makanan yang sempat dibelikan ibunya. Dua buah pisang goreng kini berada di genggamannya. Tiba-tiba Dito teringat bahwa sejak tadi pagi ia belum melihat ibunya makan. Sengaja ia hanya makan sebuah pisang goreng dan berniat menyimpan sebuah lagi untuk sang ibu di rumah nanti.

Bel pulang sekolah berbunyi. Hari sudah semakin senja. Selembar uang bergambar Kapitan Patimura dikeluarkannya. Ia ingat bahwa uang ini dibawakan ibunya untuk ia pulang menggunakan angkutan umum. Akan tetapi Dito urung menggunakan uang itu.

“uangnya disimpen aja ah… buat tambahan Ibu beli seragam aku” ungkap Dito perlahan. Dia lebih memilih untuk berjalan kaki ketimbang menggunakan uang itu untuk naik angkutan umum.

Dito berjalan cukup cepat. Ia tidak ingin sampai rumah malam hari dan tidak ingin membuat ibunya khawatir. Di tengah jalan pulang Dito melihat seorang anak kecil berpakaian lusuh merengek kepada ibunya untuk minta dibelikan gorengan. Sang Ibu dengan keras menghardik sang anak dan menyatakn kalau tidak punya uang. Dito teringat akan pisang goreng yang masih ia simpan di tasnya.

“Mudah-mudahan Ibu sudah makan” Ungkap Dito dalam hati lantas memberikan sisa pisang goreng yang tinggal satu kepada anak kecil itu. Meski sudah dingin, anak kecil tersebut menerima dan segera melahap  pisang goreng yang diberikan Dito mungkin karena memang sudah lapar.
Dito tersenyum melihat wajah anak kecil itu lalu kembali melanjutkan perjalanan pulangnya.

“Dek permisi numpa tanya… ini rumah adek?” ucap seorang pria menyapa Dito ketika ia baru sampai di halaman rumahnya. Dito pun mengangguk. Sepertinya sang Ibu belum pulang karena lampu di rumah masih belum menyala.

“Maaf Dek… itu daun salam bukan?” tanya laki-laki itu sambil menunjuk pohon salam yang memang tumbuh di depan rumah Dito.

“Iya Pak. Kenapa Pak?”

“Begini… saya lagi nyari daun salam untuk pengobatan ayah saya. Jam segini pasar sudah tutup. Saya boleh minta daun salamnya?” Ujar laki-laki itu dengan penuh harap. Sepertinya dia terlihat begitu panik dan terburu-buru.

“Boleh Pak ambil saja.” Ujar Dito lalu berjalan mengambil galah kayu yang biasa digunakan ibunya untuk mengambil daun salam kepada laki-laki itu. Dengan bergegas laki-laki itu pun mengambil berlembar-lembar daun salam. Dito segera mengambil kantung kresek di dalam rumahnya dan memberikannya untuk laki-laki tadi. Laki-laki tadi bergegas memasukan daun salam ke dalam kantung plastik yang  sempat diberikan Dito.

“Dek… makasih ya. Daun salam ini berguna untuk obat kolestrol dan diabetes ayah saya. Mohon doanya ya Dek. Oh iya ini tidak seberapa semoga bermanfaat buat adek.” Ujar laki-laki itu sembari memberikan dua lembar uang bergambar Pak Karno dan Bung Hatta kepada Dito. Bergegas laki-laki itu berlalu sebelum Dito sempat mengucapkan terima kasih karena sepertinya dia sedang terburu-buru.

“Dito…” suara Ibu membuyarkan pikiran Dito yang masih terkaget menerima uang sebanyak itu.

“Ibu… ini” Ujar Dito sambil menyerahkan uang pemberian laki-laki tadi dan menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya.

“Alhmdulillah… daun salam Ibu tadi juga ada yang beli. Besok kita beli seragam ya, Nak. Ini uangnya kamu tabung saja” Ujar Ibu tersenyum sambil mengusap rambut anaknya perlahan dan memberikan uang yang sempat diberikan Dito kepadanya.



-RD-

Selasa, 11 Desember 2012

Janji sang (Ayah) Supir Angkot



“Ayah… aku mau sekolah kaya kakak itu” Ujar seorang anak yang duduk persis di sebelah supir angkot yang aku naiki. Tangannya menunjuk ke arah depan kaca. Terlihat beberapa anak berseragam SD bersiap menyebrang.
Sejak aku naik dalam angkutan ini mataku tak bisa lepas dari anak yang mengenakan baju bergambar kartun Doraemon. Kutaksir usianya sekitar 7 tahun. Kebetulan aku duduk di belakang pak supir sehingga aku bisa leluasa melihat anak itu meski dari arah belakang.
“Ya… nanti kita daftar sekolah. Tapi kamu berani berangkat sendiri. Ayah nggak bisa nemenin selama di sekolah kan ayah kerja” Ujar sang supir angkot yang tak lain adalah ayah anak tersebut.
“Kan itu banyak temannya. Pasti aku berani. Ayah janji ya… nanti aku didaftarin sekolah” Ujar sang anak sambil serius menatap wajah sang ayah di sampingnya. Sang ayah tidak lekas menjawab. Matanya masih berburu mencari penumpang.
“Ayah…” Ujar sang anak lagi kali ini sembari menarik tangan kiri ayahnya.
“Iya… ini ayah lagi cari penumpang. Nanti kalau uang kita sudah banyak kita daftar sekolah.” Ujar sang ayah sambil serius memperhatikan jalan.
“Asik… nanti kalau aku udah sekolah… ayah bisa kerja dengan tenang deh. Nanti aku bisa pulang sendiri kok” Ucapan anak itu bersemangat. Sesaat mobil berhenti karena sedikit macet. Hingga pada akhirnya sang ayah menatap sang anak lalu mengusap rambutnya perlahan.
“Ayah tuh khawatir kalau kamu sendirian di rumah. Jadi kalau nanti udah sekolah… pulangnya ayah akan nemenin kamu. Nanti kamu bisa ngerjain pr di sini. Kamu nggak apa-apakan kalau nemenin ayah narik?” Ujar sang ayah sambil tersenyum.
“Oh… iya nggak apa-apa. Aku malah kasian sama ayah kalau aku ikut. Kan penumpang ayah jadi nggak penuh karena ada aku duduk di sini” ujar sang anak sambil menunjuk tempat yang ia duduki. Wajahnya seketika murung.

“Eh… kenapa sedih? Kan rezeki ayah udah ada yang mengatur.  Pokoknya awal tahun nanti kamu sekolah ya.” Ujar sang ayah memberi penjelasan  ke anaknya. Sang anak seketika tersenyum

“Oke sip. Aku sekolah. Semoga uang ayah banyak. Jadi aku bisa cepet masuk sekolahnya” Ujar sang anak girang.

"Memang nanti kamu mau jadi apa?" Tanya sang ayah

"Aku mau jadi ahli mekanik mesin mobil... jadi nanti kalau angkot ayah kenapa-kenapa aku yang benerin. kalau di bengkel-bengkel kan mahal. nanti aku punya bengkel yang gede. terus kalau angkot yang masuk bengkelku gak usah bayar... gratis aja" ujar sang anak serius bercerita.

Percakapan sederhana itu sungguh membuatku tersenyum. Aku ikut mengaminkan dalam hati. Semoga sang ayah benar-benar menepati janjinya. Aamiin




Kisah tentang seorang anak yang memulai harinya dengan tersenyum





Pada suatu pagi yang cerah seorang anak berseragam merah putih bersiap untuk berangkat ke sekolah. Hatinya senang dan riang karena hari ini adalah hari senin... hari saat ia bertemu kembali dengan teman-temannya di sekolah. Sebelum berangkat ia berpamitan dengan Ibunya yang sedang mencuci piring di dapur.

"Ibu aku berangkat ya." ujarnya tersenyum seraya mencium tangan sang ibu yang masih basah.
"kamu senang sekali hari ini... hati-hati ya" ujar sang Ibu membalas senyum dan salam anaknya. Tadinya wajah Ibu nampak lelah tapi setelah ia melihat anaknya bersemangat berangkat sekolah sang ibu pun bersemangat kembali.

“anakku saja bersekolah semangat sekali… aku juga harus semangat. Habis ini aku mau ke pasar dan menyiapkan makan siang untuk anakku tersayang. Pasti dia senang” ujar sang Ibu tersenyum sambil menyelesaikan cucian piringya.

Anak tersebut lalu bersiap berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki karena sekolahnya cukup dekat dengan rumahnya. Ia terbiasa untuk berangkat sendiri. Mandiri.

“Hari ini aku harus bahagia dan senang.” Ujar anak kecil tadi sambil melangkah  bergegas. Diperjalanan ia bertemu dengan tetangganya yang sedang bersiap berangkat kuliah.

“Pagi Mbak Wilda… “ Ujar anak kecil tersebut sambil tersenyum penuh bahagia.

“Eh… pagi juga… semangat banget berangkatnya.” Balas tetangganya sambil tersenyum juga.

“iya… aku mau ketemu temen-temenku dan Ibu Bapak guru di sekolah jadi harus semangat dong” jawab anak kecil tersebut lalu berlalu. Mbak Wilda yang tadinya malas-malasan berangkat ke kampus bahkan berniat ingin cabut kuliah di jam pertama tiba-tiba menjadi malu.

“ Masa kalah sama anak kecil. Dia saja semangat sekali  bertemu dengan teman… Ibu dan bapak gurunya di sekolah. Harusnya aku seperti itu… pasti tugas-tugas bisa aku selesaikan dan Ujian semester  esok harus berjalan lancar” Ujar Mbak Wilda akhirnya lalu bergegas berangkat menggunakan sepeda motornya.

Perjalanan anak kecil tersebut pun akhirnya sampai juga di sekolah. Setelah meletakkan tasnya di kelas bergegas ia keluar kelas dan semangat mengikuti kegiatan upacara pagi bersama teman-temannya.  Setelah upacara  berakhir ia segera masuk dan mengikuti pelajaran bersama teman-temannya dengan semangat. Meski di kelas teman-temannya selalu ramai  ia terus mengikuti pelajaran dengan segenap hati dan pikiran yang senang. Ibu guru pun memberikan tugas yang harus dikumpulkan saat itu juga.

“Ibu aku sudah selesai” ujar anak kecil tersebut lalu mengumpulkan tugasnya ke meja Ibu guru.

“Baik… Ibu akan periksa” Jawab Ibu guru tersebut datar

“Ibu… terima kasih ya… sudah mengajar kami dengan sabar” Ujar anak kecil tadi sambil tersenyum lalu kembali ke tempat duduknya. Sang guru yang tadinya merasa lelah dan sedikit kewalahan menghadapi murid-muridnya yang berjumlah 30 orang anak seketika tersenyum setelah mendengar ucapan muridnya.

“Aku harus semangat mengajarkan mereka. Mereka semua anak didikku yang luar biasa” ujar sang Ibu guru dengan suara yang pelan sambil memeriksa tugas anak-anak yang telah dikumpulkan. Tadinya sang guru ingin memberikan tugas mengerjakan LKS (Lembar Kerja Siswa) yang berkaitan dengan dongeng tapi akhirnya semua diurungkan. Ia harus mengajar muridnya dengan semangat dan menarik agar muridnya lebih paham dan senang belajar.

“Ibu sekarang akan mendongeng… tugas kalian mendengarkan dongeng ibu dan menyimak siapa saja tokoh-tokoh yang ibu ceritakan dalam dongeng…” ucapan Ibu guru memulai kembali mengajarnya. Ia mendapat sambutan yang luar biasa dari murid-muridnya. Mereka senang karena sang guru menutup pelajaran dengan mendongeng yang secara tak langsung membuat suasana belajar semakin lebih menarik dan mudah untuk dimengerti.

“Tuh kan hari ini aku bahagia dan senang. Semua sesuai apa yang aku pikirkan” anak kecil tersebut tersenyum bahagia karena hari ini berjalan dengan sangat menyenangkan.


Kisah ini pernah saya publikasikan di FanPage KM ^_^

Minggu, 09 Desember 2012

untuk hari ini

Untuk hari ini, maafkan aku

Terlalu lelah dan kalah

Hingga jari jemari tak sadarkan diri

Dan saat esok pagi datang

Sejujurnya aku belum siap kembali

Tapi, semua harus dijalani.

Meski tak lihat laut yang bergelombang tapi tawa yang merekah-rekah tadi siang sudah cukup dan mampu membayarkan


Aku, kini, dan esok pagi

Aku takkan kalah dengan esok

Desember 9

Di kamar penuh kenangan


Published with Blogger-droid v2.0.4

Sabtu, 08 Desember 2012

kisah sabtu

Ini kisah di ujung sabtu. Kisah lara yang dibuat dan dirasakan dalam satuan waktu, nggak peduli detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, bakhan tahun. Kisah ini lahir dari kekecewaan yang sengaja hadir atau lebih tepatnya dihadirkan. Berkaitan dengan janji yang, maaf, lagi-lagi terulang lagi untuk tak ditepati. Dalam kelaraan ini tentunya saya ingin berdoa agar teman dalam hidup saya tak melakukan hal yang seperti ini kepada saya. Jikalau ini sampai terjadi, untuk yang awal saya akan beri kemakluman sedang yang selanjutnya, jangan harap api akan padam disiram air satu gentongan


Bayangkan, salah, rasakan. Aku punya ayah tapi seperti tak punya. Jangan heran kerika tangan dan seluruh kakiku berteriak dan berpaling saat berhadapan dengan kisah seorang anak dengan seorang ayah, mungkin itu nyata. Aku tak punya, aku punya! Tapi seperti tak punya.


Cih, mengeluhkan hal yang sekiranya tak patut untuk kukeluhkan. Apa lagi yang memang aku harapkan?


Tak ada, hanya saja sempat terbesit dalam pikiran bahwa yang ditutup-tutupi selama ini adalah bagian dari kisah-kisah laranya

Aku tak menemukannya dalam tulisan. Mulut kita terlalu rapat untuk terkunci. Kau tak ingin hadapi dan saya ingin lari


Dalam seperempat malam aku bermain petasan. Hiburan disaat yang dikerjakan benar-benar dirasakan. Setiap percik ada kami kami kami ... mungkin terlupakan


Published with Blogger-droid v2.0.4

Kamis, 06 Desember 2012

Danish: Kisah masa kuliah



Danish

“Rul.. gue suka masa sama dia…” Ucapku setengah berbisik pada Nurul yang duduk tepat disebelah kiriku.
Mataku masih terus menatap laki-laki bertubuh tegap sedikit tambun dan berkacamata yang sedang asyik memberikan penjelasan menegenai Migrasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1950-an—mata kuliah Antropologi Indonesia.
“Rei… lo ngelihatnya biasa aja kali… jangan terlalu mantengin gitu ah… ntar ketawan aja.” Bisik Nurul sambil terus memperhatikan tingkahku yang sepertinya sudah kelewatan dalam memperhatikan mahluk Tuhan yang  menentramkan itu.
Sumpah, sepertinya baru hari ini aku bener-bener melihat cowok idamanku. Padahal mata kuliah ini udah sampai pertemuan yang ke tiga kali. Kenapa aku baru sadar sekarang ya? Kemana aja kemarin-kemarin. Mungkin karena terlalu banyak orang kali ya. Bayangin aja, satu kelas bisa sampai 90 orang. Maklum ini kan mata kuliah kelas besar. Kebetulan di semester tujuh ini, aku dan kedua sahabatku—anak Sastra—iseng mengambil mata kuliah belanjaan di fakultas tetangga. Sebenarnya sih alasanku dan ketiga temanku ngambil mata kuliah ini atas dasar pertimbangan penasaran dan ingin ngerasain kuliah di fakultas lain. Kebetulan di kampusku memang ada kewajiban untuk mengambil minimal 3 sks mata kuliah di fakultas lain. Kami pun bertiga memilih kelas Antropologi Indonesia ini.
Balik lagi ke masalah cowok yang lagi ngusik perhatianku. Kalau dipikir-pikir dan dimirip-miripin… itu cowok mirip banget sama Denis—pemain film Jomblo—yang terkenal gokil dan lucu itu. Bedanya, cowok yang lagi ngejelasin di depan kelas bersama kelompoknya ini serius banget dan yang pastinya ini cowok pinter banget.
“Rei.. Lo ngelamunin apaan sih? Senyum-senyum sendiri kaya orang gila” Suara Dicil teman sejurusan membuyarkan lamunan. Seketika itu juga aku membisikkan alasanya ke Dicil.
 “Eh… cowok kaya gitu udah punya cewek kali Rei…” Komentar Dicil membuatku  terdiam. Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga sih.Mana mungkin cowok model gitu belum punya pacar.
“Rul… bener kali ya.. kata Dicil…”
 “Kenapa?”
“Dia udah punya cewek kali ya?”
“Hmm… iya juga sih, pinter sih anaknya. Tapi siapa tahu aja belom.
“Eh lo berdua berisik aja… dengerin tuh yang lagi presentasi.” ujar Dicil mengingatkan sambil menepuk bahu kananku. Kami berdua pun akhirnya kembali menyimpak presentasi yang disampaikan laki-laki itu dan teman-temannya. Dan sekali lagi, aku masih saja  memperhatikan cowok itu. Sumpah-sumpah, ini mata nggak bisa nengok ke yang lain. Padahal yang presentasi sekitar 6 orang. Tapi hanya dia aja yang bikin aku fokus. Kacau-kacau.
Tuh kan, kepintaran dia terbukti… diantara keenam orang yang ada di depan itu, hanya dia yang bisa menjawab dan menjelaskan secara detail mengenai pertanyaan yang diajukan tentang alasan Migrasi di Indonesia melalui sudut pandang sosial ekonomi. Beuh…. Makin klepek-klepek aja ini hati.
“Rei… buset dah… masih ngelihatin aja. Emang sih pinter banget… udah ntar lo ajak kenalan aja. Alesan minta softcopy bahan presentasi ini” Ujar Dicil memberi saran pada akhirnya dan aku pun menganggukkan kepala. Ide bagus!
                                                      ****
“Eh sorry, gue boleh minta softcopy slide presentasi kelompok Lo nggak?” Ucapku sedikit ragu dan agak ketakutan—tapi rasa suka megalahkan segalanya—kepada cowok yang dari tadi menarik perhatianku setelah mata kuliah Antropologi Indonesia ini usai.
“Boleh… boleh, mana flashdisknya?” Tanyanya tersenyum dan akupun buru-buru mengeluarkan usb dengan gantungan kristal cabai kepadanya. Tidak sampai lima menit ia telah mengkopi slide presentasi kelompoknya ke usbku.
“Makasih ya...” Ujarku sambil mentapnya.
“Iya sama-sama… eh Gue duluan ya..” Ujarnya dan segera berlalu dari hadapanku.
“Cie.. kayanya sukanya beneran nih. Lo serius?”Tanya Nurul sambil menyenggol Dicil.
“Ya.. suka boleh aja kan. Nggak ada yang ngelarang ini. Sttt diem-diem ya.”
“Dasar” Ujar mereka bertiga berbarengan.
“Tapi tadi namanya siapa ya?” ucapku menyesal karena bener-bener lupa nggak sempat tanya namanya.
“Ye dasar Gue pikir lo udah tahu namanya. Ya udah minggu depan kan ketemu lagi tuh.” Ujar Nurul sedikit menenangkan. Hmmfff… padahal udah selangkah lebih maju. Kenapa sampai oon gini sih gitu aja nggak sadar untuk nanya namanaya. Payah! Sangking terpesonanya kali ya… yah… semoga minggu depan aku masih bisa ketemu dia.
                                                      *****
Minggu ini giliran aku dan kelompokku yang presentasi di kelas Antropologi. Kelompokku terdiri dari tujuh orang dan semuanya perempuan. Tiga orang dari jurusan sastra sisanya jurusan kesehatan masyarakat. Sekitar 15 menit berselang kami memaparkan informasi yang telah kami peroleh dan kami rangkum. Materi yang kami sampaikan untungnya amat sangat kami kuasai. Maklum… sebenarnya ini bukan ranah kami. Kalau saja membicarakan tentang Sastra mungkin setidaknya kami sedikit lebih tahu dibanding mereka-mereka yang memang kebanyakan dari jurusan Antropologi. Untuk mengantisipasi hal tersebut makanya H-3 sebelum presentasi kami banyak berdiskusi.
Ketika sesi pertanyaan dibuka banyak sekali orang yang mengacungkan tangan untuk bertanya. Maklum bagi yang bertanya akan mendapatkan poin ekstra dari dosen. Kelompok kami yang berhak menentukan siapa yang dipersilakan untuk bertanya dan kebetulan aku yang menjadi penentunya—maklum ketua kelompok. Mataku cepat sekali menangkap bayangan ketika ada seseorang yang mengangkat tangannya di deretan paling belakang. Cowok berkacamata itu. Segera saja aku mempersilakannya. Pertanyaan yang diajukan cukup njelimet meskipun begitu aku dibantu temanku mampu menjawab pertanyaannya dengan tenang dan setidaknya tepat.
Presentasi diakhiri dengan riuh tepuk tangan dari teman-teman sekelas. Lega. Kami senang setidaknya kami mampu menyajikan dan menjawab segala pertanyaan dengan baik meskipun tidak semuanya mampu dianggap benar. Jujur aku pun senang… karena ternyata setidaknya dia memperhatikan aku dan kelompokku tentu saja. Bergegas aku duduk di bangku barisan depan yang memang sudah kutaruh tasku. Sementara dicil dan Nurul membereskan barang-barangnya di meja presentasi.
“Eh… sorry gue boleh minta sofcopy presentasi tadi” tiba-tiba suara seorang  dari arah belakang  memecahkan konsentrasiku saat aku baru saja mematikan laptopku.
“Yah… baru dimatiin laptopnya” ujarku sambil menengok ke arah suara itu. Damn! Itu cowok berkacamata. “Eh… bisa-bisa. Sebentar ya… Gue nyalain lagi.” Ucapku salah tingkah dan segera menghidupkan komputer jinjing ini. Tiba-tiba dia sudah duduk di sampingku. Haduh. Dicil dan Nurul yang masih di depan membereskan peralatan presentasi senyum-senyum melihatku yang tengah bersanding bersama cowok ini.
“Lo bukan anak Antrop ya?” tiba-tiba ia bertanya memecah kesunyian diantara kami. Meskipun kelas ramai dengan suara anak-anak yang berlalu-lalang karena kelas memang sudah bubar.
“Eh… iya bukan. Gue anak sastra” jawabku sekenanya. Nggak berani ngelihat tampangnya. Takut ketawan kalau-kalau mukaku merah.
“Rei… masih lama nggak? Gue tunggu di bawah ya… haus nih.” Ucap Nurul sambil bergandengan dengan Dicil. Aku tahu… ini akal-akalan mereka saja.
“Ya sudah tunggu di bawah aja. Nanti gue nyusul!” jawabku sok nggak butuh. Padahal biasanya aku yang paling nggak mau ditinggal. Nurul dan Dicil akhirnya berlalu disusul beberapa anak-anak kelas yang juga keluar baik sendiri-sendiri ataupun bergerombolan. Hanya tinggal segelintir orang yang masih bertahan di dalam kelas termasuk aku dan cowok ini.
“Nih flashdisknya” ucap cowok itu sambil menyerahkan usb berbentuk kepik berwarna biru tua. Sama seperti baju yang ia kenakan. Dengan segera aku mengkopi file presentasi kelompokku. Setelah selesai akupun menyerahkannya dan mematikan laptopku.
“Eh… makasih ya… btw nama Lo siapa? Tanyanya sambil memasukkan usbnya ke dalam ransel. Pertanyaannya membuatku Geer dan melambung tinggi. Akhirnya dia ngebahas nama juga. Kesempatan untuk tahu namanya.
“Reina” jawabku sambil tersenyum simpul.
“Nish… masuk kelas Pak Rinto nggak? Yuk bareng!” Tiba-tiba seorang perempuan yang memang berasal dari kelas ini menyapa cowok di sebelahku.
“Lo duluan aja Ta. Gue nungguin dia nih. Kasian… gara-gara Gue tadi ditinggal temen-temennya.” Ujar cowok yang bikin hatiku kalang kabut ini sambil melirik ke arahku.
“Eh… kalau mau duluan duluan aja. Nggak apa-apa kok. Tinggal beresin ini doang.” Jawabku sok nggak butuh ditemenin. Habis mau gimana lagi. Nanti disangkanaya aku nggak mandiri lagi. Apa-apa minta ditemenin atau ditungguin.
“Enggak kok… santai aja. Gue tungguin. Udah Lo duluan aja Ta” kalimat cowok ini bikin hati makin bersorak kegirangan. Sementara perempuan itu akhirnya meninggalkan kami berdua.
“Makasih” jawabku sambil tersenyum simpul dan memasukkan barang-barang ke dalam ransel. “Oh iya… nama Lo siapa?” akhirnya kalimat pertanyaan itu keluar juga dari mulutku saat kami berdua berjalan meninggalkan kelas menuju lift.
“Danish. Danish Prasetya.” Ucapnya tersenyum lebar. Nama dan tampangnya benar-benar mirip dengan artis itu. Kami berjalan bersama sambil menyusuri tangga. Maklum liftnya lama dan yang antre banyak. Setidaknya ada sedikit waktu lebih untuk mengobrol  bersama Danish. Danish menayakan banyak hal tentangku dan itu membuatku benar-benar Geer.
“Rei…” suara Dicil meneriakiku. Bersama Nurul dia menghampiriku yang tengah asyik berbincang-bincang bersama Danish. Sepertinya saatnya berpisah. Dia ada kelas lagi sementara aku ada kelas di fakultasku. Semoga minggu depan bisa ngobrol-ngobrol lagi kaya gini.
“Eh… gue duluan ya. Oh iya lupa… btw… Lo kenal Anggia nggak?” Tanya Danish sebelum kami berlalu.
“Anggia Fariska?” tanyaku mencoba menerka nama teman sejurusanku. Danish mengangguk. “Kenapa memangnya?” tanyaku penasaran.
“Salam ya buat dia. Gue udah lama naksir dia” ucap Danis lancar dan meluluhlantahkan perasaanku. Dengan berat hati akupun mengangguk dan memaksakan diri tersenyum.
“Sabar-sabar” ucap Nurul dan Dicil berbarengan sambil tertawa terkekeh. Kegeeranku hari ini sia-sia.




Catatan: Kisah diinspirasi saat kuliah antropologi di FISIP UI