Badan cungkring alias langsing yang berlebihan, jilbab langsungan ala emak2 yang hebring ibarat mau pengajian, celana jins ala pensil. Bukan terlihat elegan tapi justru semakin miris karena ibarat lidi yang pakai pakaian super singset membuatnya semakin nampak menyedihkan (kuyus syekali). Ditambah warna baju yang kadang tak pernah matching atau tabrak warna yang penting sekenanya. Itu semua terjadi di awal-awal dirinya menyandang status sebagai mahasiswa. Di saat mahasiswa lain (teman-teman perempuannya) tampil rapi dan percaya diri dengan aneka jilbab paris segi empat warna-warni sang gadis pun akhirnya ikut terbawa pengaruh dan sedikit demi sedikit mulai terlihat rapi dari sebelumnya. Akan tetapi celana jins belel yang pudar warna birunya karena kebanyakan disikat setiap kali dicuci bahkan hingga sobek dibagian dengkul jadi andalan setia. Terkadang sangking seksinya perut dan pinggang membuat celana lebih mudah melorot karena kebesaran. Oleh karena itu dia senantiasa sematkan sabuk sebagai pengikat bukan aksesoris. Namun lambat laun karena sabuknya hanya satu dan dipakai terus menerus sampai akhirnya keok, sang sabuk andalan berganti menjadi tali rafia. Toh tak pernah dijadikan aksesoris jadi aman tak akan nampak tertutup kaos atau kemeja.
Siapa bilang gadis itu tak ingin berubah, ia toh manusia biasa yang masih mudah terpengaruh sana dan sini. Lingkungan teman-temannya yang menggunakan baju muslim yang sebenarnya pernah membuat dirinya kepincut untuk ikut-ikutan. Ingat, hanya sekadar mengikuti. Sekali dalam kuliah di awal semesternya ia singkirkan jins belelnya dan gunakan rok berumbai-rumbai yang ia beli di toko muslimah. Bajunya tetap biasa saja, tapi ada yang menarik ia mencoba-coba gunakan kalung meski tetap berjilbab yang lebih pendek karena dililit pada bagian lehernya. Ia ingin terlihat sebagai muslimah gaul. Tanggapan lingkungan? Hanya beberapa yang memujinya lebih anggun (terutama teman-teman anggun yang terbiasa dengan rok dan jilbab syar'i) sisanya? Tawa cengengesan bahkan mereka anggap sang gadis salah minum obat. Reaksi atas aksi tersebut membuat sang gadis pulang ke rumah dan bertekad tak akan kenakan pakaian macam itu lagi. Alhasil? Sang gadis kembali menjadi dirinya yang dulu namun kini bisa lebih menyiasati warna baju agar senada lengkap dengan jilbab segi empat paris yang semakin banyak dikoleksi.
Bertambah usia, bertambah dewasa, bertambah pula ilmu dan rekan-rekan yang benar-benar menjadi sahabat bukan sekadar teman. Sang gadis mulai terlihat risih dengan jilbab segi empatnya yang pendek. Mungkin karena melihat teman-temannya selalu menjulurkan jilbabnya hingga menutup dada dan itu membuat terlihat nyaman akhirnya sang gadis pun lambat laun tanpa disadari mulai memanjangkan jilbabnya hingga menutup dada. Tapi tetap saja dengan jilbab paris andalannya dan celan jins yang tak pernah sirna dari bagian tubuhnya. Dalam hatinya sang gadis pernah berniat bahwa suatu saat nanti ia akan berpakaian seperti sahabat-sahabatnya. Dengan rok dan jilabab lebar, berkaus kaki, atau bahkan bergamis. Tapi entah niat itu akan terealisasi kapan? Dimana? Bagaimana dan seterusnya. Toh teman-temannya tanpa sedikitpun menyakiti hati dengan setia menyemangatinya agar menjadi perempuan yang berpakaian sesuai maunya Tuhan. Mereka tak pernah lelah mengingatkan sang gadis secara perlahan dan sabar tentang mentaati aturan Tuhan salah satunya dalam hal berpakaian.
Sang gadis akhirnya lulus kuliah. Setelah lulus ia tergabung dalam salah satu penjual sebuah prodak kecantikan. Di situlah ia mulai belajar dandan. Jika dahulu saat kuliah dia hanya terbiasa menaburkan wajahnya dengan bedak bayi. Tapi tidak dengan saat itu. Ia mulai merias diri dengan aneka polesan wajah yang membuat dirinya terlihat lebih cling. Lingkungan baru sangat berpengaruh besar bagi sang gadis. Banyak dari sahabat-sahabatnya yang mulai merasa berbeda dengan sang gadis. Entah sang gadis berdandan karena sedang jatuh cinta, atau memang itu keterpaksaan karena dia menjadi penjual prodak kecantikan. Dari ujung kaki hingga ujung kepala semuanya terpoles oleh prodak kecantikan. Perubahan itu bahkan berujung pada gaya berjilbabnya yang mulai berubah-ubah. Jilbab paris tak lagi menutupi dada. Bahkan terkadang jilbab parisnya banyak menggunakan jarum pentul atau bahkan hanya menggunakan sebuah peniti. Sisanya? Jilbab paris bisa diputar-putar modifikasi gaul ala ala. Waktunya semakin berkurang karena kelamaan dipakai buat dandan. Kalau mau solat butuh waktu ekstra untuk membetulkan jilbab setelah berwudhu. Sedikit-sedikit bercermin memastikan semua tampak rapih dan sempurna. Toh dia sudah berada di lingkungan dunia kerja yang memaksanya harus tampil elegan di depan para kliennya.
Perubahan pada sang gadis membuatnya lelah sendiri. Bagaimana tidak! Banyak waktu yang terbuang hanya sekadar untuk berdandan. Toh kalau sudah rapi-rapi sang gadis harus pakai helm untuk naik motor dan membuat jilbabnya penyok sana sini. Terlebih, pemasukan dari gajinya sebagian besar habis hanya untuk kebutuhan dirinya. Sampai akhirnya sang gadis ada pada titik tersadar. Ia seperti sedang mempecundangi dirinya sendiri. Memakai make up di depan orang tapi ketika menghamba padaNya hanya sekenanya. Perubahan ini membuatnya tak stabil padahal memang sang gadis anak yang labil. Meski demikian ia tak pernah ditinggalkan sahabat-sahabatnya yang senantiasa menuntunnya, mempengaruhinya, untuk kembali menuju jalan pulang padaNya. Semua itu butuh proses, senua itu butuh waktu. Toh sang ulat juga butuh waktu yang panjang sampai akhirnya menjadi kupu-kupu cantik.
Tuhan memang tak pernah tinggalkan hambanya yang berusaha. Sang gadis akhirnya berpindah kerja. Ia berada dilingkungan kerja yang menurutnya begitu religius karena berkaitan dengan rukun iman yang wajib dikerjakan umat Islam. Di saat semua rekan-rekan kerjanya yang perempuan bekerja mengenakan rok, hanya sang gadis sendiri yang menggunakan celana bahan. Tak ubahnya rekan kerjanya yang lelaki. Seminggu, dua minggu berlalu akhirnya sang gadis risih sendiri karena hanya dia yang berbeda. Mungkin di sanalah titik awal keterpaksaan yang akhirnya membuat dirinya berubah tampilan. Gaji dari hasil kerjanya dibelikan aneka rok rample tebal sebagai pengganti celana bahan. Cara berjilbabnya pun sudah lain. Tak ada lagi pentul di sana sini, tak ada lagi jilbab diputar ke sana kemari ibarat main tali temali. Semua sederhana, menutup dada, dan bahkan sang gadis mulai berkaos kaki. Tapi kalau yang satu ini menutup aurat bukan sebagai tujuan utama, hanya biar kakinya tidak hitam karena naik motor terus-terusan. Tak ada lagi riasan make up tebal yang membuat wajah bak pelangi. Hanya polesan bedak padat bukan lagi bedak bayi yang terpapar agar wajah tak tampak pucat. Memang sang gadis juga dalam keinginan dan kemauan untuk mendapatkan pujaan hati yang menuntunnya mengarungi kehidupan. Hal itulah yang membuatnya ingin menjadi lebih baik dan baik lagi di mataNya. Agar Dia mengabulkan keinginannya.
Setelah berkecimpung dalam dunia kerja yang demikian sang gadis berubah semakin lama semakin baik (menurut versi dirinya) tak lagi berpakaian yang syar'i hanya sebagai tuntutan dunia kerja. Tapi itu seolah menjadi sebuah karunia yang membuat dirinya merasa nyaman, aman, dan tentram. Terlebih setelah dia mengikuti sebuah kelas pelatihan akhlak yang membuat dirinya semakin mantap untuk benar-benar taat pada aturan Sang Empunya Kehidupan di setiap lini. Saat itu ibu sang gadis merasa was was kenapa anak gadis semata wayangnya tampilannya berubah menjadi seperti itu (katanya mah kaya ibu-ibu soleha) bahkan sang ibu pernah sekali protes karena jilbab sang anak terlalu panjang. Tapi di titik itulah sang gadis merasa diuji, jika dia mampu melewatinya akan ada hadiah spesial untuk dirinya. Prasangka baiknya berubah manis. Perubahan baik dari sikap dan penampilan meski dia tetap cablak dan cerawakan membuatnya bertemu dengan seorang lelaki sederhana yang bersedia menikah dengannya meski hanya berinteraksi hanya beberapa hari.
Setelah menikah akhirnya dia semakin mantap untuk menjadi seorang istri soleha sesuai kemauan suami. Istri yang patuh, sederhana, dan apa adanya. Dan itu ternyata sesuai dengan jati dirinya. Suaminya secara terang-terangan menyukai jika sang isteri tak berdandan jika keluar rumah dan itu membuat istrinya menjadi plong karena memang dia tahu tentang hal itu (banyak ilmu baru yang telah didapatnya selama proses pencarian jati diri). Toh akhirnya sang ibu juga tersadar dan mulai memanjangkan jilbabnya bahkan melebihi panjangnya jilbab sang anak. Sang ibu juga banyak memberikan masukan terkait segala hal agar sang anak menjadi lebih baik lagi, Alhamdulillah. (Ibu sang gadis akhirnya lebih banyak ikut pelatihan yang membuatnya semakin memiliki banyak ilmu yang tak pernah bosan untuk dibagi dengan anak-anaknya).
Waktu bergulir... Hari berganti hari, bulan berganti bulan hingga tahun berganti tahun. Kini gadis cungkring itu telah menjelma menjadi seorang ibu. Meski tetap cerawakan meski tetap cerewet tapi dia tetap belajar segala hal agar menjadi lebih baik dan taat lagi pada aturanNya.
Sampai pada akhirnya ia bertemu dengan sahabat-sahabatnya. Dia merasa tersentak. Dia merasa pusing berat. Bagaimana tidak jika dia melihat perubahan drastis pada sahabat-sahabatnya. Perubahan yang sungguh tak ingin dia lihat. Ada apa dengan mereka? Mengapa mereka yang dulu dengan semangat berkobar mengajak, menuntun, dan mendoakan dirinya agar bisa menjadi wanita shalihah yang berpakaian seperti maunya Tuhan kini berbalik seperti dirinya yang dulu? Mengapa mereka kini justru bercelana jins? Mengapa mereka memoles wajahnya dengan riasan pelangi? Mengapa mereka berjilbab lebih pendek bahkan ada yang melepas jilbabnya?
Pertanyaan itu benar-benar mengendap di kepalanya. Ia pusing sendiri, ia bingung sendiri. Tak tahu harus mencari jawabannya kemana selain bertanya langsung pada mereka. Ada apakah dengan mu, sahabat-sahabatku? Dulu kalian pernah bilang...
"Sa... Kita saling mengingatkan ya, saling mendoakan, dsb" pengingat itu yang akhirnya membuat dirinya berani bertanya langsung pada sebagian dari mereka. Itu semua karena sayang! Bukan merasa karena diri merasa paling benar atau baik. Karena merekalah sekarang dirinya bisa menjadi seperti ini. Dirinya merasa tak akan ada masalah jika bertanya pada mereka yang berubah. Tapi semua prasangkanya tertolak mentah. Tak ada tanggapan ketika dia bertanya pada mereka yang kini berubah. Justru mereka semakin menjauh dan menghindar. Asing. Mereka seolah pura-pura tak kenal.
Sedih. Gelisah. Gundah sungguh jangan ditanya. Maafkan jika diri ini salah mengingatkan. Tapi sungguh dirinya teramat sayang jika melihat mereka kini jauh seperti apa yang dulu kalian katakan.
Kini... Mereka entah bagaimana. Menutup kabar dari dirinya. Bukankah kita tidak boleh melepaskan sahabat? Bukankah sahabat bisa menjadi syafaat di akhirat kelak? Sungguh jika ada rasa sakit hati pada diri mereka setelah dirinya bertanya mohon berikan maaf. Dia hanya bermaksud baik, ingin memegang sahabatnya erat-erat. Tapi jika mereka memang tak lagi merasa memiliki sahabat macam dirinya, dirinya sudah ikhlas. Hanya tinggal doa yang senantiasa dipanjatkan agar mereka semua kembali ke jalanNya yang dulu selalu mereka ikrarkan. Semoga Allah senantiasa memberi hidayah kepada kita semua terutama dirinya.
Tulisan ini tidak bermaksud menyinggung atau menyudutkan siapa pun. Hanya sebagai pengingat jika suatu saat nanti saya berjalan di luar koridorNya semoga ini bisa menjadi pengingat buat diri saya sendiri. Saya sungguh mencintai sahabat2 saya dengan cara saya ini. Maafkan saya. Semoga Allah mengampuni segala dosa-dosa saya.
Gadis Cungkring itu saya
Reisa Dara Rengganis
Reisa Dara Rengganis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar