Assalamualaikum
Selamat siang semua. Dalam panas terik matahari yang menggelora dan menghangatkan gerbong kereta api yang saya naiki kali ini ada seklumit kisah yang ingin saya bagi.
Saya baru tersadar betapa baiknya Islam. Ya selama ini saya memang mengakui bahwa Islam memang rahmatanlilalamiin, namun sejatinya saya merasakannya saat ini sekarang ini. Terasa begitu mendalam lewat kejadian yang baru saja saya alami, tentunya dengan Abang sebagai pemantiknya.
Tepat tanggal 19 Mei sekarang ini, usia pernikahan kami genap dua bulan. Usia yang baru bermula namun banyak pelajaran yang bisa direngkuh dan diterapkan dalam masa yang kami tapaki kini dan nanti. Hampir sebulan kami melakukan silahturahmi dan ngebolang berdua. Pulau Jawa menjadi target kami, dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jogja, Solo, Surabaya, dan Malang Jawa Timur kami pijaki. Menyambung tali silahturahmi ke sana kemari. Banyak hal yang ditemui bahkan jika saya kemukakan ini terlalu banyak sekali. Namun kali ini akan saya fokuskan pada kejadian yang kurang lebih setengah jam kami alami.
Kami mengakhiri rangkaian perjalanan ngebolang kali ini di Stasiun Surabaya Gubeng menuju Stasiun Sidareja, Cilacap. Dengan kereta ekonomi Pasundan (Karena hanya kereta ini yang berhenti di stasiun Sidareja, stasiun kecil). Tiket kami di gerbong 2 dengan tempat duduk 3A dan 3B.
Tak ada yang spesial pada awalnya selain karena kaki kami yang pegal karena jarak kaki berdekatan. Semua bangku penuh terisi. Dengan 1 tas gunung besar, 1 tas ransel, 1 kerdus kecil berisi oleh-oleh makanan khas Malang dan 1 kantung kresek makanan yang dibawakan oleh Eyang sebagai bekal, perjalanan pulang kami mulai.
Abang, sejak semalam di rumah Eyang ia tidak bisa tidur lantaran kepalanya yang sakit. Dia merasa bahwa tekanan darahnya naik karena bagian punggung terasa berat dan pegal. Abang selalu bilang tidak apa-apa, entahlah mungkin karena tak ingin kukhawatirkan. Sebelum kereta berangkat ia sempat menelan panadol paracetamol yang dianggapnya mampu mengurangi rasa sakit. Perjalanan di kereta lancar jaya hingga, meski sedikit kulihat wajahnya pucat.
Sampailah ketika kereta kami berhenti di Stasiun Solo Jebres. Tiga orang yang duduk dihadapan kami turun, kebetulan bangku kami memang untuk dua tempat duduk dan berhadapan dengan tiga tempat duduk.
Sesaat kemudian kami menselonjorkan kaki. Merenggangkan yang pegal. Dan kami sadari bahwa sebentar lagi akan ada penumpang baru yang mengisi tempat duduk di hadapan kami. Tak berapa lama, seorang bapak-bapak sembari membawa tentengan bertanya ada di gerbong berapa dirinya. Abang dengan segala kebaiknnya senantiasa membantu dan mencari tahu tempat duduk orang tersebut. Mereka satu keluraga yang terdiri dari ayah, ibu, dua anak perempuan dan satu anak lelaki kecil. Ternyata setelah dicek, tempat duduk mereka tepat berada di hadapan kami. 4ABC. Sementara sisanya berada di gerbong 5 dengan nomor tempat duduk 3AB.
Tiba-tiba saja dengan santainya sang bapak meminta pada kami agar bersedia tukar tempat duduk dengan mereka yang memiliki karcis di gerbong 5. Jujur saya kaget karena bagi saya ini tidak sesuai prosedur. Lagi pula kami sudah duduk di bangku kami dari stasiun Surabaya. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya kaki kami yang pegal ditambah saya amat sangat yakin, bahwasannya abang masih sakit kepala. Saya awalnya menggeleng dengan permintaan bapak tersebut. Namun sang bapak mengatakan bahwasannya anaknya baru selesai operasi dan ingin duduk satu keluarga.
Hiks... jujur hati saya tadi berteriak karena ini sungguh mengganggu hak saya, bukan lantaran karena saya tidak peduli dengan orang lain namun karena saya sangat peduli dengan Abang.
Abang, masih dengan senyumnya yang khas, mengiyakan bahwa kami siap bertukar tempat ke gerbong 5. Saya tertunduk meski saya dengar beulang kali sang Bapak meminta maaf atas permintaannya.
Dengan langkah yang sedikit terhuyung meski kereta belum berjalan, Abang menggemblok ransel besar dan membawa sisa barang-barang kami sementara saya hanya menyanggah ransel.
Saya tertunduk saja ketika Abang bilang, "udah nggak apa-apa. Kita yang pindah ke sana. Biar orang lain bisa nyaman" lagi-lagi ia melepar senyum khasnya. Dan saya pada akhirnya menangis sembari mengikutinya dari belakang guna menuju gerbong lima dan mencari tempat duduk yang kami tukarkan.
Gerbong lima... melangkah menujumu aku belajar
Betapa baiknya Islam
Memberikan kenyamanan untuk orang lain lebih diutamakan
Dan kenyamanan diri sendiri di nomor kesekiankan.
Spele... bagi saya tidak, ini pelajaran yang begitu berharga. Meski saya tahu bahwasanya abang masih sakit namun ia tetap mendahulukan orang lain ketimbang diri sendiri.
Saya menurut, saya taat. Meski sebenarnya saya sedikit sedih karena saya tahu kondisi abang sedang tak prima seperti biasanya.
Selama mencari tempat duduk di gerbong lima, saya merapal banyak doa untuk abang. Semoga Allah mengijabahnya aamiin ya Rabbalalamiin
Ini mengingatkan saya akan sebuah kisah. Tentang minum. Entah kisah siapa saya lupa, yang pasti orang-orang saling ingin mendahulukan orang lain untuk minum meski dirinya sendiri sedang kehausan.
-Perjalanan Menuju Sidareja (saat ini di stasiun Lempuyangan Jogjakarta)-
Untuk Abang yang baru saja meminta panadol sebagai peredam sakit kepalanya. Semoga lekas sehat Bang :')