Ini sudah yang ketiga kalinya aku mendapatkan surat kaleng. Tadinya aku tidak menggubris dan tidak merasa terganggu dengan isi surat yang kuanggap sebagai keisengan teman-teman sekelas yang memang doyan sekali mengerjaiku. Tapi, lama kelamaan aku terusik juga.
Dear riska
Ini surat ketigaku, semoga kamu senang. Kamu tidak penasaran aku siapa? Tahukah kamu, bagiku kamu sangat cantik. Meskipun kamu biasa-biasa saja tapi di mataku kamu luar biasa.
Pengagummu.
Surat itu kini benar-benar membuatku penasaran. Siapa sih orang yang iseng mengerjai aku sampai sebegitu isengnya.
“Surat lagi Ris?” suara Ayu temanku sebanggu membuyarkan keseriusanku membaca surat yang kini tergenggam. Aku menjawabnya dengan mengangguk.
“Sudah, nggak usah ditanggepin. Paling-paling anak-anak yang nggak suka sama kamu yang iseng” jelas ayu yang akhirnya menguatkan pemikiran pertamaku tadi. Ya aku memang berpikir anak-anak kelas borjuis di kelasku yang mengerjaiku. Biasanya mereka mempermalukan aku dengan berbagai aksi yang menurutku kurang manusiawi. Menaruh bekas permen karet di bangkuku, mencampurkan saus sambal ke minumanku, yang terakhir mereka mengunciku di kamar mandi. Kadang aku sudah tidak tahan dan tidak sabar jika dikerjai terus seperti itu. Aku memang bukan dari golongan mereka yang bebas melakukan apa saja di sekolah ini. Maklum, sebagian orang tua mereka adalah donator yayasan tempatku bersekolah. Sedngkan aku, yak arena faktor keberuntungan saja aku bisa bersekolah di sini. Kalau bukan karena ayahku yang sudah bekerja hampir 10 tahun sebagai satpam di sekolah ini atau kalau bukan karena keenceran otakku, mungkin lebih baik aku sekolah di tempat yang biasa-biasa saja. Tapi, toh pada akhirnya aku tetap bersyukur bisa bersekolah di sini. Setidaknya aku tidak perlu membayar biaya apapun (karena beasiswa penuh) bahkan bisa mengenal Ayu, satu-satunya teman yang kupunya. Meskipun dia anak orang kaya, dia selalu bersikap baik dan tak pernah bersikap macam-macam padaku.
“iya, paling-paling anak-anak iseng lagi.” Jelasku pasrah. Tadinya aku memiliki pemikiran kedua, yakni… memang ada seseorang yang menyukaiku. Tapi entah kenapa aku memang berharap sekali. Meskipun rasanya mustahil. Aku tidak secantik teman-temanku di kelas. Bahkan kalau mau dikatakan mukaku bisa dibilang culun. Yah, aku tidak menyalahkan siapa pun sih. Aku menerima saja memang keadaanku demikian. Meskipun demikian, aku sebenarnya iri sekali dengan mereka yang setiap hari bisa menghiasi kepalanya dengan bando atau ikat rambut, dan pita berwarna-warni. Sedangkan aku… aku lebih suka mengepang kedua rambutku dengan karet gelang biasa. Habis memang itu yang aku punya. Aku tidak suka mengada-adakan yang tidak ada. Sebab ayahku yang selalu mengajariku demikian.
“Ris… ke kantin aja, yuk. Aku traktir” ajak Ayu. Seketika itu juga aku menjawab ajakan ayu dengan gelengan kepala.
“Terima kasih, aku ingin di kelas saja” jawabku sehalus mungkin. Sudah sering ayu mentraktirku jajan. Aku tidak enak terus-terusan menerima tawarannya. Aku takut teman-temanku yang lain menganggap aku dekat dengan Ayu karena hanya ingin memanfaatkannya saja. Sungguh aku takut ada yang berpikir seperti itu.
“ya sudah, aku ke kantin ya… mumpung belum masuk.” Jelas ayu dan aku pun mengangguk dengan tersenyum. Jam dinding menunjukkan pukul 06.35. seperti biasa… kelas ini masih belum terisi penuh karena memang masuknya jam 07.30. aku sengaja datang pagi karena aku datang bersama ayah. Jadi sekalian mengirit ongkos. Sedangkan ayu datang pagi karena memang rumahnya jauh di bekasi, dia takut terlamabat. Kebanyakan teman sekelasku ini baru datang sekitar jam 07. 20. Beberapa teman lain yang sudah datang menanggalkan tas mereka di kelas dan biasanya langsung menuju kantin untuk mengisi perut mereka yang memang belum terisi apa-apa sekalian menunggu bel masuk berbunyi.
Surat kaleng itu masih digenggamanku saat ini. ada segenap keinginan untuk membalas surat tersebut. Dan akhirnya akupun membalasnya tepat dibalik surat yang kudapatkan di kolong meja tadi.
Dear orang misterius
Terima kasih atas suratnya. Aku nggak tahu kamu siapa? Aku juga nggak tahu tujuanmu mengirim surat ini untuk apa? Ataukah memang sengaja mengerjaiku? Kalau berani tunjukan dirimu dihadapanku.
Setelah kutulis surat itu, segera saja kumasukkan ke dalam kolong meja—tempat aku menemukan surat tersebut. Aku berharap orang misterius itu membalas suratku.
*****
“Eh, gila… kita udah keterlaluan kali ngerjain Riska” ujar Aji kepada ketiga sahabatnya, Indra, Yudhi, dan Fikri. Seketika itu juga Indra dan Yudhi segera mendekati Aji yang sedang asyik membaca sebuah surat.
“Gila… tuh cewek ngebales juga… hahahhaha” Indra berceloteh sambil merangkul Aji dan Yudhi. Sementara Fikri masih saja serius membaca komik conan dan tidak sedikitpun menggubrisnya.
“Ya iyalah… pasti dia penasaran. Pasti disangkanya emang bener-bener ada yang suka sama dia. Ih…. Geer banget”Ujar Yudhi tak mau kalah.
“Kita udah keterlaluan kali guys, udahan aja ah… kasian anak orang” aji berjalan menjauh dan segera menempati sofa. Ia menutup mukanya dengan bantal kecil.
“eh, tanggung kali… kalau ngerjain mah sekalian… sekalian malu… sekalian tuntas.” Indra member ide dan segera duduk bersebelahan dengan Aji.
“setuju, gue. Lo gimana fik?” tanya Yudhi sambil menyenggol Fikri yang asyik membaca. Fikri yang tersenggol seketika menolehkan kepalanyanya. Ia tak berkomentar apa-apa. Dirinya merasa konsentrasinya terusik.“Santai bro… jangan serius-serius amat napa baca komiknya… santai” ujar Yudhi sementara Fikri segera memperbaiki posisi kacamatanya yang turun.
“Gue nggak pernah merasa kutan buat ngerjain Riska. Jadi jangan tanya pendapat gue!” jelasnya singkat jelas padat dan segera membuat suasana di kamar itu sepi… sunyi senyap.
“Beuh… yang punya rumah ngamuk. Udah ah… gue balik. Ngeri kena timpuk. Lagian kasian jyga supir gue udah gue suruh nunggu dari tadi.” Jelas Aji dan segera menepuk punggung Fikri.
“Fik… thanks ya… oh iya guys, gue balik duluan ya… gue udahan ah ngerjainnya. Kasian. Nggak tega gue. Heheh bye!” ujar aji segera melangkah keluar kamar. Yudhi dan Indra kini saling pandang.
“Udah sini gue yang bales” jelas Indra segera mengambil secarik kertas dan menulisnya.
Dear Riska
Akhirnya kamu balas juga suratku. Oke aku bersedia nemuin kamu. Temui aku malam sabtu nanti di kafe depan sekolah jam 8 malam. Aku akan pakai kemeja putih. Aku nggak ada niat dan maksud untuk mengerjai kamu. See you cantik.
Pengagummu
“yakin lo mau nemuin dia?” tanya Yudhi saat membaca surat yang ditulis oleh Indra dengan suara yang sedikit kencang.
“Ya enggaklah, emangnya gila apa gue nemuin dia. Gak level kali ya. Gue punya rencana. Jadi nanti gue akan datang pakai kemeja putih, tapi gue datang ke kafe bukan buat nemuin dia. Hahahha yang pasti gue nemuin Fika-lah… cewek gue. Hahhahahah jadi gue pengen banget bikin dia malu.” Jelas Indra dengan rencana liciknya. Yudhi mengangguk-angguk membayangkan kejadian tersebut nantinya.
“Ah, seru tuh… gue ikut dah… ngelihat dari jauh. Hahahhaha” Jelas Yudhi. Sementara fikri hanya menggeleng melihat kelakuan dan niat jahat kedua sahabatnya itu.
“Lo berdua ada-ada aja sih. Jahat tahu nggak!” jelas Fikri tiba-tiba buka suara saat kedua sahabatnya tertawa terbahak-bahak. Indra dan Yudhi langsung terdiam.
“Biasa aja kali Fik… lo nya aja yang nggak asyik. Komik mulu… dah ah… balik gue. Yuk cabut Yudh… daripada di sini terus… gue balik bro…” pamit Indra diikuti dengan Yudhi.
******
“Kamu mau nemuin orang ini?” Tanya Ayu saat kuserahkan surat yang baru kutemukan di kolong meja pagi ini. Aku pun menjawabnya dengan anggukan perlahan.
“Kamu yakin?” tanya ayu lagi dan kali ini aku mengangguk dengan yakin.
“Kalau ternyata orang yang mengirim surat ini mengerjaimu bagaimana?” tanya Ayu sedikit khawatir. Sesaat aku mengambil napas dan mengembuskannya perlahan.
“AKu harus nemuin orang ini Yu. Nggak apa-apa deh kalau ternyata aku memang dikerjain. Aku bakalan ngomong sama orang itu untuk nayain kenapa iseng banget ngerjain aku. Aku hanya ingin tahu salah aku tuh apa kok selalu aku yang dikerjain. Apa karena mentang-menatang aku beda dari orang-orang di sini. Kalau boleh jujur sebenarnya aku juga nggak betah Yu sekolah di sini.” Ujarku tiba-tiba. Sepertinya aku terlalu keceplosan mengungkapkan perasaan tertekanku. Ayu menggenggam tanganku perlahan.
“Sabar ya, Riska… kamu jangan ngomong nggak betah sekolah di sini dong. Kalau nggak ada kamu, aku temenan sama siapa lagi coba.” Jelas ayu menghiburku. Aku pun tersenyum. Memang hanya ayu yang baik dan paing baik.
“Ya sudah, aku akan nemenin kamu sabtu malam nanti. Kamu nggak apa-apa?” tanya ayu dan aku pun mengangguk tersenyum senang.
“Jelas nggak apa-apa banget Yu. Aku malah seneng kalau kamu mau nemenin aku. Tapi kamu apa nggak kejauhan dari bekasi malem-malem ke kafe sekolah?” tanyaku kemudian.
“Nggak apa-apalah. Nanti pulangnya aku ikut kamu aja. Nginep di rumah kamu, itupun kalau kamu izinin” jelas ayu sambil tersenyum.
“Kamu beneran mau nginep di rumah aku? Aku sih seneng banget kalau kamu mau nginep di rumahku yang kecil.” Tanyaku meyakinkan apa yang diucapkannya.
“Seriuslah… memangnya aku pernah bohongin kamu.” Jelas Ayu dan akupun segera berterima kasih.
******
Malam ini aku sudah bersiap untuk berangkat ke kafe depan sekolah. Ayah mengizinkan aku pergi karena memang kata ayah aku sudah dewasa dan tidak masalah jika keluar malam minggu. Terlebih aku bilang ke ayah kalau nanti temanku, ayu, akan menginap. Padahal ayah tidak tahu bahwa sebenarnya aku keluar sabtu mala mini karena ingin tahu siapa orang yang selama ini mengirimkan surat kaleng untukku.
“Riska…” teriak suara perempuan saat aku melangkah ke dalam kafe di depan sekolah. Aku pun segera menoleh dan melihat ayu dengan penampilan yang berbeda. Baju t-shirt bergambar kartun shizuka melekat dibadannya. Ia terlihat begitu casual , trendy, tapi sederhana. Ada bando kecil yang mengiasi kepalanya. Berbeda sekali rasanya jika dibandingkan dengan penampilan dirinya saat berseragam putih abu-abu.
“Ayu, cantik banget” pujiku saat melihatnya datang. Kamipun segera masuk ke dalam kafe yang lumayan sudah terisi banyak manusia-manusia dengan ikatan janji yang dibuatnya sendiri (berpacaran).
“Eh, bias aja kok. Kok kamu kepangan terus sih?” tanya Ayu dan segera menarikku ke toilet. “Sini aku dandanin dikit biar lebih beda sama penampilan di sekolah” ujar ayu lalu melepaskan kepanganku. Yah, aku memang lebih suka mengepang rambut dibandingkan mengurai-nya. Aku menurut saja ketika Ayu melepaskan kepangan yang sudah kubuat dengan rapi.
“Kamu tuh enak rambutnya panjang… tapi jangan dikepang terus. Diurai sekali-kali… biar kelihatan fresh atau dikuncir kuda gitu” jelas ayu sambil menyisir rambutku. Aku jadi teringat ibu… sudah lama sekali tidak ada orang lain yang menyisir rambutku. Kalau saja ibu masih hidup.
“Heh, malah ngelamun. Menurut kamu gimana?” Tanya ayu sambil menunjukan hasil kreasinya melalui cermin kecil yang dibawanya. Rambutku kini terurai. Terlihat manis memang. Terlebih aku mengenakan baju terusan berwarna jingga.
“Bagus. Tapi apa nggak kaya singa?” tanyaku sedikit khawatir karena rambutku memang bergelombang tidak lurus seperti miliknya.
“Ya enggaklah. Kamu cantik tahu” ujarnya lagi. Aku pun senang mendapat pujian darinya. Memang sih, kata ibuku dulu aku memang cantik kalau diurai. Tapi aku tidak suka karena rasanya gerah dan seperti singa.
Kami berdua pun segera duduk di salah satu sudut meja yang memiliki posisi cukup strategis. Dari tempat ini kami bisa melihat orang yang baru datang ke kafe dan sebaliknya. Jam menunjukkan pukul 20.00. harusnya jam segini pengirim surat misterius itu sudah datang. Tapi rasa-rasanya dari tadi kami tidak melihat sosok lelaki yang mengenakan kemeja putih.
“Eh, itu pakai kemeja putih” jelas Ayu sambil menunjuk ke arah seorang lelaki yang baru datang. Indra. Ia memang mengenakan kemeja lengan pendek verwarna putih. Masa iya Indra orang yang selama ini mengirimi aku surat. Ada sedikit keraguan dalam hatiku. Setahuku indra adalah orang yang waktu itu mengerjaiku dengan menempelkan permen karet ke tempat dudukku. Apa ia benar suka padaku.
“Mas Indra sih?” tanyaku perlahan pada ayu. Ayupun sama bingungnya denganku terlebih kini Indra berjalan melangkah ke arah tempat kami duduk.
“Tapi kok dia ke arah sini?” tanya ayu dan akupun hanya mampu menjawabnya dengan gelengan kepala. Tidak tahu.
“Hei” sapa Indra ke arah kami berdua. Aku pu terkaget dan spontan langsung berdiri.
“Lo, ndra orangnya?” tanyaku sedikit takut tapi entah mengapa aku merasa memang dia yang membuat surat itu.
“Orangnya apa? Eh, gue lagi nggak nyapa lo, ya. Gue lagi nyapa Ayu.” Jelasnya dan membuatku terduduk. Bener-bener orang ini.
“Lo, yang ngirimin Riska surat ndra?” tanya Ayu segera. Indra tertawa cengengesan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Surat? Surat apaan? Surat cinta?hahahahha nginggo… ngapain jug ague ngirimin dia surat. Eh… temen-temen… gue kasih tahu ya… gue ke sini mau nemuin cewek gue, Fika. Bukan nemuin dia. Lagian lo aneh-aneh aja… siapa juga orang yang mau nemuin Lo.” Jelas Indra setengah berteriak hingga membuat sebagian pengunjung kafe ini melihat ke arahku. Aku menahan malu saat itu. Ya memang aku dikerjai. Tahu dari mana indra kalau ada orang yang memberiku surat cinta? Dasar orang aneh.
“Kita balik aja, Yu. Udah tahu ini siapa orangnya. Mereka emang orang-orag yang nggak punya hati. Cukup tahu aja aku diginiin.” Jelasku menahan kesedihan. Ayu menusap-usap punggungku. Sementara Indra hanya tertawa lalu berjalan meninggalkan tempat kami berjalan ke arah fika. Pacarnya.
Tak berapa lama kemudian datang seorang laki-laki mengenakan kemeja putih ke arah kami. Seketika itu juga aku menoleh.
“Riska, yang ngirim surat itu, Gue. “ ujar laki-laki itu sambil duduk menghadapku. FIKRI. Laki-laki yang hanya sempat kusapa 3 kali selama 1 tahun bersekolah ini terlihat begitu tenang menatapku. Dulu ia mengenakan kaca mata minusnya yang sedikit tebal, tapi kini ia tidak mengenakannya, sepertinya ia mengenakan lensa kontak.
“Lo yang ngirimin gue surat itu?” tanyaku lagi memastikan dan ia pun mengangguk. Orang-orang yang tadi memperhatikanku kini memperhatikanku lebih saksama. Terutama Indra yang tdai habis-habisan mempermalukanku.
“Gue yang selama ini ngirim surat ke Riska. Ada masalah kalau gue suka sama dia?” Ujar Fikri sedikit berteriak. Bahkan membuat muka Indra serba salah. Aku tahu sekali kalau Indra dan Fikri itu bersahabat.
“maksud lo ngirim surat itu apa?” tanyaku lagi berusaha meyakinkan kalau memang Fikri yang mengirimi aku surat.
“Gue suka sama Lo.” Ungkapnya perlahan membuat hatiku berdegub kencang. Seperti terpelanting. Aku dan ayu langsung berpandangan. Ayu meleparkan senyuman padaku.
“Fik, gue mau ngomong sama Lo” ujar Indra yang tiba-tiba datang dan menarik tangan fikri. Fikripun berdiri mengikuti ke mana Indra membawanya. Entah apa yang mereka bicarakan di luar kafe. Yang jelas aku senang karena memang surat itu ternyata bukan surat iseng yang sudah kukhawatirkan.
*******
“Lo ngapain pakai pakaian kaya gini, Fik? Terus maksud lo apaan kok lo ngomong yang ngirim surat itu Lo?” Indra menyergahku saat aku bermaksud untuk kembali ke dalam kafe.
“Udahlah ndra, gue udah capek lihat kelakuan lo sama Yudhi belakangan ini. Tadinya gue juga marah sama Aji. Tapi setelah aji menyatakan untuk berhenti kemarin gue sedikit lega. Setidaknya dia sadar sama perbuatan yang ia lakukan ke riska. Nggak kaya lo yang semakin menjadi-jadi” jelasku sedikit menahan emosi kepada orang yang sudah kuanggap sahabat ini.
“Gue kan Cuma iseng ngerjain doing, Fik. Santai ajalah. Lo nggak usah sampai sebegininya kali, ngaku-ngaku kalau Lo yang ngirim surat itu.” Jelas Indra menyalahkan kelakuanku.
“Lo udah keterlaluan ndra. Lagian gue juga jengah kalau lo suka ngusik orang yang emang gue suka!” jelasku lalu berjalan kembali ke dalam kafe. Ya … aku akhirnya mengakui semua. Dulu aku memang sempat megerjai Riska, tapi entah kenapa ada perasaan yang lain mungkin seperti perasaan yang dirasakan conan ke Ran. Ada tiga kenangan tentangnya yang kusimpan selama setahun belakangan ini. Memang kami tidak pernah akrab, tapi setidaknya kami pernah bertegur sapa bahkan dia pernah menolongku saat aku sedang latihan praktikum kimia di laboratorium di sekolah. Kalau saja ia tidak memperingatkanku untuk tidak mencampurkan larutan asam sulfat ke dalam larutan yang asal kubuat mungkin saat itu tanganku sudah terbakar. Dia gadis pintar sederhana yang pernah kutemui. Dan mala mini aku memang menyukainya, terlebih melihat penampilannya yang berbeda.
Meskipun memang buakan aku yang mengirim surat selama ini tapi setidaknya surat-surat itu telah menjadi perwakilan atas perasaanku selama ini.
Depok 16 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar