Lelaki tua membawa kotak dua.
Di tengahi oleh kayu panjang yang mulai rapuh dan meluluh. Badannya sudah lelah, nafasnya sedikit terengah. Ia bersandar pada sebuah tembok besar yang menyanggah sebuah bangunan, biasa disebut gedung megah di tengah matahari yang mampu membuat gerah.
Kotak kanan berisi alat menjahit. Benang, jarum, dan juga lem perekat berwarna kuning tua, Aibon namanya. Kotak sebelah kiri berisi berbagai sol untuk alas kaki, semir hitam dan coklat, tak lupa sebuah sikat yang sudah tak lagi terikat.
Lelaki tua mengusap lelahnya, berupa bulir-bulir keringat dengan sehelai handuk yang mulai mengkerut. Warnanya tak lagi ideal dikatakan putih. Handuk itu sebagai saksi dan teman hidup atas pencarian rizkinya selama ini.
Sudah setengah hari ia berjalan, pencariannya belum juga menghasilkan. Belum ada satupun makhluk yang juga membutuhkan jasanya untuk sekadar menperkuat alas perjalanan mereka. Ia mulai lelah, perutnya bergejolak. Semenjak kemarin malam, belum ada sesuap makanan yang menghampiri pencernaannya.
"Tuhan, aku sudah berusaha. Aku sudah meminta padaMu. Jangan biarkan tangan ini menengadah selain padaMu. Berilah aku rizki. Aku sudah tidak kuat lagi. Bukankah Engkau yang senantiasa mencukupi rizki pada setiap hamba yang hanya menggantungkan diri padaMu."
Doanya nyaring terdengar, melalui bibirnya yang bergetar. Ia terduduk, ketika sampai di jalan pedestrian. seketika melepas topi hitam tua yang sudah pudar warna.
Beberapa orang berlalu lalang di hadapannya. Hatinya menangis, sedikit teriris karena lelah badan sudah tidak bisa ditahan. Hampir setengah jam ia berada di trotoar jalan. Tanpa kepedulian, tanpa kekuatan.
Ia sudah teramat payah, seketika itu juga tangannya mengadah. Bukan, ia tidak lagi meminta pada Tuhan. Tangan terbuka itu ditujukan untuk manusia yang melewatinya di depan. Hatinya hancur, terpaksa melakukan demikian. Berkali-kali maaf pada Rabbi terucap dalam hati, ia benar-benar menyerah.
Orang-orang yang lewat tak punya iba yang merekat. Sampai suara langkah berhenti di hadapannya.
Seorang pemuda dengan tas hitam kebesarannya. Ia berjongkok sambil menatap wajah pak tua. Senyumnya tersungging ada hati yang bersorak nyaring. Dengan cepat ia mengeluarkan sebuah kotak berisi makanan padat dan sebotol mini air mineral. Ia memberikan kotak itu bukan di tangan, tapi di samping pak tua yang renta. "Pak, makan dulu" ujarnya tersenyum sambil menyentuh pundak pak tua yang sedang memejamkan mata.
Pak tua melihat dengan saksama, wajah pemuda yang membuyarkan penyesalan dirinya saat meminta selain Rabbi. Belum sempat ia berucap terima kasih, pemuda itu memberikan sebuah amplop putih.
"Pak, saya sudah cari bapak dari tiga bulan yang lalu. Mungkin Bapak lupa sama saya, tapi saya tidak. Kalau tidak ada Bapak, mungkin saya tidak bisa presentasi dengan baik karena sepatu saya lepas solnya. Ini tidak seberapa, semoga bisa Bapak gunakan untuk usaha sol sepatu Bapak." Jelasnya tersenyum. Tulus.
3 bulan yang lalu
Matahari sudah setengah naik, seorang pemuda dengan rasa gelisah mondar mandir di sebuah ruangan berpenyejuk. Keringatnya mengucur padahal ruangan tak gerah sedikit pun. Hatinya gelisah, sore nanti ia diajak melakukan presentasi terkait pekerjaannya. Bukan masalah bahan presentasinya yang membuatnya gelisah. Semua sudah siap, hanya saja penampilannya tidak. Atasannya berpesan bahwa kliennya kali ini amatlah perfeksionis. Tak mau ada cela dan salah sedikitpun. Bahkan untuk urusan penampilan, klien itu tak akan malu dan segan untuk berkomentar. Baju pemuda dari atas hingga bawah tak ada cela, hanya saja sepatu pantofel hitamnya sedikit kehilangan bagian dari kesempurnaan. Sol nya terbuka di depan hingga membuat angin bebas melenggang. Jika saja dia mampu, pasti dengan mudahnya ia akan membeli model sepatu baru di sebuah bangunan megah yang menawarkan berbagai barang, makanan, serta jasa. Lagi pula jaraknya hanya beberapa hasta. Mal itu tepat berada di depan kantornya. Namun, apa daya... kemampuan finansialnya kurang mendukung. Terlebih sekarang sudah tanggal tua.
Berbekal sebuah harapan, saat jam istirahat ia berharap bertemu dengan penjual jasa menjahit sepatu. Tuhan kabulkan harapnya. Seorang tukang sol sepatu lewat. Jalannya sudah tertatih. Tapi semangatnya tak letih. Tangannya yang kisut mulai menjahit sepatu yang terbuka. Selesai melakukan perbaikan, pak tua melanjutkannya dengan menyikat dengan semir hitam pekat. Sepatu milik pemuda terlihat sempurna.
Pemuda itu nampak gembira, kelegaan melambung di dada dan pikirannya. Tiada lagi yang ia resahkan, pak tua itu berhasil menyelamatkan. Ia membayar dengan riang, tak meminta uang kembalian padahal uangnya berlebih. Pak tua itu memanggil, tetap saja mengembalikan. Ia hanya mau terima haknya. Sungguh nilai kejujuran terlihat bertahan.
Presentasi pemuda, berhasil luar biasa. Mampu memukau atasan dan klien dengan berkesan. Tak ada cela hingga ujung pertemuan berdampak besar. Pujian menghampiri membuat hati sejuk teraliri.
"Anda rapi sekali, saya suka kerapian Anda. Terlebih sepatu pantofel itu begitu memikat mata."
Pujian itu mengantarnya pada posisi diri. Pemuda mendapatkan tempat di hati. Selain kinerja maksimal luar biasa ia mampu mimikat jiwa dengan penampilan sederhana yang tetap mengena. Saat itu pikirannya hanya satu, tekadnya ingin mencari bapak tua yang telah memberi banyak peluang dan tantangan
Hingga di ujung siang, Tuhan kabulkan lagi doanya agar bisa bertatap muka dengan pak tua penjaja jasa sol sepatu.
Tuhan tak izinkan pak tua meminta selain padaNya. Dia menjamin rizki hambanya ^_^
Perjalanan Depok-Cileduk
Sepanjang angkutan kopaja tua
Published with Blogger-droid v2.0.4
Bagus kakak
BalasHapuswah terima kasih kakak sudah mampir
BalasHapus