REFLEKSI PENOKOHAN BIMA DALAM MAHABARATA DENGAN PENAMAAN KERETA API BIMA[1]
R. D. Rengganis
Abstrak
Mahabarata merupakan salah satu epos yang berasal dari India . Epos Mahabarata terkenal hampir di seluruh dunia. Secara garis besar epos ini bercerita tentang pertempuran baratayuda antara pandawa dengan kaum kurawa yang tak lain adalah perang saudara. Tokoh pandawa terdiri atas lima orang, yakni Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Shadewa. Bima, merupakan salah satu tokoh dalam pandawa yang cukup menonjol. Kekuatan, kehebatan, dan sikap Bima begitu kuat tergambar dalam Mahabarata. Ketenaran tokoh Bima dalam Mahabarata tak dapat dipungkiri mengilhami penamaan sebuah kereta api yang juga mengusung nama Bima, yakni Kereta Api Bima. Dalam jurnal ini penulis akan memaparkan refleksi penokohan Bima dengan penamaan Kereta Api Bima.
Kata Kunci: Mahabarata, Refleksi, Makna.
Pendahuluan
Mahabarata merupakan salah satu epos yang berasal dari India . Penulis Mahabrata adalah Vyasa—cucu dari pengamat Veda terkenal—yang mengkontribusikan dirinya untuk korpus dari Veda. Vyasa, membuat Mahabrata sebagai Veda kelima (Fitzgerald, 1983). Cerita Mahabarata hampir tersebar di seluruh belahan dunia bahkan sampai ke Indonesia .
Di Indonesia, cerita Mahabarata mengalami proses pembauran dengan kebudayan lokal. Akan tetapi cerita ini tetap mengusung kisah peperangan Baratayuda antara Pandawa dengan Kurawa. Menurut Liaw (1991:77) Inti cerita Mahabarata sebenarnya ialah sejarah bangsa Bharata yang terdiri dari 24.000 seloka.
Cerita Mahabarata telah diadaptasi ke beberapa bentuk media, seperti film Mahabarata[3], Wayang[4], dan komik.[5]Hal ini membuktikan bahwa ketenaran cerita Mahabarata memang masih bertahan sampai saat ini. Tokoh-tokoh dalam Mahabarata yang cukup terkenal, yakni Pandawa. Pandawa merupakan sebutan terhadap lima tokoh kesatria yang menjadi sentral dalam kisah ini. Pandwa terdiri dari Yudistira, Bima, Arjuna, dan si kembar Nakula Shadewa. Ketenaran salah satu tokoh Pandwa, yakni Bima bahkan hingga menginspirasi penamaan salah kereta api di Indonesia , yakni Kereta Api Bima.
Nama Kereta Api Bima jika didengar oleh orang yang memiliki konteks pengetahuan latar belakang terhadap Mahabarata akan memberikan kesan bahwa penamaan kereta api tersebut mungkin berkaitan dengan salah satu tokoh Pandawa. Akan tetapi jika nama Kereta Api Bima didengar oleh orang yang tidak memiliki konteks pengetahuan latar belakang terhadap Mahabarata, nama tersebut mungkin tidak akan memberikan kesan apa-apa. Nama Kereta Api Bima merupakan suatu teks yang merujuk terhadap suatu konteks. Menurut Belsey apa yang melekat pada teks adalah suatu kisaran kemungkinan makna (Allen, 2004: 1).
Kereta Api Bima sebagai sebuh nama kereta api merupakan teks yang mengandung makna yang dapat dipaparkan. Menurut Hirsch makna adalah apa yang diwakili oleh tanda-tanda teks itu; di lain pihak “arti” menggambarkan hubungan makna itu dengan seseorang (Allen, 2004:2). Berkaitan dengan hal tersebut penulis mencoba menggunakan pendekatan semiotik. Semiotik sebagai ilmu tentang tanda selalu menghubungkan suatu tanda dengan “sesuatu yang diwakilinya” (Muradi, 1990: 29). Penulis melihat kecenderungan atas penamaan Kereta Api Bima sebagai sebuah teks yang berkaitan dengan bahasa sebagai tanda atas pemaknaan terhadap sesuatu dalam hal ini terhadap tokoh Bima.
Menurut Saussure dalam Course de Linguistique Generale bahasa adalah sistem tanda; dan tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak terpisahkan satu sama lain: signifiant (penanda) dan Signifie (petanda); significant aspek formal atau bunyi pada tanda itu dan Signifie adalah aspek kemaknaan atau konseptual (Teeuw, 1984: 43). Dari ulasan di atas penulis berpendapat bahwa penokohan Bima dalam Mahabarata merefleksikan penamaan Kereta Api Bima tersebut. Oleh karena itu dalam jurnal ini penulis akan memaparkan penokohan Bima dan membandingkannya dengan penamaan Kereta Api Bima sebagai refleksi atas penokohan tersebut.
Sekilas tentang Mahabarata
Secara garis besar Mahabarata merupakan cerita kephlawanan yang menghadirkan peperangan besar antara Pandawa—terdiri atas Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa—dan pasukannya melawan Kurawa—Druyodana dan 99 adiknya—beserta pasukannya. Sebenarnya perang tersebut merupakan perang saudara karena Pandawa adalah anak Pandu—adik dari Dastarasta, ayah Kurawa.
Sifat iri Duryodana terhadap Pandawa telah tertanam semenjak ia kecil. Pada akhirnya sifat iri tersebut menjadi dengki dan membuat Duryodana rela melakukan apa saja agar Pandawa dapat tersingkir. Bahkan Duryodana sempat beberapa kali mencoba membunuh Pandawa walaupun pada akhirnya selalu gagal. Konflik antara Pandawa Kurawa pada akhirnya berujung pada perang besar yang terjadi di padang Khuruksetra selama 18 hari.
Sekilas tentang Kereta Api Bima
Kereta Api Bima pertama kali diluncurkan pada bulan Maret 1967. Kereta ini merupakan awal dari sejarah pengoperasian kereta api dengan fasilitas pengatur suhu ruangan atau Air Conditioner di Indonesia. Kereta Api Bima melayani perjalanan Jakarta —Surabaya . Perjalanan Gambir—Surabaya Gubeng (825 km) melalui lintas Selatan ditempuh dalam waktu kurang lebih 13 jam dan berhenti di Stasiun Cirebon, Purwokerto, Yogyakarta, Solo Balapan, Madiun, Kertosono dan Jombang.
Diawal pengoperasiannya, KA Bima dilengkapi dengan fasilitas tempat tidur dan eksterior kereta yang sengaja dicat dengan warna biru. Namun sesuai dengan keinginan dari pelanggan, sejak tanggal 9 Juni 1990 KA Bima mengalami perubahan interior menjadi kereta eksekutif dengan tetap dilengkapi fasilitas pendingin ruangan (AC). Untuk meningkatkan pelayanan kepada pelanggan sejak tanggal 1 Agustus 2002 rangkaian KA Bima sengaja diganti dengan rangkaian kereta api sekelas Argo dengan kapasitas angkut sebanyak 400 orang (membawa rangkaian 8 kereta kelas eksekutif).
Refleksi Penokoh Bima dengan Nama Kereta Api Bima
Dalam cerita Mahabarata, Bima merupakan anak ke dua Pandu yang dilahirkan dari persenggamaan Kunti dengan Dewa Angin. Bima digambararkan sebagai tokoh yang sangat kuat dan tidak ada bandingannya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Dan begitulah pada hari yang sama dengan kelahiran Duryodana, lahir Bima yang sangat kuat dan hebat, dan suara di langit memaklumkan, “Tak satupun mahluk yang kuat daripada Bima.” Pada suatu hari tatkala Kunti tiba-tiba berdiri karena dikejutkan oleh seekor harimau , bayi yang sedang berada di pangkuannya itu terjatuh ke atas sebuah batu, yang menyebabkan batu hancur manjadi debu karena benturan itu (Lal, 2008: 37)
Selain kuat, tokoh Bima juga memiliki kekuatan berlari yang hebat. Bahkan kekuatan Bima dan saudaranya melibihi kekuatan atau kemampuan anak-anak Dastarasta. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Sementara itu, putra-putra pandu tumbuh menjadi dewasa di dalam keraton; dalam segala hal mereka melebihi kemampuan putra Dastarasta. Bima juara berlari, memanah, bersantap, dan mendebarkan debu ke mata lawan-lawannya (Lal, 2008: 41)
Kehebatan Bima jika direfleksikan terhadap Kereta Api Bima sangatlah sesuai. Kereta Api Bima dianggap memiliki kecepatan yang dapat dirujuk atau diintepretasikan terhadap kecepatan berlari Bima dalam cerita Mahabarata. Menurut Belsey mengonseptualisasikan “interpretasi” sebagai suatu alat untuk menghasilkan makna. Makna sebuah teks tergantung pada interpretasi (Allan, 2004: 2). Dalam hal ini kecepatan Bima dalam berlari dapat diintepretsikan terhadap kecepatan Kereta Api Bima dalam menempuh perjalanan jauh (Jakarta —Surabaya ).
Kekuatan Bima dalam cerita Mahabarata juga dapat terlihat ketika ia membawa ke empat saudaranya dan ibunya—Kunti pada malam hari untuk menghindari bahaya pembakaran yang dilakukan oleh Duryodana. Bima menggendong ke empat saudaranya, yakni Yudistira, Arjuna, Nakula dan Shadewa melewati terowongan yang memang telah mereka siapkan sebelumnya dalam menghadapi serangan Duryodana dan kawan-kawannya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Terbangun oleh gemertak api, penduduk kota berkumpul di sekitar istana itu, berdiri tanpa memberikan pertolongan, menyaksikan kebakaran itu sepanjang malam, dan menyimpulkan bahwa puncorana telah berhasil membakar kakak-beradik Pandawa hidup-hidup.
Tapi para Pandawa berjalan menerobos gelap sampai mereka tiba di tepi gangga, mereka menyebarngi dengan sebuah perahu, menuju ke selatan, dibimbing oleh bintang-bintang. Mereka merasa lelah, haus, dan mengantuk, tapi Bima yang tak kenal lelah dengan mudahnya mengangkat ibu dan keempat saudaranya untuk dipanggul di pundaknya meneruskn perjalanan sampai akhirnya ia meletakkan mereka yang sudah kehabisan tenaga, untuk tidur di tempat yang terbuka di dalam hutan itu, dan ia sendiri tetap menjaga mereka (Lal, 2008: 59)
Dari kutipan di atas dapat dilihat kekuatan Bima yang berjuang untuk menyelamatkan keluarganya dengan cara menggedongnya tanpa lelah. Penokohan dalam hal kekuatan Bima pun dapat ditelisik dan diinterpretasikan terhadap Kereta Api Bima.
Kereta Api Bima beroperasi pada malam hari dan berjalan menembus birunya malam yang dapat disingkat dengan kata BIMA (Biru Malam). Selain itu kata Bima dianalogikan pula dengan nama dari salah satu tokoh pewayangan Bima yang memang digambarkan memiliki karakter tubuh tinggi besar, kokoh, kekar, kuat dan pemberani. Sejumlah karakter itu sengaja dilekatkan pada Kereta Api Bima untuk menggambarkan keandalan perjalanan dan kualitas pelayanannya yang selalu siap dalam berbagai cuaca (PJKAI, 2002).
Keterangan tersebut memberikan penjelasan terhadap penggunaan nama Bima dalam Kereta Api Bima yang memang merujuk pada penokohan Bima dalam cerita Mahabarata. Ciri fisik Kereta Api Bima yang kuat dan kokoh dapat dipadu padankan dengan ciri fisik tokoh Bima. Hal tersebut dapat dijadikan seagai salah satu alasan bahwa nama Kereta Api Bima sebagai suatu teks yang mengandung makna dapat diintepretasikan sebagai sebuah tanda atau lambang yang merujuk pada tokoh Bima.
Kesimpulan
Refleksi penokohan Bima dalam Mahabarata dapat dikaitkan terhadap pemaknaan nama Kereta Api Bima. Nama Kereta Api Bima sebagai suatu teks mengandung suatu makna yang dapat dirujuk dan diintepretasikan terhadap suatu hal. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa nama Kereta Api Bima memiliki kecenderungan pemaknaan yang merujuk pada tokoh Bima dalam cerita Mahabarata. Hal ini juga bergantung pada konteks pengetahuan latar belakang yang dimiliki oleh seseorang terhadap cerita Mahabarata.
Daftar Pustaka.
Allen, Dr. Pamela. 2004. Membaca dan Membaca lagi [re]interprtasi Fiksi Indonesia 1980—1995. Magelang: Buku Indonesia Tera.
Fitzgerald, James L. 1983. “The Great Epic of India as A Religious Rhetoric: A Fresh Look at The Mahabarata” Journal of The American Academy of Religion, Vol 51 no 4. 611—630. Oxford University Press. URL: http://www.jstor.org/stable/1462584. (Diakses pada 21 September 2010).
LaL, P. 2008. Mahabarata. Jakarta : Pustaka Jaya.
Liaw Yock Fang. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik 1. Jakarta : PT Erlangga.
Muradi, Supardy. 1990. Kesusasteraan Daripada Perspektif Semiotik. Selangor: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia .
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya.
PJKAI. 2002. “Karakteristik Kereta Api Bima”. www.kereta api indonesia/bima?/ac/php. diakses pada 22 Desember 2010.
[1]Jurnal ini sebagai pemenuhan tugas ujian akhir semester mata kuliah sastra wayang.
[2] Penulis adalah mahasiswa program studi Indonesia angkatan 2007.
[3]Film Mahabarata versi India pernah ditayangkan di Indonesia , saat ini terdapat kartun Litle Khrisna di MNC TV. Litlte Khrisna merupakan perwujudan tokoh Khrisna di masa kecil. Khrisna merupakan salah satu tokoh yang terdapat dalam cerita Mahabarata.
[4] Wayang Purwa sebagai salah satu kebudayaan rakyat yang sangat digemari oleh orang Jawa.
[5] R.A Kosasih mengarang komik dengan berbagai judul, seperti Mahabarata, Bharatayuda, Lahirnya Rahwana, dan Pandawa Seda dengan mengambil latar cerita Mahabarata.
[6] Kereta Api Bima nampak samping dengan nuansa warna putih dengan gradasi garis bewarna biru. Kereta Api Bima berangkat saat senja menjelan malam.
suiiipppp.... ^_^
BalasHapus