Tentang Kamu Part 2
Kamu…
aku merasa menemukanmu saat sakit… sakit hati yang rasanya tak bisa kubendung lagi. Awalnya aku hanya menganggapmu sebagai kawan dunia maya yang labil dan kesepian. Aku selalu hapal tentang kamu. Tapi hanya sebatas itu, nggak lebih… tapi itu awalnya… permulaannya saja. Saat ini aku ingin berharap lebih dari itu. Entah karena ini adalah pelarianku, atau memang aku butuh kamu. Yang jelas hanya kamu yang sekarang mampu merajut luka dalam hatiku.
Dulu saat kamu masih SMA, kita berkenalan lewat dunia maya, tentu saja tujuanku saat itu iseng-iseng mencari jodoh. Walaupun aku tahu mustahil rasanya bertemu jodoh melalui perkenalan dunia maya. Kamu mengadd nick emailku dan akupun demikian… kamu bukan yang spesial saat itu, bukan… karena targetku saat itu mencari orang yang statusnya sama seperti aku, mahasiswa. Saat itu aku baru beberapa tahun menyandang status sebagai mahasiswa di perguruan tinggi negri di daerah Bandung. Perguruan tinggi yang bergengsi bagi kaum adam sepertiku, ITB.
Semuanya berjalan begitu saja… sampai akhirnya aku jarang sekali menyapamu bahkan ketika kamu sedang online, kamu pun demikian. Hampir beberapa tahun berlalu, hingga akhirnya di tahun 2007 kamu menyapa aku duluan. Biasa saja aku menjawab dan tidak terlalu menanggapimu bermacam-macam, maklum saat itu aku sedang sibuk untuk memulai menyusun skripsi. Tapi karena aku merasa kamu kawan di list messangerku yang cukup lama bertengger akhirnya aku sedikit menanyakan tentang kegiatanmu. Saat itu, kamu bercerita tentang status baru yang kausandang sebagai mahasiswa di universitas negri di depok. Jujur aku agak senang karena aku punya kawan yang cukup pintar juga. Kamu masuk jurusan sastra. Aku bangga… tapi saat itu fokusku bukan ke kamu tapi ke skripsiku… lagi pula saat itu ada gadis lain yang sudah mengisi hatiku. Renata. Dia juniorku yang kupikir bisa menjadi pacarku. Setelah wisuda nanti aku bertekad untuk menembaknya menjadi pacarku. Ya tekadku sudah bulat. Maklum selama kuliah aku tidak pernah berhubungan atau yang biasa lazim disebut orang sebagai “pacaran” mungkin karena sifat dan pribadiku yang sangat tertutup. Lagi pula kebanyakan semua teman-temanku laki-laki.
Juni 2008 aku sah menyandang gelar sebagai sarjana. Dalam Wisudaku, Renata hadir… kupikir ia khusus hadir untuk menyambut kelulusanku tapi ternyata tidak. Ia hadir justru untuk mendampingi Ryan, temanku. Pertanyaanku terjawab sudah. Ternyata selama ini aku salah memahami dan mengartikan kedekatan dan perhatian yang diberikan Renata kepadaku. Ryan, yang memang teman dekatkulah yang ternyata ada dihatinya.hufft… Aku diam saja saat itu, memang aku juga tidak bisa berekspresi apa-apa..Toh aku memang orang yang kaku. Tapi setidaknya rasa sakit itu bisa terobati dengan kehadiran Ibuku. Seandainya saja ayah masih hidup pasti dia akan bangga melihat toga yang aku kenakan. Jujur, aku bangga dengan hidupku sendiri. Kuliah ini mampu aku selesaikan dengan biayaku sendiri, setidaknya aku tidak merepotkan Ibu. Dan setelah ini aku akan bisa membantu ibu untuk membiayai adik-adikku.
Tuhan memang yang terbaik, segala rencana hidupku berjalan sesuai dengan segala harapanku. Aku mampu membantu membiayai sekolah adik-adikku. Hampir dua tahun sudah aku bekerja di salah satu perusahaan Swasta terbesar di Jakarta, aku bekerja di bagian IT. Umurku baru 24 tahun saat itu, aku merasa sudah yakin dan mampu untuk membangun rumah tangga seperti teman-teman sekantorku yang kebanyakan sudah menikah. Walaupun beberapa ada yang memiliki prinsip untuk menikah saat usia matang dan mapan sekitar umur 30-an. Menurutku kematangan dan kemapanan tidak hanya bisa diukur lewat umur saja. Tapi dilihat dari cara berpikir dan bagaimana orang bisa mencapai target itu dalam hidupnya. Mungkin pemikiranku terlalu pendek dan sederhana tapi entah kenapa aku ingin sekali menikah di tahun 2011. Terlebih, selama dua tahun belakangan ini aku memang dekat dengan teman sekantorku. Kami bertemu saat sama-sama sedang interview dan kami berdua sama-sama diterima tapi berada pada divisi yang berbeda.Di mataku dia perempuan yang cukup mandiri. Awalnya aku merasa biasa saja dengannya, tapi entah mengapa lama-kelamaan aku seperti ketergantungan dengannya. Saat aku sedang bermasalah dengan orang rumah ia selalu memberiku nasehat-nasehat. Aku yakin seyakin-yakinnya bahwa ia juga memiliki perasaan yang sama denganku.
Entah mengapa di tahun 2011 aku mentargetkan diri untuk menikah bersama dia. Tabungan yang kumiliki rasanya cukup untuk menikah dan melanjutkan hidup ke depan bersamanya. Tinggal akunya saja yang bicara untuk melamarnya. Tapi sungguh… aku bukan laki-laki yang gampang menyatakan atau menampilkan ekspresi suka atau cinta. Rasanya untuk menyampaikan itu berat sekali. Aku masih ingat sekali, saat itu setelah pulang kerja aku berniat membicarakan itu dengan dia. Tapi, ternyata dia sudah keburu pulang. Sesampainya di rumah akupun segera mengirimkan pesan singkat untuk mengajak dia menonton hari minggu depan dan dia pun menyanggupinya. Hatiku senang.. benar-benar senang saat itu.
******************
Aku masih ingat sekali… saat itu, saat di kantor iseng-iseng aku online menggunakan id emailku yang lama. Semenjak kerja aku mempunyai email khusus yang kupergunakan untuk urusan kantor saja. Tiba-tiba saja kamu online lalu menyapaku… “ masih inget gue” tentu saja aku masih ingat… karena kamu satu-satunya teman yang telah lama bertengger dilist messangerku yang seingatku seorang mahasiswa di universitas cukup bergengsi di Indonesia. Sebenarnya aku merasa sedikit aneh denganmu… karena aku pikir rasanya nick email yang kamu punya sudah tidak layak lagi untuk kamu pakai. Toh, kamu sudah mahasiswa bukan anak SMA lagi. Tapi entah mengapa aku seperti bercermin… aku juga masih mempertahankan email lamaku ini. Hahahahaha
Kamu… kamu adalah orang yang terbuka yang pernah aku kenal… buktinya apa saja kamu ceritakan ke aku… kamu sedang skripsi… dan kupikir topik yang kamu ambil untuk skripsi cukup menarik. Aku masih ingat ketika kamu bercerita bahwa orang-orang yang membaca judul skripsimu—mengenai orang-orang difabel—selalu beranggapan bahwa kamu mengkaji sebuah dongeng atau cerita binatang. Curhatan kamu yang menurutku penuh dengan rasa kesal justru membuatku tertawa sendiri. Sifatmu sedikit seperti anak kecil. Semenjak itu hampir setiap hari aku chating denganmu. Membicarakan hal-hal yang nggak penting dan penting. Nggak penting karena pembicaraan kita ke mana-mana, penting karena pembicaraan kita menyangkut skripsimu. Aku senang bisa membantumu, dan entah mengapa aku senang membuatmu penasaran. Makanya aku tak pernah memberitahu mengenai identitasku, yang kubuka tentang kedokku hanyalah kegiatanku yang sedang bekerja dan statusku yang belum menikah itu saja.
Chating denganmu membuatku belajar banyak untuk menyampaikan ekspersi… mungkin karena kamu anak sastra jadi dengan mudahnya kamu menyampaikan sesuatu yang ada dipikiranmu. Hal itu membuatku belajar sedikit demi sedikit untuk menyampaikan apa yang aku pikirkan dan aku rasakan dalam bentuk ekspresi, bukan pikiran semata. Terlebih sedikit demi sedikit aku mulai berani menunjukkan persaanku terhadap dia—menunjukkan perhatianku kepadanya dan sebagainya. Itu semua kupelajari dari cerita-ceritamu yang saat itu sedang berhubungan dengan seorang laki-laki yang kau sebut sebagai “pacar”.
Akhirnya niatku untuk melamar dia setelah menonton film di hari Minggu itu tersampaikan sudah. Setelah kuutarakan keingginanku untuk menjadi pendamping hidupnya dia malah terdiam. Aku masih ingat dan hafal mati dengan ekspresi mukanya yang kaget. Sampai akhirnya dia sedikit tertawa kecil. Dia tak pernah tahu betapa beratnya kalimat-kalimat yang kuanggap serius dan sakral itu meluncur dari mulutku. “Lo kenapa? Stress?” itu kalimat yang dia ucapkan untukku. Tapi dengan tegas saat itu aku mengulanginya. “Lo mau nggak nikah sama gue tahun ini?” Ketika kuulangi lagi dia benar-benar terdiam. Sampai akhirnya dia menatapku perlahan dan mengatakan bahwa dia selama ini menganggapku hanya sebagai sahabat bahkan seperti kakak dan perasaanya padaku saat itu tak lebih. Titik.
Rasanya seketika masa depanku tertutup pekat, gelap, sesak… atau apalah aku tak bisa lagi berkata-kata… jawabannya hanya bisa membuatku menelan kekecewaan yang terdalam. Aku memang jarang sekali berhubungan dekat dengan seorang perempuan, sekalinya dekat… selalu berulang bahwa aku salah mengartikan kebaikan dan perhatian yang mereka berikan padaku. Kesal dan ingin sekali aku berteriak saat itu, tapi sekali lagi… aku adalah lelaki tanpa ekspresi… yang kulakukan hanya diam… diam dan diam… bahkan saat mengantarkan dia pulang ke rumah tak ada sepatah kata pun yang aku sampaikan untuknya. Dan sepertinya dia tahu itu. Aku hancur saat itu.
Di saat hancur itu, aku merasa butuh seseorang untuk kuajak bicara.. dan entah kenapa aku mulai online dan mencari sosokmu. Dan ternyata kamu online saat itu. Belum sempat aku mengklik nickmu kamu justru menyapa aku duluan. Tiba-tiba saja kamu bercerita tentang apa yang baru saja kamu alami. Ternyata malam itu kita sedang sama-sama patah hati. Kamu baru saja diputusin sama pacarmu sedangkan aku baru saja ditolak oleh orang yang ingin kujadikan sebagai pendamping hidupu. Tapi saat itu aku tidak bisa cerita padamu karena kamu sudah memulai duluan untuk menceritakan kisahmu padaku. Dan aku hanya bisa menanggapi ceritamu dengan sesingkat mungkin. Rasanya kekalutanku bertambah saat itu. Dan malam itu hanya kamu yang bercerita… ya kamu yang bercerita.
Entah mengapa saat dipagi hari aku merasa butuh mencurahkan sedikit rasa sesal, kecewa, dan kebodohan yang aku lakukan. Dan akhirnya aku mengirimkan sms aneh kepadamu… dengan segera kau membalasnya dan menanyakan mengapa dan apa yang terjadi kepadaku. Sengaja aku tidak membalasnya karena aku ingin membicarakan ini denganmu… malamnya melalui chating. Akhirya akupun berhasil menceritakan apa yang aku rasakan terhadap perempuan itu… kamu menanggapi dengan bijak dan baik. Tapi entah mengapa aku benar-benar mersa butuh seseorang saat itu. Makanya aku mengajakmu untuk bertemu minggu depan… pertemuan itu kutegaskan sebagai realisasi dari sebuah pertemanan karena kau sendiri pernah bilang bahwa aku adalah sahabat dunia mayamu. Aku ingin merealisasikan kata “sahabat” dalam dunia nyata yang bisa melihat kondisi fisikku dan kekalutan yang kurasakan secara nyata.
Aku bukan lelaki yang hidup dalam sebuah permainan dan tidak pernah berniat bermain-main denganmu. Karena kupikir kita adalah sahabat maka aku berniat menemuimu secara baik-baik yaitu di rumahmu. Kamu menyanggupinya dan akhirnya kita bertemu. Canggung dan merasa aneh pada awalnya ketika aku bisa bertatap dengan orang yang hampir beberapa tahun kukenal lewat dunia maya. Aku pun bisa melihat ekspresi kagetmu saat itu… tapi sudahlah… saat itu yang kubutuhkan hanyalah bercerita dan didengarkan.
Kamu mendengarkanku secara baik-baik… mungkin ada banyak kalimat dalam curhatku yang berulang, tapi sungguh apa yang kuceritakan saat itu adalah segala pikiran yang hinggap di kepalaku. Saat itu aku yang bercerita… hanya aku… dan kamu adalah pendengar… ya pendengar… sesekali kau timpali nasehat untukku yang jujur saja tidak dapat aku terima. Sabar… Ikhlas… aku asing dengan kata-kata itu karena kupikir kata-kata itu sama sekali tak mampu menyingkirkan rasa sakit dan sedihku. Bayangkan…ajakanku untuk menikah dengan orang yang hampir dua tahun kusuka dan mungkin kucinta ditolak begitu saja. Mungkin rasa sakit yang aku ceritakan padamu terlalu lebai. Tapi sungguh itu sangat sakit buatku.
Lega… bercerita tentang rasa sakit hati itu akhirnya membuatku membongakar tentang jati diriku kepadamu. Entah mengapa setiap kau bertanya aku selalu menjawabnya dengan senang hati bahkan dengan lancarnya aku bercerita tentang keluargaku kepadamu. Aneh… biasanya aku malas kalau ada yang menanyakan tentang keluargaku. Ketika kau kehabisan pertanyaan entah mengapa aku ingin sekali mengetahui rencana hidupmu ke depannya. Aku ingat sekali kamu pernah bercerita bahwa kamu ingin menikah setelah kamu lulus. Dan akhirnya aku mempertanyakan itu lagi. “Ya… kalau habis lulus ada yang ngelamar sih mau deh.. “ itu kalimat yang keluar dari mulutmu… walaupun mungkin kalimat yang keluar dari mulutmu itu hanya candaan yang tak perlu ditanggapi, entah kenapa aku justru menanggapinya.
“Kamu lulus bulan apa?” itu pertanyaan yang akhirnya aku ajukan untukmu dan kamu menjawab “Insaya Allah Juli… tapi wisudanya September kayanya”. Jawaban darimu entah mengapa menjadi angin segar untukku. Entah kenapa… tidak ada alasan untuk itu… tahu-tahu kalimatku untuk menikahimu meluncur begitu saja…aneh… begitu lancar… lancar sekali… tidak seperti waktu aku menyatakan kalimat yang kuucapkan pada dia. Aku tidak tahu kenapa… sungguh tidak tahu. Walaupun mungkin saat itu kamu menanggapinya dengan sedikit ketus… ya dengan gaya mu seperti biasa “Ngomong apa sih?”…
Sekali itu aku bertemu denganmu… dan ingin selalu bertemu denganmu… setiap kali bertemu aku selalu menanyakan tentang bulan kelulusanmu… dan kamu selalu terlihat bosan menjawabnya dengan gaya ketusmu “sekitar Juli….tapi wisudanya September” Sampai akhirnya saat pertemuan kedua dan ketiga… dengan berulang kamu menanyakan hal itu… “Kenapa sih nanya terus, gue lulus kapan?”. Entah kenapa jawabanku selalu sama… “untuk menikahimu”.
Entahlah ini akan berakhir seperti apa… yang jelas aku tidak ingin berakhir sama seperti waktu itu… biarkan waktu berjalan mengiringi kebersamaan kita untuk saat ini. Walau aku tak bisa member perhatian lebih kepadamu saat ini karena kesibukanku tapi niatku untuk menemuimu setiap akhir pekan selalu kulaksanakan. Rasanya seperti minum obat…
19 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar