Break!! Happy Ending
“kita break aja seminggu” ucap Dio sambil menatapku tajam dan penuh emosi.
“kenapa nggak sekalian putus aja?” ujarku tak mau kalah. Ini sudah yang ketiga kalinya Dio mengucapkan kalimat itu, terakhir dia mengucapkan kalimat itu saat menjelang peringatan hari jadian kami selama 2 tahun. Rasanya kesabaranku sudah habis. Masa pacaran yang akan genap menjadi tiga tahun seminggu mendatang tak pernah membuatnya berkaca dan belajar. Aku selalu membina hubungan dengan seseorang secara serius. Tapi, rasanya Dio tidak pernah berniat menjadikan hubungan ini ke arah yang lebih serius.
“Kok, kamu ngomong gitu sih? Maksudnya apa? Kamu mau putus? Katanya kamu serius berhubungan dengan aku?” ujar Dio sedikit keras ke arahku. Seketika itu juga, orang-orang yang berada di sekitar meja dan tempet duduk kami menoleh. Menyaksikan sedikit bagain dari kisah drama cinta yang aku alami.
“Biasa aja ngomongnya Di, aku nggak suka dibentak!” ujarku ketus tapi santai. Sesaat aku meneguk jus orange yang sudah berada di mejaku sejak beberapa menit yang lalu. Kesejukkan jus ini setidaknya bisa menghapus panas ditenggorokanku. Sesaat Dio terdiam, seperti memikirkan sesuatu. Pikirannya sedang mengolah kata demi kata yang akan ia utarakan padaku.
“Maaf, Nggi… aku nggak bermaksud ngebentak kamu. Tapi aku nggak mau putus sama kamu. Kita butuh refresh Nggi… hampir tiga tahun kita pacaran masa kamu rela ngelepasin hubungan kita begitu aja.” Ucapnya sedikit melunak. Aku hanya bisa mendesah perlahan.
“Bukan gitu Di, aku tuh nggak suka dengan kata Break. Seakan-akan kita putus sesaat mencari sesuatu yang hilang, yang kosong diantara kita tanpa menyelesaikan dan mencari jalan keluar. Ini tuh seperti lari dari masalah Di… Kalau memang kamu serius berhubungan sama aku, kamu tuh harus tunjukin ke aku upaya kamu untuk nyeleseiin masalah kita. Bukan dengan entengnya kamu ngomong brek begitu aja. Kalimat ini udah yang ketiga kalinya kamu ucapkan Di, dan aku rasa kamu sama sekali gak pernah mau belajar untuk dewasa.” Jelasku panjang lebar. Entah akhirnya aku berani mengeluarkan kalimat-kalimat ini. Mungkin karena kesabaranku dengannya sudah habis.
“Trus kamu mau akunya gimana?” ujarnya sambil menatapku dalam seolah mencari pembearan atas semua usulannya tadi.
“bukan itu seharusnya pertanyaan yang kamu layangkan ke aku Di… bukan itu.” Jawabku kesal dan membuang muka berusaha menghindari tatapannya.
“lalu apa?” tanyanya memaksa.
“Di, aku nggak mau kita break. Kalaupun ada masalah diantara kita langsung kita selesaikan. Kita sama-sama belajar untuk nyelesein ini bukan menghindarinya.” Jelasku sambil melipat kedua tangan. Entah mengapa aku bisa mencintai adam seperti ini. Posesif, protektif, tapi memang dia baik dan care. Tapi kedewasaannya tidak pernh muncul. Selalu harus aku yang memulai untuk menyelesaikannya. Bahkan untuk hal sepele sedikitpun.
“Iya, kamu bener nggi… aku memang selalu menghindari masalah karena aku takut menghadapinya dan menerima kenyataan yang nggak bisa sesuai dengan hati dan keinginanku. Aku nggak suka ngelihat kamu jalan sama Arva. Bagiku itu menyakitkan Nggi.”
“Kan aku udah jelasin semuanya ke kamu Di, kalau aku sama Arva temenan. Toh dia juga sudah lama pacaran dengan Ingga. Bahkan Arva berniat untuk melamar Ingga minggu depan. Masa kamu nggak percaya sam aku sih. Di, dengerin aku ya… kemarin itu Arva minta bantuan aku untuk nyari cicin. Dia mau bikin kejutan ke Ingga hari ini… makanya dia minta tolongya ke aku. Beneran nggak ada apa-apa diantara aku sama dia. Bahkan dia udah aku anggep seperti saudara Di…” jelasku panjang lebar.
“Oh gitu…hmm…”
“iya, emang mau gimana lagi. Kalau kamu nggak percaya aku suruh Arva ke sini ya. Biar jelasin semuanya.” Jelasku sambil mengeluarkan hp dari tas mungil berwarna silver dan berniat menghubungi Arva. Belum sempat aku menekan tombol, tiba-tiba Dio menyuruhku menaruhnya.
“Iya aku percaya…maafin aku Nggi…”
“iya aku maafin. Lain kali kamu jangan kaya gini ah. Tiba-tiba telpon aku, marah-marah. Minta Break padahal aku nggak tahu apa-apa. Aku juga minta maaf deh kemarin nggak bilang-bilang kalau nganterin Arva. Disamping karena pulsaku kemarin habis, aku juga nggak bawa hp. Lagi pula kalau aku minta izin sama kamu juga belum tentu dikasih. Ya kan… karena aku tahu kamu orangnya cemburuan banget.”
“Iya..iya… aku maafin. Tapi lain kali bilang aja ya. Jadi aku nggak termakan hasutan orang lagi.” Jelas Dio menyesal.
“Kamu emang tau dari siapa sih, kalau kemarin aku pergi sama Arva? Weni ya?” tanyaku dan berusaha menebak. Sepertinya memang iya. Karena Dio hanya diam seribu bahasa dan menjawab pertanyaanku dengan tatapan penuh maaf. Sepertinya memang Weni, karena kemarin secara tak sengaja aku berpapasan dengannya. Perempuan itu sampai sekarang masih saja berusaha mendapatkan Dio dengan cara menjatuhkan aku. Hmmff
“iya… kemarin Weni ngasih tahu aku… habis dia bilang ke aku kalau kamu sama Arva lagi di mal lihat-lihat cincin. Udah gitu kamu nggak bisa dihubungi. Coba deh kamu bayangin, pacar kamu pergi sama org lain yang notabene-nya mantan pacarnya terus lihat-lihat cicin. Apa yang kamu rasain kalau ada diposisi aku?” Tanya Dio berusaha membenarkan segala prasangkanya.
“Iya aku cemburulah pastinya, tapikan setidaknya aku akan sabar nungguin pacar aku ngasih penjelasan… Bukan dengan marah-marah kaya tadi. Ya kan? Karena aku pacaran nggak sehari dua hari sama dia… hampir tiga tahun dan aku percaya sama dia kalau nanti dia akan mejelaskan sesuatu sama aku…” Jelasku.
“Iya Nggi kamu bener… aku terlalu posesif dan protektif… itu semua sifat dasar aku Nggi… tapi itu semua terjadi karena aku takut kehilangan kamu… itu saja Nggi..”Jelas Dio parau. Ya aku tahu kalimat ini memang tulus keluar begitu saja dari mulutnya.
“Iya Di.. aku ngerti kamu banget, tapi ya itu tadi aku harap kamu mau percaya sama aku, nggak mikir macem-macem. Aku ngerti kamu, tapi coba deh kamu belajar ngertiin aku sedikit aja. Kamu harus berubah Di, atau lebih tepatnya kita harus sama-sama berubah. Aku suka sama kamu komplit dengan segala sikap, kelebihan dan kekurangan yang kamu miliki. Aku harap kamu juga sebaliknya. Belajarlah menyelesaikan masalah secara baik-baik Di, jangan suka mengambil keputusan secara sepihak seolah-olah kamu yang benar dan paling benar.” Jelasku santai… sambil tersenyum menatapnya. Ia menggenggam tanganku kini sambil berusaha mencerna kalimat-kalimat yang aku luncurkan ke dalam otaknya.
“Iya, aku akan berubah Nggi… kamu bantu aku ya. Aku akan belajar untuk terus memperbaiki diri.” Jelasnya tersenyum dan membuatku mengangguk.
“Anggi… Anggi…” teriak seorang perempuan dari kejauhan memanggil-manggil namaku. Dengan seketika aku menoleh mencari sumber suara itu. Ingga
“Hei, Ngga… kok tahu aku di sini” Ucapku kaget dan tiba-tiba saja dia memeluku erat. “Hei kamu kenapa seneng banget hari ini…” Tanyaku sambil menyuruhnya duduk di sebelahku.
“Dio… kakak gue yang cantik ini gue pinjem sebentar ya… lima menit aja” Ujar Ingga lalu memperbaiki posisi duduknya menghadap ke arahku. Dio pun mengangguk dan mempersilakan kembaranku untuk menguasai diriku saat ini.
“Lihat… lihat… aku dilamar sama Arva…” Ujar Ingga sambil memperlihatkan cicin emas yang melingkar dijari manisnya. “ pinter banget sih Nggi milihin cicin ini… aku suka bentuknya…” Jelas Ingga sambil terus memperhatikan cicin bermata satu itu dengan bahagia.
“Arva udah cerita semua?”Tanyaku tiba-tiba dan Ingga hanya mengangguk senang.
“Maafin Ingga ya Nggi… udah mikir yang jelek-jelek ke Anggi kemarin sore. Udah ngediemin Anggi seharian ini. Maaf… maaf banget.” Jelas Ingga penuh sesal. Ya memang, perjalanan bersama Arva kemarin cukup menimbulkan banyak masalah. Tapi tak apalah… buat dijadikan pelajaran untuk semua.
“iya nggak apa-apa Ngga… ini aku juga baru nyelesein masalah sama Dio…, trus Arvanya ke mana?” tanyaku sambil mencari sosok Arva.
“Itu dia… dia habis parkir” jelas Ingga sambil menunjuk lelaki berkaos coklat yang datang mendekati meja kami.
Sesaat Dio menatapku, entah tatapannya mengandung arti apa yang pasti hanya senyuman yang bisa kuberikan padanya.
“Dio… maafin gue ya, kemaren udah minjem pacar lo nggak bilang-bilang… lo berdua nggak ada masalah kan? Tanya Arva yang tiba-tiba duduk di samping Dio. Saat ini beberapa pasang mata di dekat tempat kami duduk terus memperhatikan. Sepertinya mereka sedikit kaget melihat keberadaanku dan Ingga yang kembar identik.
“Iya tuh, Dio tadi marah sama gue. Tapi kita udah baikan sih. Ya kan Di?” Tanyaku sambil menatap ke matanya dan Dio pun mengangguk. Tak berapa lama, pelayan menghampiri kami, berniat untuk menanyakan untuk pesanan tambahan. Ingga dan Arva pun memesan segelas minuman.
“Dio, lo harus baik-baik sama kakak gue, dia saying banget tahu sama lo… awas lo ya kalau nyakitin… lo harus berhadapan sama gue dan Arva.heheheheh” Ledek Ingga membuatku tersenyum. Dio hanya tertawa mendengar celotehan Ingga, hah inilah yang membuatku tampak berbeda dengan Ingga, sikapnya yang ceria dan gampang berubah suasana hati selalu membuat orang-orang disekelilingnya merasa nyaman walau kadang ia selalu ambekan. Tapi aku suka, Ingga melengkapkan segala sifatku.
“Rencananya keluargaku jadi melamar Ingga minggu depan Nggi… Kamu nggak apa-apa ya dilewatin sama adikmu” jelas Arva menanyakan hal itu padaku.
“Nggak apa-apa kok, silakan banget malah, terus rencana nikahnya kapan?” tanyaku antusias.
“Rencananya sih tiga bulan lagi… mohon doanya saja” Jelas Arva sambil menatap Ingga.
“Amien, semoga terlaksana ya…dan berjalan sebagaimana mestinya” Jawabku. Kulirik Dio perlahan, aku tahu dia sedang berpikir… iya, sebenarnya aku juga ingin Dio cepat-cepat melamarku, tapi aku tahu… semua ada waktunya.
“Amien” ujar Arva dan Ingga berbarengan.
“Terus kalian kapan?”Tanya Ingga tiba-tiba sambil menoleh ke arahku lalu berbalik menatap Dio. Aku hanya tersenyum simpul sambil mengangkat kedua bahuku.
“Kita lihat saja nanti” Ujar Dio, tersenyum penuh ekspresi. Aku tidak tahu apa makna dibalik senyuman itu… tapi yang pasti ada sesuatu yang ia sembunyikan.
***********
“Udah cepet, semua udah nunggu di ruang tamu tuh… kalian berdua masih aja cekikikan di sini” Ujar Bunda menyuruh Ingga dan aku keluar dari kamar. Hari ini adalah hari lamaran Ingga, tepat dengan hari jadianku dengan Dio. Jam menunjukkan pukul 09.00, Ingga sudah cantik dengan kebaya hijau muda dan ssanggul mungil di kepalanya. Adikki jadi dilamar hari ini… aku senang. Keluarga Arva sudah menunggu di ruang tamu. Semuanya mengenakan kemeja batik senanda, hanya Arva saja yang menggunakan jas hitam. Dia terliht gagah dengan pakaian itu. Ya… kamu beruntung Arva mendapatkan adikku.
“Nggi… kok malah ngelamun di sini… ayo ke ruang tamu…” Ajak Ingga sambil menarik tanganku.
“Aku lagi nunggu Dio… Dia juga mau dateng. Mungkin macet kali ya.” Jawabku sambil terus memperhatikan jam yang melingkar di lengan kiriku. Karena acara segera dimulai akupun segera masuk ke ruang tamu. Hp digengamanku selalu kulirik, kalau-kalau Dio menelepon atau mengirim pesan untukku.
“Bagaimana… bisa kita mulai acaranya?” Tanya Pak Rustam, Pakdeku, selaku perwakilan dari keluarga Ingga.
“Silakan… silakan…” Jawab Ayah Arva yang duduk berhadapan dengan Pakde Rustam.
Belum sempat Pakde mengucapkan salam sebagai tanda dimulainya acara, tiba-tiba dari arah teras terdengar suara beberapa orang mengucapkan salam. Dio
Entah apa, yang terjadi saat ini. Dio membawa keluarganya beserta barang-barang seserahan seperti yang dibawa keluarga Arva. Aku hanya tertegun saja ketika pakde mempersilakan Dio beserta keluarganya masuk ke dalam rumah. Ingga berceloteh meledekku senang. Dio menatapku sambil tersenyum penuh arti, mata kirinya berkedip menunjukkan kejutannya padaku. Jas putih yang ia kenakan saat ini membuatnya tampak berwibawa, dan lebih tampan dari biasanya.
“Saya, sebagai Ayah Dio, berniat untuk melamar putri Bapak… Nak Anggi…” Ujar Ayah Dio, sambil menjabat tangan Ayahku lalu Pakde Rustam. Entah rasanya kejutan ini benar-benar membuatku salah tingkah. Aku hanya bisa tersenyum… sedangkan ayah dan pakde Rustam tertawa…
“Wah… hari ini yang dilamar ada dua orang ya… Waduh… anak kembarku mau diminta orang secara bersamaan” Ledek ayah sambil menatapku ke arah aku dan Ingga.
Aku hanya tersenyum… entah kenapa hatiku merasa lega… kado special hari jadianku bersama Dio ternyata adalah sebuah lamaran. Aku tak pernah tahu kapan ia merencanakan ini semua. Karena yang aku tahu, ia adalah seorang perencana yang baik dan perfeksionis. Tapi jujur aku suka hadiah ini. Aku suka caranya.
“Wah, maaf ya Pak, kedatangan keluarga kami tanpa konfirmasi dulu, tapi sungguh ini semua kehendak dan keinginan anak kami. Dia sudah merencanakan ini semua hampir tiga bulan yang lalu. Dan mohon maaf Pak, saya lancang dan terlalu yakin bahwa putri Bapak, nak Anggi bersedia menerima lamaran anak kami Dio… Jadi hari ini keluarga kami tidak hanya bermaksud untuk melamar putri Bapak saja, tapi Dio juga berniat untuk menikahi Anggi hari ini juga. Kalau Bapak tidak berkeberatan, maaf sekali.” Ujar Ayah Dio, dengan sangat memohon. Jelas saja keluargaku kaget… bahakn aku sendiri hanya bisa mematung. Tak bisa berekspresi. Sementara Ingga sudah berceloteh dan bersemangat.
“Anggi… mau aja… udah terima aja Yah, kak Anggi pasti mau…” Ucap Ingga bersemangat. Seketika ayah menoleh ke arahku… meminta kepastian dan jawaban atas pertanyaan ayah Dio. Sementara Dio menatapku penuh harap. Ya inilah yang aku impikan sebenarnya, tapi semua ini muncul di luar pikiran dan logikaku. Saat itu aku hanya bisa mengaggukan kepala. Tanda setuju dan sisanya aku menangis haru…
Ya… hari itu Dio melamarku dan menikahiku… Hari itu Arva melamar Ingga… dan hari itu menjadi hari berbahagia dalam hidupku sampai saat ini….
Depok, 2 April 2011
11.00 wib
Makasih Oky atas inspirasinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar