Sudah setengah jam aku menunggunya. Namun yang kutunggu sepertinya masih tenggelam dari kabar. Sabar, lagi-lagi hanya itu senjata andalan. Semoga saja dia masih setia bersemayam dalam jiwa dan raga yang penuh dengan cucuran keringat dan pekat dalam rasa.
Dua jam lebih penantianku berlalu. Tujuh permen karet dalam kunyahan sudah enggan bertalu. Segala bentuk komunikasi sudah kukerahkan. Namun sia-sia agaknya yang menjadi jawaban. Alamak, janjian dengan manusia seperti ini haruslah berbesar hati. Kalau bukan karena istilah sahabat sejati, mungkin sejak tadi aku sudah pergi. Namun urung, karena istilah itu masih setia kujunjung.
Pada akhirnya dia datang juga. Ada sesungging senyum yang terpampang dengan setia. Kata maaf meluncur deras, dan pada akhirnya hanya memaafkan jadi senjata pamungkas.
Kami berdua berjalan beriringan. Kisah masa kuliah jadi bahan obrolan. Tawa pada akhirnya pecah juga, ingat-ingat kebodohan yang dilakukan secara bergriliya. Aku mentertawakan dia, pun dia sebaliknya. Ocehan kami terhenti seketika saat melihat seorang pedagang menjajakan makanan kesukaan. Es cendol segar dengan gula rasa durian. Kami hampiri, kami singgahi. Lalu kami tertawa lagi mengingat kisah sembari menanti racikan tangan sang pedagang.
Tak pernah kusangka, itu adalah kali terakhir melihat, menyantap tawa bersamanya. Receh dari saku kanan celananya menggelinding. Refleks dia bergegas mengambil. Tanpa peduli kanan kiri, dia memungut koin melati. Dan seperti kilat semua terjadi dengan cepat. Mobil sedan laknat berlawanan arah berjalan cepat.
Hatiku hancur, badanku tergempur. Melihat dia terpental hingga berjarak. Dalam sekarat, dia sempat mengucap maaf. Air mata dan jeritanku melibas tiada batas. Jangan pergi sendiri, kumohon...
Dia tersenyum, menggeleng perlahan. Bertolak belakang dengan darahnya di kepala yang mengalir deras tiada tertahan. Katanya, "belum saatnya kamu pulang. Aku sudah merindukan ini lama sekali".
-Jiwa yang lain-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar