"Itu rambut makin keriting lho, diputer-puter terus" Ujar Mbak Tia yang tiba-tiba saja berada di kamarku.
"Mbak Tia ih, ngagetin. Aku lagi mikir ini, Mbak" Ujarku menjelaskan alasanku melinting rambut keritingku yang semakin panjang.
Mbak Tia kini duduk di kasurku, posisi duduknya, cara dia menyapa benar-benar membuatku teringat almarhum Ibu.
"mikirin apa sih? Lulus kuliah sudah kemarin, bekerja juga sudah. Kamu mau nikah?" Tebakan Mbak Tia sungguh tepat akurat.
"Apaan sih, Mbak. Mbak Tia saja dulu. Aku masih nanti kali" Ujarku berkilah padahal sebenarnya itu yang sedang aku pikirkan.
"Mbak mau ngomong sesuatu sama kamu. Mbak nggak mau kalau gara-gara Mbak belum menikah, terus kamu nggak berani ngelangkahin Mbak padahal kamu sebenarnya sudah siap. Jangan jadikan Mbak sebagai penghalang keinginanmu ya!" Mbak Tia serius menatapku.
"Apaan sih, Mbak." aku tetap berkilah.
"Ini Mbak serius. Kalau kamu siap menikah duluan silakan lho. Toh, almarhum Bapak juga nggak pernah berpesan bahwa kamu nggak boleh ngelangkahin kakak-kakanya untuk menikah. Pesan Bapak kan kamu harus menjadi wali untuk kakak-kakakmu. Itu saja!" Mbak Tia benar-benar seperti ibu, tegas, dan tepat menebak pikiran dan hatiku.
Memang, sebelum bapak pergi, bapak berpesan agar aku yang menjadi wali di pernikahan para kakakku. Aku anak terakhir dan satu-satunya lelaki di keluarga. Dua kakak perempuanku sudah kunikahkan dua tahun yang lalu. Hanya tinggal Mbak Tia yang belum menikah.
Rasanya tak enak jika aku melewatinya duluan. Setahuku, yang mendekati Mbak Tia banyak tapi Mbak Tia seperti tak peduli dengan mereka.
"Mbak Tia kapan menikah?" akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulutku. Mbak Tia tertawa kecil.
"Tuh kan akhirnya kamu nannya itu. Mbak sendiri masih belum tahu. Doain saja" Ujar Mbak Tia tetap dengan senyum yang mengembang.
"Anak mana yang kamu taksir?" Pertanyaan Mbak Tia mendadak membuat jantungku berdegub. Hanya pada Tuhan dan Mbak Tialah aku tak bisa bermain rahasia.
"Anak Malang, Mbak." Ujarku jujur, aku tertunduk sesaat lalu kembali menatap wajah Mbak Tia yang sepertinya akan segera mengorekku lebih dalam
"Wuiiis, dia kuliah? Atau udah kerja juga?"
"Udah kerja Mbak. Tapi..." aku ragu mengatakan tentang gadis pujaan.
"Tapi kenapa?" Mbak Tia penasaran
"Mbak, dia lebih tua dua tahu dari aku. Dia seumuran Mbak Tia. Aku aneh nggak sih Mbak?
"Dih... aneh kenapa lagi? Nabi Muhammad saja beda 15 tahun sama siti khodijah. Hayooo? Yang aneh itu kalau yang kamu taksir cowok. Hahaha. Kamu pasti nyari yang sikapnya kaya Ibu." Mbak Tia menebak lagi.
"Kaya mbak Tia juga. Dia rame Mbak, ceria, perhatian, ramah." Ujarku keceplosan dan Mbak Tia benar-benar melepas tawanya.
"Kamu kalau sudah siap temuin ayahnya, Lho! Awas macem-macem." Nasehat Mbak Tia pada akhirnya membuatku berani bertanya dan bercerita.
"Mbak Tia nggak apa-apa kalau aku menikah dulu? Jujur Mbak, aku memang sudah siap menikah, tapi aku ingin Mbak Tia lebih dulu."
"Hey, kalau jodoh Mbak adanya pas umur 50tahun kamu mau nunggu selama itu? Enggak kan. Udahlah, Mbak Tia nggak masalah kalau kamu dulu. Lagian umur Mbak masih 25 tahun. Ya siapa tahu habis kamu nikah, terus mbak Tia. Hehehe"
"Aamiin, jadi nggak apa-apa ya Mbak? Nanti Mbak Fitri sama Mbak Andin gimana?"
"Sepertinya mereka juga akan setuju, udahlah bismillah. Jalankan niat baik kamu dengan segera. Btw yang kamu taksir anak jurusan apa dulunya, semoga bukan orang eksakta ya, aamiin"
"Bukan Mbak, dia anak sastra." ujarku memberitahu
"Syukurlah kalau gitu. Cocok inshaAllah. Statistik dan sastra, klop. Perpaduan yang unik. Satunya berkutat dengan angka, satunya lagi berkutat dengan jiwa dan rasa" Mbak Tia mulai menganalisis.
"Kalau psikolog gitu ya, Mbak. Hobinya menganalisis manusia." Aku berceloteh sembari menggeleng.
"Eh, jangan salah. Kemampuan Mbak sebagai seorang psikolog masih di bawah anak-anak sastra dalam membaca manusia. Kalau anak sastra itu mainannya rasa sih. Kalau Mbak kan masih pakai teori." Penjelasan Mbak Tia membuatku tertarik, aku baru tahu ada hal semacam itu.
"Masa sih, Mbak?" Aku bertanya untuk meyakinkan. Mbak Tia memgangguk mantap.
"Oh iya, kamu ketemu di mana sama anak Malang itu? Maksudnya sama anak dari daerah Malang. Hehehe. Penasaran, kok bisa anak statistik ketemu sastra, eh tapi kalau kuasa Tuhan beda cerita sih." Mbak Tia mengorek lagi.
Pada akhirnya aku menceritakan pertemuan singkatku dengan gadis bernama Ara. Seminar Pemuda Indonesia yang berlangsung selama tiga hari membuatku bertatap muka padanya. Awalnya kupikir Ara adalah peserta, mahasiswa akhir seperti yang lain. Namun ternyata dia bagian dari kepanitiaan acara. Kami berinteraksi karena dia menjadi notulis selama kegiatan berlangsung sementara aku bertanggung jawab sebagai operator teknis kegiatan bersama dua rekanku yang lain.
Kami sering berdiskusi tentang materi seminar yang disampaikan, dan dari diskusi-diskusi itulah perasaan itu muncul. Dia cerdas, cara menautkan kalimat selalu indah, luwes. Padahal materi yang disampaikan sebagian pemateri berat. Namun hasil notulennya lebih mudah dipahami ketimbang membaca draft materi yang di sungguhkan.
Dua rekanku yang lain juga salut padanya, terlebih dia ramah dan perhatian. Pernah saat aku tengah sibuk mengurusi tampilan slide untuk pemateri sampai lupa istirahat, dengan tegasnya ia marah padaku. Namun marahnya lucu, ia menyodoriku sekotak makanan berisi roti-roti kecil dan menyuruhku menghabiskannya.
"Kamu yakin nanti Ara juga suka sama kamu?" Pertanyaan Mbak Tia kali ini membuatku terdiam. Entahlah, interaksi kami hanya sebatas 3 hari pertemuan di seminar itu. Pernah aku menghubunginya sekadar menanyai kabar, namun aku sendiri pada akhirnya takut. Takut terjerumus dalam hal-hal yang tak berkenan.
"Aku pernah membaca tulisan-tulisan di blognya, Mbak setelah acara seminar itu. Entah kenapa aku yakin sekali kalau tulisan yang ditulisnya ditujukannya untuk aku" Pede sekali aku mengucapkan itu.
"Kamu kaya Bapak, mainannya pake perasaan yakin. Ya udahlah kalau kamu emang yakin dan mantap. Lekas dilamar, keburu nanti diambil orang. Jangan sampai ada sesal di belakang" Mbak Tia memberi wejangan lagi. Aku pun mengangguk.
Kuutarakan niatku untuk menemui ayah Ara dalam waktu dekat ini. Mbak Tia setuju, bahkan siap menemaniku untuk bertemu dengan keluarga Ara, Alhamdulillah.
"Mbak, Mas Haris apa kabar?" Akhirnya aku berani juga bertanya kabar tentang lelaki yang memang kutahu memdekati Mbak Tia. Sesaat Mbak Tia menatapku serius, lalu ia memgalihkan tatapannya ke dinding kamar.
"Kamu tanya dialah, masa nanyanya sama Mbak. Emang dia siapa Mbak, weee" Jawaban Mbak Tia selalu seperti ini.
"Dih Mbak... sepertinya Mas Haris serius sama Mbak." Ujarku lagi mengemukakan pendapat.
Sebenaranya aku tak suka dengan lelaki itu, entahlah kenapa. Tapi jujur aku ingin tahu bagaimana perasaan Mbak Tia terhadapnya. Mbak Tia belum pernah bercerita dan membuka kisah tentang lelaki itu.
"Ya biarkan saja dia serius, Mbak sih biasa saja."
"Tapi kasihan Lho Mbak. Dia seperti berharap terus"
"Kalau dengan perasaan, jangan ada kata kasihan. Mbak sudah pernah menegaskan ke dia kalau Mbak nggak suka sama dia. Mbak nggak punya perasaan apa-apa. Masalah dia bertahan atau tetap ngejar Mbak ya urusan dia. Hak dia juga suka sama Mbak. Kan perasaan nggak bisa dipaksakan. Yang terpenting Mbak tetap baik saja sama dia" Jelas Mbak Tia santai.
"Mbak, kalau boleh tahu... Mbak Tia nggak sukanya kenapa?" Aku penasaran
"Mbak Tia nggak suka cowok cerewet, kan kamu tahu Mbak Tia udah cerewet. Apalagi kalau orangnya meluap-luap. Mbak suka orang yang tenang, adem." Baru kali ini akhirnya aku mendengar sebagian kriteria lelaki idaman kakakku.
"Mbak nyarinya kaya Bapak, ya. Kaya aku juga" Ujarku terkekeh.
"Iya kaya Bapak, ehm... ya mirip-mirip kamu lah memang. Lebih banyak tindakan daripada omongan. Jangan terbang!" Ucapan Mbak Tia membuatku senyam senyum sendiri.
Ternyata benar juga, anak perempuan akan mencari seseorang yang setipe dengan ayahnya dan anak lelaki mencari seseorang yang setipe dengan ibunya.
Aku dan Mbak Tia tertawa, sampai tak sadar kalau Bibi sedari tadi sudah berdiri di depan pintu.
"Yo, itu ada Gama. Mau disuruh langsung masuk ke kamar nggak?" Ujar Bibi memberitahu kalau sahabatku datang.
"Ih, Bibi nanti dulu, aku nggak pakai jilbab ini" Mbak Tia panik. Aku segera mengambil sarungku di dalam lemari. Lalu menyerahkannya ke Mbak Tia.
"Tengkyu Yo" Ujar Mbak Tia sembari melilitkan sarung cokelat muda di kepalanya. Mbak Tia segera kembali ke kamarnya dan aku pun bergegas menyuruh Gama masuk ke kamarku.
******
"Mbak, itu buku nggak ada bosen-bosennya apa dibaca?" Suara Aryo, adikku benar-benar mengagetkanku.
Aku menghembuskan napas perlahan, lalu mataku tetap menjelajah pada tiap baris dari lembar-lembar buku berjudul "Toto Chan"
"Dih, Mbak, ditanya juga." Aryo kini duduk di hadapanku. Aku menatapnya sekilas.
"Namanya buku bagus ya nggak akan pernah bosen." Ujarku cuek lalu melanjutkan membaca lagi.
"Mbak, Aryo mau ngomong sama Mbak." Ucap Aryo lalu menarik buku yang aku baca.
"Ih nggak sopan!" Gerutuku saat buku Toto Chan beralih tangan.
"Aku serius Mbak, mau ngobrol" Tatapan Aryo serius. Pada akhirnya aku menurut, mungkin yang ingin dibicarakannya benar-benar serius. Terkait rencana lamarannya mungkin.
"Ya udah, Mbak siap mendengarkan dan diskusi, mau bahas rencana lamaran kamu?" Tebakku, namun Aryo malah cengengesan. Sepertinya tebakanku salah kali ini.
"Mbak, menurut Mbak aku ini ganteng nggak sih?" Pertanyaan Aryo kali ini di luar tebakanku.
"Kamu kenapa, Yo?" Aku mengernyitkan dahi. Merasa aneh dengan pertanyaannya.
"Udah, kalau mau ngomong tuh langsung ke inti persoalan deh. Jangan kaya Bapak, mbulet dulu eh ujung-ujungnya jauh dari itu" Cerocosku dan Aryo hanya tertawa sembari geleng-geleng kepala.
"Udahlah Mbak, jawab aja. Intinya nanti juga Mbak Tia tahu." Aryo serius dengan kalimatnya.
"Iya, gantengkan relatif, Yo. Kamu masuk kategori lumayanlah." Ujarku memberi penilaian. Apa mungkin Aryo sedang tak pede dengan dirinya sendiri. Entahlah.
"Menurut Mbak, Aryo ini baik nggak sih Mbak?"
"Baik, kok. Selama kamu taat sama Allah dan akhlakmu baik, InshaAllah kamu baik" Jelasku yakin, jangan sampai adikku krisis kepercayaan diri.
"Kalau menurut Mbak, temen-teman Aryo baik nggak sih Mbak?" Tanya Aryo lagi kali ini aku tak mengerti arah pembicaraannya
"Ya, sepenglihatan Mbak sih baik. Biasanya orang baik kan temenan sama orang baik" Ungkapku lagi
"Temen Aryo yang Mbak kenal baik ada nggak?" Aryo bertanya lagi
"Mbak cuma tahu temenmu si Gama sama Fitroh, yang lainnya Mbak nggak kenal. Dua orang itu sih Mbak ngelihatnya baik-baik aja. Nggak macem-macem. Ih ini kamu intinya mau ngomong apa sih?" Penasaranku semakin menjadi.
"Kalau antara aku, Gama, sama Fitroh, gantengan siapa Mbak?" Aryo tetap serius dengan pertanyaannya. Aku seolah jadi terdakwa entah kasusnya apa karena harus memberi jawaban dari setiap tanya yang diajukan
"Ya Ganteng kan relatif, Yo! Namanya lelaki ganteng, kalau cantik ya perempuan" Aku berkilah dari pertanyaan yang menurutku aneh itu.
"Udah sih, Mbak. Jawab aja, ini gantengnya menurut Mbak Tia. Di mata Mbak Tia. Jangan gara-gara aku adik Mbak Tia, terus Mbak Tia bilang kalau aku yang ganteng." Aryo kali ini lebih serius, tapi entah kenapa aku ingin tertawa dengan pertanyaan anehnya.
"Ya, kalau jujur sih di mata Mbak, gantengan si Gama. Ini, Mbak jawab karena kamu paksa lho ya"
"Alhamdulillah! lanjut pertanyaan kalau gitu." Aryo terlihat bersemangat. Aku terdiam saja menunggu maksud dari semua tanyanya.
"Mbak, Tadi kan Mbak Tia bilang ke aku nggak akan masalah kalau aku naksir dan berniat melamar orang yang usianya di atasku dua tahun, lalu kalau tiba-tiba Mbak ada di posisi itu gimana ya? Maksudnya, Mbak Tia ada di posisi sebagai orang yang kulamar, dengan indikasi aku usianya dua tahun di bawah Mbak" Cetus Aryo. Kali ini aku mencoba paham dengan arah pembicaran adikku ini.
Aryo seolah ingin tahu bagaimana rasanya seorang gadis dilamar oleh lelaki yang usianya lebih muda.
"Walah, ternyata itu toh. Kalau Mbak sih ehm... gimana ya. Belum pengalaman sih dilamar sama orang yang usianya lebih muda. Tapi, Mbak akan lihat dia, kalau ternyata di mata Mbak dia baik ya Mbak akan terima, apalagi kalau Mbak suka sama dia. Terlebih kalau orangnya kaya kamu yang udah Mbak kenal baik, Mbak sih akan mencoba, dan yang terpenting wali Mbak setuju. Hehehe" Jawabku sekenanya. Aku ingin membuat adikku pede.
Aryo mengangguk-angguk mencerna kalimatku. Semoga saja kepercayaan dirinya meningkat.
"Mbak, ada seseorang yang meminta Mbak padaku." Ucapan Aryo membuat telingaku terbuka lebar. Aku takut telingaku salah mendengar.
"Dia mau melamarmu, Mbak. Dia orang baik. Usianya dua tahun di bawah Mbak Tia. Sahabat baikku. Gama. Mbak Tia tadi bilang sendiri mau nerima dan mencoba. Aku sebagai wali Mbak, Insha Allah setuju kalau Gama melamar Mbak karena aku kenal Gama dengan baik. Dia seperti tipe Mbak, tenang, adem. Seperti Bapak malah. Tapi aku ingin dengar langsung, gimana pendapat Mbak?" Aryo mengakhiri kalimatnya dengan sesungging senyum.
Aku terdiam mematung mendengar ucapannya barusan. Entah kenapa jantungku berdetak lebih cepat. Entah karena kaget atau senang atau malah bingung aku sendiri tak mampu menganalisisnya. Yang bisa kulakukan dalam hati saat ini terus menerus menyebut AsmaNya. Allah...
***
"Yo, izinkan aku melamar kakakmu, Mbak Tia. Sudah lama sebenarnya aku ingin menyatakan ini. Tapi baru dimampukan olehNya hari ini." Gama berbicara serius dan tegas padaku.
Aku terperanjat saat mendengar pernyataannya barusan. Antara percaya atau tidak, sahabat baikku menyatakan keinginannya untuk melamar Mbak Tia.
Sudah hampir seminggu belakangan ini Gama mengajakku bertemu, tapi dia sendiri yang pada akhirnya menunda pertemuan itu. Aku tahu pasti ada sesuatu yang penting yang ingin didiskusikannya denganku. Tapi aku benar-benar tak menyangka bahwa hal ini yang akan didiskusikannya.
"Kamu serius, Gam? Sumpah aku kaget Loh." jawabku refleks. Gama mengangguk mantap. Tatapan matanya tak beralih sedikitpun.
"Kamu sejak kapan suka sama Mbak Tia?" Tanyaku penasaran
"Sebenarnya aku awalnya hanya bersimpatik sama kakakmu, tapi berteman dan mendengar ceritanya darimu entah kenapa membuat aku suka. Sejak kamu cerita perjuangan dia dalam menguliahkan kamu. Maaf ya, Yo. Aku nggak maksud lancang. Tapi aku serius. Maka aku temui kamu sebagai adik sekaligus walinya." Ujar Gama seolah khawatir jika aku tak berkenan dengan pernyataannya.
Gama, sahabat seperjuanganku di masa-masa kuliah. Tak ada satupun keburukan yang kutemui selama bersahabat dengannya. Dia taat pada Tuhan, santun terhadap teman. Tak ada alasan bijak jika aku tak menggubris pernyataannya. Tiba-tiba saja aku membayangkan jika ia bersanding dengan kakakku. Entahlah aku merasa cocok.
Toh, kriteria Mbak Tia ada di Gama. Gama tidak cerewet, tidak meluap-luap. Tapi entahlah bagaimana jika Mbak Tia mendengar ini semua. Jika Mbak setia setuju, aku akan lebih tenang dalam menunaikan hajatku nanti. Jujur aku memang tak ingin melangkahi Mbak Tia.
"Gam, aku jujur kaget, tapi sebenarnya tak masalah jika kau melamar kakakku. Aku kenal kamu. Tapi, aku harus sampaikan ini ke Mbak Tia. Aku nggak bisa langsung putuskan" Ujarku pada akhirnya.
"Yo, itu memang tujuanku datang ke sini. Aku ingin kamu sebagai walinya yang tahu dahulu, lalu menyampaikan niatku ke kakakmu. Insha Allah aku akan sampaikan ini ke kakakmu secara langsung setelah kamu sampaikan niatku ke dia" Gama berujar lancar sekali, meski tak bisa dipungkiri ada butiran keringat yang timbul di dahinya. Jujur aku salut padanya. Ada pelajaran yang bisa kupetik dan mungkin kutiru.
****
"Jadi gimana, Mbak?" suara Aryo terdengar jelas ditelingaku. Aku tertunduk saja tak bisa berkata-kata.
"Gama itu baik, Mbak. Aku kenal dia, seperti yang Mbak bilang tadi, orang baik berteman dengan orang baik. Mbak Tia kan sudah kasih penilaian tentang aku dan teman-temanku. Aku tahu Mbak Tia kaget, seperti yang sudah kuceritakan tadi Mbak, aku juga kaget waktu Gama bilang itu. Tapi aku tahu Gama tak pernah bermain-main dengan pernyataannya yang seperti itu." Aryo lancar bercerita tentang Gama. Sementara dalam pikiranku kini terbayang wajahnya.
Aku mengenal Gama dari Aryo, pernah bercakap-cakap dengannya itupun hanya sekadarnya. Dia memang setipe dengan Aryo. Tampan juga. Ah... aku ini kenapa, kenapa sebagian hatiku meletup. Apalagi setelah Aryo cerita proses Gama melamarku padanya. Allah Gusti...
"Ih Mbak bingung ini...." Ujarku jujur.
"Mbak, malam ini salatlah. Minta petunjuk, kemarin setelah Gama ngomong gitu aku langsung salat Mbak, hasilnya aku mantap mengatakan ini ke Mbak. Dan aku yakin sekali, entah kenapa... Mbak akan setuju." Ucapan Aryo membuatku menatap ke arah matanya. Keyakinannya sama seperti keyakinan Bapak. Tatapannya seperti tatapan Bapak. Tiba-tiba aku kangen Bapak.
***
Sore ini, Gama datang bersama ibu dan ayahnya. Penampilannya lebih rapi dari biasanya. Balutan batik biru yang senada dengan kacamata birunya membuatnya tampak lebih dewasa.
Aku mendengar secara langsung saat dia menyatakan ingin melamarku kepada Aryo. Bukan ayah atau ibunya yang bicara, tapi dirinya sendiri yang berkata-kata. Pembicaraan itu lebih terdengar seperti pembicaraan antara seorang pria dengan wali calonnya bukan lagi pembicaraan antara sahabat dekat.
"Jadi, Mbak Tia. Bagaimana? Apakah Mbak Tia berkenan dilamar dan dinikahi oleh Ananda Gama?" Suara Aryo kini membahana di ruang tamu. Mbak Andin dan Mbak Fitri yang duduk di sebelah kanan dan kiri menggenggam erat jari-jariku.
"Insha Allah bersedia, selama walinya berkenan." Ujarku pada akhirnya
"Alhamdulillah..." ucapan hamdalah koor terdengar membahana di ruang tamu.
Allah, aku candu padaMu.
-Tangerang, 28 Januari 2014-
Spesial untuk pikiranku yang selalu mendesak untuk ditorehkannya kisah ini, tak ada hutang di antara kita. Legaa
beda usia memang bisa jadi kendala, yang paling penting sudah memantapkan hati ketika memilih calon. menikah itu cuma sekali
BalasHapusMenikah selalu menjadi bahasan seru bagi para gadis :-)
BalasHapusMenikah selalu menjadi bahasan seru bagi para gadis :-)
BalasHapuskapan ya aku dilamar ? :p *nyari jodohnya dulu* hehe
BalasHapussalam kenal mbak :)
wihh keren mba :))
BalasHapusjadi melamum sendiri :D