Muridku Tercinta
Ini sudah menjadi keputusanku, setidaknya aku bisa memenuhi permintaan hati yang sudah bergejolak semenjak menyelesaikan KKN satu tahun yang lalu. Aku berniat untuk menjadi tenaga pengajar di daerah pelosok Indonesia, entah di daerah mana nantiya aku akan mengabdi. Tapi yang jelas keputusanku sudah bulat. Seminggu setelah diwisuda, aku akan bergabung dengan lembaga Mengajar Indonesia yang mendistribusikan manusia yang memang berdedikasi tinggi untuk mengabdi kepada masyarakatnya dengan cara mengajar di daerah pelosok di seluruh Indonesia. Saat ini yang masih mengganjal dipikiranku hanya satu, mendapat restu dari kedua orangtuaku, terutama mama.
“Pokoknya mama tetap nggak mengizinkan, Kamu mau jadi apa kalau pergi ke tempat-tempat kaya begitu Ra? Mama menyekolahkanmu tinggi-tinggi berharap agar kamu bisa meneruskan usaha papamu. Ya, setidaknya kalaupun kamu tidak meneruskan usaha papa, kamu bekerjalah di Jakarta. Nggak perlu sampai jauh-jauh ke pelosok sana. Waktu KKN kan kamu sudah pernah, masa masih kurang saja sih.” Mama tetap pada pendiriannya. Ini sudah yang ketiga kali aku membicarakan hal ini dengan mama. Tapi, tetap saja jawaban mama membuat nyaliku sedikit ciut. Kalau orang tua tidak meridhoi bagaimana aku bisa menjalankan pekerjaanku ini dengan hati ikhlas dan lapang.
“Ma, ayolah, izinkan Rara. Rara hanya satu tahun saja kok Ma. Rara janji. Habis itu Rara pasti akan bantu untuk ngurusin usaha papa. Rara nggak pernah minta apa-apa dari mama, tapi untuk kali ini Rara mohon Ma, izinin Rara. Di pelosok-pelosok sana masih banyak anak-anak yang putus sekolah Ma. Bukan karena kemiskinan saja yang membuat mereka bodoh Ma, tapi mereka tidak punya tenaga pendidik yang bisa membuat mereka bangkit. Setidaknya Rara dan teman-teman Rara bisa membantu itu Ma. Tapi, kalau mama tetap tidak meridhoi Rara tidak akan berangkat kok, Rara nggak mau jadi anak durhaka.” Ucapku melemah aku sudah kehabisan kalimat. Entah harus melakukan apa lagi agar mendapat persetujuan dari Mama.
“Sekali tidak tetap tidak Ra!” Ucap Mama sambil berlalu menuju kamarnya. Papa yang semenjak tadi mendengarkan pembicaraan kami hanya tersenyum saja. Senyum papa sedikit melegakanku. Bergegas papa berdiri lalu mengusap punggungku perlahan.
“Sabar ya, Papa akan bantu kamu ngomong ke mama” Ucap papa ringan dan aku pun mengangguk senang.
********
Aku sudah mendapatkan surat pemberitahuan dari Lembaga Mengajar Indonesia melalui e-mail. Di dalam surat itu aku akan ditugaskan di pelosok Timur Indonesia, Irian Jaya. Rencana keberangkatan dua minggu lagi. Tapi sampai sekarang mama masih belum meridhoi aku.
“Ra… ini kamu dapat kiriman surat.” Ujar mama tiba-tiba masuk ke kamarku disaat aku sedang mengeprint surat pemberitahuan tersebut. Hasil printannya jatuh ke lantai karena aku kaget dengan kehadiran mama. Mama segera memungut kertas yang baru aku print dan sekilas membacanya.
“Kamu belum membatalkannya juga Ra” Ucap mama panik dan terduduk di kasur tepat dibelakang kursi tempatku duduk. Seketika aku terdiam. Irian Jaya kan jauh Ra, mama tetap nggak mengizinkan. Kamu mau ngapain ke sana? Ujar mama lagi kali ini diselingi dengan tetesan air mata. Aku menatap mata mama dalam, berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa memang inilah keinginanku.
“Ma, di sana aku tuh mau ngajar. Mengajar anak-anak dari SD, SMP, dan mungkin saja SMA. Memang sih hal ini tidak sesuai dengan penjurusan manajemen Rara. Tapi, Ma… entah kenapa hati Rara tuh bergelora dan mengebu-gebu untuk melakukan hal itu. Kasihan Ma anak-anak negri ini yang kurang mendapat perhatian pemerintah dalam hal pendidikan. Rara ingin sekali melihat anak-anak di negri kita itu pintar, ya setidaknya punya semangat dan cita-cita yang tinggi. Ayolah ma, izinin Rara untuk mengabdi Ma, setahun itu nggak lama kok Ma. Rara janji akan ngasih mama kabar terus. Rara janji akan menjaga diri baik-baik di sana.” Ujarku sembari berlutut dihadapanan Mama.
Mama hanya menangis dan meremas surat dan kertas yang kuprint tadi. Aku terdiam. Mama pun demikian. Sampai akhirnya mataku tertuju pada surat yang dipegang oleh mama. Amplop bergambar orang yang diwarnai dengan krayon menarik perhatianku. Perlahan kupegang tangan mama dan kubuka kepalan tangannya terhadap amplop itu. Tidak salah lagi, ini surat dari Dina, anak perempuan yang pernah kuajar saat aku KKN di pelosok Jawa Timur. Tulisan tangannya bisa kuhapal dengan benar. Aku pun bergegas membuka dan membaca isi suratnya
Untuk kakak Rara
Kak, apa kabar?. Semoga keadaan kakak dan keluarga kakak di Jakarta baik-baik selalu. Kami sekarang senang karena disekolah kami sudah ada guru. Meskipun hanya dua orang. Tapi kata Pak Lurah, guru-guru itu akan terus mengajar di sekolah kami. Kami semangat belajar Kak. Bahkan aku mendapatkan ranking 1 di kelas. Aku dan teman-teman rindu sekali dengan kakak terlebih dengan cerita-cerita kakak yang selalu membuat kami bersemangat melakukan sesuatu.
Oh iya, kabar mama kakak bagaimana? Mamaku pernah bilang kalau Kak Rara itu baik dan pintar karena mamanya super baik dan super pintar sehingga bisa membuat kak Rara seperti itu. Salam ya kak buat mamanya kakak. Aku mau jadi seperti Kak Rara yang pintar dan baik hati. Meskipun mamaku tidak pintar karena tidak bersekolah seperti aku tapi mamaku baik dan selalu menyemangati aku agar menjadi pintar seperti kakak.
Dini dan teman-teman di sini senang pernah punya pengalaman kebersamaan dengan kakak. Semoga kakak tidak melupakan kami ya. Salam sejuta cinta untuk kakak. Kami selalu mendoakan kakak agar kakak dan keluarga kakak selalu bahagia. Parjimin, Sugeng, Cipto, Nisa, dan Siti titip salam buat kakak. Doakan kami ya kak agar tahun ini bisa masuk SMP. Oh iya, bersama dengan surat ini, kami kirimkan gelang buatan kami yang terbuat dari rotan. Gelang ini ada lima, pas untuk keluarga kakak. (Mama kakak, Ayah kakak, dan dua orang kakaknya kakak).
Air mataku menetes setelelah membaca surat itu, segera saja kurogoh gelang yang berada dalam amplo berwarna itu. Gelang yang indah dan kuat. Segera saja kupakaikan gelang yang berada digenggamanku ke lengan kiri mama.
“Ma, ini gelang dari murid Rara waktu KKN. Ini buat mama katanya. Mama baca deh suratnya.” Ujarku sambil menyerahkan secarik kertas yang berisi tulisan tangan rapi. Sekilas mama hanya melirik, tapi aku tetap menyodorkannya agar mama mau membaca. Mama pun membaca surat itu sementara aku beralih duduk di sampingnya. Mama terdiam setelah membaca surat itu. Aku pun tak berani membuka suara.
“Kamu berangkat tanggal berapa, Ra?” ucap mama tiba-tiba dan membuatku sumringah.
“Mama ngizinin Rara?” tanyaku bersemangat. Mama pun mengangguk. Aku segera memeluknya erat. Hatiku plong rasanya.
“Tapi kamu harus janji untuk terus-terusan kasih kabar ke mama. Anak perempuan mama cuma kamu. Mama nggak mau terjadi apa-apa sama kamu. Mama juga harus minta nomor teman-teman kamu yang lain sekalian sama nomor pemimpin lembaga itu.
*****
Besok aku akan berangkat ke Irian Jaya. Semua barang-barang yang kubutuhkan sudah kupersiapkan dengan matang. Siang ini keluargaku mengajakku makan diluar, yah mungkin untuk melepas kepergianku karena aku baru akan pulang selama satu tahun lagi. Mama terus saja berada di dekatku, memperhatikanku, seolah-olah aku akan meninggalkan dia untuk selamanya. Sementara ayah dan kedua kakakku bersikap biasa saja. Mereka sudah tahu dan bisa menerima kepergianku seperti ini. Hanya saja mereka selalu berpesan agar aku selalu menjaga diri baik-bik di tanah orang.
“Pa, bukan tanah orang… tanah kita Pa” ujarku membetulkan kalimat papa dan papapun mengangguk membenarkan ucapanku. Setelah selesai makan siang bersama aku tidak langsung pulang bersama keluargaku. Rissa dan Dita sahabat baikku selama kuliah kuajak bertemu. Pasti rasanya akan rindu sekali jika tidak bertemu dengan mereka berdua selama satu tahun.
“Lo bener-bener ajib banget ya… orang mah habis lulus kerja kek atau ngelanjutin kuliah S2, eh lo malah jadi relawan untuk ngajar ke pelosok-pelosok sana.” Rissa membuka percakapan sambil menyeruput capucinonya. Sebulan setelah lulus dia langsung diterima bekerja di bank swasta. Penampilan dan dandanannya sudah banyak berubah.
“ye… ini gue juga kerja kali… kerja hati… hahahaha ya udahlah lo berdua doain aja biar di san ague lancar, aman, dan damai. Hehehe” ujarku berceloteh.
“Iya.. kami berdua pasti ngedoain lo kok. Btw besok berangkat jam berapa? Besok gue ada panggilan interview jadi kayanya nggak bisa ikut deh. Maaf banget ya Ra” ucap Dita sambil menjabat tanganku.
“Iya nggak apa-apa. Gue ngerti kok, Lo berdua udah pada sibuk sekarang. Makanya gue ngajakin ketemuannya sekarang. Besok gue berangkat jam 7. Transit dulu di Sulawesi. Gabung sama relawan yang dari sana.” Jelasku panjang lebar.
“Ra, gue mau tanya dong, tujuan lo ikut itu apa sih? Sayang waktu Lo terbuang kali… nanti balik dari di sana orang-orang mah udah pada jadi apa… eh lo baru ribed nyari kerjaan lagi” tanya Rissa. Sesaat aku terdiam berusaha mengolah kalimat dalam otak agar jawabanku tepat dan sesuai.
“Justru gue nggak buang-buang waktu kali… gue memanfaatkan waktu Ris… untuk mencapai kesuksesan, terkadang kita perlu menunda kesuksesan lainnya. Nah, gue sudah memikirkan ini secara matang. Gue ingin berbuat sesuatu… yang intinya sih kesuksesan juga… tapi kesuksesan untuk gue dan orang banyak. Yah kita lihat nanti deh, mungkin hasilnya tidak akan tampak pada setahun kemudian… tapi pasti suatu saat nanti kesuksesan itu aka nada dan semoga berlangsung terus menerus” ujarku sedikit berfilosofi. Entah Rissa mengerti jawabanku atau tidak tapi itu memang yang ada dalam pikiranku.
*********
Kini aku sudah berada di Sulawesi untuk bertemu dengan relawan yang lain. Mama tadi mengantar kepergianku dengan beruarai air mata. Aku membalasnya dengan pelukan hangat dan senyuman terbaik yang aku punya. Inilah pilihanku dan hatiku terasa senang.
“Ra… ikut briefing dulu sebentar” ujar Bu Wilda membuyarkan lamunanku. Aku pun beranjak dan bergabung dengan relawan lainnya. Bu Wilda memberikan penjelasan tentang persiapan kedatangan kami ke Irian Jaya. Kami, para relawan terdiri dari enam orang untuk ditempatkan di setiap desa. Aku sekelompok dengan Rio, Dedik, Mawar, Gea, dan Rusna. Mereka berasal dari Jakarta jua, sama seperti aku. Tapi, rata-rata umur mereka dua tahun lebih tua di atasku sehingga aku pun memanggil mereka semua dengan sebutan kakak.
Setibanya di Irian Jaya, kami disambut oleh Wakil bupati di daerah tersebut. Kami pun langsung didistribusikan ke berbagai desa terpencil di Irian Jaya. Perjalanan menggunakan jalur darat dan laut telah kami tempuh. Hingga akhirnya kami sampai pada malam hari di sebuah desa terpencil yang tanahnya sedikit kering. Mungkin karena sedang musim kemarau. Desa tersebut hanya terdiri dari beberapa rumah dengan bilik kayu. Tanpa lantai dan banyak sekali hewan berkeliaran.
“Kalian akan tinggal di sini, maaf beta tidak bisa bantu banyak” Ujar Pak Geo selaku pemimpin selama perjalanan kami ke desa ini, sembari mempersilakan kami masuk di sebuah gubuk berukuran 4x5 meter.
“Oh terima kasih Pak. Ini sudah lebih dari cukup bagi kami.” Ujar Kak Rio dan beberapa jam kemudian pun Pak Geo pamit. Besok beliau akan menunjukkan sekolah yang akan kami ajar. Sungguh aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan anak-anak besok.Kak Rio selaku ketua kami pun mulai membagi bagian-bagian kamar dengan alat seadanya (tali raffia dan sarung) karena memang dalam ruangan ini tidak terdapat sekat sama sekali kecuali untuk kamar mandi. Karena perjalanan yang cukup melelahkan akupun tertidur pulas hingga lupa memberikan kabar kepada keluargaku di Jakarta.
*********
Ini hari pertama aku mengajar di sini. Sungguh rasanya aku ingin menangis melihat anak-anak ini bersekolah tanpa berseragam, tanpa alas kaki. Tetapi, mereka semangat mendengarkan pelajaran yang kuberikan. Aku mendapat bagian mengajar bahasa Indonesia untuk anak-anak SMA kelas 3. Tidak seperti kebanyakan pengajar yang mengajar disebuah ruangan tertutup. Di tempat ini aku mengajar di tempat terbuka. Bukan karena ini sekolah alam, hanya saja ruang kelas di sekolah ini digunakan secara bergantian. Hanya karena anak kelas tiganya terdiri dari 4 orang, mereka harus mengalah tidak menggunakan ruangan kelas kecuali saat ujian saja.
Kak Rusna dan kak Gea bertugas mengajar kelas satu dan dua yang jumlah muridnya sedikit lebih banyak sekitar 12-15 orang. Sedangkan Kak Rio, Kak Dedik, dan Kak Mawar bertugas untuk mengadakan sosialisasi dan pendistribusian buku pelajaran yang kami bawa dari Jakarta. Tapi, entah kenapa aku sangat heran melihat sekolah ini karena sepenglihatan mata, hanya terdapat dua orang guru berseragam. Sepertinya sekolah ini hanya memiliki dua guru itu saja. Kejadian ini mengingatkanku saat KKN di Jawa Timur dulu.
“Kak, kakak sampai kapan mengajar kami di sini?” tanya Moru muridku yang kulihat paling aktif bertanya saat pelajaran tadi.
“selama satu tahun” jawabku sambil tersenyum. Kami berjalan beriringan. Sesaat kemudian Moru berteriak ke arah teman-temannya.
“kakak ini akan sama-sama kita….” Teriaknya kepada teman-temannya yang ada dibelakang. Teman-temannya pun bersorak gembira. Aku hanya tersenyum melihat ekspresi mereka. Perjalananku baru dimulai..
********
“kamu nanyanya kaya lagi investigasi aja Ra?” tanya kak Rio, saat aku menanykan mengenai jumlah guru di sekolah yang kami ajar.
“Habis aku penasaran kak. Memangnya tidak ada penyaluran guru dari pemerintah ya? Selama ini mereka belajar bergantian menunggu guru dan menunggu kelas. Setahu aku pns bukannya banyak ya?” tanyaku polos.
“Sebenarnya pemerintah sudah mengupayakan itu Ra… memang jumlah Guru PNS banyak. Terlebih saat ada lowongan PNS guru sudah banyak yang mendaftar. Tapi ya itu tadi… setelah mereka tahu bahwa mereka ditempatkan di daerah pelosok mereka mengurunkan niatnya. Yah, itulah…” Belum sempat Kak Rio meneruskan kata-katanya kak Gea sudah menyahut.
“berarti yang salah ya pribadinya Ra… nyalinya ciut…”
“Betul-betul-betul” Jawabku menirukan gaya upin dan ipin. “Eh kak, ngerasa nggak sih, kalau anak-anak di sini itu pintar sekali. Aku kasih tahu sekali aja langsung paham. Udah gitu semangatnya itu loh… kalah deh semangat belajarku saat kuliah.” Ujarku bercerita mengingat siang tadi saat aku belajar dengan Moru dan kawan-kawannya.
“Nah… kamu sudah tahu itu, kamu juga harus memotivasi mereka Ra… agar mereka tidak hanya berhenti di SMA dan bekerja menjadi buruh. Pacu terus semangat mereka untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi Ra… ingat tugas kita di sini. Kita tidak hanya mengajar saja. Kita juga harus membangun mimpi dan harapan mereka dan membantu mewujudkannya. Tidak usah memikirkan masalah biaya… yang penting mereka pintar dan terpacu untuk melanjutkan pendidikan.” Ujar Kak Rio berapi-api dan membuat hatiku berkobar.
“Sipp Kak… ayo kita bersama-sama membangun ini semua” ujarku sambil tersenyum dan berekspresi gaya “merdeka”. Kak Rio dan kakak yang lainnya tertawa melihat aksiku.
***********
“Kalian habis lulus nanti mau melanjutkan ke mana?” tanyaku suatu hari saat berjalan-jalan bersama murid-muridku tercinta.
“Beta mau bantu keluarga cari uang Kak.” Ucap Maria sambil tersenyum
“Kalau beta mau jadi pemain bola kak” Ucap Theo
“Beta tak tahu jadi apa kak? Beta jadi seperti ini saja” Verra menjawab tak bergairah.
“Beta mau jadi seperti kakak” Moru berteriak sambil tersenyum ke arahku. Langkahku terhenti seketika. Kuputuskan untuk duduk di bawah pohon sambil mengajak mereka berempat duduk bersama-sama.
“Maria, kamu mau cari uang dengan cara apa? Bekerja? Menjadi apa? Tanyaku antusias. Sesaat Maria terdiam mungkin tidak tahu harus berbuat apa. “Theo mau jadi pemain bola? Hmm… kalau kamu benar-benar giat berlatih dan kalao memang permainanmu sangat bagus sekali… kakak akan bantu kamu untuk bergabung menjadi pemain bola.” Jawabku.
“Kakak tidak bohong?” Theo berapi-api dan aku pun menggeleng. Setahuku Theo memang gemar sekali bermain bola. Permainannya juga sangat bagus, terlebih ia mampu mengalahkan kak Rio dan kak Dedik beberapa minggu yang lalu. Di daerah ini masih banyak tanah lapang sehingga mereka bisa saja main bola dengan baik karena memang alam sudah menyediakannya. Tidak seperti di Jakarta, bermain bola saja harusmenyewa tempat.
“Vera mau jadi seperti ini saja? Memangnya Vera tidak punya mimpi? Vera jangan kalah dengan teman-teman yang lain. Mumpung bermimpi itu gratis atau tidak bayar. Bermimpilah Ver, tapi jangan lupa untuk mewujudkannya.” Jelasku dan Vera pun terdiam.
“Kak, sebenarnya Vera ingin sekali menjadi dokter. Tapi, kata mamak vera nggak boleh mimpi aneh-aneh yang tidak akan terjadi.” Jelas Vera sedih dan menunduk.
“Wah itu keren banget lho… Vera nanti bisa bantu menyembuhkan orang-orang yang sakit. Kenapa mamak bilang tidak boleh? Apa karena tidak ada biaya?” tanyaku mencari tahu. Vera pun mengangguk.
“Tenang, Vera tidak usah takut memikirkan biaya. Yang penting vera benar-benar belajar yang rajin dan mau melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi untuk menjadi dokter saja itu sudah cukup. Masalah biaya nanti dibantu sama lembaga kakak.” Jelasku
“Kalau beta bagaimana? Tanya Moru tak mau kalah.
“Moru juga harus belajar yang rajin. Moru kan mau menjadi guru… berarti nanti melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negri yang khusus kependidikan. Memang Moru mau menjadi guru apa?” tanyaku antusias.
“Moru mau jadi guru bahasa Indonesia kak…” jawab Morum sumringah dan akupun tersenyum.
“Nah itu bagus… untuk Moru dan Vera … kakak berharap sekali kalian bisa mewujudkan mimpi kalian. Kakak yakin kalian bisa lulus ujian nasional tahun ini dan kakak sangat berharap kalian mau ikut ujian seleksi masuk perguruan tinggi negri. Kalau kalian bisa lulus itu, percaya sama kakak… itu adalah kunci gerbang kesuksesan kalian. Kalian tidak perlu memikirkan biaya. Ingat Tuhan kita kaya, tidak usah takut kekurangan, pasti nanti Tuhan mau membantu siapa saja yang mau terus berusaha dan tidak mengenal putus asa. Sedangkan untuk Theo, kamu kan mau jadi pemain bola… sebenarnya kakak sih mau ngasih kejutan buat kamu. Tapi kakak sudah tidak sabar untuk memberitahunya. Kak Rio, kemarin ke kota… ia mendaftarkan kamu untuk ikut klub bola. Tapi, kamu harus lulus ujian nasional dulu…” ujarku perlahan tetapi Theo malah berteriak senang dan kegirangan.
“Lalu Beta bagaimana kak?” tanya Maria sedikit ragu ke arahku. Aku mendekapnya perlahan. “Maria… kamu tuh pintar, sayang kalau habis lulus SMA ini kamu langsung bekerja. Memangnya kamu tidak ingin melanjutkan pendidikan dulu ke perguruan tinggi. Nanti di sana kamu bisa bertmu dengan berbagai macam orang sehingga bisa memperluas wawasan kamu. Ingat dunia ini luas loh… masa kamu tidak ingin menginjakkan kaki di tempat lain selain di desa ini? Ini berlaku untuk Theo, Moru, dan vera juga ya. Kalian ini masih muda. Masih panjang perjalanan kalian. Yang penting kalian punya niat yang kuat, usaha yang tak kenal memnyerah, dan berdoa tanpa henti saja Tuhan pasti bersama kalian. Jelasku panjang lebar membuat mereka berempat terdiam. Terlihat gairah masa depan pada mata bening mereka. Ah… anak-anak polos dan pintar ini memang layak untuk diperjuangkan.
“Kak, beta mau melanjutkan pendidikan. Beta akan ikut saran kakak…beta bersemangat kak, mungkin nanti beta akan mengambil kuliah yang berhubungan dengan tanah dan pertanian.” Ujar Maria bersemangat dan aku pun tersenyum mendengar penjelasannya.
*******
Sudah hampir setahun aku di sini, tak terasa dua minggu lagi kami akan kembali ke Jakarta. Keluargaku terutama mama sudah tak sabar menemuiku. Mama sudah rindu sekali denganku sehingga setiap hari menjelang kepulanganku mama selalu menghubungiku dan menceritakan persiapannya menyambut kepulanganku. Aku memang rindu sekali dengan mama, makanya aku senang dan sudah tidak sabar untuk pulang ke rumah. Tapi, disisi lain aku juga sedih karena aku tidak bisa menunggui Moru, Vera, Maria, dan Theo untuk menghadapi ujian Nasional 3 minggu lagi.
“Kakak, tenang saja… kami pasti mampu menyelesaikan soal ujian nasional dengan baik. Kan kakak selama ini yang mengajari kami. Kakak harus percaya kepada kami. Nanti kalau pengumuman ujian nasional sudah keluar kami akan kabari kakak lewat pos.” Jelas Moru ketika aku mengucapkan salam perpisahan. Aku senang semakin lama mereka semakin optimis. Mereka tidak takut menghadapi ujian saja aku sudah senang. Air mataku menetes saat mereka menyalamiku satu persatu. Mereka pun menangis. Mereka sudah kuanggap sebagai adik sendiri.
Sebelum aku meninggalkan mereka, aku memberikan uang yang kuamplopi. Uang tersebut kuberikan satu persatu kepada mereka. Sesaat mereka mengembalikan amplop itu kepadaku.
“Lho kenapa dikembalikan ke kakak? Tanyaku bingung.
“Kakak sudah memberi kami banyak hal, ilmu, saran, wawasa, cinta, kasih sayang dan masih banyak lagi. Itu sudah cukup buat kami kakak.” Ujar Moru sambil menangis.
“iya Moru benar” Maria menyahut dan ikut menangis juga. Theo dan Vera pun demikian.
“Kakak, memberikan uang ini untuk kalian pergunakan untuk mendaftar seleksi penerimaan mahasiswa baru nanti. Sedangkan untu Theo untuk bekal selama tinggal di kota nanti. Kalau kalian menolaknya kakak akan sedih sekali. Kakak hanya minta satu hal kepada kalian semua… wujudkan cita-cita kalian. Itu saja” jelasku masih menangis dan akhirnya memeluk mereka berempat.
*****
Akhirnya aku kembali ke Jakarta, mama menyambut kedatanganku dengan sukacita. Setahun berjalan begitu cepat. Tapi keadaan keluargu tidak banyak yang berubah. Hanya saja beberapa minggu lagi aku harus sudah bersiap untuk menepati janjiku bekerja di perusahaan papa. Sebagai pekerja kantoran tentunya. Selama beberapa hari kepulanganku, mama menemaniku tidur. Kami bercerita banyak hal, dan tentu saja aku menceritakan keempat murid-muridku yang super hebat dan jenius.
Waktu terus bergulir hingga tak terasa sudah tiga bulan setelah kepulanganku dari Irian Jaya. Aku sudah tidak sabar mengetahui hasil Ujian Nasional mereka. Kak Rio menghubungiku siang tadi dan memberi kabar bahwa mereka berempat lulus ujian nasional. Aku senang bukan kepalang tak lupa bersujud dan bersyukur atas keberkahan yang diberikan Tuhan untuk mereka semua. Moru, Vera, dan Maria menepati janjinya untuk mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negri. Dulu aku sempat memberikan nasihat kepada mereka agar memilih PTN di luar Irian Jaya agar mereka bisa mengenal, mempelajari daerah yang lain serta memperluas wawasan. Entah mereka akan mengikuti saranku atau tidak yang pasti mendengar mereka ikut seleksi ujian saja aku sudah senang dan bahagia.
******
Sudah hampir empat tahun aku sibuk pada pekerjaanku di perusahaan papa, entah kenapa aku tiba-tiba rindu sekali kepada Moru, Vera, Theo, dan Maria. Aku benar-benar kehilangan kabar mereka berempat. Kabar terakhir yang kuketahui Maria, Vera, dan Moru diterima berkuliah tapi aku sendiri tak tahu tempatnya di mana. Ketika kutanyakan kepada Kak Rio, dia bilang sudah kehilangan kontak dengan Pak Gio di sana. Aku kini hanya bisa memandangi foto bersama mereka. Semoga kalian sukses semua. Amien.
“Rara… Dandra sudah menjemput kamu tuh. Kamu sudah siap belum?” Teriak mama dan membuyarkan lamunanku. Ini aktivitasku sekarang, bekerja dan bekerja.
“Iya Ma… suruh tunggu sebentar” Jawabku sedikit berteriak. Bergegas aku mengambil tas kerjaku dan berjalan ke luar kamar. Dandra di ruang tamu Ma? Tanyaku sambil mencium kening mama.
“Iya… Ra…Oh iya… tadi malam pas kamu sudah tidur ada yang telepon cari kamu. Namnya kalau nggak sama Vera siapa gitu. Mama bilang saja kamu sudah tidur.” Ujar mama sambil memberiku segelas susu.
“Vera ma? Beneran… ya ampun itu murid Rara yang waktu di Irian Jaya dulu” ucapku bersemangat.
“Mungkin iya Ra,soalnya logatnya juga beda… mungkin nanti dia telepon lagi. Nanti mama kasih no hp kamu aja ya” jelas mama dan aku pun mengangguk girang. Bergegas aku menemui Dandra, tunanganku.
“Eh, Dan… Vera kata mama telepon aku tadi malam. Aku udah kangen berat sama mereka. Wahhh aku seneng banget hari ini. Padahal baru aja tadi aku mikirin mereka.” Jelasku dan Dandra pun tersenyum.
“Wah… semoga aja ya, kamu bisa ketemu mereka lagi” Ujar Dandra sambil mengajakku ke luar rumah. Baru saja aku menjawab “amien” kini di depanku dua perempuan berambut kriting tersenyum sambil menatapku.
“Kakak…” ujar mereka sambil langsung memeluku. Vera dan Maria. Akupun membalas pelukan mereka hangat. “Kami akhirnya bertemu kakak juga. Kami rindu sekali” ujar Maria sambil menatapku. Empat tahun tidak bertemu sudah banyak perubahan yang terjadi pada dua gadis hitam manis ini.
“Kok bisa sampai sini? Ayo masuk-masuk” ujarku sambil menyegerakan mereka masuk. Akupun memanggil mama dan segera memperkenalkan mereka berdua kepada mama dan Dandra. Dandra pun mengetahui bahwa aku pasti tidak akan masuk kerja hari ini segera pamit dan membiarkan aku bernostalgia bersama murid-muridku. Vera dan Maria bercerita bahwa selama empat tahun ini mereka mengenyam pendidikan di universitas negri. Vera mengambil pendidikan dokternya di Universitas Airlanggan sementara Maria mengambil pendidikan Ilmu pertanian di IPB. Betapa kagetnya aku karena tak berapa lama kemudian seorang lelaki berperawakan tinggi datang dihadapanku. Moru. Ia kini bertambah tinggi. Ia bercerita bahwa dirinya telah selesai menempuh pendidikan keguruan di Bandung. Merka sengaja tak memberitahuku bahwa selama ini mereka berada di Jawa karena mereka ingin menunjukkan keberhasilan yang sudah mereka dapatkan. Sungguh tak ada sia-sia. Mama yang semenjak tadi menyaksikan nostalgia kami ikut meneteskan air mata.
“Theo bagaimana? Tanyaku karena kini hanya dia yang belum kuketahui kabarnya/ Bergegas Moru mengelurakan ponselnya dan memperlihatkan foto Theo yang mengenakan seragam sepak bola. “Minggu depan dia ada pertandingan di Jakarta Kak, semoga kakak bisa melihat bersama dengan kita.” Ujar Moru membuat air mataku tak berhenti menangis.
Untuk murid-muridku tercinta
Depok, 10 September 2011