Dulu... di tempat ini hampir dua tahun yang lalu.
Aku begitu lugu dan terendam dalam eforia kesenangan semu yang membuat hati tertawa tak kenal waktu. Padahal yang dihadapi adalah kehidupan baru dalam menapak tingkat selanjutnya. Mungkin lebih enak jika disebut sebagai naik kelas.
Aku mengenakan baju hitam kebesaran dengan dua garis berwarna putih yang berada tepat di lengan kiri. Dandananku sangatlah apik. Tak kutampik demikian karena memang kebaya anggun yang kukenakan di balik jubah kebesaran. Aku bersama ke dua temanku sudah tak sabar menyanyikan lagu kebesaran yang senantiasa dikumandangkan di tiap hari pelepasan dan kedatangan. Yap! Wisuda. Melepaskan mahasiswa yang sudah merasa cukup beroleh ilmu dengan puncak skripsi sebagai jejak tertinggi sekaligus mengucapkan selamat datang pada adik-adik berseragam putih abu-abu yang begitu bersnar dengan jaket kuning keemasan yang menyala.
Semua tampak luar biasa terlebih gegap gempita begitu terdengar membahana dan ke mana-mana. Padahal sebelunya (beberapa bulan sebelumnya) wajah-wajah kami lungset seperti tak pernah disetrika atau bahkan diberi pewangi yang menarik indra penciuman semata. Yap! Skripsi menjadi bagian yang sempat berpotensi membuat orang kalang kabut kelabakan meski terdengar berlebihan. Tapi percayalah hal tersebut toh sempat membuat hati kami deg-degan. Terlebih saat detik-detik jelang nama-nama kami dipanggil satu-persatu untuk masuk ke sebuah ruangan. Seperti akan diintrogasi padahal semua itu kami yang membuat dan menciptakan sendiri dengan ke dua tangan dan buah pikiran yang entah mungkin matang atau setengah matang.
Begitu memperkenalkan diri dan dipersilakan rasanya dada kaki membuncah hebat. Seluruh otak kami bekerja ekstra. Hati kami diliputi doa. Pendengaran kami meningkat tajam. Mencoba mencerna sekaligus menjawab pertanyaan yang dikemukakan setelah rampung menjabarkan apa yang selama ini kami tulis dan torehkan dalam sebuah kertas hingga berpuluh-puluh halaman.
Semua masih terasa. Lebih tepatnya membekas di hati dan jiwa. Terlebih banyak sanak saudara yang lebih pantas direkatkan sebagai pengganti kata 'sahabat setia'. Ketar ketir ingin tahu hasil hingga pada akhirnya bersorak gembira. Terlebih mendengar nilai A.
Ucapan selamat seketika berhamburan terlampau hebat. Sampai terkadang terlena hingga lupa bahwa ada segudang revisi di depan mata. Jika mengingat itu rasa-rasanya ingin geleng-geleng kepala karena lucu dan mengaharu biru. Padahal itu adalah tahap awal dalam melangkahkan kaki di gerbang kehidupan yang baru ditapaki.
Semua tersamarkan dan terhiburkan oleh adanya acara pelepasan sekaligus penyambutan yang selalu meriah di dalam sebuah gedung yang berkapasitas lebih dari empat ribu manusia. Di dalam ruangan itu para orang tua bersuka cita melihat hasil perjuangan anaknya dalam memperoleh gelar sarjana. Harapan mengantung tinggi pada setiap pundak jiwa-jiwa yang "bebas". Dan mungkin saat itu aku dan keluargaku turut menjadi bagiannya.
Ada kisah menarik setelah prosesi gegap gempita itu berlalu. Semua orang berbaur... berangkulan... mengabadikan berbagai pose dengan wajah suka cita berbahagia. Tidak ada yang salah. Dan semua memang proses. Akupun berlaku demikian dengan keluargaku.
Jadi teringat sebuah pesan masuk dalam ponsel putih menyatakan seseorang datang dan ingin bertemu sebentar. Waktu itu senang saja mendapat berbagai ucapan baik yang dilampiaskan dengan kata-kata maupun dengan bunga. Sampai akhirnya bertemu adik kelas yang begitu sumringah dan bersemangat menyambut diri ini yang saat itu entah merasakan apa. Lupa!
Semua berlalu... hingga menjadi dua tahun setelahnya yang tak lain adalah saat ini. Semua orang bertoga berhamburan mengabadikan foto bersama keluarga.. sahabat... ataupun sekadar teman sejawat. Dan aku berdiri di sini untuk mengucapkan selamat kepadanya yang dulu menghampiriku dan memberikanku setangkai bunga.
Selamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar