Sepenggal kisah Bu’e
oleh Reisa Dara Rengganis
“Bu’e, sepurane yo. Kulo nggak bisa bantu
ngarit saiki. Soale’ enten acara pelatihan ndek saung sampe malem” (Ibu
maaf ya, saya nggak bisa bantu ngarit sekarang, soalnya ada acara pelatihan di
saung sampai malam)” Ujarku sambil duduk di samping Mbok Yoto, ibu Angkatku
selama tinggal di Desa Glagaharjo ini. Ibu yang tengah sibuk menggoreng ikan
asin sesaat menatapku.
“Ndak
opo-opo. Sing penting makan dulu” Ujarnya campur dengan bahasa Indonesia.
Bu’e segera mengeluarkan nasi dan sayur dari lemari kecil. Dengan gesit akupun
segera membantunya. Kebetulan Inay temanku, yang juga mengikuti pelatihan IADP
di Merapi bersama ketujuh temanku yang lain sedang berkunjung ke rumah untuk
sekadar menumpang mandi. Bu’e dan aku mengajaknya untuk turut bergabung
menyantap sarapan pagi bersama-sama.
“Bu’e… kakinya masih sakit?” tanyaku
sambil menyendokan nasi ke dalam piring.
“Yo…
lututku cekit-cekit. Linu. Tapi ndak
opo-opo. Wis ora usah dipikir.” Kata Bu’e berusaha membuatku tenang.
Kata-kata yang keluar dari mulut beliau justru tidak membuatku tenang. Aku jadi ingat kemarin.
Kemarin saat mengambil rumput bersama
Bu’e, beliau tidak mengenakan celana panjang seperti
hari sebelumnya. Bu’e hanya mengenakan baju terusan selutut dan balutan sweter
bludru berwarna merah. Saat itu aku
melihat dengan jelas kulit kaki ibuku yang mengering pecah-pecah, ditambah dengan urat yang menggerenjal atau
biasa kusebut dengan istilah varises.
“Bu’e
kakinya nggak sakit?” tanyaku sambil berjalan mengikutinya. Ibu hanya tersenyum
sambil menggelengkan kepalanya. Setelah
selesai mengarit dan mengikatnya, seperti biasa Bu’e mengajakku ke arah kidul
untuk langsung mengakut hasil aritan menuju kandang sapi. Ibuku memang memiliki
seekor sapi perah. Akan tetapi karena tak memiliki kandang, ibu terpaksa
menitipkannya ke kandang tetangga
meskipun jaraknya tidak dapat dikatakan dekat.
Di
tengah perjalanan ibu mengeluhkan kalau lututnya sakit. Beliau mengajakku beristirahat sebentar. Aku
pun mengikutinya. Jujur, aku saja yang mengakut seperdelapan rumput yang dibawa
di atas kepala ibu merasa sangat keberatan. Bagaimana dengan ibu yang membawa
rumput tersebut dengan kondisi usia yang kurasa sudah terlalu payah. Mau
bagaimana lagi, mengarit rumput merupakan satu-satunya pekerjaan ibu untuk
terus melangsungkan hidupnya. Meskipun ibu memiliki anak, tapi ibu tidak mau
terlalu bergantung pada anak-anaknya.
“Ayo
nambah” Ujar ibu membuyarkan lamunanku. Tanpa pikir panjang lagi aku segera menyendokan
nasi dan kering tempe ke piringku meskipun piringku masih penuh. Aku tak ingin
mengecewakan Bu’e. Apalagi semenjak kedatanganku selama emapt hari ini Bu’e
selalu meliwetkan nasi untukku. Biasanya Bu’e makan nasi jagung. Aku tidak
pernah tahu seperti apa rasanya makan nasi jagung. Bu’e bilang sama saja, tapi
Bu’e tidak mau memasakan nasi jagung untukku.
Bu’e selalu beralasan “Wes… makan
nasi saja. Beras Bu’e akeh” (Sudah makan nsi saja. Beras ibu banyak).
Saat
ini yang ada di pikiranku hanya satu, kalau kaki ibu masih sakit siapa nanti
yang akan mengarit rumput. Anak ibu, Mas Maryanto, sibuk mengeruk pasir di
jurang dari pagi sampai senja. Apalagi
kalau besok aku pulang. Siapa yang bantu ibu?
“Besok sudah pulang yo? Yo engko lek ono
waktu maen-maen nang kene. (Besok sudah pulang ya? Besok kalau ada waktu ya
main-main ke sini)” ucap Bu’e sambil menyndokkan nasi ke mulutnya.
“Insya
Allah Bu’e” jawabku. Semoga saja Allah memberikan aku kesempatan suatu saat
nanti agar aku bisa tidur sekasur lagi dengan Bu’e, dipeluk Bu’e, melihat Bu’e
senyum, memetik cabai dan sebagainya dengan situasi dan kondisi yang berbeda.
Aamiin. Semoga kaki Bu’e cepat sembuh.
Yogyakarta, 19 Juni 2012
Untuk Bu'e di Desa Glagaharjo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar