Danish
“Rul.. gue suka masa sama dia…” Ucapku
setengah berbisik pada Nurul yang duduk tepat disebelah kiriku.
Mataku masih terus menatap laki-laki
bertubuh tegap sedikit tambun dan berkacamata yang sedang asyik memberikan
penjelasan menegenai Migrasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1950-an—mata
kuliah Antropologi Indonesia.
“Rei… lo ngelihatnya biasa aja kali…
jangan terlalu mantengin gitu ah… ntar ketawan aja.” Bisik Nurul sambil terus
memperhatikan tingkahku yang sepertinya sudah kelewatan dalam memperhatikan
mahluk Tuhan yang menentramkan itu.
Sumpah, sepertinya baru hari ini aku bener-bener
melihat cowok idamanku. Padahal mata kuliah ini udah sampai pertemuan yang ke
tiga kali. Kenapa aku baru sadar sekarang ya? Kemana aja kemarin-kemarin.
Mungkin karena terlalu banyak orang kali ya. Bayangin aja, satu kelas bisa
sampai 90 orang. Maklum ini kan mata kuliah kelas besar. Kebetulan di semester
tujuh ini, aku dan kedua sahabatku—anak Sastra—iseng mengambil mata kuliah
belanjaan di fakultas tetangga. Sebenarnya sih alasanku dan ketiga temanku
ngambil mata kuliah ini atas dasar pertimbangan penasaran dan ingin ngerasain
kuliah di fakultas lain. Kebetulan di kampusku memang ada kewajiban untuk
mengambil minimal 3 sks mata kuliah di fakultas lain. Kami pun bertiga memilih
kelas Antropologi Indonesia ini.
Balik lagi ke masalah cowok yang lagi
ngusik perhatianku. Kalau dipikir-pikir dan dimirip-miripin… itu cowok mirip
banget sama Denis—pemain film Jomblo—yang terkenal gokil dan lucu itu. Bedanya,
cowok yang lagi ngejelasin di depan kelas bersama kelompoknya ini serius banget
dan yang pastinya ini cowok pinter banget.
“Rei.. Lo ngelamunin apaan sih?
Senyum-senyum sendiri kaya orang gila” Suara Dicil teman sejurusan membuyarkan
lamunan. Seketika itu juga aku membisikkan alasanya ke Dicil.
“Eh…
cowok kaya gitu udah punya cewek kali Rei…” Komentar Dicil membuatku terdiam. Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga
sih.Mana mungkin cowok model gitu belum punya pacar.
“Rul… bener kali ya.. kata Dicil…”
“Kenapa?”
“Dia udah punya cewek kali ya?”
“Hmm… iya juga sih, pinter sih anaknya.
Tapi siapa tahu aja belom.
“Eh lo berdua berisik aja… dengerin tuh
yang lagi presentasi.” ujar Dicil mengingatkan sambil menepuk bahu kananku.
Kami berdua pun akhirnya kembali menyimpak presentasi yang disampaikan
laki-laki itu dan teman-temannya. Dan sekali lagi, aku masih saja memperhatikan cowok itu. Sumpah-sumpah, ini
mata nggak bisa nengok ke yang lain. Padahal yang presentasi sekitar 6 orang.
Tapi hanya dia aja yang bikin aku fokus. Kacau-kacau.
Tuh kan, kepintaran dia terbukti… diantara
keenam orang yang ada di depan itu, hanya dia yang bisa menjawab dan
menjelaskan secara detail mengenai pertanyaan yang diajukan tentang alasan
Migrasi di Indonesia melalui sudut pandang sosial ekonomi. Beuh…. Makin klepek-klepek aja ini hati.
“Rei… buset dah… masih ngelihatin aja.
Emang sih pinter banget… udah ntar lo ajak kenalan aja. Alesan minta softcopy bahan presentasi ini” Ujar
Dicil memberi saran pada akhirnya dan aku pun menganggukkan kepala. Ide bagus!
****
“Eh sorry, gue boleh minta softcopy slide presentasi kelompok Lo
nggak?” Ucapku sedikit ragu dan agak ketakutan—tapi rasa suka megalahkan
segalanya—kepada cowok yang dari tadi menarik perhatianku setelah mata kuliah
Antropologi Indonesia ini usai.
“Boleh… boleh, mana flashdisknya?”
Tanyanya tersenyum dan akupun buru-buru mengeluarkan usb dengan gantungan
kristal cabai kepadanya. Tidak sampai lima menit ia telah mengkopi slide
presentasi kelompoknya ke usbku.
“Makasih ya...” Ujarku sambil mentapnya.
“Iya sama-sama… eh Gue duluan ya..”
Ujarnya dan segera berlalu dari hadapanku.
“Cie.. kayanya sukanya beneran nih. Lo
serius?”Tanya Nurul sambil menyenggol Dicil.
“Ya.. suka boleh aja kan. Nggak ada yang
ngelarang ini. Sttt diem-diem ya.”
“Dasar” Ujar mereka bertiga berbarengan.
“Tapi tadi namanya siapa ya?” ucapku
menyesal karena bener-bener lupa nggak sempat tanya namanya.
“Ye dasar Gue pikir lo udah tahu namanya.
Ya udah minggu depan kan ketemu lagi tuh.” Ujar Nurul sedikit menenangkan.
Hmmfff… padahal udah selangkah lebih maju. Kenapa sampai oon gini sih gitu aja
nggak sadar untuk nanya namanaya. Payah! Sangking terpesonanya kali ya… yah…
semoga minggu depan aku masih bisa ketemu dia.
*****
Minggu ini giliran aku dan kelompokku yang
presentasi di kelas Antropologi. Kelompokku terdiri dari tujuh orang dan
semuanya perempuan. Tiga orang dari jurusan sastra sisanya jurusan kesehatan
masyarakat. Sekitar 15 menit berselang kami memaparkan informasi yang telah
kami peroleh dan kami rangkum. Materi yang kami sampaikan untungnya amat sangat
kami kuasai. Maklum… sebenarnya ini bukan ranah kami. Kalau saja membicarakan
tentang Sastra mungkin setidaknya kami sedikit lebih tahu dibanding
mereka-mereka yang memang kebanyakan dari jurusan Antropologi. Untuk
mengantisipasi hal tersebut makanya H-3 sebelum presentasi kami banyak
berdiskusi.
Ketika sesi pertanyaan dibuka banyak
sekali orang yang mengacungkan tangan untuk bertanya. Maklum bagi yang bertanya
akan mendapatkan poin ekstra dari dosen. Kelompok kami yang berhak menentukan
siapa yang dipersilakan untuk bertanya dan kebetulan aku yang menjadi
penentunya—maklum ketua kelompok. Mataku cepat sekali menangkap bayangan ketika
ada seseorang yang mengangkat tangannya di deretan paling belakang. Cowok berkacamata
itu. Segera saja aku mempersilakannya. Pertanyaan yang diajukan cukup njelimet meskipun begitu aku dibantu
temanku mampu menjawab pertanyaannya dengan tenang dan setidaknya tepat.
Presentasi diakhiri dengan riuh tepuk
tangan dari teman-teman sekelas. Lega. Kami senang setidaknya kami mampu
menyajikan dan menjawab segala pertanyaan dengan baik meskipun tidak semuanya
mampu dianggap benar. Jujur aku pun senang… karena ternyata setidaknya dia
memperhatikan aku dan kelompokku tentu saja. Bergegas aku duduk di bangku
barisan depan yang memang sudah kutaruh tasku. Sementara dicil dan Nurul
membereskan barang-barangnya di meja presentasi.
“Eh… sorry gue boleh minta sofcopy
presentasi tadi” tiba-tiba suara seorang dari arah belakang memecahkan konsentrasiku saat aku baru saja
mematikan laptopku.
“Yah… baru dimatiin laptopnya” ujarku
sambil menengok ke arah suara itu. Damn! Itu cowok berkacamata. “Eh… bisa-bisa.
Sebentar ya… Gue nyalain lagi.” Ucapku salah tingkah dan segera menghidupkan
komputer jinjing ini. Tiba-tiba dia sudah duduk di sampingku. Haduh. Dicil dan
Nurul yang masih di depan membereskan peralatan presentasi senyum-senyum
melihatku yang tengah bersanding bersama cowok ini.
“Lo bukan anak Antrop ya?” tiba-tiba ia
bertanya memecah kesunyian diantara kami. Meskipun kelas ramai dengan suara
anak-anak yang berlalu-lalang karena kelas memang sudah bubar.
“Eh… iya bukan. Gue anak sastra” jawabku
sekenanya. Nggak berani ngelihat tampangnya. Takut ketawan kalau-kalau mukaku
merah.
“Rei… masih lama nggak? Gue tunggu di
bawah ya… haus nih.” Ucap Nurul sambil bergandengan dengan Dicil. Aku tahu… ini
akal-akalan mereka saja.
“Ya sudah tunggu di bawah aja. Nanti gue
nyusul!” jawabku sok nggak butuh. Padahal biasanya aku yang paling nggak mau
ditinggal. Nurul dan Dicil akhirnya berlalu disusul beberapa anak-anak kelas
yang juga keluar baik sendiri-sendiri ataupun bergerombolan. Hanya tinggal
segelintir orang yang masih bertahan di dalam kelas termasuk aku dan cowok ini.
“Nih flashdisknya” ucap cowok itu sambil
menyerahkan usb berbentuk kepik berwarna biru tua. Sama seperti baju yang ia
kenakan. Dengan segera aku mengkopi file
presentasi kelompokku. Setelah selesai akupun menyerahkannya dan mematikan
laptopku.
“Eh… makasih ya… btw nama Lo siapa? Tanyanya sambil memasukkan usbnya ke dalam
ransel. Pertanyaannya membuatku Geer dan melambung tinggi. Akhirnya dia
ngebahas nama juga. Kesempatan untuk tahu namanya.
“Reina” jawabku sambil tersenyum simpul.
“Nish… masuk kelas Pak Rinto nggak? Yuk
bareng!” Tiba-tiba seorang perempuan yang memang berasal dari kelas ini menyapa
cowok di sebelahku.
“Lo duluan aja Ta. Gue nungguin dia nih.
Kasian… gara-gara Gue tadi ditinggal temen-temennya.” Ujar cowok yang bikin
hatiku kalang kabut ini sambil melirik ke arahku.
“Eh… kalau mau duluan duluan aja. Nggak
apa-apa kok. Tinggal beresin ini doang.” Jawabku sok nggak butuh ditemenin.
Habis mau gimana lagi. Nanti disangkanaya aku nggak mandiri lagi. Apa-apa minta
ditemenin atau ditungguin.
“Enggak kok… santai aja. Gue tungguin.
Udah Lo duluan aja Ta” kalimat cowok ini bikin hati makin bersorak kegirangan.
Sementara perempuan itu akhirnya meninggalkan kami berdua.
“Makasih” jawabku sambil tersenyum simpul
dan memasukkan barang-barang ke dalam ransel. “Oh iya… nama Lo siapa?” akhirnya
kalimat pertanyaan itu keluar juga dari mulutku saat kami berdua berjalan
meninggalkan kelas menuju lift.
“Danish. Danish Prasetya.” Ucapnya
tersenyum lebar. Nama dan tampangnya benar-benar mirip dengan artis itu. Kami
berjalan bersama sambil menyusuri tangga. Maklum liftnya lama dan yang antre
banyak. Setidaknya ada sedikit waktu lebih untuk mengobrol bersama Danish. Danish menayakan banyak hal
tentangku dan itu membuatku benar-benar Geer.
“Rei…” suara Dicil meneriakiku. Bersama
Nurul dia menghampiriku yang tengah asyik berbincang-bincang bersama Danish.
Sepertinya saatnya berpisah. Dia ada kelas lagi sementara aku ada kelas di
fakultasku. Semoga minggu depan bisa ngobrol-ngobrol lagi kaya gini.
“Eh… gue duluan ya. Oh iya lupa… btw… Lo kenal Anggia nggak?” Tanya
Danish sebelum kami berlalu.
“Anggia Fariska?” tanyaku mencoba menerka
nama teman sejurusanku. Danish mengangguk. “Kenapa memangnya?” tanyaku
penasaran.
“Salam ya buat dia. Gue udah lama naksir
dia” ucap Danis lancar dan meluluhlantahkan perasaanku. Dengan berat hati
akupun mengangguk dan memaksakan diri tersenyum.
“Sabar-sabar” ucap Nurul dan Dicil
berbarengan sambil tertawa terkekeh. Kegeeranku hari ini sia-sia.
Catatan: Kisah diinspirasi saat kuliah antropologi di FISIP UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar