Kisah inspiratif: Daun salam
untuk beli seragam
“Ibu nanti beliin aku seragam
baru ya?” Ujar seorang anak kepada ibunya di tengah hiruk pikuk pasar. Sang Ibu
yang bekerja sebagai penjual daun salam hanya bisa menatap wajah anaknya getir.
Sudah hampir dua hari ini dagangan daun salamnya belum laku. Para penjual bumbu
dapur di pasar menolak daun salamnya lantaran masih memiliki stok yang sangat
banyak.
“Ibu… beliin Dito seragam yang
itu” Ujar Dito sambil menunjuk ke arah patung manekin anak-anak yang mengenakan
seragam merah putih. Sang Ibu hanya tersenyum melihat keinginan anaknya. Sudah
hampir seminggu ini Dito bersekolah tanpa mengenakan seragam lantaran
seragamnya sudah kekecilan. Seragam yang ia gunakan pertama kali semenjak kelas
1 SD bertahan hingga kini ia duduk di kelas 5 kini sudah tak muat lagi.
“Nanti kalau hari ini daun salam
Ibu laku kita pasti beli seragam.” Ujar sang Ibu sambil mengajak sang anak
berjalan melewati penjual seragam. Sang Ibu masih terus berusaha menawarkan
daun salamnya ke pedagang lain tapi apa mau dikata semuanya menolak. Padahal
Ibu sudah membawa hampir sekarung daun salam yang mencapai berat hampir 7kg.
Hampir tiga jam sang Ibu
menawarkan daun salamnya ke pasar tapi hingga menjelang siang daun salam tidak
juga menarik perhatian bagi penjual bumbu dapur. Karena lelah, Ibu mengajak Dito
untuk beristirahat sejenak.
“Ibu… capek ya… sini Bu Dito aja
yang bawain. Siapa tahu ada yang mau beli” Ujar Dito mencoba membawa karung
berisi daun salam yang dipegang sang Ibu.
“Udah nggak usah… habis ini kamu
masuk sekolah. Udah mau jam 1. Sementara kamu pakai baju biasa dulu saja ya Nak”
Ujar sang Ibu mencoba membujuk sang anak. Dito pun mengangguk mengerti dan
paham maksud ibunya. Segera saja sang Ibu mengeluarkan selembar uang seribuan
dan menyerahkannya kepada sang anak.
“Ini nanti buat naik angkot.
Nanti sore kalau Ibu belum pulang kamu tunggu Ibu di rumah saja ya.” Pesan sang
Ibu dan Dito pun mengangguk. Sebelum Dito pergi, Ibu
sempat membeli dua buah pisang goreng dan memberikannya kepada Dito untuk
mengganjal perut anaknya yang semenjak pagi belum makan.
Dito pun berangkat ke sekolah
yang jaraknya lumayan dari pasar. Meski sebenarnya ia sedih karena ke sekolah
tak berseragam seperti teman-temannya yang lain tapi ia tidak malu. Sudah bisa
bersekolah saja baginya sudah beruntung. Di sekolah,
teman-teman tidak ada yang mengejeknya karena sebagian teman-temannya tahu
kondisi keluarga Dito. Lagi pula di kelas, Dito tergolong
anak yang pintar.
Saat jam istirahat Dito
mengeluarkan bekal makanan yang sempat dibelikan ibunya. Dua buah pisang goreng
kini berada di genggamannya. Tiba-tiba Dito teringat bahwa sejak tadi pagi ia
belum melihat ibunya makan. Sengaja ia hanya makan sebuah pisang goreng dan
berniat menyimpan sebuah lagi untuk sang ibu di rumah nanti.
Bel pulang sekolah berbunyi. Hari
sudah semakin senja. Selembar uang bergambar Kapitan Patimura dikeluarkannya.
Ia ingat bahwa uang ini dibawakan ibunya untuk ia pulang menggunakan angkutan
umum. Akan tetapi Dito urung menggunakan uang itu.
“uangnya disimpen aja ah… buat
tambahan Ibu beli seragam aku” ungkap Dito perlahan. Dia lebih memilih untuk
berjalan kaki ketimbang menggunakan uang itu untuk naik angkutan umum.
Dito berjalan cukup cepat. Ia
tidak ingin sampai rumah malam hari dan tidak ingin membuat ibunya khawatir. Di
tengah jalan pulang Dito melihat seorang anak kecil berpakaian lusuh merengek
kepada ibunya untuk minta dibelikan gorengan. Sang Ibu dengan keras menghardik sang
anak dan menyatakn kalau tidak punya uang. Dito teringat akan pisang goreng
yang masih ia simpan di tasnya.
“Mudah-mudahan Ibu sudah makan”
Ungkap Dito dalam hati lantas memberikan sisa pisang goreng yang tinggal satu
kepada anak kecil itu. Meski sudah dingin, anak kecil tersebut
menerima dan segera melahap pisang
goreng yang diberikan Dito mungkin karena memang sudah lapar.
Dito tersenyum
melihat wajah anak kecil itu lalu kembali melanjutkan perjalanan pulangnya.
“Dek permisi numpa
tanya… ini rumah adek?” ucap seorang pria menyapa Dito ketika ia baru sampai di
halaman rumahnya. Dito pun mengangguk. Sepertinya sang Ibu belum pulang karena
lampu di rumah masih belum menyala.
“Maaf Dek… itu
daun salam bukan?” tanya laki-laki itu sambil menunjuk pohon salam yang memang
tumbuh di depan rumah Dito.
“Iya Pak. Kenapa
Pak?”
“Begini… saya lagi
nyari daun salam untuk pengobatan ayah saya. Jam segini pasar sudah tutup. Saya
boleh minta daun salamnya?” Ujar laki-laki itu dengan penuh harap. Sepertinya dia
terlihat begitu panik dan terburu-buru.
“Boleh Pak ambil
saja.” Ujar Dito lalu berjalan mengambil galah kayu yang biasa digunakan ibunya
untuk mengambil daun salam kepada laki-laki itu. Dengan bergegas laki-laki itu
pun mengambil berlembar-lembar daun salam. Dito segera mengambil kantung kresek
di dalam rumahnya dan memberikannya untuk laki-laki tadi. Laki-laki tadi
bergegas memasukan daun salam ke dalam kantung plastik yang sempat diberikan Dito.
“Dek… makasih ya.
Daun salam ini berguna untuk obat kolestrol dan diabetes ayah saya. Mohon
doanya ya Dek. Oh iya ini tidak seberapa semoga bermanfaat buat adek.” Ujar
laki-laki itu sembari memberikan dua lembar uang bergambar Pak Karno dan Bung
Hatta kepada Dito. Bergegas laki-laki itu berlalu sebelum Dito sempat
mengucapkan terima kasih karena sepertinya dia sedang terburu-buru.
“Dito…” suara Ibu
membuyarkan pikiran Dito yang masih terkaget menerima uang sebanyak itu.
“Ibu… ini” Ujar
Dito sambil menyerahkan uang pemberian laki-laki tadi dan menceritakan kejadian
yang baru saja dialaminya.
“Alhmdulillah… daun
salam Ibu tadi juga ada yang beli. Besok kita beli seragam ya, Nak. Ini uangnya
kamu tabung saja” Ujar Ibu tersenyum sambil mengusap rambut anaknya perlahan
dan memberikan uang yang sempat diberikan Dito kepadanya.
-RD-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar