panas kali ini disambut hangat. segelas teh menemani dengan rasa melati beraroma cengkeh. cerutu di tangan kiri hanya dipermainkan dengan putaran 360 derajat. Tak ada yang berarti. semenjak tadi ia tidak menyalakannya. hanya sesekali menempelkannya ke hidung. lalu dihisapnya dengan kuat. wangi cerutu khas yang masuk ke rongga paru-parunya membuatnya tersenyum. mengakhiri rasa rindunya. mengobati sedikit laranya. Ia masih sendiri di pojok ruangan itu. sesekali mendesah penuh arti. sesekali ia tidak juga mengerti apa yang sedang diperbuatnya.
setelah meneguk tehnya ia berdiri. menghampiri teras yang selalu sepi. hanya beberapa daun gugur berserak yang menemani. ia hanya menatapnya dan tak ada niat untuk menyingkirkannya. kembali ia memutarkan cerutu di tangan kirinya.
"Aku tak takut padamu matahari" ujarnya setengah berteriak. ia berbicara dengan matahari yang tak lagi panas. ia menantang untuk beradu tapi entah untuk apa. laki-laki itu terduduk. matanya masih mengiba dan menyimpan beberapa rasa.
"Aku tak takut..." ujarnya parau. ia meluruskan kedua kakinya. sambil menengok ke dalam ruangan. seorang wanita paruh baya menghampirinya. mengajaknya untuk masuk dengan membantu memapahnya.
Ia dudukan laki-laki itu lalu diberinya teh.
"Pak... sudahlah pak" ujar wanita itu sambil mengusap dahi laki-laki yang berpeluh bingung.
"Apa salahku?" laki-laki itu menolak untuk menghabisakan tehnya yang tinggal separuh.
Perempuan itu menggeleng. menjelaskan tak ada yang salah dan tak perlu ada yang disalahkan.
"Aku yang memanaskan matahari... kenapa ia meninggalkanku dalam dingin?"
"Ia memilih jalannya sendiri Pak... ikhlaskanlah"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar