Janjian ketemu di mimpi ya, Chia. Nanti kakak ceritain Pak Pipo pinguin dan pak kowi sapi.
^^/
Tulisan ini kubuat dalam keadaan kaki tertekuk dan posisi duduk yang berkisut.
Ada beberapa pasang mata terbuka yang tak melihat. Beberapa tangan bergerak yang tak menyentuh, bahkan hati yang merasa tapi tak terasa.
Ada kalanya kembali pada titik terendah dan memuncak pada titik tertinggi. Kalaupun bisa bertahan mungkin pada keduanya di tengah dan antara.
Semua itu baik secara sadar ataupun tidak akan terjadi. Pada setiap bagian yang hidup lalu berjalan pada yang mati.
Entahlah seperti apa rasanya mati, apakah sesakit seperti rasa jarum yang menusuk disetiap sendi ataukah seperti sesak dan tenggelam dalam kedalaman air yang tak terhingga. Entahlah...
Dan pada kesemuanya, menyerah adalah kalah!
Semoga Allah senantiasa menjaga orang yang selama ini menjaga hamba.
Senantiasa memberi perlindungan diberbagai situasi dan kondisi.
Memberikan perhatian tanpa batas yang terbatas
Menampung lungsuran kisah dari yang seru hingga buat diri tergugu
Melebarkan sayap untuk mengajak terbang lebih rendah
Memayungi hati di kala kecewa datang menanti
Meski tak diayal sering tengkar
Namun untuk kali ini seolah semua hal yang terjadi seketika menjadi kenangan yang tidak tergoreskan melalui pena, tidak terlampiskan dalam ucapan, hanya saja membekas di sini, di hati.
Namun akankah perpisahaan ini menjadi akhir dari segala sesuatu?
Atau ini adalah sesuatu yang menjadi jalan bagi kehidupan diri yang baru.
Apapun itu, selama hayat masih di kandung badan, tak akan pernah ada rasa sesal dan kecewa yang berlebihan. Jika memang ada, semua itu hanyalah kekecewaan terhadap waktu yang melaju dengan jitu. Secepat ini kah?
Semoga Allah senantiasa melindungi diri, menjaga hati dengan segenap pelukan erat yang terkucur melalui doa, di kala pagi dan petang tanpa putus.
Ini adalah bagian dari skenario terindah dari Tuhan yang akan mengindahkan hidup kita di dunia yang cuma sebentar.
Untuk perpisahan yang menguatkan.
Sukses terus, Om!
Hari ini aku berdosa, lagi dan lagi
Dosa ini menumpuk jadi satu. Penuh dan meluber. Cih, manusia berdosa macam aku? mau jadi apa nanti? Jadilah diri sendiri, dengan Allah yang senantiasa di hati. Meski dosaku ini menyelimuti permukaan bumi, Allah pasti mengampuni. Bukankah Allah senantiasa sesuai prasangka hambanya ^^,
Helikopter yang biasanya menjadi pemandangan penglihatan di langit biru, saat ini seolah menjadi ajang fashion show saja.
Bagaimana tidak, jika setiap harinya benda terbang itu mondar mandir dan bebas berlalu-lalang di udara. Tapi, senantiasa bikin bising, alias polusi suara.
Sepertinya, orang "Jakarta" semakin hari semakin kaya saja. Terlebih, jika helikopter menjadi moda transportasi utama yang menawarkan pelayanan bebas hambatan alias bebas macet.
Yap, semenjak tinggal di kawasan Kuningan, setiap hari ada sekitar 7-12 helikopter yang mondar mandir ke sana ke mari. Tak dapat disangkal bahwa saat ini helikopter telah menjadi alat transportasi paling ngetren bagi para pebisnis kaya raya. Iya tak salah lagi, hanya yang kaya yang mampu menaikinya (untuk saat ini).
Biasanya, saya melihat helikopter di udara tapi beruntung sekali jika baru saja melihatnya di depan mata. Yap, tak salah! Seorang kolega pebisnis yang gaul abis nampak turun dengan optimis disertai senyum simetris dengan hidung yang kembang kempis.
Setelah bersalaman, bergegas ia menunjukkan ruangan. Dia bercerita baru saja rapat dengan klien yang entah siapa dengan tender triliunan. Wuih, hati bergidik membayangkan kumpulan uang yang berbanding terbalik dengan yang dimiliki sekarang (bersyukur masih punya uang)
Lanjut lagi dia bercerita, dengan helikopter, meeting kapan saja dan di mana saja tak menjadi masalah. Selain serba mudah dan lebih terlihat megah, penggunaan helikopter saat ini disinyalir menjadi suatu prestise tersindiri di kalangan orang macam mereka.
Iseng, bertanya berapa biaya sewanya, dengan enteng dia menjawab "Murah, 12-15 juta perjam" wew! Fantastis bukan. *bikin mimisan sesaat*
Dia cerita kembali kalau ongkos yang dikeluarkan cukup "worth it" dengan tender yang dikerjakan. Ya ya baiklah.
Bagi saya, cukup tahu saja.
Bahwasannya, ada kehidupan macam mereka. Hebat... hebat, tapi meski bagaimanapun jua, saya tetap belajar hemat! 15 juta di tangan saya, mau saya jadikan modal usaha atau buat sekolah sekalian dibanding menguap demi sebuah perjalanan singkat. ^^,
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Mendengar rentetan kalimat itu rasanya bergidik ngeri! Entahlah, kenapa tiba-tiba mau nulis itu. Jangan sampai mengalami dalam kehidupan ini. Tapi, rasa-rasanya sekitar diri, banyak yang menjadi korban dari kebiadapan oknum lelaki yang tega dan berani melakukan hal tersebut terhadap istrinya. Memang, aku juga paham bahwasanya bisa saja hal tersebut menimpa lelaki, tapi dari kasus yang terjadi kebanyakan seprtinya perempuan banyak yang menjadi korban!
Menulis ini rasanya geregetan, ingin membejek-bejek pelaku dengan berbagai barang dan tindakan. Bukankah sejatinya mereka cinta, namun kenapa tega bermain fisik yang menghancurkan segala rasa?
Ini lagi kenapa toh ya? Haduh, hari ini rasanya nano-nano. Siang tadi mencoba untuk membantu seseorang agar dapat menjaga sehatnya. Namun ditengah proses penjagaan itu, seseorang tersebut justru bercerita tentang masa lalunya yang kelam. Iya, kelam! Ia menjadi korban dari tindak KDRT!
Ia bercerita, bagaimana dengan mudahnya celurit senantisa mendekati leher, tangan melempar diri dan membuat badan babak belur biru membeku, atau juga membuat air mata terganti menjadi darah yang mengalir.
Secara rinci bagaimana ia diperlakukan terjabar dengan gampang. Seperti mengorek luka lama. Namun, itu semua dilakukan untuk mengingatkan agar diri ini terbebas dalam hal demikian. Aamiin. Semoga saja kelak, orang yang menerima dan bertanggungjawab atas diri tak akan melakukan hal biadab dan memalukan seperti yang dialami seseorang tadi.
Pembalasan di akhirat, tak aka melesat sejengkal pun. Baik buruknya lakumu di dunia, Allah akan balas berkali-kali lipat saat di akhirat.
Kalau kau tidak punya Malu, berbuatlah sesukamu!
Jagalah, apa yang kau minta, kau miliki, dan memilikimu!
Ya Allah lindungilah kami, aamiin
mama saat rehat sejenak dari perjalanan |
Ketika BBM naik, aku teringat pulpen dan buku harianku. Entahlah di mana mereka sekarang.
Absurd
"Sudah jangan ikuti aku!"
"Aku ikut bayanganmu"
"Kau palsu"
"Kenapa"
"Saat matahari tertidur, kau hilang karena bayanganku kabur, percuma"
"Lantas?"
"Pergilah, ke mana hati membawamu"
"Dan kau, ..."
"Sudah, tinggalkan aku!"
Aku tahu aku absurd, kalau kau tak lantas pergi aku lebih baik sendiri
Hari ini aku menghadiri pernikahan seorang Teman. Tidak, kali ini tidak akan membahas terkait kondangannya tapi berkaitan dengan maharnya.
Laki-laki yang menikahi seorang perempuan pasti memberikan mahar. Bisa saja maharnya sesuai dengan keinginan sang perempuan atau kadang si perempuan menyerahkan hal tersebut ke lelakinya.
Nah, sejauh mata memandang di pernikahan sahabat, kerabat dekat, bahkan rekan kerja rata-rata maharnya berupa sejumlah uang, mukena, emas, atau properti apapun dengan berbagai jumlah, bentuk, dan rupa.
Ada yang memberi mahar sejumlah uang yang berkaitan dengan tanggal pernikahan dan sebagainya. Tiba-tiba jadi terbayang nanti mau minta mahar apa ya pas nikah? Yang pasti maharnya tidak memberatkan berbagai pihak.
Hmm... ingin rasanya mendapatkan mahar yang berbeda dan luar biasa. Di zaman Nabi ada juga yang memberi mahar baju besi, pedang, dan sebagainya. Pasti keren, langka, dan unik.
Sampai di rumah, iseng-iseng aku bertanya ke mama, saat ayahku menikahinya, ayah memberi mahar apa? Mama tersenyum simpul. Mungkin lagi mengingat-ingat mahar di pernikahan pertamanya saat usia 18 tahun.
"Mama maharnya Autobiografi ayahmu" penjelasan mama membuatku kaget. Gila! Keren banget ayah! Di tahun 1985an menikahi mama dengan mahar berupa perjalanan hidup ayah semenjak kecil sampai dia bertemu mama. Masha Allah... itu juga salah satu mahar unik yang langka dan keren banget!!!
Meskipun, pernikahan tersebut tidak dapat dikatakan langgeng dan awet karena toh pada akhirnya mereka berpisah juga. Tapi, tetap saja bagiku ayah keren banget. Niat banget sampe buat autobiografi. :) Jadi iri :*
Huaaa... ketika aku tanya ke mama, autobiografinya sekarang di mana eh mama bilang entah udah kemana. Sayang sekali... Padahal aku penasaran sama perjalanan hidup ayah semasa kecil itu seperti apa.
Jadi punya niat dan semangat, ingin memberikan tulisan di hari pernikahan kepada rekan-rekan yang hadir. Huaaaa aamiin semoga tercapai. Aamiin
Sudah berkali-kali aku bersin. Tak tahan dan tak kuat dengan cuaca dingin seperti ini. George sudah berbaik hati memberikan mantel tebal berwarna cokelat. Namun, rasanya tak juga mampu menepis dingin yang menggerogoti diri. Kedua tangan sudah kugosokan. Harusnya mampu mereda dingin tapi percuma aku masih menggigil.
"Minumlah" George memberikan secangkir cokelat panas dalam cangkir putih tulang. Bergegas aku menyeruputnya perlahan. Hangat!
"Aku tahu kau tak tahan, tapi bertahanlah sebentar" ujarmu menyemangati. Entahlah, aku hanya bisa menurut saja. Sepertinya hal penting yang ingin ditunjukannya akan terpampang sebentar lagi.
"Apa itu laut?" Tanyaku menunjuk pada sebuah jalan yang terbentang di hadapan. Rasanya itu air yang membeku. Kau tersenyum lalu menggeleng, aku mengernyitkan dahi.
"Lalu, apa?" Rasa penasaranku sepertinya membuatmu puas. Kau sepertinya balas dendam. Aku jadi ingat saat kau mengikuti aku terus. Sekarang posisinya terbalik.
"Aku nggak akan tanya lagi" ujarku ketus. Aku tak sesabar kamu, George. Aku juga tak pandai merayu sepertimu. Hanya ancaman kecil yang bisa kutunjukkan. Dan sepertinya itu manjur.
"Kau selalu seperti itu, tak mau adil" jelasmu sambil terkekeh. Aku tahu, mungkin maksudmu adalah curang. Aku senang kau masih mau menggunakan bahasa ibuku meski di negaramu.
"Itu hatiku, putih dan membeku" Ujarmu lalu raut wajahmu berubah muram. "Aku memanggilmu ke sini karena itu" kau melanjutkan kata-katamu sambil menunjuk ke arah yang tadi kumaksud.
"What can I do for you, George? I will help you" jelasku sembari belajar melatih bahasa sehari-harimu. Meski tak sempurna, apa salahnya mencoba!
"Kau masih punya sisa sinar itu?" Tanyamu ragu dan bergegas aku mengangguk.
"Tapi, entah sekarang di mana. Sinar itu yang membawaku sampai ke sini." Jelasku sedih. Aku lupa, salah! Lebih tepatnya tak tahu di mana sinar yang kau bagi dua denganku itu berada.
"Dia ada di hatimu, Dara. Keluarkanlah" jelasmu. Oh iya, kenapa hal semudah itu aku lupa. Payah! Bergegas aku pejamkan kedua mata, menyebut nama Rabbku lalu perlahan-lahan mengeluarkannya dalam hati.
Sinar yang kupunya ternyata semakin membesar dan penuh. Oh Rabb, indah sekali.
"Indah... setiap waktu senantiasa kau ingat Rabbmu. Great!" Pujimu membuat hatiku berbahagia. Bukankah memang seharusnya begitu?
George bergegas menerima sinaran yang kukucurkan. Aku menyisakan segenggam. Lalu, kumasukan ke dalam hati. Setidaknya agar hatiku tetap hidup meski sedikit redup.
Setelah menerima itu kau bergegas menuangkannya pada jalan yang kupikir laut. Seketika kebekuan itu meleleh dan cair. Seperti gelombang yang baru datang sambil menggulung apa yang di hadapan. Bergegas aku mundur, takut dihampiri kejadian yang tak enak. Untung ada george di sini.
Suasana yang tadinya dingin seketika hangat. Air itu lama-lama melambat, perlahan mengalir. Dan entah dari mana pelangi muncul. Cantik!
"Dara, terima kasih. Semoga suatu saat nanti kita bertemu lagi" ujarmu lalu pergi bersama air yang mengalir. Hilang, tak bersisa.
"George... George... " aku berteriak memanggilmu yang sudah tidak di samping diri. Ada yang menetes di pelupuk mataku. George, kenapa kau hilang...
Aku tak kuat menahan air mata. Tapi, aku ingat sebagian darimu sudah kusimpan dalam hati, sisa secercah sinar tadi. Dan Rabbi, pasti akan mempertemukan kita lagi. Di negara manapun, kapanpun. Selama kau ingat Rabbi dan aku sebagai sahabatmu :*
Tamat
Kisah aku dan george di akhir hari (:
Seminggu, dua minggu, sebulan sudah berlalu. Semua terasa cepat bahkan terlampau sekejap. Secercah sinar yang didapatkan atas nama kenangan berpendar membesar. Entahlah, ini baru pertama kalinya. Aneh!
Aku berjalan mendekati cahaya yang terletak di atas meja kayu dari pohon mahoni. Pendarannya semakin melebar, menciptakan segumpal lubang hitam pekat di tengahnya.
Seperti daya magnet, lubang hitam pekat di antara sinaran ini tarik menarik dengan diri. Seakan memaksa agar tubuh ringkih ini masuk ke dalamnya.
Semua serba cepat tanpa tenggat. Rasanya tubuh ini terpecah menjadi ribuan serpihan partikel atom yang tersedot dalam lorong lubang hitam. Meski demikian yang terasa di mata hanyalah hal yang sangat menyilaukan. Dan ah, apa ini semua?
Berjejer bangunan raksasa dengan kaca-kaca memantul dalam pandangan. Aku terduduk di atas aspal jalan raya, tapi entah ini di mana. Banyak orang berlalu lalang dengan pakaian serba tebal berbulu. Mereka seakan tak sadar bahkan tak peduli kepadaku. Apakah karena mereka tidak bisa melihatku, ataukah memang pandangan mereka hanya dihantarkan pada sesuatu yang memang ingin mereka lihat, bukan aku tentunya!
Aku bergegas berdiri, memperbaiki posisi diri agar bisa tegap menatap mantap. Orang-orang di sekeliling asing, wajah mereka bercorak sama, bukan dari ras mongoloid. Entahlah mereka semua seperti orang-orang Eropa. Aha... aku ingat, wajah mereka setipe dengan George! Apa sekarang aku di tempatnya? Ataukah ini hanya mimpi yang kubangun sendiri? Ataukah... jangan-jangan George kehabisan cahaya. Tapi, rasa-rasanya tidak mungkin. Dia sendiri yang mengatakan bahwa cahaya itu akan tetap ada selama hati ingat pada Rabbi. Mungkinkah?
Bergegas aku berjalan menyusuri jalan yang tak kukenal. Untuk membuktikan bahwa aku tidak sedang mimpi, aku menginjak kakiku sendiri. Aww... sakit. Padahal aku menginjaknya pelan. Berarti aku sungguhan nyata!
"Permisi... saya mau tanya ini di mana ya?" Ujarku pada seorang lelaki tua bertopi hitam. Dia menoleh lalu pergi begitu saja. Aneh, rasa-rasanya dia melihatku tapi kenapa menghindariku.
"Permisi..." ujarku pada seorang perempuan cantik dengan rambut pirang yang tergerai. Sekilas dia tersenyum. Lalu memberhentikan langkahnya.
"Yes, can i help you?" Ujarnya padaku sambil memasukan kacamata hitamnya yang kemudian ia masukan ke dalam tas. Oke, aku ada di luar Indonesia kali ini. Tapi di mana?
"Hello... ?" Gadis itu membuyarkan lamunanku.
"Sorry, ehm... Im from Indonesia, and i don't know, where Iam now. Can you explain, about this country?" Jelasku terbata-bata. Semoga ia paham apa yang aku katakan. Bahasa Inggrisku payah!
"OH, GOD! Indonesian? Your country its so awesome! Dear, now you are ini New Zeland" Ujarnya tersenyum sumringah. Sementara aku menganga tak percaya. Oh Tuhan, apa ini tidak salah? Kupikir aku berada di Inggris. Tapi, syukurlah. Pikiran aneh yang muncul tiba-tiba.
"Are You George's friend?" Ujar perempuan itu semakin membuatku pucat. Dia sebut nama george. Apakah george yang dimaksud adalah george milikku? Segera saja aku mengangguk. Tak mampu aku bercakap-cakap terlalu lama dengan bahasa yang tak kukuasai.
Gadis cantik itu memperkenalkan dirinya sebagai Wina. Aku jadi teringat akan sebuah negara romantis dengan musik klasik. Ah sudahlah, yang pasti aku bersyukur bertemu dengan gadis ini. Kalau tidak mungkin aku sudah terlantar. Tapi aku yakin sih, ada rahasia atau kejutan yang ingin diberi Rabbi untukku.
"George!" Teriakku memanggil kawan yang sudah hampir sebulan kembali pada tempatnya. George menoleh, menatapku secara dalam. Memastikan siapa yang memanggilnya.
"Kalau kau lupa, aku pergi saja" ujarku setengah mengancam. Kau setengah berlari menghampiriku.
"Dara, Im glad to meet you again. And now youre in here. Its amazing. Thanks God" kau berteriak senada dengan teriakanku tadi. Syukurlah ingatanmu terjaga. Alhmdulillah
"Aku yakin jika saatnya tiba kau akan di sini" Jelasmu membuatku tak mengerti. "Apa lingkaran hitam dari tengah cahaya yang berpendar itu menarikmu?" Kau bertanya dan memastikan. Sepertinya kau pernah mengalami hal serupa.
"Itu terjadi padaku saat menghampirimu. Dan tahukah kau, Rabbi selalu di sini... di hati." Ujarmu menjelaskan namun sayang aku gagal mencoba paham. Mungkin karena terlalu lelah dan cepat semua ini terjadi.
"Dara, stay ini here. I mean... tinggalah beberapa hari saja." Kau mengajak tapi tak memberikan solusi. Tinggal di mana aku nanti? Ini bukan tempatku. Aku ingin pulang.
"Kau pernah bilang, Bumi Allah luas, kau bisa tinggal di mana saja. Trust me" ujarmu melempar senyum dan aku menelan kalimatku sendiri. Baiklah jika memang itu pilihan, toh rumah Rabbi banyak berdiri di sini. Memang aku belum melihat secara jelas dengan pandangan mata, namun azan yang berkumandang menjawab itu semua.
"Thank you, kau terima undanganku" jelasmu sembari mengajakku berjalan, menuju suara penyeru Tuhan.
"Undangan?" Tanyaku semakin tak paham, tapi kubiarkan.
"Ya, aku undang kamu lewat doa di kala sepertiga malam dengan temaram. Hey... kosa kata bahasa Ibumu meningkat tajam dalam diriku." Ucapanmu membuatku tertawa senang. Aku tak khawatir dengan apapun selama ini adalah rencana Tuhan. Toh, Allah bersamaku
"Mata besar"
Lagi-lagi kau menggetkanku, George! Segera kukenakan kacamata beningku. Aku tahu, maksud perkataanmu adalah bengkak. Namun kau belum tahu dan kenal kosa kata itu. Bergegas aku merapikan barang-barang yang berserakan dan memasukannya ke dalam tas unguku.
"Are you crying?" Kau bertanya kemudian menatap mataku tajam. Aku hanya bisa berpaling karena tak suka dengan tatapan seperti itu.
"Kenapa menangis?" Buruan pertanyaanmu tanpa henti menghujam diri. Aku sengit membalas tatapmu kini.
"Sudahlah, apa kau harus tahu kondisiku di setiap waktu? Pergilah dulu! Aku masih sibuk" jelas-jelas aku mengusirmu namun kau tetap setia berdiam diri sambil tersenyum jika aku mulai memperlakukanmu seperti itu.
"Ayolah, selain belajar membaca alam aku belajar membacamu." Ujarmu merajuk seperti anak kecil yang memaksa ingin dibelikan sebatang permen chupa-chupa.
"George... untuk kali ini pergilah sejenak, kumohon!" Kali ini aku memohon dengan sangat namun sepertinya kau tak menggubris juga.
"Apa karena aku pergi tadi?" Ucapmu lalu membuat kegiatanku berhenti seketika.
"Iya!" Jawabku asal saja. Jujur aku menangis bukan karena itu tapi aku ingin membuatmu merasa bersalah dan segera pergi meninggalkan hidupku.
"Sorry, i mean... maaf. Aku tak pergi darimu. Aku tepati janji." Ujarmu gelagapan mencoba menjelaskan semua. Maafkan aku george, aku tak bermaksud jahat hanya saja aku kasian melihatmu jika mengikuti aku terus.
"Pergilah george, jangan di sisiku lagi" jelasku dan kini air mataku tumpah. Air mata ini menebus segala rasa maafku padamu bercampur rasa kehilangan yang teramat dalam terhadap sosok yang lain.
"Aku tadi pergi untuk mengambil ini" ujarmu sembari menyerahkan secercah cahaya yang baru saja kau keluarkan dalam kantung jaket birumu. Mataku terbelalak, tak ada sangkaan kau bisa mendapatkan hal seindah itu.
"Apa itu?" Tanyaku pura-pura tidak tahu padahal selama ini itu yang kucari.
"Ini yang kamu cari, aku sudah dapati ini untuk kamu" kau mendekatkan cahaya itu didekatku.
"Kenapa kau selalu datang di saat-saat seperti ini. Kau ingin membuat mataku lebih bengkak?" Tanyaku dan kini bulir-bulir di pelupuk mata tak bisa lagi kubendung.
"Bengkak?" Kau bertanya bingung, mungkin karena tak paham makna itu.
"Mata besar" ujarku menjelaskan. Dan kau tersenyum lebar.
"Apa aku yang selalu buat matamu seperti itu?" Tanyamu ragu sementara aku sibuk menyeka air mataku. Aku menggeleng lalu melempar senyum.
"Sebenarnya, apa yang ingin kau cari dan temui?" Mataku menatap cahaya di pangkuan tanganmu.
"Aku mencari kamu dan sudah menemuimu. Selesai harusnya, tapi..." kau menggantungkan kalimatmu membuat mataku berburu pada pendaran bola matamu yang biru. Kau menunduk.
"Tapi apa? Apa karena janji itu?" Aku memastikan jika memang itu masalahnya. Kau perlahan mengangkat kepalamu lalu membalas senyum.
"Kau membuatku tertawa, George" ujarku lalu tertawa kecil dan kau timpali bersama dengan gelak yang lebih hebat.
"Aku bebaskan janji itu, jadi kau bisa pergi dengan leluasa" uajarku dan menerima secercah sinar yang kau ulurkan.
"Aku tak butuh semua, ambilah sisanya. Untukmu, hidupmu" jelasku dan menyisakan sinar itu padanya.
"Ini buatmu semua, Dara" kau mengucapkan namaku setelah sekian lama.
"Tidak, sisakan untukmu. Jika sewaktu-waktu punyaku hampir habis aku akan minta padamu lagi." Jelasku dan secara tersirat berharap kau bisa temui aku lagi. Kau mengangguk setuju lalu menggegam sisanya dan kau kembalikan dalam jaketmu.
Cahaya itu sebenarnya tak akan bisa habis, selama kau mengingat Rabbmu, Rabb kita. Di sini." Ujarmu sambil menujuk bagian hati dalam diri.
"Aku tahu, aku tahu... pergilah" ujarku dan kau berbalik memunggungiku.
"Kita punya Allah Yang Maha Melindungi, janganlah kau takut lagi. Suatu saat nanti mampirlah dalam hidupku" ujarmu lalu melesap pergi. Menghilang. Meresap dalam bayang-bayang.
"George" aku melafalkan namamu saat kau duduk manis di samping kiriku. Entahlah, apa yang kau lakukan sepagi ini. Bukankah seharusnya kau pergi bekerja? Namun pertanyaanku tak kuutarakan. Kupikir mengetahui pribadimu secara dalam bukan menjadi perhatian. Hanya saja, kenapa kau seolah mengikutiku. Aku tak bermaksud geer, namun itulah yang nyata kurasa.
"Kamu mau pergi? Ke mana?" Kau bertanya seolah mendapat persetujuan untuk tahu kegiatanku. Aku diam saja, malas menjawab bahkan memberitahu.
"If you still keep silent, ehm... i mean... sorry. Aku terus ikut kamu karena aku free." Jelasmu mencampur bahasa.
"Free?" Pertanyaanku kini hanya ingin memastikan apakah yang dimaksudnya adalah libur dari rutinitas kerja atau dia bebas melakukan apa saja. Entahlah, kamu hanya diam dan memberhentikan kata.
Kusimpulkan sendiri maksudmu apa.
"Aku mau pulang" ujarku akhirnya menyerah juga. Tatapannya tak bisa kutinggalkan terabaikan begitu saja.
"Tapi, di sini tempatmu. Apa tempatmu banyak?" Kau bertanya seolah bingung. Mungkin kau juga menafsirkan banyak makna terhadap kata pulang yang kuucapkan.
"Tuhan punya bumi yang luas george, selama masih berpijak pada bumi kepunyaanNya, tempatku di mana-mana" jelasku datar. Mataku kembali menyusuri jalan-jalan protokol Ibu kota. Sudirman!aku berburu angkutan berbadan besar dan beroda empat. Saat diri tengah berdiri kau menarik lenganku. Memaksaku untuk duduk dan melanjutkan penjelasan singkat tadi.
"Ada apa lagi? Aku sudah jelaskan semua" ujarku lalu kembali berburu angkutan.
"Boleh aku ikut kamu untuk pulang?" Tanyamu mencoba beroleh kepastian lewat tatapan bola matamu yang berpendar biru.
Aku hanya bisa menarik napas sejenak. Menghembuskannya perlahan lalu menggeleng. "Maaf" ujarku.
"Aku mau ikut pulang! Kamu menolak aku tetap akan ikut" Suaramu tegas memastikan kehendak. Aku tetap diam dan tak bergeming dengan ucapanmu.
Bus tujuan kepulanganku datang. Bergegas aku melambaikan tangan untuk menyuruh berhenti. Dengan sigap aku segera menaiki lewat pintu belakang. Meski aku tahu, aku meninggalkanmu begitu saja tanpa pamit dan permisi. Maafkan!
"Aku akan ikut kamu, pulang!" Ujarmu saat aku tengah duduk di tempat tiga bangku sebelah kanan.
"Kau ini benar-benar, kenapa ikut aku terus dan kenapa terus-terusan membuatku kaget." Ujarku setengah berteriak karena melihat sosoknya yang kini duduk manis di sebelah.
"Aku, ikut pulang" katamu lagi dan aku hanya mampu berdiam. Pasrah jika kau terus ikuti.
"George, jika kau sudah putuskan untuk ikut, jangan sekali-kali kau meninggalkanku!" Ujarku memberi syarat dan kaupun mengangguk tanda setuju
Diam-diam, ada yang melesat di ujung kata.
Senyumnya teriring dengan serangkaian wajah berganti rona
Adakah yang tahu bahwa dirinya sedang sakit?
Terlalu banyak menelan rasa dan berolah rupa. Sakit karena jatuh, mungkin pada cintanya...
Dalam kegemarannya bercerita, ia mendengar dalam diam yang sudah tak lagi berkawan. Ah, seandainya pohon ketapang itu mampu berdendang dan bersaksi atas kisah cita dan cinta di hati, padahal istilah situasi dalam keadaan ini tak lagi sepi dan sunyi.
Ya, baiklah. Aku sudahi saja, agar semakin banyak lagi kisah di lain hari yang mampu digenggam hujan merintik di alas pohon ketapang.
Toh ini akan menjadi bukti cinta kita yang pernah hilang disapu malam kelam.
Datanglah... kedatanganmu kutunggu... #sing
Weits, dendang lagu ini dipersembahkan bukan untuk kamu ya. Tapi, untuk truk pengangkut barang. Loh kok bisa? Seharian ini dari jam delapan sampai menjelang magrib, kami (aku dan om) setia menanti kehadiran truk yang akan mengangkut barang-barang depok menuju Malang. Sayang, yang ditunggu dan dinanti belum tampak roda-rodanya. Mungkin terjebak macet, mungkin dia salah jalan, atau mungkin entahlah. Malas sudah menerka.
Tulisan ini dibuat sembari menunggu pesanan ayam goreng yang telah dipesan sekitar tujuh menit yang lalu. Dari siang belum ada sesuap nasi yang masuk dan terlebur dalam pencernaan kami. Tapi, kalau boleh jujur kami sudah menghabiskan sepuluh kue martabak mini. Nah loh. Hahaha
Dulu, lima tahun lebih yang lalu, kami menempati rumah Depok. Kami berdua mencari rumah Depok saat tante tengah mengandung chia dan berada di Malang. Kini saat pindahan, kami bersama lagi untuk membersihkan barang-barang dan mengakutnya ke Malang.
Pesanan ayam sudah datang. Bentar yaaa...
Tulisan berlanjut. Sekarang sudah sampai rumah dab ternyata pesanan salah semua. --" mau marah tapi udah keburu laper, keburu malem. Janji pak truk pengangkut adalah pagi. Namun sejak kini, belum juga tiba. Alamak, ini bisa memancing emosi di jiwa. Sabar. Baiklah, ini sudah jam berapa? Oh tidak, jam delapan malam. Mau sampai jam berapa? Lagi-lagi sabar dijadikan sebagai sansaran. Yasudah
Jadi ingat saat beli martabak mini tadi. Sempat berbincang dengan abang penjual. Dia dari cianjur, dan baru dua minggu kerja sama bosnya. Dia cerita kalau gajinya 600 plus dapat tambahan 27ribu setiap hari untuk makan, ditambah dapat jatah biaya tempat tinggal. Semoga bosnya semakin laris usahanya terlebih dia sudah punya sembilan gerai. Wew mantap! Jadi iri... iri dalam hal kebaikan. Kepingin punya lagi. Dulu sempat buka usaha dan sempat punya pegawai. Wah kalau usaha dulu dilanjutkan mungkin pegawainya sudah bertambah. Mungkin loh ya...
Ah, nanti juga berlanjut lagi. Aamiin. Wew, ini berjalan ke mana-mana. Belum lagi bisa fokus. Masih banyak kosa kata yang berjalan dan terangkai dengan sendirinya.
Okeh. Sekian dulu... kalau sempat nanti akan berlanjut lagi setelah sampai kuningan. Prediksi, ini baru kelar sekitar pukul 10/11 malam. Sampai kuningan mungkin jam 00.00 semangat menikmati... selamat tinggal dan dinanti *punya rumah sendiri* aamiin
Hei kamu...
Capek? kaki kriting? Bersyukrlah karena hari ini kamu bermanfaat lagi. Senantiasa seperti itu ya :')
Mau izin tulisan hari ini?
Oke sip. Intinya adalah
Sejatinya kebahagian itu diraih dengan tekad, kerja keras, dan kesabaran berlebih. Sudahkah kamu menjalani salah satunya?
Ayolah, jadi pohon yang bermanfaat bagi manusia. Kamu tak sendiri kawan :)
Ada Allah, Allah, Allah
:*
Bedakan antara cita dengan cinta. Cita sebagai muara dan cinta adalah aliran yang mengarah ke sana.
Ujung dari sebuah mimpi adalah tekad untuk mewujudkannya.
Terlampu galau akan membuat hidupmu bertambah kacau. Jadi, galaulah pada porsinya. Habisi dia dengan mendekatkan diri pada Sang pembolak balik hati dan rasa.
Budaya yang tetap bertahan sepanjang usia adalah budaya cinta
Kalau kalah hari ini bukan berarti kalah selamanya. Kemenangan pasti mampir dan menghampiri
Mengedepankan etika dan norma lebih baik daripada mengedepankan tampilan dan citra
Berbagi mimpi itu baik. Tapi lebih baik lagi mewujudkannya :)
Tanpa banyak cerita dan kata-kata
Kemarin bahagia karena bisa makan bersama. Dengan ayah, kakak, dan adik. Komplit euy :))
Semoga ayah lekas sehat dan bisa berjalan dengan kuat, sekuat mimpi dan harapannya.