Kalau tidak menulis sekarang, entah kapan lagi. Mumpung ingatan masih segar. Baru saja ujung kepala hingga kaki terguyur air.
Suasana masih dingin, malam masih gelap. Bintang sudah jarang terlihat. Entah, mungkin malu karena sinar matahari tak terpantul dengan sempurna padanya. Sama seperti hari ini yang terasa kurang sempurna karena belum mampu bersinar seutuhnya. #etjieee
Minggu siang ini hanya berdua dengan Chia. Di tempat baru yang bisa dibilang mulai seru dan menantang. Di lantai lima terdapat berbagai fasilitas apartemen yang dapat dimanfaatkan. Dimulai dari tempat olahraga, papan seluncur, jungkat jungkit, kolam renang, lapangan basket, lapangan futsal, lapangan tenis, pendopo2. Akh, sungguh fasilitas yang sangat lengkap. Maklum fasilitas ini digunakan untuk pengguna apartemen dari tower satu hingga towwer 6. Lantai lima ini saling menghubung antara tower satu hingga tower lainnya.
Tadi sempat ada pikiran dalam bentuk tanda tanya. Bagaimana caranya tanah bisa ada di lantai lima ini. Yup, sepanjang mata memandang rerumputan tumbuh subur. Seperti lagi napak bumi. Ya, tapi nggak kaget juga sih selama ada uang apapun bisa dikerjakan. Lebih terkesima maksudnya ketemu tanah di lantai lima apartemen ini. Suasana sepanjang lantai lima seperti taman. Wajarlah jika sebutannya Apartemen Taman Rasuna. Benar-benar nyaman banget. Berasa dimanjakan.
Berada di lantai lima tadi mengingatkan saat lagi di Malaysia dan Singapura. Selain karena kebersihannya yang luar biasa didukung pula oleh penghuni yang berlalulalang dan mereka bule semua. Hahaha.
Sempat tadi berbincang nggak nyambung dengan seorang gadis kecil berdarah India saat mengantarkan Chia bermain papan seluncur. Entah dia ngomong apa, yang pasti bahasa yang digunakan adalah bahasa India. Diajak ngomong bahasa Inggris, eh dia diem saja. Yasudah akhirnya mulut ini hanya mampu berkata-kata chori-chori chupke chupke. *itu lagu india* artnya curi-curi hatiku hatiku. #eaaa Yang hapal itu doang dia malah ketawa. *kacau*
Dingin ini semakin menjadi. Tapi mata masih belum takluk untuk mengantuk. Maka kisah berlanjut.
Setelah Isya, keluarga sudah lengkap berkumpul semua. Masih ada barang yang harus diambil di lantai dasar. Akhirnya bertiga bersama om dan bude kita turun dengan tujuan angkut barang. Namun apa daya, kaki melangkah melebihi arah. Kami malah menuju ke pasar di belakang apartemen. Jalan kecil dan sempit yang dilalui tadi merupakan akses utama menuju pasar Menteng Atas. Jelas, malam-malam begini sudah dipastikan tutup. Namun keyakinan mendobrak segalanya. Hati ingin makan buah, menghindari kurang serat yang berlebihan sebagai tujuan. Jadilah bertemu dengan seorang pedagang yang sedang menutupi melon dan semangkanya. Dia bilang mau pulang. Namun setelah dirayu akhirnya dia bersedia menjualkan barang dagangannya.
Buah sudah di tangan. Namun pikiran akan pertanyaan melihat suasana di pasar malam tadi benar-benar mengambang. Bagaimana bisa mereka meninggalkan barang dagangannya begitu saja tanpa gembok atau penutup toko. Buah-buah dagangan hanya ditutup terpal lalu ditinggal. Sempat tanya terutarakan sebelum meninggalkan jejak pasar. Sang penjual bilang sudah pasrah dititipkan pada Tuhan. MashaAllah :D
Selama perjalanan pulang, pikiran berdendang lagi dan lagi. Apa ya yang ada dipikiran para penghuni apartemen saat melihat dari jendela mereka ke arah pasar seperti ini. Apakah mereka merasa kedudukan mereka lebih tinggi dan terhormat ketika mereka tinggal di gedung mewah bertingkat-tingkat. Apakah mereka merasa lebih berbeda dan lebih kaya. Entahlah... bisa ya bisa juga tidak.
Pertanyaan lain muncul dari sudut berbeda. Apa yang ada di pikirkan orang-orang yang tinggal di pinggir apartemen dengan kondisi rumah yang saling berhimpitan terhadap warga apartemen? Bisa jadi mereka merasa bangga karena punya rumah sendiri yang menjejak bumi. Bisa jadi mereka kasihan melihat orang-orang yang tinggal dalam ruangan bertumpuk seperti itu. Ah sudahlah... bisa jadi di antara mereka tidak ada yang berpikiran seperti yang otak ini pikirkan karena bisa saja pikiran mereka sudah terlalu banyak. Hinggak tak sedikitpun terlintas memikirkan hal demikian. #njelimet
Baiklah... Aku sudah kembali, sebagian semangka sudah melebur dalam lambung. Alhamdulillah, semoga sehat tetap dikandung badan. Aamiin
Yasudah.
Sebait puisi untuk hari kedua
Merah, bergincu tak tahu ilmu
Bibir ucap maaf, sang empunya memaki tak kenal diri. Jika tak bisa berbagi maaf dan toleransi, hiduplah sendiri!
*untuk ibu-ibu yang menghardik dan memaki saat tersenggol diri ini*
Published with Blogger-droid v2.0.4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar