Ini hari yang sebenarnya tak pernah aku nantikan tapi senantiasa kurindukan. Berat untuk menapaki hari ini. Bukan karena panas matahari yang membuat tubuhku kini berkeringat. Bukan juga karena aku tak tahu apa yang akan dan harus kulakukan. Hanya saja kaki ini berat untuk melangkah ke dalam. Masuk dalam sebuah kedai kopi di pinggir jalan ibu kota seperti siang ini. Tapi aku harus menemui mereka. Ya harus.
Mereka. Mereka adalah sekumpulan sahabat terbaikku di dunia. Meski yang kulakukan adalah bersahabat dengan mereka melalui dunia virtual yang maya. Tapi, secara garis besar dalam hidupku mereka yang mengisinya. Mereka hidup dan senantiasa menghidupkanku.
Kami terdiri dari 6 orang. Tak ada yang tahu gender kami masing-masing selama satu tahun belakangan ini. Namun akhirnya lambat laun gender kami terlucuti oleh perlakuan, sikap, dan perkataan yang senantiasa kami pamerkan di dunia maya. Chatting!
Ya... kami bertemu 1,5 tahun yang lalu dalam sebuah milis. Kami berenam sama-sama menyukai kopi. Tapi jenis kopi yang kami sukai berbeda-beda. raden sang pecinta kopi tubruk, jenjang sang pencinta kopi susu, tembikar sang pencinta capucino, kapas sang pecinta mocafrio, daluang sang pecinta vanilalate dan aku sendiri sang pecinta kopi bubuk campur gula. Lah apa maksudnya? Yah, aku suka mengemil campuran kopi dan gula tanpa air sedikitpun.
Kami hanya tahu nama nick masing-masing tapi kami tak pernah asing. Oh iya kebetulan nick name ku gulakopi jadi ya mereka berlima memanggilku begitu pun sebaliknya dengan diriku. Setiap hari kamis malam kami habiskan waktu tak kurang dari 4 jam untuk melampiaskan kata-kata atau apapun yang ada dipikiran kami. Semuanya sambung menyambung saling sahut. Hingga ke enam hati kami terpagut untuk bertemu di hari ini.
Aku segera melangkah ke dalam dengan mata yang tak habis menyapu sudut demi sudut ruangan dalam kedai. Ada beberapa orang yang duduk tapi saling terdiam.
Merekakah orangnya? Segera saja aku hampiri empat orang yang sedang duduk berhadapan. Aku berdehem sesaat lalu mereka menoleh ke arahku. Ya kodeku ketika datang haruslah bersuara deheman. Suara oi oi bersahut itu berarti si jenjang, kodenya demikian. Yang lain tak bersuara seperti kode jadi aku dan si jenjang saling menaikan bahu. Berarti bukan mereka. Tapi kemudian tangan salah seorang perempuan menarik lenganku.
"Gulakopi akhirnya" ucapnya tersenyum lalu memeluku. Aku bertanya dalam hati apakah dia sang tembikar. "Aku tembikar" jelasnya kubalas memeluknya erat. Yang lain bertatap. Orang yang bernick si jenjang segera tertawa hebat.
"Akhirnya... kalian kutemukan di depan mata secara nyata" jelasnya pada kami. Seorang laki-laki berdiri menjabat tangan jenjang yang mengenakan topi bertuliskan java jazz.
"Gile, gak nyangka gue" ujar pemilik gelang kesehatan yang kulihat melingkar di tangan kirinya.
"Daluang" jelasnya.
Seorang perempuan tampak ragu-ragu menyapa kami. Padahal kuyakin dia adalah kapas. Belum sempat dia perkenalkan diri kami berempat menebaknya
"Kapas" dia pun mengangguk lalu tetesan air dari ujung matanya mengalir.
"Ternyata kapas emang sensitif abis. Cup-cup sini daluang peluk" jelas daluang yang memang senantiasa membuat guyonan. Jenjang sesuai namanya, dia tinggi dan lehernya jenjang. Manis.
"Hoi.... terpesona ketemu gue?" Ujar daluang yang memergokiku memandang jenjang. Seketika aku menjitaknya. Biasanya aku menjitak lewat emotikon tapi kini nyata. Di depan mata.
Aku bergegas duduk di samping tembikar. Sementara kapas masih saja menangis. Dia memang perasa sekali. Sesuai. Tak ada yang berbeda.
"ini berarti pak raden yang belum dateng, padahal dia yang buat kita ketemu." Ujar tembikar sambil memijit ponselnya.
"Maaf ini pesanannya" ujar seorang pelayan berbaju merah bata menyerahkan beberapa cangkir minuman pada kami.
"Kopi susu, capuchino mocafrio, vanilalate, dan gulakopi" jelasnya. Kami semua seketika menoleh. Pesanan ini...
"Pak Raden?" Teriak kami bersamaan. Tak kusangka ternyata pak raden bekerja di kedai tempat kami bertemu janji.
"Sorri, gue bukannya sombong nih. Tapi gue bukan pelayan. Gue yang punya ini kedai" jelas Raden lalu duduk di samping jenjang. Seketika daluang dan jenjang secara bersamaan saling menjitak raden.
"Lo diem-diem hebat juga ya. Pantes sukanya kopi tubruk" jelas daluang sambil bergeleng tak percaya.
"Okeh karena semuanya udah kumpul, yuk kita kenalan secara nyata. Huaaaaa... sumpah gue gak nyangka" jelas daluang sambil melepas topinya. Nggak di chat nggak di dunia maya dia emang bawel bin cerewet.
Jenjang mengambil alih perhatian. Sambil bergaya sok cool dia berkelakar.
"Nama gue Dandra, kul teknik sipil. Semangat 45" jelas jenjang tak kalah aneh
"Okeh, gue deni sang daluang pandai. Kul juga, jur filsafat dan suka
"Maksiat" koor kami berlima menimpali. Membuatnya duduk kembali.
"Aku ayu, seni patung sang tembikar perkasa"
"Aku kapas, baru mau kuliah. Rencana ambil psikologi" jelas kapas dengan senyum khas.
"Gulakopi akulah rara, penari latar yang gemar main gitar" jelasku tanpa malu.
"Oke, sip. Gue Danu, raden Danu asli Solo." Jelasnya narais. Aneh
Keanehan-keanehan kami berlanjut. Obrolan tak pernah surut. Semoga kalian senang, aku terlaku lelah. Aku mengalah
Aamiin ini belum selesai ya
Kalian ini benar-benar deh!
Published with Blogger-droid v2.0.4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar