Seorang wanita berusia 31 tahun yang kutemui di stasiun Tanah Abang.
Ia mendekatiku dengan kecemasan yang mengkhawatirkan. Sambil menggendong gadis kecilnya di pinggang kiri ia menyapaku. Sapannya adalah sebuah tanya tentang rute menuju Jakarta Kota.
"Naiklah dari sini dan berjedalah di St Manggarai, nanti perjalanan baru bisa sampai ke St. Kota. Jelasku singkat. Ia tersenyum tampak sumringah meski terlihat wajahnya lelah.
"Sudah sekkian yang saya tanya, tapi bungkam semua mbak" ungkapnya jujur.
Baju putih yang ia kenakan menjadi bukti bahwa lelahnya teramat pasti. Sedikit basah karena keringat mengucur tak atur diri.
Aku mengajaknya bersamaku. Beberapa comuterline lewat, tapi itu bukan kereta kita. Ekonomi 1500 yang kita naiki Mbak.
Ia tersenyum, memecah sunyi antara panas yang beringas segudang tanya ia lontarkan. Kujawab sekadarnya tak berlebihan dan tak ada yang kutinggikan.
"Ini teteh kepingin jadi sarjana, nggak kesampaian jadinya buruh cuci di rumah orang" jelasnya tetap tersenyum terang.
"Nanti kamu jadi sarjana kaya teteh ya, Nak." Celotehnya pada Sang anak sambil menunjuk diriku yang berbaju biru. Sang anak mengangguk tanda setuju.
"Aamiin, turut kudoakan dan akhirnya kutanyakan alasan kenapa ingin jadi sarjana.
"Biar jadi PNS kaya teteh, teteh PNS kan? Pasti uangnya banyak, pintar dari wajah terlihat, kacamata tebal pasti pintar" selorohnya mengidentifikasi padahal sudah salah pasti.
Aku jelaskan secara sederhana dan ala kadarnya tentangku dan alasanku berkacamata. Kalau pintar, sekadarnya juga Teh, tapi aku amiinkan saja. Pertanyaan demi pertanyaan terlontar.
Apakah aku menikah? Aku jawab iya, tapi nanti tak lama lagi. Sekarang belum. Aku tersenyum simpul. Kami bertukar nama secara sederhana. Dia Teh Rini dan aku resa, maaf dia memang menyebutnya demikian.
"Teteh dulu nikah usia 25, sekarang 31 dan baru punya si budak ini. Teteh dari Bogor tapi sekarang mau ketemu suami di Kota. Diputer-puter orang sampai terdampar di sini. Untung ketemu teteh ini" kisahnya singkat. Aku mengangguk mendengarkannya, sesekali mataku mencari hidung kereta ekonomi, kereta kami.
Kereta datang, kami bergegas naik. Aku bertiga kini.
Beberapa lelaki muda terduduk di hadapan kami. Dasar pemuda tak tahu diri, tak memberi duduk yang butuh lebih pasti. Aku simpul memandang Teh Rini, ia terbiasa dan merasa tidak apa-apa. Sampai akhirnya seorang wanita usia muda berdiri dan mempersilakan teteh untuk duduk.
Dua stasiun sudah terlewati, karet, palmerah. Selanjutnya Manggarai. Kuinfokan untuk teteh segera bersiap. Ia mengangguk lalu mengeluarkan ponselnya menanyakan nomorku, dan tanpa ragu kuberitahu.
Kami berpisah di perhentian St. Manggarai. Perjalanan kuteruskan menuju depok yang tak pernah buatku kapok.
Hingga saat aku turun di St. Kenangan, Pocin. Sebuah pesan sederhana masuk dalam ponselku.
"Ini Teh rini, terima kasih teteh. Kita bersaudara ya. Semoga teteh selalu dalam keadaan baik" aku tersenyum membaca pesan itu. Segeraku balas dengan doa untuknya dan keluarganya.
Aamiin :')
Pagi hari di kamar ini
Depok, kisah kemarin bersama Teh Rini. Semoga teteh tidak disasar orang lagi. Aamiin
Published with Blogger-droid v2.0.4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar