Kali ini seperti biasa aku merapikan beberapa pakaian yang sempat aku telantarkan dalam lemari. Semuanya berantakan karena memang sudah seminggu belakangan ini aku tak memegang senjata pamungkas pelicin pakaian. Yup Setrikaan. Senjata paling ampuh yang sebenarnya diri ini sebal dan malas jika harus berurusan dengan barang panas itu. Kenapa? Karena bikin keringetan dan pegal.
Kali ini bukan masalah setrikaan yang akan kuceritakan. Tapi tentang sebuah bagian dari pakaianku sehari-hari. Tenang... ini bukan soal jilbab kok. Tulisan kali ini mungkin dapat dikatakan tulisan tentang yang lalu di masa kecilku. Tulisan ini muncul di kala mataku tertuju pada sebuah kaus kaki abu-abu yang kutemukan berada di antara tumpukan pakaian yang belum disetrika.
Kaus kaki. Benda yang senantiasa melekat di kaki itu berhasil membawaku pada masa-masa kelas lima SD. Masa-masa rumit dan terlalu sedih yang pernah kualami. Bukan bermaksud membagi kesedihan. Hanya saja tulisan ini kupersembahkan untuk anak-anakku kelak. Anak-anakku yang nantinya akan masuk sekolah dan sudah barang tentu akan menggunakan kaus kaki.
Dulu... setelah orangtuaku berpisah alias bercerai... aku dan adikku dikirim ke Malang. Tempat kelahiran mama sekaligus ayah tepatnya berada di desa Tumpang. (Jln. Puntadewo Gang 1). Aku dipindahkan saat duduk di kelas lima SD. Bersama adikku dan hanya berdua saja aku tinggal di rumah nenek dan kakek (orangtua mama). Aku dititipkan pada bude (Kakak mama) yang kebetulan tinggal bersama kakek dan nenekku. Sedangkan mama... entahlah saat itu pergi ke mana. Ayahku di jakarta lebih memilih abangku ketimbang kami berdua. Saat itu rasanya aku dan adikku seperti sedikit "ditelantarkan".
Selama tinggal bersama bude sekaligus nenek dan kakek banyak perubahan yang terjadi. Bermula dari perubahan gaya hidup sampai tingkah laku. (Untuk hal ini mungkin ada masanya nanti aku bercerita. Kali ini aku akan fokus menceritakan tentang dan hanya terkait dengan kaus kaki).
Di Tumpang... aku dan adikku masuk di sekolah dasar Muhammadiyah 03. Sekolah berbasis agama Islam termurah yang pernah aku temui. Bayangkan saja untuk spp hanya membayar Rp5000 (lima ribu rupiah) perbulan. Masih lebih tinggi uang jajanku tiga kali lipat ketika di Jakarta (tahun 1998). Tapi sayangnya uang jajanku di Tumpang hanya Rp500 (lima ratus rupiah) per hari itupun kadang tidak rutin. Sedih... ada iya ada juga enggaknya. Di Tumpag harga makanan murah meriah sangat. Dengan uang 500 saja aku sudah mendapat semangkuk bakso dan es mambo.
Kelas lima SD aku sudah harus bertanggung jawab menjaga adikku yang duduk di kelas satu. Adikku lelaki... bagiku ia masih sangat kecil waktu itu. Dia selalu minta pulang ke Jakarta. Aku yang duduk di kelas lima saat itu hanya bisa marah-marah kalau dia menanyakan tentang mama dan ayahku. Karena aku sendiri tak tahu harus cari jawabannya ke mana. Terkadang untuk menyenangkan hatinya aku suka memberikan uang jajanku padanya alasannya agar dia lupa dan sedikit berbahagia karena dia bisa beli jajan/makanan lebih banyak.
Dulu ketika SD di Jakarta semua perlengkapan sekolahku selalu ada yang menyiapkan. Dari mulai seragam (dasi, topi, kaus kaki, dan sepatu) sampai urusan bekal. Tapi ketika di Tumpang 100% semua berubah. Semua harus kusiapkan sendiri. Posisiku di situ sebagai kakak. Di Tumpanglah aku belajar mengenal setrika. Mengenal mencuci. Mengenal segala sesuatu yang kubutuhkan dengan persiapan yang kulakukan sendiri. Di sana aku jadi terdidik untuk mandiri. Karena kalau bukan aku yang mengerjakan lalu siapa? Adikku masih kecil sementara budeku juga punya tiga orang anak serta sibuk menjaga toko di pasar Tumpang.
Orangtuaku? Jangan ditanyalah... aku punya kisah sendiri. Balik lagi ke urusan seragam. Pertama kali dalam hidupku aku ditegur di sekolah SD Muhammadiyah 03 oleh seorang guru bernama Ibu Sumarmi. Dia guru agama sekaligus guru Bahasa Arab. Saat itu jam istirahat. Temanku bernama Indri memanggilku. Katanya aku dipanggil ke ruang guru. Bergegaslah aku menuju ke sana. Di sana adikku ternyata sedang menangis sambil duduk di ruang tamu.
Aku ingat sekali Bu Sumarmi menanyakan siapa yang mengurusiku kalau di rumah nenek dan kakek. Lalu aku menjawab bahwa budekulah yang mengurusku. Ada guratan senyum diwajahnya. Lalu dia bertanya lagi... kenapa baju adikku lecek dan tidak di setrika? Aku saat itu hanya terdiam. Jujur... aku benci dengan setrikaan di Tumpang. Setrikaan itu tidak sama dengan strikaan zaman sekarang.
Setrika di Tumpang semua perangkatnya berbahan dasar besi. Selain berat dan tidak aman aku sedikit trauma. Aku pernah kesetrum saat menyetrika karena aku tidak menggunakan lap untuk memegang gagangnya. Jadi semenjak itu aku sudah tidak lagi menyetrika seragamku dan adikku. Tapi aku tidak mengutarakan hal itu kepada Bu Sumarmi. Aku takut. Jadi aku mengiyakan saja ketika beliau mulai menasihatiku terkait kerapihan pakaian. Ternyata adikku di kelas diejek teman-temannya karena seragamnya lecek.
Baiklah... saat itu aku bertekad berkawan dengan senjata pelicin itu. Aku mencoba belajar untuk bersahabat. Aku berhasil... meski butuh tenaga ekstra untuk melakukan itu. Aku setrika pakaian seragamku dan adikku selicin mungkin agar tak ada lagi yang mengejek. Ternyata aku mendapat panggilan yang kedua. Tapi ini bukan terkait urusan seragam yang lecek. Ini terkait kaus kaki.
Di SD Muhammadiyah kami menggunakan empat buah seragam SD sebagaimana umumnya SD zaman sekarang. Ada baju putih-putih, Batik, olahraga, dan pramuka. Setiap hari senin-jumat kami diwajibkan untuk menggunakan kaus kaki putih sedangkan sabtu kami diwajibkan mengenakan kaus kaki hitam yang berpasangan dengan baju pramuka. Kaus kaki adikku yang berwarna putih bolong di bagian bawah tumit. Wajar saja bolong... bayangkan saja selama hari senin-jumat kami mengenakan satu-satunya kaus kaki putih yang kami punya. Kaus kaki yang kami kenakan bukan pula kaus kaki baru. Itu adalah kaus kaki yang dulu biasa kami pakai sekolah di Jakarta dan terbawa sampai Tumpang. Sedih... untuk membeli kaus kaki saja aku tidak mampu. Meminta? bukan perkara gampang di saat itu.
Uang jajan yang sering diberikan sebagian kusimpan dan alhmadulillah kakekku memberikan tambahan. Jadi aku ingat sekali saat itu... pada hari minggu aku dan adikku ke pasar Tumpang untuk membeli kaus kaki. Kami cari harga yang paling murah. Biar bisa dapat dua. Dan akhirnya, kami bisa mengenakan kaus kaki putih yang baru. Kaus kaki putih yang bersih. :)
Tapi lagi-lagi hal itu tidak berlangsung lama. Ada harga ada mutu. Barang murah ya harus bersiap dengan kualitas yang tak menjanjikan. Kakus kaki putihku bolong. Terpaksa aku kembali mengenakan kaus kaki lama yang karetnya sudah melar dan warnanya sudah tak dapat dikategorikan dalam keadaan putih. Setiap aku berjalan pasti kaus kakiku melorot. Malu? Sudah pasti jangan ditanya. Saat itu rasanya benci sekali sama ketentuan sekolah yang harus mewajibkan muridnya berkaos kaki. Kenapa tidak pakai sendal saja? Sendalku masih bagus saat itu. Meski sudah sedikit kekecilan. Dan saat itu aku belajar bahwa sesuatu yang dulu dengan mudah dimikilki tak selamanya bisa mudah untuk di dapatkan saat nanti.
Adikku... lagi-lagi kaus kakinya bolong dibagian bawah tumit. Aku tahu pasti dia malu apalagi waktu praktek salat yang pasti harus lepas sepatu untuk memulai praktek wudu. Dan sekali lagi aku menabung. Harga kaos kaki saat itu berkisar dari Rp1500-Rp2500. Jadi silakan dihitung sendiri untuk tahu berapa hari aku harus menahan jajan di sekolah. Atau kalau lagi mujur aku dapat uang lebih dari kakek. Semata-mata untuk membeli kaus kaki.
Kaus kaki bolong... lagi-lagi tak belajar dari kesalahan. Aku hanya memikirkan bahwa kaus kakiku dan adik harus banyak. Dampaknya lagi-lagi beli yang paling murah dan efeknya lebih cepat bolongnya. Hahaha. Kami jadi kolektor kaus kaki bolong. Terkadang ada yang belum bolong tapi karetnya kendur. Alhasil biar tidak melorot aku sematkan karet dan kulinting bagian karetnya agar tidak kelihatan. Tapi... lagi-lagi saat praktek salat pasti terlihat.
Kasus kaus kaki bolong tak hanya menghinggap pada kaus kaki putih. Lama kelamaan yang hitam pun tertular. Padahal yang hitam hanya dipakai seminggu sekali saja. Jadilah setiap berseragam pramuka aku bersiap untuk selalu memperhatikan kakiku. Takut-takut terlihat dan takut-takut karet gelangnya keluar karena bagian karetnya sudah terlampau kedodoran.
Sedih sekali saat itu. Maka bersyukurlah kepada seluruh rekan-rekan semua yang semasa SDnya senantiasa dilengkapi segala keperluan sekolahnya. Sentiasa ada tak perlu merasa khawatir dengan hal yang berbau teknis saat akan berangkat ke sekolah.
Jika teringat itu... ada tekad tersendiri dalam hidupku. Bahwa suatu saat nanti... ketika aku mempunyai anak yang siap berangkat ke sekolah untuk menimba ilmu aku akan berusaha sekuat tenaga melengkapi kebutuhan sekolahnya. Agar ia tak perlu berpikir hal lain selain belajar. Tak perlu bersedih karena harus memikirkan hal yang seharusnya tak perlu dipikirkan.
Kaus kaki. Saat ini kaus kakiku di lemari dapat dikatakan banyak. Aku punya enam pasang kaus kaki berwarna warni di kosan dan ada tiga pasang kaus kaki di Depok. Semuanya tidak ada yang bolong. Kalaupun ada pasti sudah kubuang.
Untuk anak-anakku kelak yang siap menempuh pendidikan. Mama akan siapkan keperluan sekolah termasuk kaus kaki yang banyak untuk kalian :')
@Kos-kosan...
Setelah lihat kaus kaki di lemari pakaian serta kaus kaki hitam milik adik yang tadi sempat dikenakan
kisah ini selalu membuat rindu yang tak menentu. :)
BalasHapus