gambar. articles2day.org |
“Kamu kerja dong,
Le… masa Ibu sudah sekolahkan kamu
sampai jadi sarjana tapi sekarang kamu belum kerja juga” Jelas Ibu saat
melihatku tengah mengambil segelas air di dapur. Sudah beberapa hari belakangan
ini Ibu selalu membicarakan hal yang sama. Kerja… kerja… dan kerja.
Aku tidak pernah
menyalahkan Ibu perihal ini. Sebagai anak pertama dan satu-satunya lelaki di
keluarga ini, seharusnya aku lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Tapi
sampai saat ini Ibuku lah yang menanggungnya. Semenjak kepergian ayah tujuh
tahun silam, Ibu senantiasa bekerja lebih ekstra menjadi penjahit baju. Semua
ibu lakukan untuk membiayai sekolahku dan kedua adik perempuanku. Ibu melakukan ini karena teringat pesan
mendiang ayah agar membekali kami dengan pendidikan. Aku bersyukur dilahirkan
melalui rahim seorang perempuan hebat ini, yang senantiasa merawat kami dengan
tulus dan membekali kami dengan pendidikan meski Ibu hanya lulusan SMA.
“Bu… Aku lagi kerja kok, Bu. Doakan aku, Bu” Ucapku sambil menggenggam tangan Ibuku yang masih basah setelah mencuci piring di dapur. Aku sebenarnya ingin sekali menjelaskan kepada ibu bahwa kegiatanku di rumah setiap hari yang senantiasa menatap layar komputer ini adalah bagian dari pekerjaanku. Tapi masih sulit bagiku untuk menjelaskannya kepada Ibu tentang apa yang aku kerjakan.
“Kamu tuh kerja apa toh, Le? Ibu setiap hari hanya melihatmu di kamar terus-terusan menatap benda berlayar itu. Kamu nggak pernah cerita sama Ibu?” Tanya Ibu akhirnya membuka peluangku untuk mulai bercerita. Sambil tersenyum, aku mengajak Ibu untuk duduk di meja makan.
“Kamu tuh pinter, Le… Tuh, lihat piagammu banyak. Kamu ndak inget wajah Ibu seneng waktu kamu jadi mahasiswa terbaik di kampusmu? Ibu tuh berharap setelah kamu lulus kemarin kamu bisa kerja. Ibu inginnya ilmu kamu manfaat untuk orang banyak. Sayang, Le… kalau kamu cuma diem saja” Jelas Ibu sambil menunjuk beberpa piagam penghargaan terkait desain grafis yang kudapatkan dua bulan yang lalu saat diwisuda. Sekali lagi aku tersenyum mendengar ucapan Ibu. Mungkin ucapan ini yang disembunyikan ibu selama dua bulan lamanya.
“Bu… sebelum aku cerita aku mau tanya sama Ibu. Menurut Ibu, bekerja itu apa sih?” Aku mulai iseng memberi pertanyaan pada Ibu.
Ibu sejenak
terdiam. Sepertinya berpikir untuk memberi jawaban.
“Le… kalau menurut Ibu, kerja itu ya berkegiatan… memanfaatkan Ilmu yang kita punya agar bisa bermanfaat untuk semua orang, paling tidak manfaat untuk diri sendiri. Terus, ya menghasilkan uang sebagai penilaian atas kegiatan yang kita lakukan” Jelas Ibu perlahan. Jawaban Ibu, sekali lagi membuatku tersenyum. Aku puas.
“Loh, kok kamu senyum? Jawaban Ibu salah, tah?” Tanya Ibu sambil menatapku serius. Aku buru-buru menggeleng karena memang tak ada yang salah dengan jawabannya.
“Beli… Mas Adi beli…” Tiba-tiba suara gadis kecil membuyarkan diskusiku dengan Ibu. Bergegas aku ke luar melayani konsumen di warung kecil-kecilanku.
“Mau beli apa?” Tanyaku ramah pada Santi, gadis cilik tetangga sebelah rumah yang rutin dan setia menjadi pelangganku.
“Mau beli gula… disuruh mama, Mas” Jelasnya tersenyum sambil menyerahkan uang tiga ribu lima ratus rupiah. Dengan siagp aku segera mengambil seperempat kilo gula. Tak lupa memberikan sebuah permen padanya. Santi tersenyum lucu seperti biasa dan segera berlalu sambil mengucapkan terima kasih.
“Iya sih, Ibu tahu kamu sekarang punya warung kecil-kecilan itu. Tapi untungnya berapa coba, Le? Kamu jualnya lebih murah dibanding warung Bu Ijun. Kamu ndak rugi memangnya?” Ujar Ibu tiba-tiba saat aku masuk ke dalam rumah. Aku masih saja tersenyum.
“Le… kamu jangan seperti Bapakmu. Senyumanmu itu ndak bisa menjawab pertanyaan Ibu.” Jelas Ibu mulai sedikit kesal karena aku hanya menyahut kalimatnya dengan senyum terbaikku.
“Gantengan aku atau gantengan Bapak, Bu kalau lagi senyum?” Ujarku meledek Ibu yang sudah mulai kesal meladeniku. Seketika Ibu mencubit lenganku. Sedikit sakit. Tapi aku justru tertawa.
“Ibuku yang baik dan cantik, Janganlah marah pada Ananda. Sekarang Ananda akan cerita semua yang Ananda lakukan. Ananda akan memberi penjelasan pada Ibu.” Jelasku membuka percakapan. Ibu tersenyum melihatku bergaya bak berpidato. Dari senyumnya terlihat banyak guratan yang semakin menumpuk di samping mata. Ibu semakin menua. Setiap guratan pada dahi dan samping matanya adalah sebuah bukti perjuangannya dalam menghidupi aku dan kedua adikku.
“Bu, mungkin selama hampir dua bulan belakangan ini Ibu hanya melihat Adi berkegiatan di rumah. Menatap layar komputer dan seperti orang yang tidak mengerjakan apa-apa. Tapi percayalah, Bu bahwa kegiatan yang Adi lakukan adalah bagian dari rutinitas pekerjaan Adi. Saat ini Adi sebenarnya sedang membuat proyek logo dari sebuah perusahaan. Hanya saja Adi bekerja tim dan freelance. Adi dan teman-teman punya impian untuk membuat usaha sendiri sebagai professional desain. Ibu doakan saja. Pekerjaan Adi Insha Allah bermanfaat. Baik untuk orang lain ataupun untuk Adi sendiri.
"Bu, ini pilihan Adi untuk tidak bekerja kantoran. Alasan utamanya karena Adi ingin lebih banyak nemenin Ibu di rumah. Adi memang salah karena dari awal tidak cerita atau meminta restu dari Ibu. Tapi sebenarnya, Adi berniat agar ibu melihat hasilnya nanti. Adi tahu kok, kalau di pengajian Ibu sering ditanya sama teman ibu terkait kerjaan Adi. Tapi Adi seneng deh, Ibu selalu bilang ke teman-teman Ibu kalau Adi bekerja mandiri. Mungkin karena Ibu lihat Adi usaha warung kecil-kecilan itu.” Jelasku sambil menunjuk etalase kecil di depan rumah yang berisi berbagai kebutuhan pokok dan kue-kue kecil lainnya.
“Tapi, Le” Belum selesai Ibu menyelesaikan kalimatnya, bergegas aku memotongnya.
“Bu, Adi jualan itu tujuannya bukan untuk cari untung. Tapi untuk bantu orang-orang di sekitar kita. Biaya kebutuhan pokok sekarang mahal Bu. Memang sih Adi tetap ambil untung tapi cuma seratu dua ratus. Itupun Adi gunakan untuk biaya ongkos ambil barang. Jadi, Ibu doain Adi saja. Insha Allah yang Adi lakukan ndak sia-sia dan ndak rugi. Bukankah kalau kita menolong orang lain, Allah yang akan menolong kita, Bu?” Ujarku mengulang nasihat Ibu dulu. Seketika Ibu tersenyum. Di sudut matanya, ada linangan air yang mengalir. Bergegas aku sungkem pada Ibu.
“Ya gitu, tah Le, kalau kamu cerita seperti ini, ibu kan setidaknya jadi lega. Jadi Ibu ndak berprasangka yang macam-macam sama kamu. Ibu Ridho asalkan kegiatanmu manfaat buat orang banyak dan buat dirimu sendiri. Ibu ridho, Le… Ibu doakan supaya semua yang kamu lakukan dapat berkah dari Gusti Allah” Jelas Ibu sambil mengusap kepalaku. Aku mengaminkan dalam hati. Tak terasa pelupuk mataku basah.
“Assalamualaikum… Loh, Mas Adi sama Ibu ngapain tho? Kaya lagi lebaran saja.” Dewi, adikku yang masih duduk di bangku SMA membuyarkan adegan dramatis di siang ini. Buru-buru aku lari ke kamar mandi. Jangan sampai adikku tahu kalau kakaknya yang terkenal jago ngeledek ini sedang mbrebes mili alias menangis.
Kudengar suara Ibu dari kamar mandi menyuruh Dewi berganti baju . Setelah mencuci muka, aku bergegas ke luar dari kamar mandi. Dewi senyum-senyum menatapku. Sepertinya dia tahu bahwa aku baru saja berproduksi air mata.
“Mas Adi, apapun yang terjadi, Mas Adi harus kuat. Mas Adi jangan cengeng seperti Lia. Masa di keluarga kita yang kuat cuma aku dan Ibu.” Ujar Dewi sambil menatapku. Aku hanya membelai rambutnya perlahan.
“Mas Adi nggak apa-apakan?” Tanyanya khawatir. Aku hanya tersenyum dan menggeleng.
“Udah, sana makan siang. Habis itu salat dzuhur. Nanti sore, kamu ada latihan taekwondo toh? Ujarku. Dewi hanya mengangguk. “Lia ke mana, Bu? Tanyaku bingung karena semenjak tadi aku belum melihatnya.
“Lia hari ini mau ikutan lomba melukis di sekolah. Pulang sore katanya.” Jelas Ibu sambil menata makanan di meja. Nasi, sayur asem, dan sambal terasi. Makanan favorit selamanya. “Kita doakan saja, suapaya di senang. Kemarin lukisannya basah kena hujan. Kasihan dia.” Ujar Ibu sambil tersenyum kecut.
“Iya Bu, kita semua pasti doain Lia” Jelasku dan Dewi pun mengangguk.
“Sepertinya Mas Adi dan Lia ini nurun keahlian Bapak. Mas Adi jango mendesain. Lia jago melukis. Semuanya jago menggambar kecuali aku.” Jelas Dewi saat menyendokkan nasi ke piring makannya. Aku tersenyum saja mendengar ceracaunya
“Nduk… tapi kamu nurun Bapak juga, kok. Jago bela diri. Tuh, piagammu juga banyak.” Jelas Ibu membesarkan hati Dewi dan ia pun mengangguk.
“Hmm… siapa sih di kampung kita yang berani ngalahin adik Mas Adi? Nggak ada! Udahlah ndak usah mikir hal yang ndak penting. Kamu harus fokus sama keahlianmu. Siapa tahu nanti kamu bisa jadi atlet taekwondo mewakili Indonesia. Wuihh kan keren tuh” Ujarku membuat Dewi tersenyum penuh. Setelah makan siang bersama dan salat berjamaah, kembali aku melanjutkan rutinitasku di hadapan layar. Besok adalah waktu timku untuk presentasi. Semoga lancar.
****
“Ibu… Ibu…”
Teriakku penuh semangat. Bergegas aku menghampiri Ibu yang sedang asyik
menjahit di ruang tamu. Ibu yang terkaget mendengar teriakanku hanya menatap
wajahku dengan tatapan serius.
“Kalau masuk rumah, salam dulu, Le!” Jelas Ibu sambil memperbaiki kacamata plusnya.
“Eh iya Maaf, Bu. Assalamualaikum” ujarku lalu mencium tangan Ibu.
“Walaikumsalam. Ada apa, Le… seneng banget kelihatannya?” Tanya Ibu menatapku dalam
“Bu, logo buatan Adi sama temen-temen, Alhamdulillah diterima. Diterima, Bu!” Ujarku bersemangat lalu segera kukeluarkan surat perjanjian hak kepemilikan logo antara timku dan perusahaan swasta yang telah membelinya. Ibu kulihat tersenyum senang. Kulihat bibir ibu berkomat kamit mengucap takbir perlahan.
“Ini Bu… hasil kerja Adi. Semoga Ibu senang. Senantiasa doakan Adi ya, Bu. Insha Allah setelah ini Adi dan teman-teman akan mendapat proyek lagi Bu.” Jelasku sambil menyerahkan sebuah amplop cokelat kepada Ibu.
“Ya Allah Le… ini uang banyak sekali. Kamu ndak salah?” Ujar Ibu kaget saat melihat isi amplop. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum. Lah teman-temanmu piye?” Tanya ibu bergetar.
“Ini baru sebagian Bu. Hasil dari logo itu setengahnya kami bagi berempat. Sisanya kami tabung untuk buat kantor kecil-kecilan nanti. Rencananya deket sini kok kantornya. Alhamdulillah, Logo kami dihargai dengan baik. Perusahaan itu puas terhadap kinerja kami. Bahkan Logonya akan diluncurkan beberapa hari ke depan.” Jelasku tersenyum. “Oh iya Bu, yang dua puluh juta ini Ibu simpan ya. Buat tambahan tabungan haji Ibu. Adi juga minta izin untuk memperbesar warung di depan. Boleh ya, Bu…” Ujarku dan Ibu pun mengangguk. Air mata bahagianya yang turun membuatku ikut-ikutan menangis.
“Assalamualaikum…” Ujar dua orang gadis berbarengan di depan pintu. Kulihat Lia yang berseragam putih biru sedang berdiri sambil menggenggam sebuah piala di tangan kanannya.
“Mas Adi dan Ibu kenapa nangis?” Tanya Lia setelah salim padaku dan juga Ibu. Dewi yang melihat itu bergegas duduk menatap kami dengan serius.
“Mas Adi dan Ibu dari kemarin Dewi lihat dalam posisi seperti ini. Sebenernya ada apa sih, Bu? Mas? Kok Dewi jadi takut.” Jelas Dewi khawatir.
Akhirnya aku
menjelaskan kepada kedua adikku terkait apa yang terjadi. Mereka terlihat bahagia
setelah selesai mendengar kisahku.
“Mas Adi, aku menang juara tiga lomba lukis di sekolah. Besok lukisannya di pamerkan di acara porseni. Mas Adi sama Ibu datang dan lihat ya.” Ujar Lia sambil menunjukan pialanya. Aku dan Ibu mengangguk setuju. Lagi pula aku penasaran sama apa yang di lukis Lia.
“Mbak Dewi ndak kamu ajak lihat juga, Li?” Tanyaku sambil melirik Dewi yang sedari tadi senyam senyum sendiri.
“Mbak Dewi besok lomba taekwondo, Mas. Mewakili sekolah, Iya kan, Mbak?” Tanya Lia dan Dewi pun mengangguk.
“Masha Allah, ternyata diam-diam adiknya Mas Adi lagi ikut lomba toh. Semoga menang ya, Dek. Hati-hati kena pukul. Jangan sampai wajah babak belur. Soalnya nanti, Mas susah mengenali” Ledekku dan seprti kebiasaan Ibu Dewi senang sekali membalas ledekanku dengan mencubit. Kami semua terlarut dalam tawa bahagia.
“Mas Adi… Mas Adi…” Tiba-tiba suara gadis kecil memecah suasana tawa kami. Aku segera ke luar. Kudapati Santi berdiri sambil membawa sebuah piring kecil lalu menyerahkannya padaku. Belum sempat kutanya ini apa dia sudah berujar.
“Dari mama… katanya buat keluarga Mas Adi. Mama buat kue” Ujarnya lalu berlari kecil setelah sebelumnya aku mengucapkan terima kasih. Rezeki… hari ini banyak sekali. Alhamdulillah.
***
“Mana lukisan
Adikmu, Di? Tanya Ibu sambil melihat-lihat dinding pameran porseni di SMP Lia.
Mataku bergegas menyapu dinding pameran mencari lukisan adik bungsuku.
“Ini Bu…” Tunjukku pada sebuah lukisan bergambar tiga rupa yang tak mungkin tak kukenali. Dalam lukisannya terdapat tiga orang manusia yang berkegiatan. Seorang wanita paruh baya yang menjahit. Seorang laki-laki di depan komputer dan seorang lagi bergambar perempuan yang mengenakan seragam taekwondo.
Judul lukisan : inspirasiku
Pelukis : Amelia
Anggita
Tangerang 3 April 2013
Perbaikan 5 April (Setelah #sharingkarya dengan Bintang Berkisah) Oh
iya Tambahan Buat Bintang… tanda koma sebelum kata Karena itu tidak ada :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar