Dua Sisi
Matahari
masih terik menyinari. Namun suasana saat ini tengah dirajam sepi. Pembantaian
yang dilakukan oleh manusia-manusia berkedok pemerhati keadilan di Rabiah
kemarin seolah menjadi penggugah rasa akan kesemerawutan di depan mata.
Mesir
berdarah oleh tumpah darah militer yang merah. Entah makhluk macam apa yang
menghinggapi jiwa mereka ataukah mereka hanya semacam robot yang digerakkan
oleh remot dibawah kendali atasan semata?
Tahukah
kalian apa yang mereka lawan? Ketakutan terhadap diri sendiri dengan modal berbagai
senjata salah satunya senapan aktif laras panjang.
Senapan
itu siap membedil siapa-siapa saja yang menghadang. Tak pandang asal usul dan
latar belakang semua ikhwan yang berjenggot ditangkap dengan asas praduga
bersalah. Bahkan anak-anak kecil sekalipun turut menjadi korban kebiadaban yang semestinya tak dilakukan.
10…
100..200?Salah! hampir lebih 6000 jiwa yang telah tiada. Dibantai secara habis
dengan cara yang bengis. Dibakar secara hidup-hidup… bahkan jasad para syuhada dibakar untuk
sekadar menyembunyikan angka kematian sebenarnya.
Apa salah
bagi mereka yang berdemo damai? Hingga halal darahnya untuk dibunuh? Demokrasi
dinegeri ini memang lucu. Orang-orang yang berlainan pendapat harus menemui
ajalnya dengan cepat.
Aku masih
memandang jalanan yang sepi. Jauh di sebrang sana tragedi itu terjadi.
Sementara aku pelajar Indonesia di sini hanya bisa menyusun doa dan
menguntainya untuk mereka semua. Memberi kabar secara nyata terhadap apa yang terjadi di sini.
Tempatku menuntut ilmu. Mesir…
Aku…
tidak tahu apa yang akan dilakukan negeriku melihat negara sahabatnya kini
porak poranda. Terlebih situasi ini menjelang detik-detik kemerdekaan negeriku
yang jelas bisa merdeka oleh pengakuan dari negara sahabatnya yang kini tengah dirundung duka.
Entahlah…
semoga negeriku tidak menutup mata… Bahkan kalau perlu aku berharap negeriku
menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan “kemerdekaan” yang sesungguhnya . (pelajar Indonesia di Mesir)
****
Detik-detik
jelang kemerdekaan Indonesia. Setiap ruas jalan digang-gang sempit kini berhias
dua warna dominan. Merah dan Putih. Ada
sebuah acara yang katanya hebat dan tak salah jika dilangsungkan. Perayaan hari
kemerdekaan. Entah kemerdekaan mana yang digunakan. Dan entah pula merdeka
untuk siapa? Dan oleh apa? Penjajah? Sudah pasti telah pergi di usir habis oleh
pahlawan negeri.
Namun
penjajah di dalam negeri sendiri tetap bercokol bahkan hidup subur dan makmur.
Hanya orang Ngelantur yang bilang bahwa merdeka sudah benar-benar berterima dan
di depan mata. Sudah! Lupakan saja kemerdekaan dalam arti sebenarnya.
Kemerdekaan sekarang masih semu dan abu-abu jika putra bangsa tak tahu malu
menggerogoti Ibu pertiwinya sendiri.
Masih
banyak rakyat dipelosok yang terus memekik kemerdekaan meski tak merasakan
kemerdekaan yang sesungguhnya. Tapi jiwa mereka masih merah dan putih.
Tak ada
yang salah jika merayakan kemerdekaan terutama jika kita mendoakan
manusia-manusia yang punya andil dibalik kemerdekaan yang kita punya. Mendoakan
para pahlwan Indonesia pun juga mendoakan negara-negara yang mengakui
kedaulatan NKRI.
Namun
apa? Perayaan itu masih tetap sama dari tahun ke tahunnya. Melaksanakan upacara
kemerdekaan dengan gegap gempita dihadiri ratusan atau ribuan manusia-manusia
rapi dengan pakaian elok nan bersahaja. Melancarkan tembakan ke udara. Lalu
bersikap hormat dengan Sang saka merah putih!
Sedih… Sayangnya tidak ada yang tahu kalau Merah
Putih kita saat itu hanya ingin dikibarkan setengah tiang. Turut berduka atas
gejolak yang terjadi pada negara sahabat di sana. Negara pertama yang mengakui
kedaulatan NKRI.
Sedih… Sayangnya tidak ada yang tahu kalau Burung
Garuda kita di saat itu ingin mengudara membantu Burung Elang Saladin yang tengah berusaha memadamkan
bara yang tengah menyala di sana. Namun sayang lambang negara kita begitu
tersemat kuat di dada para pejabat. Tersemat karena terpaksa diikat hingga tak
ada rasa bebas mengudara menolong sesama.
Mesir…
Merah putih hitam… kini menetes darah. Sementara kita tetap membahana
menyanyikan lagu-lagu perjuangan dengan suara lengkingan dan dentuman senapan.
Bukan sebagai perjuangan tapi hanya sebagai penanda dalam acara upacara
protokeler semata.
Tidakah
malu dengan para pahlawan di waktu dulu? Kita merayakan kemerdekaan kenegaraan
sementara negara sahabat yang mendukung kemerdekaan didera lara yang kian
memanjang.
Seandainya
wajah ruh para pejuang kita bisa dilihat
dan dirasa. Mungkin mereka malu melihat tingakah dan polah semcam itu. Atau
bahkan mereka sudah tidak punya wajah untuk sekadar dikenakan?
Tunggu…
jangan berkecil hati pada negeri sendiri…
Mungkin
iya… para pejabat di atas sana lupa dengan budi…
Tapi
tidak untuk kita… sebagian rakyat yang masih ingat sejarah dan punya hati
nurani.
Terlepas
dari mereka muslim atau tidak… karena di sini saya nyatakan sebagaian rakyat
Indonesia. Tentu lagi-lagi saya ingatkan yang punya mata… hati… telinga dan
ingatan.
Mereka
merayakan kemerdekaan dengan mengadakan salat bersama. Dilanjutkan dengan doa
untuk para pahlawan kita dan para masyarakat Mesir di sana. Mereka menyuarakan kepeduliannya terhadap
negara sahabat tercinta. Mereka melakukan AKSI damai solidaritas peduli Mesir.
Mereka merayakan kemerdekaan dengan cara yang lain. Cara yang indah! Cara
inisetidaknya mampu membuka dan menyejukan hati para pahlawan kita terdahulu.
Kami
tidak akan lupa dengan sahabat yang selalu memotivasi
Kami
tidak akan lupa dengan sahabat yang selalu bersanding di kanan kiri.
Dalam perayaan
kemerdekaan yang ini… untaian doa mengakar kuat dibawa oleh sang Garuda untuk
menemui Elang Saladin di sana. (saya)
Doa
selalu untuk rakyat Indonesia dan rakyat Mesir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar