"Kamu
ngapain sih dari tadi mantengin layar terus?" Tanya mama kepadaku yang
semenjak tiga jam lalu serius menatap layar netbookku, tepatnya
layar inbox pada gmail.
Hari ini
adalah hari yang kutunggu-tunggu. Biasanya orang setiap tanggal 1 menununggu
gaji atas pekerjaan yang dilakukan selama sebulan. Aku pun berlaku demikian.
Hanya saja bedanya aku menunggu kedatangan uangku yang memang rutin masuk
setiap tanggal satu namun hanya seminggu waktu pengerjaannya.
Semenjak
keluar dari rutinitas kantor, aku memilih pekerjaan sebagai penulis. Meski
amatiran, beberapa orang banyak memberi percaya bahwa aku bisa menjadi seorang
penulis handal. Caranya? Aku menjual karyaku kepada orang-orang yang
membutuhkan. Kok bisa? Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin dan tidak
bisa. Asalkan kita punya keinginan kuat semua pasti bisa di dapat. Semesta akan
mendukung!
Bagaimana
caraku mencari uang? Banyak hal! Aku akan jelaskan salah satu caranya.
Biasanya aku
menjual karya terhadap seseorang yang memang ingin dibuatkan tulisan. Misal
cerpen atau puisi tentang diri atau perasaannya. Aku hanya minta pakem kisah
dari mereka, lantas pikiranku yang akan melebarkannya. Hasilnya? Setiap
selesai, kukirim pada mereka yang memesan. Jika mereka puas dan suka
segera mereka meminta nomor rekeningku untuk mengirim pundi-pundi rupiah.
Sudah berapa
yang didapat? Alhmadulillah banyak. Tidak jauh berbeda dengan gaji yang
kudapatkan dari sebulan bekerja. Hanya saja kalau menulis kerjanya tentatif,
sesuka hati. Dan ini bagiku adalah suatu pekerjaan yang amat menjanjikan untuk
kehidupanku seterusnya.
"Hei...
ditanya mama malah ngelamun. Nunggu apa?" Mama membuyarkan aku yang
terlarut dalam kisah barusan. Aku tersenyum menatapnya.
"Nunggu
Rizki, Mah." Jawabku sekenanya. Mama mengernyitkan dahi, mungkin tidak
begitu paham maksud perkataanku.
"Rizki
kok ditunggu? Rizki itu dicari, Sayang" Mama kini duduk manis di
sampingku. Aku tersenyum
"Sudah
Ma... Aku sudah mencarinya. Ini tinggal nunggu hasilnya." Ungkapku jujur.
"Kadang
kita tidak pernah bisa menerka atau menebak rizki yang datang kepada
kita." Ujar mama seolah ingin memberiku wejangan. Mataku kini serius
menatap mama. Ingin tahu dan paham maksud dari kalimat yang diucapkannya
barusan.
"Iya...
ini telepas dari kerjaanmu ya. Kan kamu sepertinya nunggu bayaran tulisanmu
turun tuh. Kamu kan jagain sumber rizkimu dari situ doang. Percaya deh sumber
rizki itu datang dari mana saja. Kamu nggak bisa nebak atau terka. Kamu nunggu
rizkimu dari sini bisa aja rizkimu datang dari jalan lain. Allah kan Maha Kaya.
" Ujar Mama menjelaskan dengan perlahan. Aku mencoba paham.
Ada benarnya
juga yang dikatakan mama. Pagi ini aku terlalu serius berharap orang-orang yang
memesan tulisanku membayarnya. Padahal aku tidak seharusnya berharap sedemikian
rupa kepada mereka. Entahlah seperti orang yang lupa saja. Aku memang
menggantungkan rizkiku hanya kepada Tuhan. Namun pagi ini sepertinya aku
terlupa untuk melakukan ritual duhaku dan sibuk berharap rizkiku masuk dari apa
yang aku usahakan. Harusnya aku tinggal pasrah saja dan doa. Toh aku sudah
usaha dengan maksimal.
Sebenarnya
pagi ini mama datang ke kamar untuk sekadar mengingatkanku melaksanakan salat
sunah enam rakaat. Dan memang sepertinya aku harus segera mematikan netbookku ini. Aku melakukan
salat duha seperti biasa. Tapi untuk urusan doa aku melipat gandakannya.
Doaku...
Tuhanku Yang
Maha Kaya. Sepagi ini seorang hamba menggantungkan rizkinya kepada Engkau Yang
Segala Maha. Sudilah kiranya Engkau memberi sebagian rahmat dan Rizki dari
seluruh alam sesesta yang kau punya untuk diri dan semua keluargaku,
saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku, dan seluruh manusia di dunia yang telah
menempuh usahanya serta memaksimalkannya dalam bermunajat kepada Engkau...
Selesai
mengaminkan doa yang kupanjatkan sendiri, bergegas aku merapikan mukena.
Tiba-tiba, adikku ke kamar memberikan ponsel orangeku
yang ternyata semenjak tadi berdering. Tahukah kalian itu nomor siapa? Itu
adalah nomor seorang Laki-laki
spesial (klik)yang kupanggil Eyang meski tak ada aliran darahnya yang
mengalir dalam tubuhku.
Beliau
menelponku untuk mengucapkan selamat berpuasa dan selamat bersiap menemui
lebaran. Aku mengucapkan terima kasih atas perhatiannya yang begitu besar.
Meski kami berbeda keyakinan namun beliau begitu peduli terhadap kegiatanku
ramadanku. Di akhir kata-kata beliau berucap bahwa baru saja mentransfer
sejumlah uang sebagai hadiah lebaran untukku dan adikku. Subhanallah. Hanya itu yang
mampu keluar dari mulut dan hatiku. Lalu aku mengucapkan terima kasih
kepadanya. Aku mendoakan agar beliau senantiasa sehat dan banyak mendapat rizki
karena senantiasa mengingat aku dan saudaraku.
Ingatanku di
tahun 2012 muncul, aku jadi ingat saat aku ingin berangkat ke Malaysia untuk
mengikuti kegiatan magang. Sebelum berangkat, orang yang kupanggil Eyang ini
juga memberikanku sejumlah uang yang diistilahkan olehnya sebagai uang saku.(klik
kisah 100.000 menjadi 1.000.000) Dan sekarang? aku sudah tidak
menunggu rizki dari tulisanku lagi karena ada rizki dari tempat lain yang mampu
menyangga kehidupanku untuk saat ini. Rizkiku sudah diatur oleh Nya. Aku pasrah
saja karena toh sudah berusaha.
Dan satu hal
yang dapat kupetik dari semua kejadian ini adalah... seperti kata mama bahwa
kita tidak akan bisa menebak atau menerka datangnya Rizki kita. Rizki Allah
bisa datang dari mana saja. Allah Maha Kaya! Dia selalu menjamin rizki
hambanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar