Malang. Mendengar nama
kota apel itu membuatku hatiku berbinar. Bagaimana tidak! Aku selalu memimpikan
berada di kota tersebut. Penasaran dan tak sabar untuk melihat pemandangan
Gunung Bromo serta wisata lainnya di sana. Impianku sebentar lagi akan terwujud
nyata. Yap! Aku akan segera ke sana.
Liburan semester genap
kali ini seolah menjadi peluang untukku membabat habis impian itu. Tiket kereta
ekonomi ac Matarmaja sudah di tangan. Izin ayah bunda juga sudah dipegang. Ah, semakin tak sabar menghabiskan 24 jam
lagi untuk menuju ke sana. Besok
keretaku berangkat jam 14.00. Mata ini seolah tak lelah padahal semenjak tadi
sudah berolah melakukan packing. Jam
berbentuk mawar sudah menunjukkan pukul 02.00. Tanganku masih asyik utak atik netbook. Melakukan browsing destinasi
lebih lengkap sebagai persiapan lebih mantap.
Backpacker sendiri kali ini memang membuatku
lebih berantisipasi. Di sana aku punya Mas Fajri,
sepupu yang kini berkuliah di Universitas Brawijaya. Rencananya dia yang akan
membantuku selama aku berlibur di sana. Setidaknya dia bersedia memberi
informasi selama aku di sana nanti. Meski dia belum libur kuliah, semoga tetap bisa menemani. Jika
tidak,
berarti benar-benar aku akan bertualang sendiri.
****
Pukul 11.00 aku sudah
berangkat dari rumah menuju Stasiun Pasar Senen. Sebelumnya, hampir dua jam aku mendengar dan
menyimpan ucapan berupa nasehat dari mama terkait perjalananku selama empat
hari ini. Maklum,
aku anak perempuan satu-satunya. Dua kakak laki-lakiku sudah bekerja dan
berumah tangga. Sementara ayah berlaku seperti biasa tak menspesialkan diriku
yang perempuan. Tapi,
aku lebih suka diperlakukan seperti itu.
Pukul 13.30 aku tiba di
Stasiun Pasar Senen. Pemandangan manusia yang duduk di depan pintu masuk seolah
sudah menjadi biasa di depan mataku. Situasinya sama seperti waktu aku pergi ke
Jogja di liburan smester lalu. Penumpang Matarmaja sudah dipersilakan masuk
oleh petugas. Segera kupersiapkan KTP dan tiketku. Aku hanya membawa sebuah
ransel dan tas kecil.
Kereta Matarmaja sudah
dipersiapkan di peron jalur satu. Bergegas aku masuk dan mencari tempat duduk.
Gerbong 6 no 4A. Dalam hati sebenarnya aku berdoa semoga orang yang akan duduk
di sampingku nanti adalah anak muda seumuranku. Kalau tidak, ya minimal orang baik agar nanti
perjalananku tidak kaku.
Ransel sudah kutaruh di
atas. Kini hanya ada aku dan tas kecil berisi seluruh barang berharga. Meski
sebenarnya aku juga menyimpan sebagian uangku di ransel. Jaga-jaga jika ada hal
yag tidak diinginkan terjadi. Seorang lelaki tua berambut putih tergopoh-gopoh
mendekat ke arah bangkuku. Mungkin beliau yang akan duduk di sampingku. Beliau
menunjukkan tiketnya padaku. Aku mengangguk mengiyakan kalau benar bahwa nomor
tempat duduknya tepat di sebelahku.
“Maaf Cu… boleh kakek
tukar tempat duduk? Istri kakek duduknya beda dua bangku sama tempat duduk
kakek ini. Jadi cucu duduk di tempat istri kakek” Ujar sang kakek penuh harap.
Aku segera tersenyum dan mempersilakannya. Kuambil ranselku yang sempat kutaruh
dan aku pun bertukar tempat duduk. Nenek dan kakek itu kini duduk bersama.
Senangnya melihat kesetian kakek pada nenek itu.
Kini karcisku berubah
menjadi nomor 1B. Otomatis aku berada paling depan. Depanku tak ada orang jadi, di hadapanku kini hanya dinding
kereta berwarna hijau. Aku ingin sekali duduk di samping kaca. Untung penumpang
1A belum datang sehingga aku leluasa memilih duduk.
“Sorry ini gerbong enam kan,
ya?” Tanya seorang pemuda berkacamata
saat aku tengah asyik memperhatikan kerumunan orang lewat kaca. Segera
aku menoleh dan menjawab dengan anggukan kepala. Cakep!
“Nomor tempat duduk
saya 1A. Boleh saya duduk di bangku saya” Ujarnya sambil tersenyum sambil
memperbaiki posisi kacamata. Lelaki ini memang memiliki paras yang dapat
dikatakan luar biasa. Kulitnya putih dan memiliki senym khas yang entah kenapa
membuat sedikit hatiku meletup. Namun ucapannya membuat moodku berkisut. Aku
segera menggeser posisi duduk. Padahal aku ingin sekali duduk di samping kaca.
Pemuda ini segera
menaruh ranselnya. Ternyata ransel kami mirip hanya saja berbeda warna. Ia
duduk dengan tenang. Sementara aku terdiam. Tak lama ponselku berdering. Di
layar tertuliskan “mama calling”.
Bergegas aku mengangkatnya. Tak sampai tiga menit aku bercakap-cakap ponselku
tiba-tiba mati. Bodoh! Semalam aku lupa ngecash.
“Low batt?” Tanya pemuda di sebelahku setelah aku mengeluh karena
ponselku mati. Aku mengangguk sambil tersenyum sekejap. “Kalau mau ngcash biasanya ada di restorasi.”
Ujarnya memberi informasi.
“Boleh pinjem
ponselnya? Saya mau sms mama saya. Mau ngasih tahu kalau ponsel saya mati.
Takutnya orang rumah khawatir” Jelasku tanpa malu. Di saat seperti ini rasa
malu sudah kulempar ke rel kereta. Lebih baik seperti ini daripada nanti mama
heboh dan menyangka aku kenapa-kenapa. Pemuda itu segera menyodorkan ponselnya
ke arahku. Segera saja aku mengutak-atik keypad
huruf tersebut. Setelah asyik mengirim pesan bergegas aku mengembalikannya
tentu dengan ucapan terima kasih. Tak berapa lama ponselnya berdering. Pemuda
ini menengok ke arahku, lalu
memberikan ponselnya. Mama menelponku.
“Makasih ya Mas. Sorry ngerepotin” Ujarku setelah selesai
menerima telepon dari mama.
“Iya sama-sama. Santai
aja. Btw kamu mau ke mana? Sendirian
aja?” Tanya pemuda ini. Tak berapa lama kereta berjalan.
“Mau ke Malang. Iya
sendirian aja.” Ujarku seadanya.
“Saya Diaz. Masih
mahasiswa. Kamu?” Ujarnya memperkenalkan diri.
“Beneran mahasiswa? Coba mana KTMnya?”
Selidikku. Di mana saja harus waspada terlebih aku sendiri. Sejenak dia tertawa
lalu mengeluarkan dompet di saku celana. KTMnya di sodorkan ke arahku. Fiuh
lega. Ternyata dia memang mahasiswa dan tidak berdusta. Terlebih kartu
mahasiswanya sama denganku. Sama-sama dari UI.
“Perlu di pamerin bukti
lain? Ujarnya meledek sementara aku menggeleng.
“Syukur… ternyata
beneran mahasiswa. Aman! Maklum saya sendirian. Jadi harus ekstra waspada. Iya, saya mahasiswa juga. Bahkan kita
satu kampus. Saya Laras” Ujarku sambil meringis.
“Oh ya, coba lihat? Tantangnya gantian.
Aku pun bergegas mengeluarkan KTMku di dalam tas kecil. Setelah kutunjukkan dia
mengangguk-angguk seperti takjub. “Wah nggak nyangka sebangku sama anak UI
juga. Jurusan apa? Angkatan berapa? Kalau saya Psikologi angkatan 2009”
Jelasnya
“Angkatan 2010 jurusan
Sastra” Jelasku lalu memasukan kembali KTMku. “Salam kenal Kak Diaz” Ujarku
berusaha sopan karena ternyata dia angkatan senior.
Awal mula kami
mengobrol kaku. Lambat laun mengobrol sampai tak tahu malu. Obrolan kami tak
karuan ke sana ke mari. Sedikit ada kebahagiaan karena teman seperjalanan
sungguh baik dan menyenangkan. Kami kenal baru beberapa jam tapi rasanya
seperti kawan lama yang sudah tak lama jumpa. Aku jadi bersyukur karena
bertukar tempat duduk. Kalu tidak mungkin jam segini aku akan garing dan
mengering.
Saat malam Diaz
mengajakku ke restorasi. Selain bertujuan untuk makan dan meluruskan kaki
tujuanku ke sana juga untuk memenuhi batre ponsel. Kami banyak bertukar cerita.
Dari soal kehidupan kampus hingga berbagai hal. Ternyata Diaz asli dari Malang
dan kini akan pulang karena liburan panjang. Dari kisahnya aku tahu bahwa
rumahnya di daerah Batu. Tak terasa kami mengobrol hingga larut malam bahkan
terlampau pagi. Jam menunjukkan pukul 00.32 Diaz mengajakku kembali ke tempat
duduk. Aku setuju karena batre ponselku sudah penuh.
“Kak Diaz… boleh tuker
nggak?” Ujarku memelas berharap dia mengizinkan aku duduk di samping kaca.
Dengan senang hati akhirnya dia memberi kesempatan itu. Sebenarnya tujuan
utamaku adalah agar aku bisa tidur bersandar kaca.
Udara malam semakin
dingin terlebih ac Matarmaja ini dekat dengan tempat duduk kami. Jaketku berada
di ransel,
seingatku berada pada bagian paling bawah. Tak mungkin aku membongkarnya. Diaz
sepertinya tahu aku kedinginan lalu dia memberikan jaket kulit yang
dikenakannya padaku. Tadinya aku menolak tapi karena dia memaksa jadi aku terima.
Lumayanlah dari pada ribet bongkar-bongkar ransel.
****
Malang. Akhirnya aku
menjejak juga. Keretaku tiba di Stasiun Malang Kota Baru tepat pukul 08.00. Mas
Fajri sepupuku sudah datang menjemput. Bergegas aku pamit kepada Diaz. Entah
karena terlalu senang atau karena sudah tiba di Malang aku sampai lupa meminta
no ponsel Diaz. Diaz sudah keburu menghilang di telan kerumunan. Padahal
jaketnya belum sempat aku kembalikan. Nasib!
“Heh! gimana
perjalanan? Seru?” Tanya Mas Fajri sembari menarik ranselku mencoba
mengambilnya. “Sini Mas bawain. Kasian nanti kalau sampai kamu tambah kurus
bisa-bisa aku diceramahin sama Tante!” Jelas Mas Fajri lagi dan akhirnya aku
menyerahkan ranselku padanya.
“Seru… seru banget.
Malah aku dapat kenalan, Mas.
Tapi,
aku lupa minta nomor ponselnya. Jaketnya dia kebawa,
Mas… Oon deh aku”
Jelasku menyesal. Mas Fajri mengelengkan kepalanya. Sepertinya dia sudah hapal
dengan watak sepupunya yang teledor plus ceroboh. Meski kami seumuran namun
sepertinya Mas Fajri lebih dewasa dibanding aku.
“Ye… gimana sih kamu.
Kebiasaan... Udahlah kalau jodoh nanti juga ketemu lagi. Eh iya nanti kamu
tinggal di kosan temen mas Mas Fajri ya. Dia udah pulang kampung ke Makasar
jadi kamarnya bisa kamu pakai. Udah izin juga kok sama ibu kosnya.” Ujar Mas
Fajri memberi pengarahan dan aku pun mengangguk senang. “Btw rencana kamu ke mana aja nih?” Tanya Mas Fajri sambil megajakku
keluar dari stasiun. Aku segera memberikan secarik kertas yang kukeluarkan dari
tas kecil. “Daftar perjalanan Laras” Mas Fajri hanya geleng-geleng kepala
membaca daftar perjalananku.
“Aku nggak bisa anter
ke tempat ini full loh ya. Kan Aku
udah bilang kalau belom libur. Jadi nanti beberapa tempat aja yang bisa aku
anter. Sisanya… kamu jalan sendiri ya. Sorry
banget” Jelas Mas Fajri sedikit menyesal. Aku pun mengangguk mengerti. Sudah
banyak bantuan yang diberikan anak budeku ini bagiku sudah cukup dan aku
sungguh berterima kasih.
*****
Setelah salat Isya,
Mas Fajri mengajakku ke
Batu—setelah sebelumnya aku balas dendam hampir tidur seharian karena lelah tak
karuan. Aku jadi ingat Kak Diaz… rumahnya kan di daerah Batu. Tapi nggak tahu
Batu sebelah mana. Dia apa kabar ya? Pasti lagi asyik berkumpul dengan
keluarganya.
“Woy… bengong aja. Nih, pakai!” Ujar Mas Fajri menyodorkan
helem dan membuyarkan lamunanku. Aku cengengsan. Kami berangkat saat senja.
Selama perjalanan sungguh kunikmati udara dingin yang menyeruak ke dalam tulang, padahal jaketku sudah dobel dua.
Satunya jaketnya Diaz karena aku cuma bawa satu jaket. Namun apa daya dingin tetap saja menusuk
mungkin karena badanku terlalu kurus. Nasib!
Sungguh keindahan kota Malang tergambar jelas
di depan mata. Kami sampai sekitar pukul 19.00 dan kini aku berdiri di tempat
paralayang biasa mengudara. Hamparan rumah-rumah dengan lampu-lampu terang
terbentang seperti bintang begitu terlihat sempurna. Mas Fajri bilang ini
tempat wisata Gunung Banyak. Memang banyak sekali gunung-gunung yang bertumpu
meski samar terlihat. Banyak pemuda pemudi seusiaku yang menghabiskan waktu
bersama di tempat ini. Hiy… mana rada gelap. Jadi ngeri sendiri.
Wisata Gunung Banyak |
“Nih” Ujar Mas Fajri
menyodorkanku secangkir cup kopi
panas. Tanpa pikir panjang aku langsung menyeruputnya. Membuat badanku terasa
hangat.
“Kak Fajri…” Tiba-tiba
suara seorang perempuan dari arah belakang terdengar. Seketika aku dan Mas
Fajri menoleh. Tepat di belakang kami kini berdiri seorang perempuan berjilbab
senada seperti yang aku kenakan. Ia mengenakan kacamata putih. Cantik!
“Eh Ayu…lagi anter
makanan ya?” Ujar Mas Fajri ke arahnya. Sepertinya dia temannya. Gadis itu
mengangguk sembari tersenyum.
“Ras… kenalin ini Ayu.
Junior Mas Fajri di kampus. Kita satu organisasi Bem.” Jelas Mas Fajri
menjelaskan dan aku menyodorkan tanganku.
“Ini Laras sepupu saya.
Lagi liburan dia. Jadi sebagai Kakak yang baik dan bertanggung jawab saya anter
dia deh ke mana-mana” Jelas Mas Fajri memperkenalkanku. Aku menyenggol mas
Fajri karena ledekannya.
Ayu menjabat erat tanganku
disertai senyuman yang membuatnya nampak anggun. Kulitnya halus dan putih.
Suaranya lembut sekali. Malam ini Ayu datang ke tempat ini karena mengantarkan
makanan untuk warung yang buka di tempat wisata ini.
“Kak Laras… ke rumah Ayu Yuk. Rumahku dekat
sini. Sekalian makan malam.” Ajak Ayu tiba-tiba. Mas Fajri semangat mengompori.
Dasar anak kost pasti mau numpang makan gratis. “Di rumah Ayu makanannya
sederhana Kak. Tapi di Jakarta pasti nggak ada. Makanya kakak harus coba. Mau
ya?” Pinta Ayu lagi merayu. Akhirnya aku mengangguk tanda setuju.
Ternyata rumah Ayu benar-benar tak jauh dari
tempat wisata tadi. Aku dan Ayu berjalan kaki sementara Mas Fajri di belakang membuntuti
kami. Jalanan memang sedikit gelap dan sunyi. Tapi obrolan kami memecah
semuanya. Dari kisahnya aku tahu bahwa Ibu Ayu penjual gorengan dan
menitipkannya ke warung-warung. Salah satunya warung di tempat wisata tadi.
Tapi aku salut karena meski demikian bagi kelurga Ayu pendidikan adalah nomor
satu.
Rumah Ayu benar-benar
sederhana tapi hangat. Terlebih kehangatan itu terasa saat aku bertemu dengan
ibunya. Ibunya cantik dan ramah. Segelas teh panas disuguhkan untukku dan Mas
Fajri. Tak berapa lama kami diajak duduk lesehan beralaskan tikar di ruang
tengah. Makan malam.
Di depanku terdapat
semangkuk makanan berkuah sepiring tempe dan kerupuk,
sepertinya nikmat.
Terlebih nasi yang disodorkan Ibu Ayu masih panas cocok di suasana seperti ini.
“Nak Laras, ini kalau di sini namanya “Jangan Lombok” Bahasa Indonesianya sih
sayur cabe. Pokonya uenaaak… ya gini
ini makanan orang ndeso” Ujar Ibu Ayu
menjelaskan.
“Wah, ini udah seneng dan bersyukur
banget diajak mampir terus ditawarin makan. Makasih banget loh Ibu dan Ayu. Ini
menggugah selera. Aku memang suka sekali pedas” Jelasku tersenyum sembari
menatap tebaran cabai rawit hijau di mangkuk sayur tersebut. Kami berempat pun
makan bersama. Masakan Ibu Ayu benar-benar nikmat. Pedasnya Nampol.
“Ya ampun,
bibir sampe merah gitu.
Kebakaran Ras?” Ledek Mas Fajri saat melihat aku tengah menghabiskan sisa kuah
di piring. Aku tersenyum meringis. Ayu dan Ibunya tersenyum senang. Selesai
makan bersama kami melanjutkan obrolan di ruang tamu.
“Sekarang kuliah di
mana,
Nak Laras?” Tanya Ibu Ayu sambil memenuhi cangkir tehku yang sudah habis.
“Di Ui, Bu” Jawabku
“Wah sama kaya Mas Diaz
dong? Kak Ayu kenal Mas Diaz nggak? Dia jurusan Psikologi angkatan 2009.” Ayu
menyambar. Ucapannya membuatku tersedak.
Deg! Inikah yang
dinamakan jodoh? Padahal tadi pagi aku berharap mendapatkan nomor ponselnya.
Ternyata sekarang aku di rumahnya. Mas Fajri menyenggol kakiku.
“Ya ampun. Jadi Kak
Diaz itu kakak kamu Yu? Tadi pagi itu aku sekereta sama dia. Baru kenal juga di
kereta. Ternyata sekarang aku di rumahnya.” Ujarku menjelaskan. Seketika Ayu
dan Ibunya saling bertatapan.
“Oh… jadi yang tadi
diceritain Diaz itu,
ternyata Nak Laras toh. Tadi sore itu Diaz cerita ke Ibu,
katanya
di kereta tadi teman seperjalanannya menyenangkan. Pas ibu tanya orangnya
gimana-gimana eh dia ndak meneruskan
ceritanya. Lha kok ternyata temannya
sekarang di sini.” Jelas Ibu Ayu
“Tuh kan Ras… Mas
bilang juga apa. Kalau jodoh pasti ketemu lagi. Jaketnya Diaz ini kebawa sama
Laras, Bu. Kebiasaan teledor ini anak. Tadi pas distasiun dia
kebingungan karena mau mengembalikan jaket. Orangnya udah nggak ada” Penjelasan Mas Fajri kali ini
benar-benar membuatku malu.
“Nak Diaz lagi ke rumah
temennya. Sebentar lagi juga pulang. Tunggu saja. Biar kejutan” Jelas Ibu ayu
semakin membuat mukaku malu.
Benar saja kata Ibu
Ayu. Tak berapa lama kemudia,
Diaz datang dan kaget melihatku di hadapan. Kami seketika kaku. Aneh sekali
meski sebenarnya secuil hatiku bersorak
karena bisa bertemu lagi dengannya. Ibu Ayu lalu menjelaskan semuanya. Wajah
Diaz memerah kepergok karena tahu aku mendengar dari Ibunya bahwa dia
menceritakan pertemuannya denganku di kereta.
“Mas Diaz… Kak Fajri
ini sepupunya Kak Laras sekaligus senior Ayu di kampus.” Jelas Ayu dan Diaz mengangguk-angguk mencoba paham. Akhirnya
kami berlima mengobrol santai. Setelah mengobrol terlalu lama akhirnya aku dan Mas
Fajri pamit.
“Oh iya… Laras tinggal
sama Fajri satu kosan?” Tanya Diaz saat mengantar aku dan Mas Fajri ke teras
depan bersama Ayu.
“Enggaklah… bisa
dibunuh aku sama tante. Dia tinggal di
kosan temenku” Jelas Mas Fajri menyambar.
“Oh iya Kak Diaz…
jaketnya kebawa aku. Ini aku pake buat dobelan.
Gimana yak Kak?” Tanyaku jujur. Nggak enak sih sebenarnya pinjam jaketnya
kelamaan lagian belum aku cuci juga.
Diaz tersenyum
menatapku sesaat. Dia hanya mengangguk saja tanpa berkata apa-apa.
“Besok rencananya saya mau ke Bromo sama Ayu.
Kamu mau ikut?” Ujarnya mengajak tanpa mempedulikan pertanyaanku.
“Nah… Tuh Ras… pas
banget. Lumayankan daripada kamu sendirian” Senggol Mas Fajri ke arahku. “Si
Laras ini punya list perjalanan, Iaz… salah satunya Bromo itu.”
Ujar Mas Fajri lagi ke arah Diaz.
“Asyik… Ayu ada
temennya. Males soalnya kak kalau jalan sama Mas Diaz berdua doing. Orang suka
nyangka kita pacaran. Hehehe. Kak Laras mau kan nemenin Ayu?” Tanya Ayu
merajuk.
Aku pun akhirnya
mengangguk setuju. Kesempatan ini tidak datang dua kali. Lagi pula jalan-jalan
sendiri belum tentu lebih seru. Ternyata memang aku tidak diizinkan untuk
bertualang sendirian. Buktinya Tuhan mengirim Diaz dan Ayu untuk menemaniku.
Tak sabar rasanya menunggu esok.
*****
Kini aku berdiri di
ujung anak tangga depan Kawah Bromo. Perjalanan panjang nan indah serta
menghibur mata menuju Kawah Bromo terlewati sudah. Kami pergi menggunakan mobil
Jip sewaan. Kakiku kini sudah payah untuk melangkah lagi. Ternyata selain butuh
kesiapan mental yang penuh persiapan tenaga lebih diperlukan. Nafasku
terengah-engah benar-benar lelah.
Kak Diaz dan Ayu sudah
berada di depanku. Ia bersandar pada pagar kawah dan sepertinya asyik
menatapnya. Sementara aku kini terengah-engah menapaki anak tangga. Langkahku
benar-benar terhenti. Sudah tidak kuat lagi.
“Ayo Kak Laras… sedikit
lagi. Selangkah lagi” Semangat Ayu yang sudah selangkah mendahuluiku. Aku hanya
mampu menjawab dengan senyuman meski setengah kupaksakan.
Aku membungkukkan badan
sembari memegang kedua lututku. Aku menyerah. Aku berniat untuk duduk di anak
tangga terakhir ini. Namun,
belum sempat aku merebahkan diri seseorang menarik ke dua tanganku mengajakku untuk
berdiri kembali. Ayu.
“Belum selesai,
Kak. Bukan di sini
istirahatnya.” Ujar Ayu membantuku berdiri. Dari depan kulihat Diaz menatap ke
arah kami.
“Ayo Ras selangkah
lagi” Ujar Diaz menyemangati. Ucapannya kali itu benar-benar membuatku
bersemangat kembali. Hingga akhirnya kini aku berhasil berdiri di samping
kawah. Pemandangan berasap putih dengan air kawah yang berwarna hijau memenuhi
mata. Sungguh impaiku terlunaskan. Ini yang ingin aku lihat selama ini. Kawah
Gunung Bromo yang sangat indah dan memukau. Terlebih aku menuntaskan mimpiku
bersama orang-orang yang membuat hatiku senang dan tenang.
“Cantik…” Hanya kalimat
itu yang keluar dari mulutku. Sepertinya rasa lelahku tersedot setelah melihat
pemandangan itu. Ajaib.
“Secantik kalian berdua…semoga
tetap istiqomah” Ujar Kak Diaz tiba-tiba membuat aku dan ayu menoleh ke
arahnya. Bagi Ayu pujian itu adalah rasa sayang kakak terhadap adiknya. Namun
bagiku pujian itu berarti lain. Entahlah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar