Ayah…
Tulisan
atau kisah ini saya dedikasikan untuk kedua saudara kandung saya yang seayah
dan seibu.
Pagi tadi sekitar pukul 06.30 WIB
ayah datang ke kosan. Beliau tergopoh-gopoh karena lelah habis menempuh jarak
panjang menggunakan kapal. Setelah mandi ayah bergegas merebahkan diri di kasur
depan. Aku menawari ayah minum teh dan dia mengangguk setuju.
Setelah kusuguhkan teh di meja
samping kasur ternyata ayah tengah tertidur. Padahal tehnya hangat pas jika
diseruput dengan cermat. Namun sepertinya lelah lebih menggugah jiwa ayah untuk
melabuhkan raga di kasur tercinta.
Kutinggalkan ayah dengan aktivitas
seperti biasa yang kulakukan selama di kosan. Ayah Bangun setelah azan zuhur
berkumandang. Tahukah kalian apa yang ayah ucapkan? Tangan kanannya sakit.
Katanya terkilir. Waktu kulihat memang benar adanya. Tangannya bengkak sepertinya
memang ada urat yang beranjak.
Tangannya bergegas
kupijat lembut. Meski tak ahli tapi katanya pijatanku lumayan mumpuni. Tapi
tetap saja kata ayah “Sakit”. Aku tertawa saja melihat ayah meringis kesakitan.
Aku bilang padanya itu tanda jika Tuhan ingin lihat tangan ayah istirahat dan
tidak sibuk telepon atau smsan. Maklum… dua ponsel tak pernah lepas dari
genggaman.
Aku bilang lagi ke ayah
kalau sakit itu bisa mengugurkan dosa. Ayah meringis tersenyum sambil
menganggukan kepala. Aku menatap layar ponselku. Kulihat kakakku sedang online.
Kubilang pada ayah kalau kakak online. Ayah bilang disapa aja. Tenyata kakak
balas dan bilang kalau dia sedang bekerja. Yaiyalah jelas-jelas nyapanya
sekitar jam 14.00 waktu Hongkong pastinya sedang bekerja.
Setelah makan siang dan salat zuhur
ayah minta padaku agar tangannya diolesi balesem. Sambil memijatnya perlahan
aku mengajak ayah mengobrol banyak hal. Obrolan kami ngalor ngidul tanpa
aturan. Dari mulai kerjaan menulisku sampai rencana-rencana ke depanku. Secara
gantian ayah pun berlaku demikian. Membicarakan usaha yang tengah dilakukannya
hingga menghabiskan banyak waktu dan tenaga bahkan sampai rela meninggalkan
keluarga dalam waktu yang cukup lama.
Obrolan akhirnya tersudut pada situasi
lebaran kemarin. Aku menanyakan tentang keluarga ayah dari mulai kakak sampai
adik kandungnya. Dari sembilan bersaudara tinggal enam yang masih bernyawa
termasuk ayah salah satunya. Dari kesemuanya hanya tiga yang tidak aku temui di
lebaran kemarin.
Pertanyaanku akhirnya berlabuh pada
kabar adik kandung ayah yang sudah lebih
dari tujuh tahun tak aku temui. Waktu aku tanya kabar paklekku itu muka ayah
berubah masam. Kutanya kenapa? ayah
bilang “gitu-gitu aja”. Tak begitu paham aku mencari tahun kapan ayah bertemu
dengan dia. Ayah bilang sudah lebih dari tiga tahun tak bertatap muka
dengannya.
Aku mengusulkan pada ayah untuk
menghubunginya lebih dulu. Namun ayah menggeleng bilang tidak mau. Kata ayah
harusnya dia yang menghubungi ayah karena posisi ayah adalah kakak kandungnya.
Aku memberikan pendapatku terkait hal itu. Aku bilang pada ayah bahwa mungkin
saja ia rindu dengan ayah dan ingin ayahlah yang menghubunginya duluan. Namun
sepertinya ayah tetap kekeuh bahwa yang mudalah yang harus
mendatangi/menghubungi yang tua. Padahal menurutku tidak harus seperti itu.
Aku tahu ada hal lain yang
disembunyikan ayah. Kutanya lebih dalam akhirnya aku dapat sebuah alasan. Ada
sikap tidak enak dan tidak pantas yang diterima ayah dari keluarga paklek
(Bukan pakleknya ya). Sikap itu juga dirasakan oleh beberapa kakak ayah
lainnya. Jadi intinya ada kesan kalau keluarga ayah seolah “calon parasit”. Ih
amit-amit dah kalau sampai berpikiran seperti itu. Nauzubilah. Soalnya ada
beberapa kejadian yang pernah dirasa hingga memunculkan hal semacam itu.
Ayah bilang agak malas menghubungi
atau bahkan menemui adik bungsunya itu. Malas karena agak risih jika dianggap
nantinya sebagai “calon parasit”. Kata ayah… “aku tuh inginnya dia bilang ke
ayah kalau rindu sama ayah. Sekadar ingin ketemu. “ Aku tahu sekali ayah sangat
sayang pada adiknya ini. Namun memang keluarga mempunyai pengaruh besar
terhadap keberlangsungan suatu hubungan. Lagian juga ayah tidak akan pernah
selamanya masuk dalam kategori “calon parasit” dia itu kangen adiknya. Sama sekali
nggak silau sama harta adiknya. Berani sumpah deh aku. Lha wong dia ayah kita
pasti kita lebih tahu dia seperti apa.
Sayang namun sayang… sepertinya
keluarga adiknya tidak punya rasa PEKA atau sekadar SADAR bahwa bagaimana pun juga keluarga tetaplah
keluarga. Adik tetaplah adik dan pun halnya kakak tetaplah kakak. Saling
menyayangi dan menghormati.
Suatu saat nanti jika kita semua
tengah berkeluarga semoga kita benar-benar merasa dan memang harus menjadi
bagian dari keluarga itu sendiri. Jika ada yang jatuh kita harus saling topang dan membantu. Bukan saling
curiga atau mencederai hati saudara sendiri. Ingat saja bahwa kita berasal dari
rahim dan mengaliri darah yang sama. Dan aku senantiasa berdoa bahwa pasangan
kita nanti memberi pengaruh yang baik bukan malah sebaliknya! Aamiin
Dan satu lagi… jangan hanya
mengandalkan bahwa yang tua selalu harus dikunjungi atau dihubungi yang muda
ya. Kadang yang muda juga ingin dikunjungi atau dihubungi oleh yang tua. Biar
adil. Sama persis seperti yang masih kita lakukan sampai saat ini. Jangan
sampai berubah. Okeh!
Kisah berlanjut…
Setelah
cerita banyak hal ayah merebahkan diri di kasur lagi. Ayah tidak tidur kok
hanya tidur-tiduran sambil meringis menahan sakit. Iseng… aku membacakan sebuah
buku kesehatan buat ayah. Tumben loh ayah mendengar dengan baik dan menanyakan
secara rinci terkait informasi kesehatan yang kuberi. Dari mulai cara mengunyah
makanan yang baik sampai menjelaskan berbagai jenis makanan yang baik
dikonsumsi terutama makanan pokok atau beras. Ternyata beras yang baik itu
dimakan dengan sekamnya. Itu loh bungus cokelat yang membungkus beras putih.
Kalau zaman dahulu sih kata ayah padi itu ditumbuk dan dimakan dengan sekamnya
atau istilahnya bekatul.
Pengetahuan
baru bagiku dan juga diskusi ringan bagi ayah. Aku masih dalam posisi duduk
bersandar pada kasur yang ayah tiduri. Aku memberikan informasi terkait
pembunuhan masal di Suriah. Ayah ternyata baru tahu karena memang beritanya tidak
tersebar luas di televise. Aku ceritakan pada ayah bahwa pembunuhan masal yang
terjadi di Suriah menggunakan bom kimia. Korbanya sekitar 1300 jiwa dan
kebanyakan anak-anak. Ayah menebak apakah itu dilakukan syiah di sana? Aku mengangguk
karena memang setahuku begitu.
Setelah
itu sore menjelang. Tak lama adikku datang. Tadinya ayah mau ke warnet cari
bahan untuk tulisannya. Namun urung dilakukan karena di kosan kan ada internet
milikku. Ayah mencari bahan hanya sebentar karena tidak begitu kuat menahan
rasa sakit pada tangan kanannya. Padahal tadi sudah kupijat dan kuoles lagi
dengan balsam. Sepertinya tak juga mempan. Tak berapa lama tukang pecel lewat .
Secara serempak ayah dan adik bilang mau makan. Belilah mereka sepiring pecel
lalu dibagi dua. Aku tidak ikutan karena masih terlalu kenyang.
Hei
tahukah kalian bahwa ayah tak bisa menggunakan tangan kanannya untuk makan. Jadilah
aku sore tadi menyuapi ayah meski sebentar.Rasanya giman gitu. Biasanya aku dan
kalian yang disuapi pepaya oleh ayah. Namun kali ini gantian aku yang
menyuapinya. Ah sudahlah tak bisa diungkapkan oleh kata-kata.
Setelahnya
aku membantu ayah mengenakan kemeja karena ayah mau salat. Agak kasihan
melihatnya dan akhirnya aku mengusulkan ayah untuk pakai tukang pijat. Tak
tahunya tukang pijat dekat kosan masih belum balik dari mudik. Nasib… jadi
kasihan sama ayah.
Tadi
setelah selesai salat magrib aku mengaji. Dan seperti biasa aku melakukan
ritual ngajiku yang memang jitu memberikan inspirasi buatku. Aku membuka
Al-Quran secara acak. Kudapati surat Al-Isra hingga pada ayat 23-24.
“Dan
Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah
berbuat baik kepada Ibu-bapak. Jika salah seorang diantara keduanya atau
kedua-duanya berusia lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali jangan engkau
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”
dan jangan engkau membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya
perkataan yang baik.
Dan
rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah “Wahai
Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada
waktu aku kecil.”
Bukankah dalam hidup ini tidak ada
yang kebetulan?
Aku menelepon mama setelah itu. Menanyakan
mama sedang apa. Ternyata mama mau ke bekasi selama dua hari. Aku diminta ke
rumah mama. Namun aku jelaskan pada mama bahwa ayah lagi di kosan. Lagi sakit.
Mama paham dan akhirnya membiarkan aku. Lagi pula beberapa hari ke depan aku
ada acara dan kegiatan. Cie
Setelah salat Ayah meminta padaku untuk memijat tangannya. Aku
jadi teringat dulu saat kita bertiga berebut naik ke punggung ayah untuk
diinjak-injak. Hehehehe.
Karena masih lapar akhirnya ayah dan
adik berinisiatif untuk membeli martabak telur. Adiklah yang berangkat. Kami
pun makan bertiga. Beli terlalu banyak jadi ada beberapa sisa. Lalu apa yang
dilakukan dengan sisanya? Seperti biasa ayah memanggil kucing-kucing di sekitar
kosan. Kata ayah bagi-bagi rezeki sambil memberi makan kucing dengan tangan
kiri. Aku tertawa saja.
Baru saja aku dipanggil ayah untuk
merebus air. Tangannya mau direndem pakai air hangat dengan campuran garam.
Aneh memang tapi kata ayah lagi agak mendingan.
Kisahnya sampai sini saja ya. Ini
sudah hampir lima lembar. Kapan-kapan aku ceritakan lagi kisah tentang ayah. :D
Semoga ayah lekas sehat karena kasihan jika ia lanjutkan petualangan dalam keadaan demkian. Aamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar