Dua tahun yang lalu cepat berlalu.
Masih saja puing kisah itu terngiang. Bukan perihal waktu yang singkat untuk
sekadar diingat. Hanya saja di tempat ini dua tahu yang lalu seseorang secara
sederhana datang menemuiku dengan setangkai bunga mawar.
Tak pernah ada sedikit sangka maupun
sepercik duga bahwa akan ada yang hadir secara spesial memberikan ucapan
selamat. Di tengah hiruk pikuk para keluarga yang elok berfoto bersama dengan
bersahaja dia meminta izin untuk sekadar menemui. Tadinya beberapa jam lalu
panggilan masuk telepon dari seseorang menyatakan menunggu semenjak tadi di
tengah bundaran. Pikiran sederhana ada orang iseng yang ingin mengerjai dengan
acara seperti ini. Namun semua meleset ketika dia datang menemui diri.
Statusnya masih mahasiswa yang tergolong
baru. Dia masih dua tingkat di bawahku. Saat itu ia begitu senada dengan kemeja
bergaris coklat seperti kebaya yang aku kenakan. Hanya senyumnya yang berbeda
dari biasanya. Di antara sekian banyak yang diwisuda dia datang menemuiku.
Entahlah apa maksudnya yang pasti saat itu aku mersa tersanjung karena
diperhatikan secara berbeda dibanding teman-teman lainnya. Tak banyak cakap
yang diucap. Pun halnya denganku yang hanya mampu menaruh senyum mewakili rasa
terima kasihku karena menyempatkan hadir di hari kelulusanku.
Kami berpisah tanpa banyak kata. Om tanteku
selaku orangtua yang hadir di wisudaku sudah lelah sehingga mau tak mau aku
harus kembali bersama mereka. Sebelumnya sempat kami berpose dua kali
selebihnya kami hanya menukar senyum. Setelahnya aku pamit pergi dan dia
mengangguk. Selebihnya tak ada. Oh ada… beberapa bunga dari sahabat dan
setangkai mawar darinya. Masih kugenggam erat saat itu.
Kini di tempat yang sama namun dengan
situasi yang cukup berbeda. Dia yang kini diwisuda. Lucu rasanya jika mengikuti
kejadian ini. Tak ada sedikitpun rasa berbeda dibanding saat itu. Bedanya kini
aku yang akan melihat dia bertoga dan mengucapkan selamat padanya.
Beberapa waktu lalu tiba-tiba
ponselku berdering. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak kukenal mengabarkan
bahwa seseorang yang mengirimi pesan tersebut tengah merampungkan sidang
skripsinya dan akan diwisuda. Secara tersurat ia mengundang aku untuk berkenan
hadir di hari bahagianya. Awalnya aku menimbang namun karena ingat masa di dua
tahun yang lalu maka aku mengiyakan.
Kini aku berdiri di tengah lautan
manusia bertoga. Aku mengenakan terusan biru senada dengan jilbabku. Aku hanya
perlu menunggunya di sini. Tempat di mana dulu aku berdiri. Meski aku tak yakin
dia bisa melihatku yang bertubuh tak terlalu tinggi ini. Namun pesan
terakhirnya berbunyi seperti itu.
“Kak… tunggu di tempat dulu kita
bertemu ya. Nanti aku yang cari kakak”
Aku menurut saja. Kuperjelas sekali
lagi bahwa bagiku dia sudah seperti adikku sendiri. Entahlah aku juga tidak
tahu mengapa merasa agak sebal jika teman-temanku yang lain menggoda saat
tahu aku menghadiri wisuda adik kelasku itu. Semua itu tak lebih dari rasa
senang dan bergembira karena dia pun berlaku hal yang sama di saat wisudaku
dulu.
Aku terdiam sambil tersenyum
mengamati para wisudawan lainnya. Terngiang lagi olehku masa dua tahun yang lalu.
Ah sudahlah. Dalam situasi yang tak cukup panas aku masih setia meneteng tiga tangkai
mawar putih yang terangkai indah. Tadinya aku mencari mawar kuning namun tak
kudapati. Tapi yasudah… mungkin rangkaian bunga ini yang terbaik untuknya.
Hampir setengah jam aku berdiri namun
dirinya tak juga kudapati. Mungkin dia tengah sibuk dengan keluarganya seperti
yang tengah kulakukan dulu. Tapi… ah sudahlah keberadaanku di sini hanya
sebagai pemegang dan pelaksana janji. Aku tak ingin jika janji itu yang
memberatkanku nanti.
“Kak…” Suara lelaki agak berat seolah
memanggilku. Aku menoleh ke arah kanan dan kudapati dirinya terengah-engah
setengah berlari menghampiriku. Mukanya belepotan tepung terigu. Awalnya aku
agak susah mengenali karena postur tubuhnya bertambah tinggi. Namun senyumnyalah
yang mengindentifikasi bahwa dialah memang orang yang ingin kutepati janji.
“Maaf ya lama… tadi dikerjain sama
temen-temen. Dilempar pakai tepung” Ujarnya tersenyum sementara aku hanya
mengangguk lalu membalas senyumnya.
“Ini… selamat ya” Ujarku lalu
menyerahkan mawar putih padanya. Dia tersenyum lebar seolah mendapat hal yang
memang dia inginkan.
“Wah… makasih kak. Eh sebentar ya kak…
ada Ibukku” Ujarnya pamit lalu melesap begitu saja dari pandanganku. Padahal
sebelumnya aku ingin memberikannya tisu.
Tak berapa lama dia datang dengan
seorang Ibu. Ibunya mengenakan kebaya sederhana berwarna senada denganku. Aku
menyalaminya. Tapi anehnya ia memelukku dengan erat.
“Sama ibu aja?” Tanyaku mencoba
bertanya.
Dia menggeleng sambil tersenyum
sementara mawar putih erat digenggam di tangan kirinya.
“Lalu? Sama siapa lagi?” Tanyaku
mencoba memastikan siapa saja keluarganya yang turut hadir di wisudanya.
“Sama kakak.” Dia tersenyum meringis.
Terlihat manis meski banyak tepung di pipi kanan dan kirinya. Aku membalas
senyumnya perlahan. Tak ada kata-kata lain selain itu dan semua sekejap berlalu
ketika dia mengajakku berpose bersama.
“Kak… kamu itu kakaku. Kita bersaudara.
Kita satu bapak lain Ibu” Ujarnya di jepretan pertama. Aku terdiam seribu
bahasa. Dia berucap sambil terus memperhatikan kamera. Temannya yang mengambil
gambar untuk kami berdua. Sementara Ibunya menatap kami secara seksama.
Aku menatapnya. Sementara temannya
berucap agar aku menatap ke arah kamera. Gambar akan diambilnya sekali lagi.
Masih dalam keadaan shok perlahan aku menengok ke arah kamera.
“Aku selalu ikutin kamu kak. Karena
kamu kakakku. Idolaku.” Ujarnya lagi dijepretan kedua.
“Kamu adikku beneran?” Tanyaku
berusaha mendapat kepastian.
Dia mengangguk perlahan. Memastikan
bahwa kata-katanya adalah benar. Entahlah berolah rasa menggugah dijiwa. Komplit
semua. Antara kaget setegah tidak percaya bahwa ternyata kami ini adalah saudara.
Kami satu Bapak lain Ibu. Pernah aku mengamatinya secara seksama ada sedikit
kemiripan di wajah kami. Namun aku tidak pernah berpikir sejauh itu. Dan
hebatnya dia bisa menyimpan dan membongkar ini semua tepat di hari ini.
“Aku nggak tahu kalau ayahku punya
anak lagi. Maaf ya… kenapa baru beritahu sekarang? Kenapa tidak dari dulu saat
ayah tiada?”
“Nggak apa-apa kok kak. Yang penting
aku lega. Kakak mau hadir diwisuda aku. Aku senang. Oh iya… itu kakaknya mama.
Aku manggilnya Ibu. Mamaku sudah nggak ada setelah ngelahirin aku.” Jelasnya
sambil menunjuk Ibu yang tadi memelukku erat.
Ada banyak tanya yang menggantung
dalam benak. Namun semua terjawab secara perlahan ketika dia bercerita panjang
lebar. Ternyata aku tidak sendiri. Kupikir setelah Ibuku tiada ayah tidak
menikah lagi. Namun ternyata dugaanku salah. Aku tidak pernah tahu bahwa ayahku
punya putra. Nasib kami berdua pun hampir sama. Ditinggal Ibu setelah berjuang
melahirkan kami.
“Panjang kalau kuceritakan jika kakak
mau tahu bagaimana caranya aku bisa sampai mencari dan menemuimu kak. Bahkan berkuliah
di kampus yang sama denganmu. Yang pasti aku sayang kamu kak” Ujarnya menjawab
pertanyaan yang kuajukan setelah kami foto bersama.
“Kalian kok mirip sih” Ujar temannya sembari
memperhatikan foto yang baru saja diambil melalui kamera digitalnya.
“Dia adikku…” Ujarku tersenyum menatap orang yang belepotan tepung di
wajahnya.
“Dia kakakku…” Ujarnya membalas lalu
merangkul pundakku erat.
* tamat*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar