"Lana... bukain dong..." Aku terus merayu dan merajuk agar sahabat baikku ini bergegas membuka pintu kosannya. Namun apa daya berualang kali kuketuk dan berulang kali aku berteriak sang empunya kosan tak juga menampakan batang hidungnya.
Semenjak kejadian di kafe dua hari yang lalu sikap Lana berubah. Dia masih saja diam seribu bahasa. Ketika kutanya hasilnya bagaimana, jawabanya hanya sesungging senyum yang kecut.
"Lan... buka dong... Aku beneran udah kebelet ini. Apa kata orang nanti kalau aku sampai pipis di depan pintu kosanmu. Bisa-bisa orang berpikir..."Ya ampun Lana itu tega ya sama temennya sendiri bla...bla...bla.." Ujarku lagi namun Lana tak juga menyahut. "Oke... kalau kamu nggak buka pintunya juga. Aku pulang aja. Aku beneran udah nggak tahan" Ujarku setengah mengancam dan pura-pura melangkah pergi.
Trikku berhasil, tak lama kemudian Lana membuka pintunya.
"kamu tuh ke sini cuma mau numpang pipis? atau mau nengok aku sih?" Ujar Lana dengan wajah acak-acakan. Sepertinya semenjak dari kafe kemarin dia belum mandi. Bergegas aku masuk ke kosannya dan menuju kamar mandi. Lega!
"Udahkan pipisnya? Sana ke kantor, udah jam berapa ini!" Ujar Lana setelah melihat aku ke luar dari kamar mandi. Aku sibuk melangkah lalu merebahkan diri menuju kasur busanya. meski tidak begitu empuk namun aku suka merebahkan diri di kasur ini. Adem. Bergegas aku mengambil remote tv dan mencari chanel berita favoriteku.
"Eh... kamu nggak kerja? udah jam delapan ini. Sana-sana kerja. kalau ada kamu, hibernasiku nggak akan maksimal" Lana menarik tanganku mencoba menyuruhku untuk bangun dari kasurnya. Dengan sigab aku mampu berkilah.
"Udah deh nggak usah berisik. Aku mau nonton berita. Stt... diem" ujarku lagi cuek dan serius memperhatikan televisi berukuran 14 inch.
"kamu nggak kerja?" Lana bertanya lagi sembari serius memperhatikanku.
"Lagi meliburkan diri. Takut Sahabatku bunuh diri" Jawabku cuek.
"bunuh diri? gila! Nggak ada istilah bunuh diri dalam kamus hidupku. kamu pikir aku mau masuk neraka?" Lana berujar membuatku menahan tawa. baguslah kalau pikirannya demikian. Aku tak menggubris kata-kata Lana. Lana menatapku sambil mendengus kesal. Aku sangat hapal kebiasannya. pasti tak lama lagi ia akan masuk ke kamar mandi. Dugaanku tepat. tak berapa lama setelah kudiamkan bergegas dia mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. begitulah sahabatku. Ia tidak bisa menjadi pemalas dan jorok jika ada orang lain bersamanya. Dia pasti mandi.
"Kamu beneran nggak kerja?" Tanya Lana sesaat setelah keluar dari kamar mandi. Ia berjalan menuju ke arahku yang tengah asyik menikmati sepiring ketoprak. Aku menjawabnya dengan gelengan kepala karena mulutku masih penuh terisi.
"Trus kamu ngapain ke sini?" Lana bertanya lagi sementara aku mencoba menelan ketoprak dalam mulutku.
"Aku ke sini karena udah lama nggak makan ketoprak bang Zaki. Kangen. ternyata masih enak rasanya." jawabku asal padahal kalimatku memiliki arti lain. Aku sangat khawatir terhadap Lana semenjak kejadian itu. Lana bergegas melempar handuknya ke arahku. Untung aku berhasil berkilah.
"Kamu tenang aja. Aku kan udah bilang waktu itu, bahwa aku siap terima risiko apapun. Aku nggak akan nangis kok, kan kamu lihat sendiri." Ujar Lana sambil serius menatapku. Aku tahu, ada sedikit kecewa di sudut matanya. Tapi, senyumnya seolah menghilangkan rasa khawatir pada diriku.
Bergegas Lana memeluk diriku. Aku tahu dia tak akan menangis. Pasti dia tak akan menangis! Aku membalas memeluknya erat. Bagiku dia adalah sahabat yang terhebat. Setelah melepaskan pelukannya, Lana seolah ingin mengatakan sesuatu padaku. matanya menatapku penuh, ia kemudian mengambil ponsel yang berada di sebelah tv. Ia menghubungi seseorang, tangannya menekan tombol call, tapi matanya tetap memandangku.
"mencintaimu itu...
Mencintaimu itu sungguh jauh, tak terjamah dalam rasa, hanya mampu memandang dalam layar.
Mencintaimu itu sungguh mbulet, tak ada simpul ikatan dan hanya melingkar-lingkar tanpa tujuan.
Mencintaimu itu sungguh lama, tak kunjung-kunjung datang hingga rasa menanti telah pergi.
Mencintaimu itu sungguh kacau, hanya kamu di setiap sudut bayang-bayang, buat diri terbebani." Lana kemudian mematikan ponselnya. Lalu memandangku dengan senyuman khasnya.
"Kamu telepon siapa?" tanyaku penasaran atas apa yang baru saja dilakukannya. Lana tidak memperhatikan pertanyaanku, tangannya kini sibuk menyendokan ketoprak pada mulutnya.
"Kamu habis telpon siapa Lan?" Tanyaku lagi penasaran. Sementara Lana berusaha mengunyah habis makanan dalam mulutnya.
"Aku habis telepon dia" Ujar Lana santai lalu melanjutkan suapan ketopraknya lagi.
"Dia siapa?" Tanyaku sedikit deg-degan.
"Dia... orang yang waktu itu aku telepon di kafe" jawab Lana cuek lalu tersenyum ke arahku.
"Kamu gila, Lan" ujarku tanpa beban. Aku menganga seolah tak percaya, Lana kemudian menyendokan suapan terakhir ke mulutku.
Wajahnya tersenyum penuh.
Published with Blogger-droid v2.0.4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar