Lana… (sebelum baca kisah ini silakan baca (klik) Menyatakan itu Menyatakan itu 2 dan Menyatakan itu 3 ) ^^v
Kini aku
menatapanya lebih lama. Ia nampak pucat meski riasan make up sederhana terlihat
di wajahnya yang merona. Sore ini tujuan utama Lana akan segera terlaksana.
Menemui pemuda yang disukainya hampir lebih enam bulan lamanya. Disukai atau
lebih tepat dijatuhi hati meski tanpa pernah bertatap muka hanya melalui dunia
maya saja.
Kalau
ingin kukatakan dan utarakan… sahabatku yang satu ini memang gila. Dia teramat
kukuh dengan pendapat yang dipertahankannya. Pernyataan rasa suka terhadap sang
pemuda yang pernah dilakukannya di kafe beberapa bulan lalu tak juga membuatnya
sadar atau kapok untuk terus menerus berucap bahwa ada hati untuk lelaki itu.
Aku sendiri merasa tertantang untuk mengikuti kisah Lana. Sahabat terbaikku
yang penuh ekspresi cinta.
Mengapa
kukatakan demikian? Entahlah… aku merasa cinta Lana sudah teramat dalam.
Terendam di dasar lautan Antartika. Malah mungkin lebih. Dalamnya lautan bisa
diukur namun dalamnya hati manusia siapa yang tahu? Hanya Tuhan… Ya hanya Tuhan
yang tahu.
Kalau buka
karena rasa sayang yang teramat besar terhadap sahabatku ini tak mungkin detik
ini aku masih setia mendampinginya di Solo. Tiga hari sudah kami bermukim di
sini. Bagiku ini waktu yang cukup lama dalam wilayah berpetualang karena
berdiam di satu tempat lebih dari dua malam. Harusnya kemarin Lana melaksanakan
tujuannya. Namun dia bilang keberaniannya belum cukup penuh untuk bertatap
langsung dengannya.
“Lan…
kamu beneran sekarang udah siap?” Aku bertanya sembari menatapnya yang serius
menelusuri setiap inci layar ponselnya. Ia sedang mencari sebuah alamat. Alamat
siapa lagi kalau bukan pemuda itu. Tapi yang dicari Lana bukan alamat tinggal
sang pemuda. Lebih tepatnya alamat pemuda itu bekerja. Setahuku… lelaki yang
disukai Lana memiliki sebuah kafe kecil di tengah kesederhanaan kota Solo.
“InshaAllah
sudah. Ini aku lagi googling tempatnya pakai google map. Tapi kayanya daerah
sini belum terdata deh” Ujarnya kembali serius menatap layar lalu
celingak-celinguk menatap jalan. Aku bertanya nama kafenya namun Lana hanya
terdiam tak mempedulikan tanyaku. Sangking seriusnya ia sampai tidak sadar
bahwa semenjak tadi aku lelah berdiri di tengah jalan seperti ini. Aku
mengambil ponsel dari genggamannya.
“Kembaliin
deh” Ujar Lana meminta ponselnya kembali.
“Makanya…
kalau ditanya itu dijawab atuh” Jelasku lalu berjalan meninggalkanya.
“Hei…iya-iya
sorry… habis aku bingung sendiri. Kok jalan di sini sama di peta bisa beda ya?”
Lana mengeluhkan sambil menyusul iringan jalanku.
Aku
membaca nama kafe yang tertera di ponsel Lana. Daerahnya memang berada di
sekitar kaki kami berpijak. Tak kehabisan akal bergegas aku bertanya kepada
warga sekitar yang lewat. Ternyata letak kafe yang dimaksud hanya berjarak 100
meter dari tempat kami berdiri. Lana terlihat senang dan mengeggam erat
lenganku.
“Makasih
ya cantik” Ujar Lana tersenyum. Aku pun mengangguk.
Kami
berjalan sengaja dipercepat agar lekas sampai. Namun ketika nama kafe itu hanya
berjarak tiga meter di depan kami Lana mulai memperlambat langkahnya.
“Kenapa?
Mau mundur? Kesempatan itu masih terbuka lebar kok” Ujarku memberi kesempatan.
Lana menggeleng dan tersenyum.
“Aku udah
cantik belom?” Tanya Lana polos dan aku hanya bisa menggeleng.
“Belom
cantik?” Pertanyaan Lana membuat aku bergidik. Sejak kapan dia menjadi begitu
perhatian terhadap penampilan dan wajahnya. Mungkin karena ingin bertemu dengan
pemuda yang dicintainya. Jadi ia ingin terlihat sempurna.
“Kamu tuh
cantik Lana… tapi sayang kamu nekat. Jadi cantiknya agak serem” Jawabku asal
dan setengah tertawa. Lana mencubit lenganku. Tak terima jika aku meledeknya di
situasi yang mungkin baginya begitu menegangkan.
Aku
bergegas menarik Lana masuk ke dalam kafe itu. Setelah mengambil posisi duduk
paling dekat dengan meja kasir aku menatap sekeliling. Tempat ini cukup
sederhana. Beberapa orang sedang asik bercengkrama menikmati minuman dan snack
makanan. Seorang pramusaji mengenakan celemek merah menghampiri kami.
“Es teh
manis satu. Cokelat panas satu ya” Ujarku langsung tanpa mempertanyakan apa
yang Lana pesan. Aku sudah terbiasa memesan ini. Antara aku dan Lana kami
selalu barter. Jika aku sedang mood dengan es teh manis… Lana akan memilih
cokelat panas sementara jika aku sedang mood dengan cokelat panas… Lana yang
akan meminum es teh manis.
Lana
terlihat mencari seseorang. Semenjak tadi matanya celingak celinguk. Aku
mendiamkan saja. Biarlah dia berdamai dengan dirinya sendiri. Seperti katanya aku
tak harus berbuat apa-apa. Cukup menemani dia senantiasa. Tak berapa lama
pesanan kami datang. Sebelum pelayanan pergi aku menanyakan satu hal yang
membuat Lana terdiam seribu bahasa.
“Mas… ownernya mana?” Sang pelayan terlihat
bingung dengan pertanyanku. Bergegas aku mengartikannya ke bahasa Indonesia.
Aku lupa bahwa tak semua orang paham dengan bahasa Inggris. Padahal aku juga
tak pandai-pandai amat. “maksud saya… pemilik kafe ini lagi ke mana?” Tanyaku
lagi dan pelayan tersebut menunjuk ke arah seorang pemuda yang sedang duduk
termenung di pojok sebelah kanan tepat sejajar dengan meja kami. Pemuda yang
ditunjuk sang pelayan menoleh.
Aku
terdiam seribu bahasa menatap orang yang ditunjuk sang pelayan. Wajahnya putih
bersih bersinar. Rambutnya sedikit ikal dengan potongan rapih. Kemeja putih
yang dikenakannya digulung sesiku
memperlihatkan bahwa kulitnya memang benar-benar putih. Seperti ada keturunan
china. Dia tersenyum ke arahku. Secara spontan aku menyenggol kaki Lana.
“Iya… dia
orangnya” Lana setengah berbisik berkata-kata. Entahlah saat itu aku merasa
berada di antara dua kutub. Seperti lapisan magma yang mengahangatkan ke
duanya. Di satu sisi Lana terdiam sambil menatap pemuda itu pun sebaliknya
dengan pemuda yang kini matanya tak beralih dari tatapan Lana.
Mengurangi
sedikit kekakuan yang hanya berjarak sekitar dua meter saja bergegas aku
menyeruput minuman yang ada di depanku. Sial… panas. Aku sudah kehabisan daya
ingat bahwa yang kuseruput begitu cepat adalah cokelat panas bukan es teh.
Lana
masih menatap pemuda itu dan sepertinya mereka terus saling bertatap. Tiada
kata-kata sedikitpun yang keluar. Mereka berbicara dalam tatapan bisu.
Sementara aku hanya memandangi mereka berdua secara bergantian. Ini sudah
terlalu lama hampir setengah jam. Aku menarik tangan Lana lalu menyuruhnya
untuk menyeruput minuman yang tadi kupesan. Lana menurut. Seperti biasa ia
menyeruput habis es tehnya.
“Kamu
Lana?” Tanya sang pemuda membuka suara. Tatap matanya serius menjurus menatap
Lana tanpa cela. Lana hanya diam. Lalu menjawab dengan sebuah anggukan. Sang
pemuda menggeleng seolah tak percaya.
Sang
pemuda bergegas berdiri lalu melangkah ke arah meja kami. Aku deg-degan
sendiri. Tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kini sang pemuda pujaan
Lana tepat duduk di samping Lana dan di sampingku. Ia berada di antara kami.
Lalu semua terdiam sunyi. Lama sekali.
“Mau
sampai kapan kita di sini Lan? Udah jam Sembilan malam ini?” Ujarku akhirnya
memecah sunyi ditengah kebisuan dua mahkluk yang sama sekali tak bertukar kata.
“Sampai
aku capek kalau aku suka sama dia” Ucapan Lana meluncur lantang. Sang pemuda
menoleh serius menatap Lana yang akhirnya berkata-kata. Sepertinya pertanyaanku
salah. Aku menyeruput habis cokelat panasku yang sudah mendingin.
“Kapan
kamu akan capek suka sama saya?” Pemuda itu melempar tanya.
“Kenapa
kamu harus tahu? Bukannya kamu bilang tidak? Entah “tidak” apa yang kamu
maksud.” Lana menjawab sedikit ketus. Dia seperti bukan Lana yang kukenal.
Sang
pemuda tersenyum. Lalu menggeleng. Ada tawa yang ditahannya. Sementara Lana
mendengus kesal. Tapi kaki kanannya menyenggol kaki kiriku keras. Sepertinya ia
memberikan kode. Aku bergegas menatapnya. Tapi Lana tak berucap atau berbuat
apa-apa. Aku seperti linglung sendiri.
“Kamu itu
kocak. Tapi saya salut karena sampai juga kamu di sini.” Pemuda itu kembali
berujar sementara aku seperti ketiadaan. Tidak dianggap apa-apa. Aku
mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Mencoba menghubungi seseorang yang mungkin
bisa kuajak berbicara. Mengacuhkan mereka berdua yang mengacuhkan diriku.
“Yuk
pulang” Ujar Lana tiba-tiba saat aku ingin membalas whatsapp temanku yang
ternyata belum kubalas sejak dua jam lalu.
“Jadi
udah… jauh-jauh cuma begini doang?” Tanyaku memancing Lana dan pemuda itu yang
menurutku tidak peka terhadap Lana. Entahlah aku tak akan pernah bisa menduga
apa yang ada di pikiran dan hatinya. Yang pasti dia hanya berujar beberapa
kalimat saja setelah itu terdiam seribu bahasa.
“Terima
kasih karena setidaknya kamu mau mengenal saya. Menghadirkan rasa suka pada
diri saya. Mengacukah pernyataan saya. Dan membuat saya terdiam lebih banyak
dari yang saya kira. Kamu hebat. Satu hal dari pertanyan kamu akan saya jawab.
Sebentar.” Ujar Lana tiba-tiba lalu seketika ia menutup kedua matanya. Aku
seolah bukan melihat Lana sahabatku.
“Saya
akan capek suka sama kamu sampai kaki saya keluar dari tempat ini. Sampai tidak
ada lagi rasa yang bisa membuat saya berdiri dan menoleh ke arah kamu. Sampai
kamu tetap tidak menggubris saya. Mungkin sampai saat ini saja.” Ujar Lana
berkata-kata membuat aku berdecak hebat.
Kawanku yang luar bisa begitu beraninya
menyatakan rasa. Sebelum kaki melangkah aku sempat mengeluarkan selembar uang
bergambar soekarno hatta. Namun sang pemuda menolaknya seolah ingin mentraktir
minuman yang kupesan tadi.
Lana
keluar dengan mantap. Tidak sedikit pun menoleh pada sang pemuda. Aku menatap
sang pemuda meski langkahku berjalan ke depan. Sang pemuda bermuka kecewa.
Entah apa yang ada dipikirannya. Tiada bisa kutebak dan kuterka. Au mengejar
langkah Lana. Menarik tangannya yang berkeringat dingin. Lana menatapku hangat.
Dia tersenyum penuh. Ada kelegaan di matanya.
“Aku udah
lega. Maksih ya Cantik.” Ujar Lana lalu merangkulku erat. Kami berjalan
beriringan meski segudang tanya dan kata-kata dalam otak dan mulutku tertahan.
Setidaknya aku melihat Lana tersenyum cukup membuatku tenang. Perasaannya sudah
tersampaikan. Tak peduli apa ekspresi sang pujaan.
“Kamu
hebat Lan. Meski tetap pada taraf gila” Ujarku asal setelah melewati
serangkaian perjalanan cinta Lana pada pemuda yang kurasa senang tersenyum dan
berkata jujur.
“Segila-gilanya
aku nggak akan sampai segila kamu. Mau-maunya nemenin orang gila kaya aku
nemuin orang yang disuka terus jadi pendengar begitu aja” Lana menyindirku yang
memang nyatanya begitu. Aku tersenyum setengah dipaksakan.
“Temannya
orang gila ya memang harus lebih gila lagi Lan” Jawabku sekenanya. Lana
tertawa. Solo sunyi ikut tertawa mendengar kegilaan yang baru saja terjadi.
Lagu Kahitna terdengar nyaring…” Bilakah dia tahu… apa yang tlah terjadi. Semenjak
hari itu hati ini milikinya…” Langkah Lana terhenti. Begitupun denganku. Suara
ponsel milik Lana berdering
“Ini dari
Dia…” Ujar Lana memastikan meski ponselnya masih berada dalam tas genggaman.
Aku yakin Lana tak berbohong karena suara ponsel Lana biasanya bernada lagu
“Cantik” Mungkin untuk nomor sang pemuda ringtonenya dibedakan. Lana menatapku
seolah minta pertimbangan apakah boleh untuk mengangkatnya. Aku mengangguk
memberi jawaban. Lana mengangkat telponnya.
Solo
sunyi kembali…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar