Rabu, 24 Juli 2013

Menyatakan itu...

Just say it!
"Menyatakan sesuatu itu risikonya cuma dua: Diterima atau Ditolak" Ujar Lana lalu menyeruput habis segelas es teh manis yang semenjak tadi berdiam diri di hadapannya.

"Iya... itu kalau menyatakan pendapat. Malah bisa juga ada satu tambahan jawaban" Jelasku memandangnya penuh arti.

"Apa?" Lana antusias menatapku dengan bola mata yang penuh.

"Didiamkan..." Jelasku tegas

"Didiamkan itu bisa masuk kategori ditolaklah... eh tapi ada sebagian yang bilang kalau diam itu berarti iya. Alias diterima. Betul nggak?" Lana mulai berulah pendapat. Aku hanya bisa menjawab dengan desahan perlahan.

"Kamu yakin sama apa yang akan kamu lakukan? Kok aku ngelihat kamu jadi miris gini ya. Kamu Lana bukan sih? Kamu kenapa jadi obsesi kaya gini sih? Mana Lana yang diam dan selalu menunggu hasil daripada mempertanyakannya?" Aku mulai terpancing emosi oleh sahabat terbaik ini. Dia sekarang berbeda dengan yang dulu. Oke... manusia pasti berubah. Tapi kenapa berubahnya jadi begini.

"Lana yang sekarang beda sama Lana yang kuliah enam tahun lalu Sayang. Lana yang sekarang sudah jengah menunggu. Satu-satunya cara agar tak senantiasa digantung oleh perasaan seperti ini ya itu tadi menyatakannya. Lagian tidak ada yang salah dengan hal itu. Biar lega! Toh undang-undang juga mendukung di pasal 28 untuk kebebasan berpendapat. Termasuk berpendapat tentang cinta" Ujar Lana lalu membolak-balikkan menu makanan. Sepertinya dua gelas minuman tak juga membuat kerongkongannya basah. 

Lana memesan minuman lagi. Aku menolak tawarannya karena cokelat panasku masih tersisa setengah gelas meski sudah dingin.

"Terus... kapan kamu mau lakukan itu?" Tanyaku penuh selidik.

"Saat ini juga. Di depan kamu!" Jelas Lana bergegas mengeluarkan ponsel mungilnya yang berwarna oranye dan memijat-mijat tombol. Dengan tangkas aku mengambilnya. "Hey... kembalikan. Aku lagi serius!" Ucap Lana mendengus kesal ke arahku karena ponselnya kini berada di tanganku.

"Lan... aku takut. Kamu kenapa sih?"

"Aku nggak mau digantung perasaan. Biar jelas! biar aku juga nggak banyak berharap! Lagi pula aku takut dosa memendam cinta terlalu lama dan berharap dia mau membalas cintaku. Kalau sudah terjawab kan jelas jadinya kaya apa nantinya" Jelas Lana dengan emosi yang terasa di hati. Tangannya mengadah meminta ponselnya untuk segera dikembalikan.

"Tapi kamu kan..." Belum sempat aku meneruskan kata-kataku dia sudah memotongnya.

"Apa? Perempuan? Pamali? Ah sudahlah... ini demi masa depanku sendiri. Aku sudah siap terima risiko apa pun! Toh kalau lewat telpon hanya aku dan dia yang tahu. Oh Tuhan juga tahu. Kamu juga tahu. Aku butuh kepastian!" Ujar Lana meyakinkanku. 

Sejenak aku berpikir ada benarnya juga apa yang dikatakan Lana. Aku tak bermaksud membelanya. Hanya saja aku tahu rasanya meski sedikit. 

"Ayolah... aku hanya butuh dukunganmu. Kamu nggak usah ngapa-ngapain. Cukup disampingku saja. Dengarkan aku menyatakan padanya. Kalau diterima kamu akan kuajak bersorak di sampingku. Kalaupun ditolak kamu bisa menjadi sandaranku. Tapi sih aku nggak yakin akan menangis jika ditolak." Jelas Lana mulai berulah pendapat lagi.

"Kamu itu aneh... bertemu dengannya belum pernah. Kenal juga lewat dunia maya. Lalu kamu mau bilang kamu suka? Bahkan niat melamar jadi istrinya. Kamu gila Lana!" jelasku pada akhirnya.

"Justru aku nggak ingin jadi gila! Meski belum pernah ketemu aku beneran suka dia. Toh aku juga cari tahu latar belakang hidupnya. Lengkap sudah kok. Entahlah aku rasa Tuhan sayang sekali sama dia. Aku rasakan pancarannya di sini" Ujar Lana sambil menunjuk ke arah hatinya. "Kami berinteraksi lewat dunia maya juga sudah lama. Meski semua datar-datar saja entah kenapa aku ngerasa dia begitu spesial. Ah tahulah... aku suka... gimana dong? Aku juga nggak pacaran kan kamu tahu sendiri. Satu-satunya cara ya itu tadi... menyatakan dan bahkan mengukapkan keinginan jadi istri. Kalau ditolak ya risiko ditelen sendiri!" Ujar Lana panjang lebar. Aku menyerah dan segera kukembalikan ponsel miliknya.

Kuakui kehebatan Lana. Ia memang seorang yang ambisius tapi untuk cita-citanya. Baru kali ini dia seambisius bahkan seobsesi itu terhadap perasaan yang dibangunnya sendiri. Entahlah dalam hati aku hanya bisa mendoakan yang terbaik. Apapun hasilnya aku setia berada di sampingnya.

Kulihat Lana tengah menekan tombol call. Matanya menatapku penuh. Aku di depannya hanya mampu berdoa dan memandangnya dengan serius.

"Halo... Assalamualaikum. Apa kabar? Sorry malam-malam ganggu. Aku cuma mau menyampaikan sesuatu. Ini penting buat aku. Aku suka sama kamu. Aku mau jadi istri kamu..." jelas Lana lancar tanpa terbata sedikitpun. Mendadak diriku yang keringat dingin. Lana terdiam... sepertinya lawan bicaranya mengatakan sesuatu. Aku tak bisa mendengarnya. Perlahan Lana mengamit lenganku. Kurasakan tangannya gemetar dan dingin. Lalu ia tertunduk. Lama...


lama sekali....
Hasilnya? Hanya Lana... Laki-laki itu... dan Tuhan yang tahu.

3 komentar:

  1. "Lagi pula aku takut dosa memendam cinta terlalu lama dan berharap dia mau membalas cintaku. Kalau sudah terjawab kan jelas jadinya kaya apa nantinya." Beuh, Rei gue suka dialog ini. Hahhahah... Tapi, gue juga boleh tambahkan satu kalimat lagi pada akhir cerita? Boleh kan? boleh dong! "Malaikat juga tahu, aku yang jadi juaranya..." *ini mah kutipan lagu #LOL

    BalasHapus
  2. hahahaha boleh-boleh banget. wah makasih ya akhirnya kamu mampir juga ke dunia saya *senangnya* ^^//

    BalasHapus
  3. ini akan ada lanjutan lagikan?

    BalasHapus