Kamis, 18 Juli 2013

Ketika Emosi diuji



siang ini panas tak begitu bringas. Hanya saja lalu lalang kendaraan tak berhenti bergerak sehingga menciptakan gesekan pada aspal yang membuat suhu dan kepekatan udara meningkat tajam.

Langkah kaki ini segera terhenti di depan kios mungil bercat putih yang sudah semakin memudar. Seorang lelaki paruh baya dengan kaca mata cokelat keemasannya bersandar pada sebuah kursi dan menatap serius pada layar pc di hadapan.

"Pak... Beli pulsa" Ujarku memecah sunyi. Seketika sang Bapak segera berdiri sembari menyerahkan buku tebal ke arahku. Sudah paham dengan apa yang dimaksud buku itu lantas kuterima dan kubuka. Segera saja kutuliskan angka-angka tak berurut yang kuhapal. No ponselku kini tertera di buku itu. 

"25 ribu ya?" Ujarnya memastikan apakah aku benar mengisi sejumlah itu. Aku mengangguk dan segera mempersiapkan uang yang semenjak tadi kupegang berjumlah Rp26.000. 

Sang bapak segera saja memijit-mijit tombol ponselnya. Aku tidak begitu peduli segera saja beranjak pergi karena sudah terbiasa pasti pulsa nanti juga masuk sendiri. Ponselku kutinggal di kosan sehingga aku tidak bisa memastikan apakah pulsaku sudah terisi atau belum. 

Bergegas kakiku berkelok menuju mini market yang tak jauh dari tempatku membeli pulsa. Berbagai bahan makanan kubelikan bermaksud memenuhi kulkas yang menyisakan beberapa jenis makanan saja. Selesai belanja... dengan mantap aku menuju kasir. Total belanja tak sampai Rp60.000 maka kugunakan kartu Mandiriku untuk melakukan pendebitan. Anehnya sang kasir malah menggesekkan kartuku pada mesin yang bertuliskan "BCA". Protes karena tak sesuai sang kasir malah bilang bahwa kartuku adalah BCA. Kujelaskan berkali-kali bahwa kartuku adalah Mandiri dia tak peduli. Segera saja dia menunjukkan di layar bahwa kartuku termasuk dalam wilayah bank BCA. 

Ada emosi di pinggir hati yang tak lagi berminat menanti. Kudiamkan sang kasir melakukan apa yang ingin dia lakukan. Terserah! Dia menyodoriku alat debit agar aku memasukkan pin-pin rahasia. Sudah kumasukan berkali-kali namun hasilnya adalah gagal. Aku tak ingin banyak bicara jadi kudiamkan dia dalam bimbang. Padahal tadi sudah kujelaskan bahwa atmku adalah mandiri. Jelas-jelas tertulis di situ.

Dua kali dicoba dan gagal akhirnya ia mencoba menggesekan kartuku pada sebuah alat yang bertuliskan Mandiri. Sekali gesek dan sekali memasukan no pin hal itu ternyata berhasil. Aku memandangnya datar sungguh tak ada perasaan dendam. Dia tersenyum cengengesan tanpa meminta maaf dan kubalas dengan diam.

Selesai transaksi dia memberiku struk dan mengucapkan terima kasih. Aku tetap terdiam tak beranjak dari hadapannya. Bagaimana mungkin aku tidak mengambil kartuku kembali. Dia malah mengacuhkanku dan mempersilakan konsumen di belakang untuk maju. Aku tetap diam... mencoba sabar dan paham bahwa dia lupa dan alpa. Tapi tetap saja tidak ada respon apa-apa. Sampai akhirnya aku lelah juga kuputuskan untuk mengingatkannya.

"Atm saya mana Mbak?" Ucapku datar tanpa pasang senyuman. Aku masih berusaha menahan. Dia terkaget lalu mencari atmku dan bergegas memberikan. Benar-benar di luar dugaan. Dia diam saja tanpa rasa bersalah padahal sudah berlaku tak berkenan. 

Aku bergegas beranjak ke luar menuju kosaku yang kutinggalkan sebentar. Sampai di kosan kucek ponselku untuk memastikan apakah pulsanya sudah masuk atau masih tertanggal. Dan firasatku benar. Belum ada pemberitahuan bahwa aku baru saja melakukan pengisian pulsa. Segera kembali lagi kaki ini berjalan menuju kios kecil di sebrang. Sang Bapak masih dengan posisi awal: duduk terdiam.

Kuutarakan maksud kedatanganku secara baik-baik. Namun sayang semua tak berterima. Dengan kokoh dia menyatakan bahwa transaksi berhasil dilakukan. Kuserahkan ponselku dan kusuruh dia mengeceknya bahwa tidak ada penambahan dalam jumlah pulsa. Aku bersikeras meminta hakku dan tanggung jawabnya. 

Sang bapak malah menuduhku menggunakan berbagai paket yang memungkinkan pulsaku langsung tersedot. Bagaimana mungkin? nomor yang kuisikan pulsa adalah nomor baru yang belum sempat aku apa-apakan. Kujelaskan padanya agar paham namun hasilnya kami sama-sama terdiam. Aku tak bermaksud menyalahkan hanya saja yang kubutuhkan ini semua selesai.

Kau tahu? Emosiku tergantung pada langit-langit suara. Suaraku padam dan parau. Kuusahakan tetap demikian. Dan aku memutuskan kembali ke kosan dengan segala emosi yang tertahan. Sebelumnya kukatakan kepada sang bapak bahwa nanti sore jika tak ada pemberitahuan apapun kaki ini akan kembali lagi. Meminta hakku yang belum kuterima.

Ini semua bukan sekadar meminta hak namun juga membenarkan porsi diri dan ahlak. Kita lihat sampai seberapa kuat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar