Minggu, 21 Juli 2013

Sepenggal kisah Supir Bajaj

bajaj
Sore itu di sebuah  restoran tempat makan sederhana yang berada di pinggir jalan saya memesan steak nasi padang dengan lauk ayam bakar komplit dengan aneka kuah serta tambahan lalapan daun singkong muda yang menggiurkan. Sehabis memesan saya mencari bangku. Ada satu bangku di pojokan yang tersisa buat saya. Sepertinya Tuhan tahu dan sengaja mempersiapakan diri ini untuk duduk di bangku itu.

Sambil menyeka keringat yang mengucur deras pada dahi dan leher menggunakan handuk kecil yang sudah tidak layak dikatakan berwarna putih... saya menghembuskan napas perlahan. Napas itu seolah mampu mengganti seluruh lelah saya yang semenjak pagi hingga malam ini tak pernah berhenti menarik penumpang melalui kendaraan termahal yang sampai saat ini saya miliki "bajaj" demi mencari sesuap nasi serta mengais-ngais rezeki di bumi milik Allah ini.

Tak berapa lama makanan saya datang. Meski tiap hari saya hanya mampu mengumpulkan Rp100.000-Rp150.000 saya tetap bersyukur karena masih bisa menyantap makanan enak dan lezat meski sederhana dan di tempat seperti ini. Bagi saya tempat ini sudah cukup mewah. Banyak orang yang berseragam kantor pun makan di tempat seperti ini. Saya merasa lebih baik dan mengistimewakan diri ketika makan di tempat ini. Meski kadang teman-teman lain selalu melempar iri dan rasa dengki dengan mengatakan saya sombong dan belagu karena terkadang makan di tempat ini... padahal tidak selalu. 

Suatu ketika seorang teman pernah bertanya kepada saya kenapa lebih makan di tempat makan seperti ini ketimbang di warteg. Dengan enteng saya menjawab bahwa saya ingin membahagiakan dan mengistimewakan diri saya sendiri. Setelah lelah menarik bajaj tentu ada sesuatu yang ingin terbayarkan melalui hasil kerja keringat saya hari ini. Salah satunya memberikan keistimewaan untuk pencernaan saya agar senantiasa kuat dan bersemangat hingga dapat menghasilkan energi hebat agar saya tetap kuat mengais rezeki. Toh tak ada yang salah dengan apa yang saya lakukan. Saya juga tak merugikan orang lain.

Saya memang bukan seperti supir bajaj kebanyakan yang senang menghabiskan makan di warteg pinggir jalan dan menghabiskan waktu dengan obrolan yang mengeluhkan. Sesekali saya pernah ikut makan bersama teman-teman supir lainnya namun apa daya. Bukannya energi positif yang bisa membuat saya semangat berkerja yang saya dapatkan justru ungkapan kalimat-kalimat keluhan dan penyesalan kenapa terlahir dalam kondisi demikian. Daripada badan saya yang sudah lelah tertiban dengan pikiran-pikiran yang membuat saya jauh dari rasa syukur lebih baik saya mengasingkan diri dan menghindar. Mencari suasana yang lebih baik lagi. Toh hal itu akan berdampak pada diri sendiri. Bukankah lingkungan mempengaruhi diri lebih besar?

Meski harga makanan di tempat ini terpaut sekitar Rp15.000 dibanding di warteg... saya lebih rela. Toh di tempat ini saya bisa makan dengan damai. meresapi setiap rempah dan bumbu yang berlimpah di sepiring nasi saya. Sambil bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menikmati makanan yang tak lain dan tak bukan adalah rizki dari Rabbi.

Lebih dari itu semua ada beberapa hal yang banyak saya dapatkan di tempat ini. Saya bisa mendengar orang-orang yang berseragam kantoran saling membicarakan tentang mimpi dan harapan mereka. Membuat saya juga berani bermimpi meski saya hanya seorang supir bajaj. Terkadang mereka juga membahas tentang buku-buku bacaan yang memang tak pernah terjamah oleh saya.

Saya memang senang mencuri dengar setiap obrolan atau kalimat-kalimat yang keluar dari mulut-mulut pekerja kantoran yang berpendidikan seperti mereka. Karena terkadang apa yang mereka obrolkan mempu menambah pengetahuan dan wawasan saya. Beberapa di antara mereka yang saya tahu senang sekali berkata-kata seperti orang yang membaca puisi. Mereka masih muda dan penuh energi. Pancaran semangat mereka kadang mengenai diri saya.

"Sob... udah pernah denger syair Imam Syafii'i belum?" Salah seorang dari mereka yang memang sering berkata-kata mulai memancing tanya kepada tiga rekannya. Seketika kuping saya terpasang lebar dan besar. Saya tidak ingin melewatkan satu kata pun dari mulutnya.

"Denger ya Sob... ini bagus banget" Ujarnya lagi dan saya mengentikan makan saya sejenak.

"Pergilah dengan penuh keyakinan! Niscaya akan engkau temukan pengganti semua yang engkau tinggalkan.


Bekerja keraslah karena hidup akan terasa nikmat setelah bekerja.

Singa hutan dapat
 menerkam mangsanya setelah ia tinggalkan sarangnya.

Anak panah tak akan mengenai sasarannya, jika tak beranjak dari busurnya.

Andaikan mentari berhenti selamanya di tengah langit, niscaya umat dari ujung barat sampai timur tentu akan bosan.

Emas bagaikan debu sebelum ditimbang menjadi emas.

Pohon cendana jika pada tempatnya tak ubahnya pohon2 untuk kayu bakar." Selesai ia membacakan syair itu seketika teman-temannya bertepuk tangan. Sementara saya ikut bertepuk tangan meski dilakukan di dalam hati saja.

Saya tidak pernah mendengar syair seindah itu. Saya paham sekali maksud dan tujuan dari syair itu meski saya bukanlah orang yang berpendidikan. Semangat bekerja saya tumbuh. Lebih parah malah mengakar lebih kuat dan hebat. Dengan semangat 45 segera saya habiskan makanan yang ada di hadapan saya. Setelah selesai segera saya membayar dan entah kenapa saya berani berpamitan pada sekumpulan pemuda kantoran tadi.

"Mas terima kasih, ya." Ucap saya disertai senyuman terbaik yang saya punya. Meski mereka merasa aneh tapi hati saya tetaplah merasa tenang dan senang. Bergegas saya menyalakan mesin bajaj saya dan siap bertualang mengais rezeki di malam ini.

Tangerang
Untuk supir Bajaj, supir kehidupan keluarga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar