Gosip |
“Woi…
ngelamun aja. Hati-hati ayam tetangga bisa mati” Andre mengagetkanku yang
tengah berlayar dalam lautan pikiran semenjak tadi. Aku tersenyum menatapnya.
Ia kemudian duduk di sebelahku dan memesan minuman. Aku menyeruput habis air
mineralku. Berusaha meredam panas di tenggorokan sekaligus mendinginkan pikiran
yang agaknya mulai kacau.
“Lo nggak mau
cerita sama gue? Mumpung kerjaan gue udah kelar nih.”Andre memancing lagi.
Sudah semenjak kemarin Andre memintaku bercerita terhadap masalah yang aku
temui. Aku tahu maksudnya baik. Tapi entah kenapa rasanya malas membicarakan
atau sekadar mengklarifikasi hal yang tak perlu.
“Lo suka kan
sama Tara? Udah deh. Nggak ada yang bisa Lo sembunyiin dari gue.” Andre
menyenggol lenganku. Aku tertunduk sesaat. Sudah berapa orang yang menebak
seperti ini. Namun sayang tebakannya selalu tidak tepat.
Aku menggeleng
perlahan. Mencoba menjawab dengan yakin terhadap apa yang aku rasakan.
“Lo seriusan?
Tapi gosip yang beredar menunjukkan bahwa orang yang lo taksir itu Tara.” Andre
menatapku serius. Pada akhirnya aku hanya bisa membuang napas secara perlahan.
Lingkungan di kantorku memang baik. Namun untuk urusan berita burung yang
tersiar ke mana-mana selalu saja tak pernah akan baik. Namanya juga gosip.
Cepat menyebar luas tanpa pernah jelas. Apakah berita yang beredar itu benar
atau tidak. Namun lebih banyak yang bertolak belakang dari gosip yang
dibicarakan. Lebih menyedihkan lagi… sahabatku Andre kini ikut-ikutan. Padahal
dulu dia tidak seperti itu.
“Jangan kemakan
gosip. Nggak bener tuh berita!” Aku menjawab dengan tegas. Andre kemudian
mengangguk mencoba memahami rangkaian kata yang kuberi.
Harus kuakui
beberapa minggu belakangan ini aku sering berurusan dengan Tara. Bukan
karena suka atau ada segenggam rasa. Tapi karena memang pekerjaan yang memaksa
untuk lebih banyak berhubungan dengan dia. Itu pun kurasa hanya sekadarnya.
Obrolan tak jauh-jauh dari proyek yang tengah kami kerjakan bersama. Bahkan
terkadang beberapa kali kami sampai makan siang bersama. Mungkin kedekatan ini
yang ditangkap beberapa pasang mata oleh rekan kerja lainnya dan ditengarai
sebagai objek pemicu lahirnya kabar burung tak tentu itu.
Seandainya saja
boleh memilih rekan kerja, pastinya
aku lebih memilih dengan lelaki. Namun karena atasanku sendiri yang meminta, aku tak bisa mengelak atau menolak.
Aku tak pernah memilih tempat sepi untuk sekadar membicarakan proyek dengan
Tara. Agar tak timbul bisik-bisik dari mulut yang teramat lincah berulah. Namun
ternyata dengan berdiskusi di tempat ramai dan terang justru memantik gosip
yang lebih garang. Malah kemarin sampai terang-terangan “mereka” menyangka
bahwa aku sengaja berlaku demikian untuk sekadar memamerkan.
“Tapi Gra…
tadi siang Tara ngomong ke gue lho. ..” Andre mulai membuka kata-kata. Aku
menoleh ke arahnya.
“Ngomong
apa?” Tanyaku sekadar ingin tahu. Sebenarnya pikiranku berlayar ke tempat lain.
“Dia suka
sama Lo... “ Ucapan Andre membuatku terdiam. Aku menghela napas perlahan.
Kecurigaanku ternyata berbuah nyata. Memang agaknya ada yang berbeda dengan
Tara selama kami bekerja bersama. Dia terlihat begitu perhatian meski menurutku
berlebihan.
“Andre… ini
sebenarnya yang juga lagi gue pikirin. Gue takut kalau Tara suka sama gue.
Ternyata kejadian.” Ungkapku terlampau jujur. Mungkin saatnya aku bercerita
semua.
“Loh… kalau
Tara suka sama lo emang kenapa? Dia cantik… pinter. Pun halnya dengan Lo.
Ganteng.. pinter. Cocoklah Lo berdua. Terus masalahnya apa? Lo nggak suka dia?”
Pertanyaan Andre membuatku tersenyum perlahan.
“Ndre… ada
yang mau gue kasih tahu ke Lo dan rekan-rekan lainnya. Harusnya nggak sekarang.
Tapi berhubung Lo bilang kalau Tara tadi bilang ke Lo kalau dia ada rasa sama
gue sepertinya hal ini harus gue kasih tahu ke Lo.” Ujarku memulai pembicaraan.
“Lo mau
ngomong apaan sih? Kok jadi serius gini.?” Andre bertanya lagi.
“Lo tahu
Mbak Wina?” Tanyaku dan Andre terlihat berpikir.
“Mbak Wina
bagian adminstrasi yang keluar dua bulan yang lalu dari kantor kita?” tanya
Andre mencari kepastian dan aku mengangguk mantap. “Kenapa sama dia? Jangan
bilang lo suka sama dia?” Andre menebak dan aku mengangguk mantap.
“Lo serius?”
Andre sepertinya tidak percaya dengan anggukan kepalaku.
“Tiga minggu
lagi Insha Allah gue nikah sama dia. Gue rencananya baru mau nyebar undangan H-
satu minggu. Tapi berhubung gosip yang menyebar udah cukup memekakkan telinga
maka sepertinya akan gue percepat di minggu ini nyebarnya. Dia keluar dari
kantor karena emang gue yang minta.
“Nugraha… Lo
seriusan?” Andre setengah tidak percaya mendengar pernyataanku barusan. Namun
mau gimana lagi. Jika Tara sudah mengatakan itu ke Andre biar tidak terlampau
jauh dia berharap lebih baik diberitahu sesegera mungkin.
“Serius
Gue.. Nah gue minta tolong sama Lo. Mungkin bisa bantu nyampein hal ini ke
Tara. Biar dia nggak terlalu berharap lebih sama gue.” Jelasku perlahan
“Hmm… Tapi
Gra… rasa suka itu kan hak setiap orang.”
“Iya… gue
tahu… Tapi hal ini memang harus segera gue sebarkan. Demi kebaikan diri dan
calon gue juga. Masa jelang pernikahan gue ada gosip santer kaya gitu. Ya udah…
Lo doain gue deh.” Ujarku akhirnya lalu berdiri. Setelah membayar air mineral
aku pamit ke Andre untuk kembali ke ruangan kerja. Andre menyusulku. Kami
berjalan beriringan.
“Gra… kalau
boleh jujur nih ya… Sebenernya gue yang suka sama Tara. Makanya pas denger
gosip kaya gitu gue mau cari tahu ke Lo. Lagi pula Tara bilang kalau dia suka
sama Lo. Eh ternyata Lo malah mau nikah sama Mbak Wina.” Andre bercerita saat
di dalam lift. Aku tersenyum saja mendengarnya. Sebenarnya aku pun sudah
menduga hal itu. Namun aku menunggu sampai Andre yang cerita sendiri.
“Yaudah Lo
seriusin aja. Gue doain yang terbaik buat Lo.” Nasihatku lalu pintu lift
terbuka.
Tara berada
di depan kami kini. Ia tersenyum ke arahku lalu masuk. Kami bertiga kini berada
di dalam lift.
“Kalian
habis makan siang?” Tara membuka percakapan. Aku menggeleng sembari tersenyum.
Sementara Andre menjawab pertanyaan Tara.
“Eh…
semuanya gue duluan ya. Mau ke ruangan Pak Setyo. Mau minta izin cuti” Ujarku
lalu keluar dari lift di lantai 6.
“Cuti? Dalam
rangka apa? Mau jalan-jalan ya?” Suara Tara membuatku menoleh ke dalam lift
yang masih terbuka. Mungkin ini saat yang tepat.
“Cuti nikah.
Doain ya” Ujarku tersenyum lalu kembali membalikan badan. Terdengar suara pintu
lift yang tertutup. Semoga ini yang terbaik.
*Tamat*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar