Kelengkeng |
Buah
yang memiliki daging berwarna putih agak jernih ini tergolong sebagai salah
satu buah kesukaan saya. Lho? Kan tadi sudah dijelaskan di atas. Kenapa
pernyataanya diulang lagi?
Hehehe
hal ini tak lain dan tak bukan karena memang saya suka. Selain suka dengan
rasanya buah ini juga menyimpan kenangan yang teramat berarti buat saya.
Kenangan
macam apa itu? Mau tahu aja atau mau tahu sekali?
Hehehe
baiklah saya akan berbagi kisah tentang buah yang menjadi teman hidup saya
selama tiga tahun lamanya ini. Wew, teman hidup. Lebai amat. Memangnya kamu
tinggal di pohon kelengkeng? Dengan jelas saya mengatakan tidak. Tapi lebih tepatnya
saya tinggal di bawah naungan pohon kelengkeng.
Dulu…
saat saya di Tumpang (Malang JATIM) rumah kakek saya memiliki sebuah pohon
kelengkeng yang teramat besar. Pohon kelengkeng tersebut mampu memberikan
keteduhan rumah kakek sekaligus memberi keteduhan pada jalan utama di depan
rumah. Sangking besarnya, butuh tiga orang yang saling berpegangan tangan untuk
memeluk batang pohon tersebut.
Pohon
kelengkeng tersebut termasuk salah satu dari dua pohon kelengkeng terbesar di
jalan Puntadewo. Setiap musim kelengkeng tak jarang banyak anak-anak kecil yang
menjentikkan ketapelnya berharap mendapat segerombol kelengkeng yang jatuh. Saya
yang saat itu duduk di kelas lima sekolah dasar pun turut menjadi bagian dari
tingkah polah anak-anak tersebut. Bedanya saya mengambil kelengkeng menggunakan
senggek atau sebuah kayu panjang yang
bagian kayunya telah dibelah dua.
Bersama
adik yang saat itu masih duduk di kelas satu, kami senang melakukan hal itu.
Meski panas matahari terik menyinari, tapi itu semua tak pernah menjadi masalah
buat kami. Toh kami memiliki rimbunan keteduhan yang berasal dari daun-daun
pohon kelengkeng besar. Kalau kami beruntung, setiap pagi pasti kami menemukan
sebutir dua butir buah kelengkeng yang terjatuh. Mungkin akibat dimakan hewan
bersayap di tengah malam.
Rasanya? Jangan ditanya manisnya seperti apa. Lebih
manis dibanding gula. Terlebih itu pohon milik sendiri. Jika buahnya sudah over
dosis banyaknya, barulah nenek menyuruh orang untuk memanenkan buahnya. Soalnya
kalau tidak dipanen pasti akan menyebabkan kotor halaman teras. Maklum, teras
rumah kakek sangat besar dan biasanya digunakan untuk membuat perabotan meuble yang memang menjadi usaha kakek
dan nenek. Kalau yang memakan hewan-hewan bersayap pastilah mereka senantiasa
meninggalkan jejak berupa kulit kelengkeng dan biji.
Saya
dan adik selalu saja senang menunggu saat-saat sang pemanen turun dengan sak
beras berwarna putih yang penuh terisi. Sembari menunggu biasanya banyak hal
yang kami berdua lakukan. Dari mulai bermain karet (dengan mengikatkan salah
satu bagian karet ke batang pohon kelengkeng) sampai bermain petak umpet
(menjadikan batang pohon kelengkeng tersebut sebagai tempat hoong *gerakan menepuk pada bagian yang
dijadikan acuan jika ada teman yang tertangkap). Pohon tersebut senantiasa jadi
sarana bermain kami. Kami sudah seperti teman.
Jika sang pemanen sudah mulai turun, itu
menandakan saatnya permainan usai dan waktunya untuk mencicipi buah dari pohon
yang kami ajak bermain tersebut. Tanpa perlu meminta, sang pemanen bergegas
menyerahkan beberapa ikat kelengkeng yang berisi lebih dari dua puluh butir.
Mantap.
Biasanya
orang yang memanen buah kelengkeng di rumah nenek dan kakekku berhak mendapat
kelengkeng sebanyak yang dia mau. Kata Kakek, itu buat mereka jual lagi.
Sementara nenek dan kakek hanya mengambil sedikit kelengkeng karena mereka
sudah tua dan tidak boleh makan buah kelengkeng berlebihan. Jadilah setiap
panen saya dan adik membawa buah kelengkeng yang diberi oleh pemanen ke sekolah
untuk dibagi ke teman-teman di kelas.
Tapi
sayangnya pohon kelengkeng itu sekarang sudah tidak ada. Selain karena beberapa
rantingnya yang besar berjatuhan dan patah membahayakan banyak orang di
bawahnya, juga karena di area tersebut dibangung rumah sehingga pada akhirnya
ditebanglah pohon kelengkeng raksasa tersebut. Panjang ceritanya kalau dijelaskan
lebih detil. Bisa-bisa nanti menjadi
sebuah novel “Kisah Pohon Kelengkeng” hehehe jadi intinya pohonnya sudah tidak
ada sekarang.
Kenapa
tiba-tiba saya menuliskan tentang kelengkeng. Entahlah saya juga tidak tahu.
Tiba-tiba muncul saja dipikiran setelah sebelumnya ada seorang tamu temannya
mama datang membawa sekantung buah kelengkeng sebagai buah tangan. Seketika
saya dan adik saling berpandangan dan mengambil buah kelengkeng tersebut.
“Kalau
makan kelengkeng inget apa coba?” Tanya adik saya saat itu.
“Malang”
Jawab saya dan adik mengangguk. Ternyata kita memikirkan hal yang sama.
Kenangan
itu manis seperti manisnya buah kelengkeng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar