Timbangan keadilan |
"Yah... Semenjak aku kecil Ayah nggak pernah ngajarin aku untuk lempar batu sembunyi tangan. Kenapa Ayah sekarang jadi gini sih?" Ucapan Ardi kali ini membuatku tertegun. Hatiku mengangguk setuju dengan pernyataannya. Hanya saja pikiran dan inginku kali ini enggan bersepakat dengan nasehat yang pernah aku berikan beberapa tahun yang lalu. Aku terduduk menatap punggungnya.
"Yah... Ayah nggak bisa kaya gini. Ayah itu panutan aku. Jangan kecewakan aku dengan sikap egois ayah." Ardi melempar pandangan ke luar jendela. Ia kini kembali menatapku. Tatapannya yang berapi-api seolah membakar rasa egoisku. Tapi aku tak bisa merelakannya menanggung itu semua. Dia masih terlalu kecil untuk merasakan tinggal dalam dinginnya lantai dengan sekat besi yang menjulang di setiap bagiannya.
"Ayah masih mau bilang aku masih terlalu kecil? Yah... aku udah enam belas tahun. Aku udah besar Yah. Aku sudah siap mempertanggungjawabkan semua yang udah aku lakukan. Aku cuma butuh doa Ayah. Biarkan aku menanggung semua akibat perbuatanku sendiri Yah." Ardi kali ini menurunkan nada suaranya. Ia berlutut di hadapanku. Mendekatkan wajahnya kepada wajahku. Air matanya mengalir.
"Aku tahu kalau Ayah sayang sama aku. Aku juga tahu kalau Ayah nggak mau melihat kondisiku kaya gini. Tapi aku mau ayah tahu bahwa aku sudah besar. Aku sudah bisa menentukan mana yang salah dan yang benar...."
"Tapi Di... " Belum sempat aku melanjutkan kata-kataku Ardi menggenggam kedua tanganku. Ia menggenggamnya erat lalu menciumnya. Kini punggung tanganku basah terkena air matanya.
"Aku adalah orang yang akan sangat marah jika ada orang yang menabrak ayah dan bebas melenggang begitu saja tanpa ada pertanggungjawaban hukum yang bisa menjeratnya. Mungkin memang orang tersebut bisa memberikan ratusan atau miliyaran uang sebagai bentuk pertanggungjawaban beban moril. Tapi Yah uang itu bukan yang kuinginkan kalau sampai hal iu terjadi. Yang kuinginkan adalah ayah yang kembali. Uang tak bisa menggantikan Ayah" Ardi menatapku lebih dalam. Ardi menggunakan perumpamaan yang menggilas hati dan pikiranku.
"Posisi itu sekarang yang dialami dua anak kecil itu Yah. Mereka hanya ingin keadilan. Mereka tak salah. Mungkin iya ayah mampu memberikan ratusan atau miliaran uang kepada mereka atau keluarganya. Tapi satu hal yang nggak bisa ayah lakukan adalah mengembalikan ayahnya" Ucapan Ardi kali ini mampu memancing emosiku. Memancing naluri kebapaanku. Memancing rasa percaya dan kelegaan yang selama ini terselubung dan mengumpat dalam titik sadarku.
Aku menggenggam kedua pundak anak semata wayangku. Menyuruhnya berdiri berhadapan denganku. Merangkulnya dengan erat. Sereat kasih sayang yang senantiasa aku curahkan di sela-sela pekerjaanku. Lama aku tak melakukan hal yang semestinya aku lakukan.
"Biarkan aku mempertanggungjawabkan perbuatanku Yah." Ucapan Ardi dalam pelukan pada akhirnya membuat buliran air mata mengalir deras.
Ini pertama kalinya aku menangis di hadapannya. Kalau saja aku tak memberikan mobil sebagai hadiah di hari ulang tahunnya yang ke 16. Kalau saja aku tak membiarkannya mengendarai mobilnya sendiri. Kalau saja aku tahu dan mengerti cara mendidik anak yang baik. Kalau saja aku memperhatikan apa yang ia butuhkan bukan apa yang ia inginkan. Kalau saja waktu dapat diputar. Kalau saja! Kalau saja! Kalau saja! Kalau saja!
"Ayah... jangan pernah menyalahkan diri Ayah sendiri. Ardi tahu apa yang Ayah lakukan selama ini karena Ayah sayang sama Ardi. Biarkan Ardi kuat menghadapi ini semua Yah. Biarkan Ardi menjadi orang yang terus belajar." Ardi mengusap buliran air mataku yang tak terbendung. Aku mencoba mengangguk menguatkan diriku sendiri.
"Jangan sekali-kali Ayah membeli keadilan. Mempermainkannya atau bahkan melicikinya. Biarkan timbangan itu adil ditakar. Kalau Ayah masih punya niatan untuk mempermainkan hukum.... itu sama saja ayah memberikan Ardi kesempatan untuk terus belajar menipu... mencuri.. dan juga membunuh. Dan secara tidak langsung Ayah juga memberikan kesempatan pada Ardi untuk terjerat lebih parah di akhirat sana. Hukum akhirat tidak akan pernah salah menjerat dan juga tak akan bisa dibeli dengan uang ayah yang begitu banyak"
Kata-kata Ardi kali ini benar-benar membakar habis rasa egoisku. Membabat habis niat busukku dan licikku yang sebelumnya ingin bermain-main dengan hukum di negeri ini yang mudah untuk dibeli. Habis kikis semua niat jahatku untuk melindungi anak tercinta, bersih dilibas oleh ucapan darah dagingku di usianya yang masih enam belas tahun.
"Pertanggungjawabkan semua lakumu! Ayah mendoakanmu!" Hanya itu kata-kata yang akhirnya keluar dari mulutku. Sisanya hanya air mata yang mengalir deras. Anakku panutanku! Aku belajar banyak darinya. Aku janji tak akan mengecewakannya dengan segala niat kebusukan yang sebelumnya pernah terlintas dalam pikiran.
Putusan vonis dari pengadilan telah ditetapkan. Ardi dinyatakan bersalah akibat perbuatan lalainya saat berkendara hingga menyebabkan seseorang meninggal dunia. Hukuman penjara enam tahun menjadi tanggungan yang harus dipikulnya. Di sisi lain hatiku menangis atas apa yang terjadi saat ini namun juga bersorak karena berhasil menegarkan diriku dan melihat betapa tegarnya anakku dan bertanggungjawabnya ia.
Aku sudah tak lagi peduli dengan orang-orang yang masih saja memperkeruh suasana terhadap kasus yang menimpa anakku. Simpang siur issu dari berbondong-bondong orang yang membicarakan kemungkinan suap yang kulakukan atas keputusan hakim-- mengingat jabatanku sebagai salah satu bagian terpenting di negeri ini-- tak kuhiraukan. Hanya Tuhanlah tempatku bersandar hingga membuatku terus tegak berdiri sembari terus mendoakan anakku dan mengharap ampunan atas semua salahku dan salahnya kini.
"Pak... agenda untuk besok rapat kerja dengan bapak Presiden" Ucap staffku mengingatkan dan aku mengangguk mantap.
aku harap 'seseorang' itu mau membaca hasil karyamu ini reisa :D eh minta folbek blognya dong hehehe
BalasHapusAkupun berharap demikian Izza Chan... eh aku udah folbek yaaa :)
Hapus