Baru sekitar lima belas
menit aku merebahkan tubuh siang ini di kasur depan. Badan agaknya sudah mulai
kacau terlebih semenjak malam tak juga kuistirahatkan dengan semestinya. Tiga
hari belakangan ini insomnia menghampiri. Tak salah rasanya jika aku menggunakan
istilah itu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Insomnia memiliki arti
keadaan tidak dapat tidur karena gangguan jiwa. Yap… berarti memang benar
agaknya bahwa ada sedikit gangguan dalam jiwa ini. Tapi jika ditanya bagian
jiwa sebelah mana aku sendiri pun tak tahu letaknya.
Balik ke soal waktu
istirahatku. Total dari 24 jam yang senantiasa hadir dalam raga ini hanya 3 jam
yang kugunakan untuk memejamkan mata. Sisanya? Jangan berharap ada segudang
aktivitas yang aku lakukan. No No… salah besar. Selama tiga hari ini waktuku habis
di depan layar netbook berukuran kurang dari 11 inch dan juga merenung
memikirkan sesuatu atau banyak hal dalam diri. Eitsss… ini bukan sekadar
lamunan tak manfaat ya. Percayalah setidaknya sedikit padaku.
Dengan kondisi yang
demikian aku hajar tubuhku untuk tetap melakukan rutinitas yang tak bisa
terpisahkan dalam hidup seperti bernapas makan minum mandi dan lain-lain
(Yaiyalah kalau enggak berarti udah nggak hidup lagi). Akhirnya setelah pagi
hingga zuhur tadi melakukan serangkaian perenungan dan juga pengetikan (ceilah)
aku pun memutuskan untuk mengistirahatkan badan. Dan… belum sampai terlelap
lebih dalam tiba-tiba ketukan pintu berkali-kali bergema dan membuyarkan
konsentrasi tidurku.
Kaget dan setengah
dalam keadaan sadar aku bergegas bangkit dari kasur dan begitu saja membuka
pintu. Tanpa kupedulikan siapa yang mengetuk. Semua reflex begitu saja. Sambil
mengatur napas perlahan aku memperhatikan dua orang perempuan paruh baya
berjilbab berdiri di hadapanku.
Tanpa mengucap salam.
Tanpa bilang maaf atau sekadar permisi salah seorang diantara mereka secara
membabi buta menyerangku dengan kata-kata sembari menyodorkan empat buah
bungkus kecil “larvasida” (tulisannya begitu) yang bergambar seorang penderita
penyakit kaki gajah.
“Ini harus dipake.
Demi mencegah terjadinya penyebaran nyamuk cikungunya. Semua ibu-ibu yang ada
di sini sudah pakai. Adik namanya siapa? Atau adik yang tinggal di kontrakan
sini? Bapaknya ke mana? Saya mau data dulu” Beuh… kalimat si ibu benar-benar
merasuk dalam otak dan mampu kuhafal di luar kepala. Aku yang saat tadi dalam
keadaan setengah sadar langsung beristigfar. (Maksudnya biar sadar 100%) Aku
menyebutkan namaku dan juga mengatakan bahwa aku penyewa kontrakan di sini. Ibu
satunya sibuk mencatat namaku sementara satunya tetap mengacungkan bungkusan
itu agar aku memegangnya.
bungkusan kecil tadi |
Aku akhirnya memegang
keempat bungkusan tadi. Baru sedetik kupegang sang ibu langsung saja berujar.
“Ini dipakainya di
kamar mandi. Dituangin aja setiap sebulan sekali. Satu harganya lima ribu”
Jelas sang ibu merinci dan secara tidak langsung aku merasa sedang diperas.
(Orang yang Bangun tidur dalam keadaan kaget biasanya emosisnya bisa memuncak.
Untung Ingat Tuhan. Jadi ke kontrol sedikitlah)
“Ini ada izin RT dan
RWnya bu?” Tanyaku baik-baik sementara kesadaranku sudah hampir mencapai 100%.
Sang Ibu yang mencatat buru-buru mengangguk-anggukan kepala. Sementara ibu yang
menyodorkan bungkusan tadi tidak kalah menyerangku balik dengan kata-kata.
“Ibu Adam sudah beli.
Yang disebelah sudah. Ini program setahun sekali. Dan semua warga sini sudah
membelinya juga.” Jelasnya dan aku menarik napas perlahan.
“Mana surat izin
peredarannya Bu. Saya mau lihat?” Tanyaku sembari menatap kedua matanya lalu
bergantian menatap sang ibu satunya. Mereka berdua langsung gelagapan karena
memang sepertinya mereka tak punya surat izin dari RT/RW setempat. Aku sudah
terbiasa untuk teliti dengan hal-hal semacam ini. Dan bagiku tak salah jika
menanyakan sesuatu yang memang menjadi hakku untuk tahu.
Tak mau memperpanjang
urusan akhirnya aku mengembalikan tiga bungkus yang diberikan. Bermaksud
mengambil satu saja. Bukan lantaran aku pelit atau apa. Hanya saja kamar mandi
di kontrakan mungilku ini masih menggunakan ember plastik. Jadi kupikir satu
saja cukup. Lagi pula setiap mandi aku selalu menguras ember tersebut. Insha
Allah kupastikan tak ada jentik nyamuk yang bersemayam. (Mudah-mudahan semoga)
“Minimal harus ambil
empat!” Ujar sang ibu yang kembali menyodorkan tiga bungkus sisanya. Entahlah
rasanya emosiku saat itu tak bisa lagi dibendung. Aku sudah bersabar dari awal
mula mereka bertamu dan kini dengan seenaknya saja mereka memaksaku membeli
empat-empatnya dengan cara yang sungguh tak elegan. Mereka memaksa tanganku
menerimanya. Entahlah mungkin aku yang terlalu berprasangka terhadap
orang-orang seperti ini. Masalahnya aku tidak suka dengan caranya.
Aku masih tersenyum dan
menjawab dengan suara yang menurutku terlampau lembut dan sabar saat itu.
“Maaf Ibu satu saja
cukup” Jelasku lagi dan si Ibu tetep kekeuh menyodorkan bungkusan tersebut
kepadaku. Lalu kamu tahu apa yang terjadi? Aku dirasuki setan!
“Bu… saya bilang satu
saja cukup. Ibu nggak ngerti juga ya? Kalau nggak ya sudah saya nggak mau beli.”
Ujarku dengan menaikan intonasi.
Dalam hati aku sadar
sekali bahwa apa yang baru kulakukan itu tak sopan dan tak elok. Tapi kan sudah
kubilang aku sedang dirasuki setan tadi. Jadi emosi menjadi pemenangnya.
(Syaitan berlonjak-lonjak kegirangan) Nauzubillah!!!!!!!!!!
Sang Ibu bukannya
paham dengan maksud dan inginku eh dia malah menawar.
“Dua deh Mbak ya… Biar
pas sepuluh ribu” Ujarnya lagi entah dengan perasaan apa dia mengutarakan itu
semua. Dia menyodorkan sebungkus lagi ke hadapanku.
“Ya Allah Ibu… saya
bilang satu cukup!” Ujarku lagi dan aku merutuki diriku sendiri. (Kenapa aku
mesti bawa-bawa nama Tuhan… dengan kondisi demikian. Maksudku aku ingin
berlindung agar emosi yang ada dalam diriku bisa redam sedikit demi sedikit)
Setelah bersikukuh
dengan pendapatku akhirnya ibu yang sibuk mencatat dengan buku dan pulpennya
bergegas mengiyakan. Menyudahi ini semua. Aku masuk ke ruang tengah. Membuka dompet
marunku sembari menggeleng-geleng. Mengeluarkan uang lima ribu rupiah. Lalu
menyerahkan uang itu padanya.
Dan kamu tahu apa yang
terjadi? Tanpa bilang permisi dan salam selayaknya orang Islam sang ibu yang
tadi menyerangku dengan untaian kata yang tidak begitu enak pergi begitu saja.
Untunglah sang ibu-ibu pencatat tahu etika bertamu. Dia mengucapkan salam dan
pamit permisi kepadaku.
Setelah kejadian itu
berlalu. Aku terbengong-bengong sambil menatap sebuah bungkusan yang berisi
obat pembasmi jentik nyamuk itu. Apa yang sudah aku lakukan barusan? Aku
merutuki diri sendiri yang dengan mudahnya terpancing emosi. Mungkin juga tidak
ikhlas dengan apa yang dibeli karena setengah dipaksa. Mungkin itu cara dua ibu
tadi dalam memperoleh rizki atau memang pekerjaannya berkeliling bertugas untuk
memperingatkan warga agar terhindar dari persebaran nyamuk cikungunya. Namun
semoga cara menjual atau menawarkannya bisa lebih baik lagi
Astagfirullah… maafkan
saya Tuhan. Maafkan sikap saya yang tak sopan ke Ibu-ibu tadi. Itu semua karena saya hilang kendali. Memang musuh yang paling besar adalah hawa napsu sendiri karena mudah terpancing emosi atau berprasangka yang tidak-tidak pada orang lain.
Semoga Engkau senantiasa mengampuni dosa-dosa hamba serta memberi rizki
pada ibu-ibu tadi dengan keridhoan. Aamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar