“Nggak
usah cemberut gitu kenapa sih. Senyum sedikit dong. Tahu nggak kata Rasulullah
SAW salah satu penghuni neraka itu orang yang bermuka masam” Ujarku pada Wina
yang semenjak pagi hingga sore ini hanya manyun saja.
Aku udah nggak ngerti lagi dengan ekspresi
sahabatku yang over lebai ini. Oke
aku tahu saat ini masalah yang dihadapinya memang lumayan”berat” bagi dia. Tapi
kalau bagiku sih biasa saja. Mungkin memang karena aku tak merasakan apa yang
dia rasakan. Tapi posisiku di sini lumayan sulit. Aku harus berusaha mengembalikan
moodnya ke keadaan semula. Seperti sedia kala. Kau tahu kenapa? Ya karena dia
sahabatku dan aku adalah sahabatnya.
“Nih gue senyum” Ujar Wina lagi sambil
memperlihatkan deret giginya yang berkawat. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala
saja. Bukan senyum terpaksa yang kumaksud. Tapi sepertinya saat ini dia tak mau
paham.
“Yaudahlah daripada kehadiran gue di
sini tak memberikan efek apa-apa lebih tepatnya tidak bermanfaat mendingan gue
pulang.” Jelasku setengah mengancam. Sudah lebih dari sembilan jam aku menemani
Wina merenung di kamarya. Dia sih yang yang merenung sementara aku sesekali
sibuk membaca majalah politik dan ekonomi yang menjadi lumatan mata Wina
sehari-hari. Aku salut dengan sahabatku ini. Ia selalu kejar mimpinya dengan
tekad dan semangat. Tapi kesalutanku saat ini padanya sedikit luntur. Apalagi
coba kalau bukan terkait mimpinya yang tiba-tiba ingin dihapuskan begitu saja. Seperti
bukan dia saja.
“Jangan pulang. Temenin Gue! Nasehatin gue! Lo nggak tahu sih. Gue tuh
udah patah hati. Topik tesis gue disuruh ganti tiba-tiba. Semua numpuk! SEBEL banget
sama dosen-dosen gila! Udah nggak ngerti lagi mereka maunya apa sih? Mau ngancurin
hidup gue? Gila!” Wina mulai berapi-api kembali.
“Istgihfar
Win. Lu kaya orang nggak berTuhan aja!” Ketusku sekenanya. Sudah berkali-kali
Wina mengeluhkan apa yang tengah dihadapinya kini. Wina seketika menutup muka
dengan kedua tangannya. Tak berapa lama ia merepalkan kedua tangannya. Meninju bantal
di sekitarnya.
“Gue
pulang ah. Temen gue lagi dirasuki syaitan!” Aku meninggikan suara. Kakiku
mulai melangkah ke luar dari kamarnya. Namun tangan Wina erat menariku. Menahan
agak aku tak melanjutkan langkah ke luar kamar.
“Gue mau Lo dengerin gue ngomong.
Terus nanti Lo nasehatin Gue. Gue akan denger semua nasehat Lo!” Wina merajuk
sementara aku tetap menggeleng. Aku sudah hapal dengan cara dan sikapnya. Tetap
saja percuma jika aku memberinya nasihat. Tak satu pun nasihatku yang dilakukan
atau sekadar diingat. Semuanya hanya masuk lewat telinga kanan dan keluar di
telinga kiri.
“Gue janji…Demi Tuhan gue akan ngelakuin apa yang lo
nasehatin. Tentu selama nasehat dari Lo bener-bener bisa balikin mood gue dan
gue yakin dengan nasihat Lo gue akan jadi lebih baik” Ujar Wina lagi sembari
mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya secara bersamaan. Aku menghela napas
perlahan. Aku tak suka jika Wina sudah membawa-bawa nama Tuhan. Sebenarnya… tanpa
menyebut nama Tuhan saja jika dia sudah berjanji harus menepati.
Aku terdiam menatapnya yang kini mulai kusut seperti benang
tanpa jalan keluar. Kalau saja dia bukan sahabatku mungkin saat ini aku sedang
beristirahat di rumah bersama Ibu dan adikku.
“Ya udah… Lo cerita yang belum lo certain ke Gue. Uneg-uneg
sekalian biar plong.” Ujarku pada akhirnya.
“Kenapa sih
laki-laki itu brengsek. Dan kenapa dosen-dosen gue ikut-ikutan brengsek. Gue
patah hati sepatah-patahnya. Sakit Ra… sakit banget. Giliran gue lagi patah
hati tahu-tahu dosen pembimbing gue ikut-ikutan berulah. Lo tahukan udah sejak lama gue mengajukan topik
tesis. Awal-awal dia bilang oke. Eh… tahu-tahu kemarin dia nyuruh gue ganti topik.
Dipikir nyari topik baru itu gampang apa? Padahal gue udah ngumpulin referensi
dari mana-mana. Gue mau udahan kuliah aja.” Wina kembali berapi-api sembari
menangis.
Aku hanya membelai
rambutnya yang sudah tak tersisir semenjak pagi tadi. Ia menangis tersedu. Aku
mendiamkannya. Sebelumnya Wina sudah cerita terkait kisah cintanya yang kandas
begitu saja. Entah bagaimana cerita detailnya yang aku tahu Wina diputus begitu
saja sama pacarnya. Ah pacar ya? Seenaknya saja manusia memproklamirkan
hubungan antar manusia lalu dengan mudahnya dia bilang kisah sudah usai. Andai
cinta dan hubungannya senantiasa melibatkan Tuhan pasti tak akan begini
ceritanya. Wina mengelap air matanya yang tumpah lalu ia mulai berbicara lagi.
“Okelah kalau masalah
Dito gue termasuk kategori tolol setolol-tololnya. Padahal jelas-jelas Lo udah
berulang kali nasehatin gue untuk nggak pacaran. Tapi emang dasar guenya aja
yang gila! Tapi kenapa itu para dosen ikut-ikutan Ra? Gue kemarin pede banget
dan yakin sama topik yang gue ajuin. Eh tahu-tahu kemaren dosen gue bilang topik
gue terlalu ketinggian. Disuruh ganti gitu aja. Gue langsung ciut kaya bantalan
rel di malam hari Ra denger omongan dosen gue. Seenaknya aja dia bilang ganti!
Gue sebel Ra. Numpuk semua!” Wina menangis lagi. Aku tetap saja diam. Biar Wina
menyelesaikan semua uneg-unegnya di kepala lewat kata-kata. Hampir sekitar lima
belas menit Wina menangis.
“Udah semuanya dikeluarin?” Tanyaku dan Wina
mengangguk. Kini ia menatapku penuh harap. Aku ini hanya seorang sahabat yang
mampu menjadi pendengar dan pemberi nasehat sesuai apa yang aku pikirkan. Jika
kata-kataku berterima di hatinya bersyukurlah aku. Jika tidak? Aku tetap akan
bersyukur setidaknya ada usaha dariku untuk menyemangati sahabat kuliahku di S1
dulu.
“Win… kalau terkait Dito… Ya Lo
tahulah pandangan gue yang emang dari awal udah nggak setuju dengan jalan
pacaran yang Lo pilih. Jadi itu adalah risiko yang memang seharusnya udah siap
untuk Lo terima. Tapi kalau kata gue Win… Tuhan itu yang ciptain hati Lo. Dan
gue rasa Tuhan juga nggak akan ciptain hati yang mudah patah untuk umatnya. Hati
lo tuh kuat. Percaya deh. Gue aja percaya” Jelasku bersemangat. Wina menatapku
tajam. Ia mengangguk perlahan. Membenarkan apa yang baru saja aku ucapkan.
“Lo sakit hati sekali kan Win?”
Tanyaku lagi dan Wina mengangguk mantap. “Untung Lo sakit hatinya sekali.
Jangan sampa Lo sakit hati untuk yang kedua atau ketiga kali.” Jelasku. Semoga
Wina paham dengan ucapanku yang menyiratkan bahwa jangan sampai dia mengulang
kesalahan yang sama dengan cara pacaran lagi. Wina terdiam merenungkan setiap
kataku.
“Kalau terkait lo mau keluar dari
kuliah ataupun udahan gue sih cuma bisa bilang “sayang dan kasihan”. Bukannya
itu mimpi Lo ya? Ibarat kata nih ya… Lo udah rancang terus udah lo olah tinggal
lo poles-poles dikit eh malah mau lo tinggalin gitu aja. Itu baru yang namanya
BEGO!” Aku keceplosan berkata kasar karena sudah mulai ketularan dirinya.
Bergegas aku beristigfar! Wina tersenyum melihat tingkahku.
“Nggak usah ketawa dulu. Gue belum selesai ngomong!
Lo bilang diri lo kaya bantalan rel yang menciut di malam hari. Bukannya
bantalan rel itu kuat ya? Bukannya hampir setiap hari ratusan kali comutterline
mondar mandir lewat di atasnya?” Jelasku mengembalikan perumpamaan yang
diambilnya.
“Tapi kan bantalan rel di malam hari
menciut Ra. Kalau pagi atau siang baru dia memuai” Wina tak mau kalah dengan
pendapat terhadap posisi yang dirasakannya saat ini.
“Heh… Lo pikir comutterline lewatnya Cuma
pagi atau siang doang? Malam juga lewat kali. Buktinya dia kuat-kuat ajau tuh
dihajar atau dilewatin ratusan comutterline yang lalu lalang.” Aku membungkam argument
Wina. Dia terdiam tak menyerang balik pendapatku.
“Harusnya lo juga bisa sekuat bantalan
rel itu. Mau pagi mau siang. Nggak peduli deh pagi atau siang. Lo harus kuat
dihajar. Selama lo yakin bahwa yang Lo lakukan atau topik yang Lo angkat bagus.
Maju terus. Mau dibilang ketinggian atau enggak sekarang gini deh. Berapa orang
yang bilang ketinggian? Satu? Dua? Tiga? Lo udah konsul sama dosen-dosen yang
lain? Coba terus bicarakan topik Lo dengan serangkaian argumentasi kuat yang
biasa Lo lakuin. Gue curiga kayanya itu dosen cuma ngetes Lo doang. Dia kayanya
mau tahu seberapa kuat lo memperjuangkan itu semua. WAKE UP Dear!” Aku telanjur
bersemangat sampai-sampai menggenggam kedua bahu Wina. Wina tersentak. Gantian
aku yang over lebai. Aaaakkkk
“Istighfar
Lo Ra!” Wina mengingatkan dan aku bergegas beristighfar. Astagfirullahhaladzim…
“Tuhan itu
percaya bahwa Lo bisa melalui ini semua. Selama Lo inget kalau Lo masih punya
Dia. Kadang Lo nggak inget aja Tuhan masih sayang sama Lo. Lo perjuangin apa
yang memang layak Lo perjuangin. Dan Lo harus nangisin apa yang emang layak Lo
tangisin. Semua ada pada tempatnya! Jalan mewujudkan impian itu emang nggak
mudah dan nggak gampang. Tapi asal lo masih terus mau usaha dan yakin pasti
Tuhan akan kabulkan.” Aku kembali membuka suara. Semoga Wina paham maksud dan
tujuan dari kata-kataku. Semoga…
Wina tersenyum pun halnya dengan diriku. Kemudian ia memeluku
erat. Sebuah senyuman lebar dan tulus kini menghiasi wajahnya.
“Thank you Rara! Love You so much Dear!” Ujar Wina
Suasana kamar tiba-tiba sepi. Sayup-sayup azan Magrib
berkumandang. Hangat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar