“Aku mau sepatu baru, Ma. Pokoknya aku mau beli yang baru!”Ini sudah yang ketiga
kalinya Rangga merengek minta dibelikan sepatu. Mama bukannya tidak mau
membelikan hanya saja sepatu Rangga masih banyak dan bagus-bagus di rumah. Aku
setuju dengan pendapat mama yang tak melulu membelikan apa yang Rangga minta.
“Sepatu kamu kan udah banyak, Dek” Aku mencoba membujuknya.
Adikku yang masih berusia sembilan tahu ini justru melengos menatapku.
“Kamu bukannya baru dibeliin ayah sepatu dua minggu yang lalu
ya?” Aku bertanya lagi.
“Itu sepatu udah ada yang nyamain, Kak. Males aku pakainya”
Rangga menjawab cuek sambil melipat ke dua tangannya. Rangga kembali merengek
sambil menarik tangan mama. Mama menggeleng melihat kelakuan anak bungsunya.
“Mama jadi nyesel deh manjain kamu. Kamu jadi berlebihan gini.”
Ucapan Mama kali ini kuberi acungan jempol. Setidaknya mamaku akhirnya sadar
bahwa selama ini telah memanjakan Rangga secara berlebihan. Adik yang terpaut
delapan tahun denganku ini memang selalu mendapat perlakuan spesial dibandingkan
aku dan kakak. Maklum, selain karena anak bungsu Rangga juga anak lelaki satu-satunya di keluarga kami.
Aku dan mama pada akhirnya cuek saja meninggalkan Rangga di
depan toko sepatu. Rangga pada akhirnya mengikuti jejak kami di belakang meski
dirinya masih bersungut-sungut kesal.
“Ma… hari minggu nanti Lita izin ajak Rangga jalan ya. Mau Lita
kasih pelajaran. Biar dia nggak berlebihan terus.” Ujarku pada mama dan mama
sejenak terdiam.
“Tenang Ma… Mama percaya saja sama Lita. Pelajaran kali ini akan
berharga sekali buat Rangga.” Ujarku meyakinkan mama. Namun sepertinya mama
masih belum yakin.
“Kamu mau kasih pelajaran apa?” Mama bertanya dan akhirnya aku
membisikan rencanaku ke mama. Mama sedikit terkejut mendengarnya. Namun pada
akhirnya mama menyetujui rencanaku.
“Rangga… hari minggu besok Kak Lita mau ajak kamu jalan.” Ujar
Mama lalu mengandeng Rangga. Wajah Rangga tetap cemberut. Ia masih saja
merengek minta dibelikan sepatu.
“Nanti habis jalan… Kak Lita anterin kamu beli sepatu deh”
Ujarku dan mata Rangga mulai berbinar.
“Kakak nggak akan bohong ya? Hari minggu besok beli sepatu buat
Rangga?” Ujar Rangga antusias
“Iya… tapi beli sepatunya habis kamu ikut Kak Lita jalan”
Jelasku dan Rangga mengangguk mantap. Mama melirik ke arahku bingung.
“Tenang aja Ma…” Bisikku ke mama.
***
Hari minggu ini aku dan Rangga berangkat menuju sebuah tempat.
Sengaja aku tidak membawa mobil dan mengunakan moda transportasi umum. Rangga
yang awalnya mengeluhkan panas karena kendaraan yang kami naiki tanpa pendingin
udara seketika merasa takjub karena ini adalah pengalaman pertama bagi dia
menggunakan transportasi umum selain taxi.
“Kak… Ibu itu dikasih duduk ya? Kasihan” Rangga menunjuk ke
seorang Ibu-ibu yang membawa tas besar dan seorang balita. Aku mengangguk
setuju dengan pendapatnya. Rangga berdiri lalu memberikan duduk kepada ibu-ibu tadi.
“Kakak… kakak nggak mau ngasih aku duduk?” Rangga berbisik ke
arahku dan aku tersenyum sambil menggeleng. Aku ingin memberi banyak pelajaran
kepada adik lelakiku ini. Aku tetap duduk santai di tempat duduku sementara
Rangga memegang tanganku erat jaga-jaga agar tidak jatuh karena ia berdiri.
Kopaja yang kami naiki agaknya memang penuh. Sekitar lima belas menit aku
mencoba mengetes adikku untuk bertahan berdiri. Namun pada akhirnya aku sendiri
yang tidak tega. Payah!
“Nih Dek, duduk” Aku bergegas berdiri namun Rangga malah kembali
menyuruhku duduk. Aneh.
“Kakak duduk ajalah. Dari tadi yang Rangga lihat perempuannya
pada duduk semua. Kasian kakak kalau berdiri sama laki-laki kaya di belakang
Rangga. Nanti kakak diapa-apain lagi” Bisik Rangga ke arahku dan membuatku
tertawa kecil. Agaknya dia khawatir terhadap kakak perempuannya yang cantik
ini. Baiklah aku tetap duduk santai di bangku sembari memegang tangan Rangga
erat supaya dia seimbang berdiri.
Perjalanan hampir melewati sekitar satu setengah jam. Kami turun
di pertigan Salemba.
“Kak… sejauh itu tadi Cuma bayar Rp3000 ?” Rangga antusias
bertanya dan seolah takjub. Aku mengangguk. “Murah ya Kak… padahalkan jauh.”
Ujarnya lagi dan aku mengangguk saja. Kubiarkan Rangga asyik bermain dengan
pikirannya.
“Beli Es krim dulu yuk.” Ajakku ke sebuah mini market yang tak
jauh dari tempat kami turun. Aku membeli lebih dari 20 cup es krim.
“Kakak, kita mau ke mana sih? Terus ngapain kakak beli es sebanyak itu?”
Rangga bertanya lagi. Aku tak menggubris pertanyaannya karena kerepotan membawa
barang belanjaan.
“Sini deh… Rangga bantuin” Ujar Rangga dan akupun tersenyum
mantap. Rangga membantu membawa sebagian barang belanjaan. Kami berjalan
menyusuri sebuah gang kecil. Rangga berkali-kali bertanya kepadaku tentang
tujuan kami. Berkali-kali pula aku hanya menjawabnya dengan sebuah senyuman.
Hingga sampailah kami di sebuh rumah singgah yang memang senantiasa rutin aku
kunjungi setiap sebulan sekali.
Dua puluh orang anak berhamburan menyambut kedatanganku dan
Rangga. Mereka berbahagia terlebih aku membawakan es krim kesukaan mereka.
Sembari duduk melingkar di atas tikar dan membagikan es krim secara estafet
kepada mereka… kami bercakap-cakap.
“Kak Lita… itu adik kakak?”Tanya Fadli sembari menaruh kruk-nya
(Kruk* alat bantu jalan berupa tongkat) di lantai. Aku mengangguk mengiyakan.
“Kamu namanya siapa?” Fadli mencoba bersalaman dengan Rangga.
Rangga yang semenjak tadi terbengong-bengong dengan situasi seperti ini
bergegas menjabat tangan Fadli.
“Rangga” Ucap Rangga disertai senyuman.
Awalnya pembicaraan antara Rangga dan teman-teman di rumah
singgah berjalan kaku. Namun lambat laut akhirnya mereka semua bisa berbaur.
Aku membiarkan Rangga mengobrol dan bertukar cerita dengan anak-anak di rumah
singgah ini. Sementara di sisi lain aku mengobrol dengan Pak Budiman selaku
pendiri rumah singgah.
“Alhmdulillah Mbak Lita… proposal pengajuan kaki palsu yang Mbak
Lita usulkan sekarang sedang dirundingkan dengan berbagai pihak yang mau jadi
sponsornya mbak.” Ucapan Pak Budi pada akhirnya membuatku lega. Setelah hampir
setahun lamanya aku dan beberapa teman berusaha untuk mendapatkan sponsor untuk
adik-adik di rumah singgah agar mendapat bantuan kaki palsu menemukan jalan
buntu pada akhirnya kini berbuah manis juga.
“Alhmdulillah Pak.
Syukur kalau gitu.”
“Nanti waktu acara peresmiannya saya minta Mbak Lita sama
rekan-rekan bisa hadir ya. Insha Allah
nanti tanggalnya akan saya kabari minimal seminggu sebelum acara” Ujar pak Budi
lagi dan aku mengangguk mantap.
Hampir tiga jam aku dan Rangga berada di rumah singgah. Setelah
menunaikan salat zuhur berjamaah dan makan siang bersama… aku dan Rangga
akhirnya pamit.
“Rangga… kapan-kapan main lagi ya. Nanti kamu ceritain lagi kisah
robot hebat yang kaya tadi.” Ujar Fadli disertai anggukan adik-adik lainnya.
“Sipp… aku pasti main ke sini lagi. Nanti sekalian aku bawain deh
mainannya.” Ujar Rangga sambil mengacungkan jempolnya.
“Wah kami tunggu loh…” Ujar Majid sembari berusaha berdiri
bersadar pada kruk-nya. Rangga mengangguk mantap. Rangga pun menyalami teman-teman
barunya satu persatu.
***
Sesuai dengan janjiku kepada Rangga saat ini aku mengantarnya ke
sebuah toko sepatu. Biasanya dia akan segera antusias memilih model sepatu baru
dengan merk-merk ternama. Namun kini kulihat kelesuan di wajahnya.
“Kok kamu cemberut?” Tanyaku sembari mencoba memilihkan beberapa
sepatu yang mungkin akan membuatnya tertarik seperti biasa.
“Aku nggak mau beli sepatu, Kak” Ucapnya begitu saja. Rangga tertunduk dan diam. Sepertinya pelajaran yang kuberikan hari ini
berhasil.
“Lho kenapa? Kakak kan udah janji mau antar kamu ke toko sepatu
habis kamu ikut jalan-jalan sama kakak” Ujarku mendekat ke arahnya. Rangga
justru berjalan perlahan. Tidak menggubris pertanyaanku. Ia berjalan ke luar
toko sepatu. Aku mengikutinya.
“Terus kita ke mana sekarang? Pulang?” Tanyaku lagi dan Rangga
menunjuk ke arah sebuah bangku kosong di luar toko dekat taman. Sepertinya ia lelah. Aku membelikannya
sebotol minuman rasa jeruk.
“Kak… Janji kakak ke Rangga diganti boleh nggak?” Ucap Rangga
membuatku mengernyitkan dahi.
“Rangga nggak usah beli sepatu. Tapi… kakak harus anterin Rangga
ke sana lagi minggu depan.” Permintaan Rangga kali ini membuatku tersenyum
penuh kemenangan.
“Rangga malu, Kak. Kemarin Rangga nangis-nangis minta dibeliin sepatu. Padahal
sepatu Rangga di rumah juga banyak. Udah gitu alasan Rangga beli sepatu karena
sepatu Rangga ada yang nyamain. Tapi, pas tadi Rangga lihat Fadli sama teman-teman yang lain Rangga
jadi malu. Mereka mungkin nggak pernah berpikir mau gonta-ganti sepatu kaya Rangga.
Kaki mereka kurang lengkap. Tapi hebatnya mereka masih bisa senyum
ketawa-ketawa. Mereka nggak ngeluh tuh. Bahkan sepertinya mereka nggak pernah ngerengek-rengek
kaya Rangga. Padahal usia mereka ada yang di bawah Rangga” Kalimat yang
meluncur dari mulut mungil adikku ini pada akhirnya juga membuatku terdiam.
“Jadi, Kak Lita mau kan nemenin Rangga minggu depan ke sana lagi?”
Rangga memohon serius. Tak ada rengekan untuk permintaannya kali ini. Aku
mengangguk menyanggupi permintaannya.
“Aku mau minta maaf ke mama habis ini, Kak. Pulangnya mampir ke toko
bunga yuk Kak. Aku mau kasih mama bunga. Mama pasti capek banget ngurusin aku
yang manjanya ampun-ampunan. Aku tuh selama ini lebai banget ya Kak. Berlebihan”
Ucapan Rangga benar-benar di luar nalar logikaku. Secepat itukan dia berpikir
dewasa?
“Minggu depan kalau ke sana lagi Rangga mau bawa mainan
robot-robotan Rangga Kak. Tadi Rangga cerita loh ke temen-temen tentang
robot-robotan yang Rangga punya…” Rangga memulai kisahnya sepanjang perjalanan
menuju toko bunga. Aku mendengarkan dengan setia terkait kisahnya hari ini.
Syukurlah kalau ternyata Rangga mendapatkan pelajaran banyak di hari ini. Tak
terkecuali denganku. Aku belajar berterima kasih kepada mama lewat Rangga.
Sementara Rangga belajar sangat banyak tentang rasa syukur melalui teman-teman
barunya.
Tamat
maknanya dalam sekali, saya suka cerpen kamu. :D
BalasHapusWah terima kasih Izza... saya juga suka dengan tulisanmu apalagi terkait prestasi yang kamu raih :D
BalasHapus