Jumat, 30 Agustus 2013

Rasa Percaya

Semua orang bebas memiliki rasa kepercayaan terhadap orang lain. Bahkan rasa percaya terhadap dirinya sendiri.


Pagi ini kalimat tersebut dengan mudahnya terlontar dari mulut. Pemantikanya adalah obrolan senggang antara saya dengan seorang sahabat yang sebenarnya tidak terlalu dekat. Namun berhubung kami senantiasa intens berkomunikasi lewat whatsapp jadilah kami merasa dekat dan bersahabat.


Pagi ini saya bercakap-cakap dengannya seperti biasa. Sampai pada akhirnya dia bercerita tentang salah seorang bagian dari keluarganya yang begitu percaya pada seseorang sehinga berani meminjamkan uang.


Saya agaknya menaruh salut pada orang tersebut. Karena begitu besar rasa percayanya terhadap seseorang terlebih orang tersebut tidak begitu lama dikenalnya.


Lalu pembicaraan beralih pada saya yang tiba-tiba bercerita bahwa saya hari ini ada janji untuk mendandani seseorang dihari dia wisuda. Tahu apa yang terjadi? Sahabat saya ini mengatakan bahwa dia tidak percaya kalau saya bisa mendandani seseorang. Dia malah tertawa terbahak-bahak. Lalu munculah kalimat itu tadi.


Kita sebagai seorang individu saja memiliki rasa percaya terhadap diri sendiri terlepas dari porsinya besar atau kecil. Namun agaknya kepercayaan itu tetaplah harus terjaga dalam diri kita. Kalau kita pribadi tidak percaya dengan diri sendiri, lalu bagaimana orang lain akan percaya terhadap kita


Memang setiap orang berhak memiliki rasa percaya terhadap orang lain. Boleh jadi rasa percaya itu besar atau kecil. Namun satu hal yang harus diingat bahwasannya sebuah kepercayaan itu mahal harganya. Kita harus menjaga kepercayaan tersebut dengan cermat dan saksama. Kalau tidak? Jangan pernah berharap ada sesorang yang percaya terhadap kita.


Perjalanan Menuju Depok, sembari menunggu teman yang tak kunjung datang :)�


Published with Blogger-droid v2.0.4

Kamis, 29 Agustus 2013

Jangan memantik rasa bila tak ada niat untuk sekadar suka.

Bersikaplah biasa menjaga diri dari padanya.


Published with Blogger-droid v2.0.4

Rabu, 28 Agustus 2013

Cokelat untuk Sahabat

Akhirnya selesai juga menuliskan kata-kata yang amat disuka dan dicinta. Kata-katanya kaya apa? Sederhana saja kok. Baru saja saya menulis "Cintai mimpimu dengan mewujudkannya" Yihaa...

Kata-kata yang selesai ditulis tersebut langsung saja dilekatkan pada dua buah cokelat silver queen dan sebuah bolpoint bercorak merah darah. Kalau ditanya itu buat apa? Dengan sederhana tentu akan dijawab buat hadiah. Hadiah apa? Wew... detail sekali pertanyaannya ya. 

cokelat enak


Cokelat-cokelat ini nantinya akan saya berikan pada tiga orang wisudawan dan wisudawati  sahabat saya yang beruntung. Di hari jumat nanti Insha Allah cokelat-cokelat ini akan tersalurkan pada yang berhak. Eh berhak apa dulu nih? Berhak menerimanya lah karena sudah mampu merampungkan studinya di Universitas Indonesia. Ciyeee

Hadiah kecil ini sebenarnya sebagai hiburan saja sekaligus ungkapan rasa turut berbahagia atas kelulusan mereka. Oh iya kalau boleh tahu siapa aja tiga orang yang beruntung itu? Ehm... kasih tahu nggak ya? Hahaha lebai amat sih mau tahu banget. Mereka adalah dua orang gadis dan seorang pemuda. Ciyeee...

Biasa aja kali... berteman itu sungguh indah loh.
Pastinya...

kenapa ngasihnya cokelat? Kenapa nggak bunga?
Kalau cokelat enak. Manis bisa manfaat buat diolah di tubuh alias dicerna. Kalau ngasih bunga... ehm... kasihan. Udah bunganya dipetik... dibungkus plastik... emang sih cantik. Sayang pada akhirnya hanya sebagai pajangan hingga pada akhirnya layu dan mungkin tak bisa lagi dimanfaatkan. Kalau cokelat manfaatnya lebih kerasa. Lagian nggak bunuh makhluk hidup juga. Kalau bunga cantikan ditanam pada tempatnya. hehehehe

udah ah sekian
Salam :*

Percakapan hati dengan diri

Berikut percakapan hari ini yang terjadi antara kami (Hati: H dengan Diri: D) 

D: Hai-Hai...Selamat Malam... Ciyeee yang kalah galau. Hahaha 

H: Malam juga... salam kek. Siapa galau? Aku? Soriii! (Setengah emosi)

D: Kalau nggak galau jangan emosi gitu kenapa. Tambah cantik deh kalau lagi panas.

H: Ngeledek nih? Marah itu temennya setan tahu. Kamu mau temenan sama dia? Aku sih ogah!

D: Lah? Aku kan selalu ngikutin kamu. Kalau kamu nggak mau bagaimana dengan aku. Buktinya aku nurutin kamu tuh barusan. Kamu nyuruh nulis tanganku bergerak nulis. Kamu nyuruh ngetik tanganku juga bergerak ngetik.

H: Yaiyalah kamu harus ikutin aku. Aku kan hatimu... eaaa. Lagian aku juga bertanggung jawab atas kamu. Senengkan kamu aku manfaatin dalam hal yang bermanfaat disaat emosi? Daripada aku banting-banting pintu tetangga atau teriak-teriak di tengah jalan. Hehe (nanti disangka gila)

D: Alhamdulillah selama yang kamu inginkan bermanfaat kan buat pahala juga buat dirimu sendiri. Aku sih seneng-seneng aja melakukan apa yang kamu suruh apalagi yang baik-baik. Lagian aku nggak yakin kamu punya niat seaneh itu sampai mau banting pintu tetangga segala.

H: Maksudnya? Kok aku nggak ngerti?

D: Ya saat kamu mati nanti... kan aku yang akan mempertanggungjawabkan apa yang udah tangan/mata/kaki/ atau seluruh anggota tubuh ini aku lakukan. Saat ini memang kamu yang bertanggung jawab atasku. Segala yang akan tubuhku lakukan bergerak atas dirimu. Tapi nanti saat ragamu terpisah dari ruhmu. Akulah yang akan mempertanggungjawabkan semua. Aku yang akan sibuk menjawab pertanyaan dari malaikat. :) Nanti aku jawab dengan jujur semua yang telah aku lakukan semasa hidup. Termasuk memanfaatkan energimu disaat emosi dengan berbagi manfaat. Ciyeeee

H: Kata-katamu bikin aku sedih. Aku takut selama ini aku menyuruh melakukan hal-hal yang nggak bener. Maaf ya.... Aku akan belajar terus menerus meluruskan niat. :) Semoga bisa ya...

D: Aamiin. Semoga senantiasa hatimu terpagut pada Nya. Energi marah/kecewamu manfaat kok. Aku suka. Hehehe

H: Ini muji apa ngeledek? Masa kamu narsis sih?

D: Hehehe... biarin. Yang penting bikin kamu seneng dan bahagia. Aku suka :)

Kalah

Jalan kemenangan masih ada
saat kalah, jangan lelah. Tangan masih boleh mengadah, menghadap Tuhan dengan pasrah.  Kemenangan itu punya jalan yang terang.

lelah dengan kalah? cobalah cari arah baru agar semangat menggebu tetap bertalu. 

kalah dengan perjuangan lebih baik daripada kalah tanpa hadapi tantangan. Bukankah dengan begitu kita belajar banyak hal? 

kalah itu bukan sesuatu yang salah. Ia justru bagian dari kemenangan. Kalau tak ada yang kalah maka tak akan ada yang menang 

memang tak selamanya kalah itu indah. Tapi, kita bisa jadikan itu sebagai anugrah bahwa kita telah berani mencoba dan berusaha 

kalah itu bukan mengalah, hanya saja memberi kesempatan bagi yang lain untuk meraih kemenangannya 

dan hari ini, saya akui kekalahan secara elegan. Kalah untuk saat ini, tapi tidak untuk nanti! 

Selasa, 27 Agustus 2013

Doa terbaik untuk Indonesia


Melihat  dan menyatakan bahwa keadaan bangsa ini baik-baik saja adalah salah. Jika benar,  lalu kenapa tuan-tuan berpangkat di atas sana berdiam diri bahkan asyik sendiri menikmati santapan empat sehat seratus sempurnanya dalam tenang, sementara masih ada seorang nenek tua di tanah air tercinta memanggul seember air keruh yang akan digunakannya untuk keperluan  makan dan minum karena tak mampu membeli air bersih di musim kemarau ini?


Melihat dan menyatakan bahwa keadaan bangsa ini baik-baik saja adalah dusta. Jika jujur, lalu kenapa tuan-tuan berpangkat di atas sana berdiam diri bahkan asyik sendiri menghitung dan mengumpulkan pundi-pundi tanpa sumber yang jelas tidak diketahui, lalu dengan gagahnya bangga mengenakan kaos “tahanan”  sementara masih ada seorang anak sekolah dasar di pelosok sana yang terhenti mengenyam pendidikan karena tak mampu membayar buku? Cih jangankan buku membayar spp sebesar Rp5000 saja ia tak mampu.


Melihat dan menyatakan bahwa keadaan bangsa ini baik-baik saja adalah Bodoh. Jika pintar, lalu kenapa tuan-tuan berpangkat di atas sana berdiam diri bahkan asyik sendiri menikmati aneka barang-barang impor kualitas ternama dengan sertifikat sebagai penjamin bahwa barang yang dibeli dan dimilikinya adalah asli, sementara ada banyak produsen lokal atau rumahan yang tengah bergempur penuh perjuangan untuk memajukan perekonomian rakyat tapi kini hampir gulung tikar karena sokongan seakan menghilang terbang tanpa pernah ada terang?


Melihat dan menyatakan bahwa keadaan bangsa ini baik-baik saja adalah gila. Jika waras, lalu kenapa tuan-tuan berpangkat di atas sana berdiam diri bahkan asyik sendiri memikirkan ajang pencarian wanita tercantik di dunia dengan alasan bangga sebagai bangsa yang mampu menyelenggarakan acara sekelas internastional dengan kedok meningkatkan pariwisata, sementara ada negara sahabat yang dulu menjadi garda terdepat dalam mendukung kemerdekaan kini dalam keadaan tak sehat karena rakyatnya dibantai secara biadab tak pernah dibahas dalam pemikiran?


Hai kamu… coba lihat ke dalam… lebih dalam.

Melihat dan menyatakan bangsa ini baik-baik saja adalah Benar. Jika salah, mungkin masyarakat dari Sabang sampai Merauke semuanya tengah dilanda kelaparan. Sebagian tuan-tuan di atas sana masih setia memikirkan kehidupan masyarakat kita. Mereka pun tengah sibuk memikirkan bagaimana caranya menanggulangi berbagai hal. Yuk Kita bergerak bersama dan doakan mereka!


Melihat dan menyatakan bangsa ini baik-baik saja adalah jujur. Jika dusta, mungkin masyarakat dari Sabang sampai Merauke semuanya tengah terjangkit kasus pencurian. Sebagian tuan-tuan di atas sana masih setia memberantas dan membabat koruptor yang tengah membuat negara kita demikian kotor. Mereka pun sibuk beraksi menangkap oknum pejabat dari kelas kakap hingga kelas teri tanpa permisi. Kita doakan saja agar mereka mampu menjebloskan mereka semua ke dalam jeruji besi. Jika tidak… percayalah bahwa pengadilan akhirat lebih pasti.


Melihat dan menyatakan bangsa ini baik-baik saja adalah Pintar. Jika bodoh, mungkin masyarakat dari Sabang sampai Merauke tidak akan ada yang mau berusaha membuat atau menciptakan aneka barang dan produk berkualitas. Tapi nyatanya mereka mampu dan mengirimnya ke berbagai belahan dunia bahkan dengan bangga menyatakan bahwa ini adalah produk Indonesia. Sebagian tuan-tuan berpangkat di atas sana pun mendukung penuh agar produk-produk generasi kita mejejak di kancah interasional. Mari terus semangat berkarya!


Melihat dan menyatakan bangsa ini baik-baik saja adalah waras. Jika gila, mungkin masyarakat dari Sabang sampai Merauke berdiam saja melihat negara sahabatnya dalam keadaan tak sehat. Buktinya masyarakat melakukan aksi nyata terhadap saudara-saudaranya di Mesir sana. Dari mulai melakukan aksi solidaritas hingga mengirim bantuan ke negera elang saladin sana. Pun halnya dengan sebagian tuan-tuan berpangkat di atas sana yang turut mendukung gerakan ini.

Bangkitlah jiwanya bangkitlah raganya untuk Indonesia raya.
Doa terbaik selalu untukmu 


-Reisa Dara- 

Kisah Malang Melintang


Malang. Mendengar nama kota apel itu membuatku hatiku berbinar. Bagaimana tidak! Aku selalu memimpikan berada di kota tersebut. Penasaran dan tak sabar untuk melihat pemandangan Gunung Bromo serta wisata lainnya di sana. Impianku sebentar lagi akan terwujud nyata. Yap! Aku akan segera ke sana.
Liburan semester genap kali ini seolah menjadi peluang untukku membabat habis impian itu. Tiket kereta ekonomi ac Matarmaja sudah di tangan. Izin ayah bunda juga sudah dipegang. Ah, semakin tak sabar menghabiskan 24 jam lagi untuk menuju ke sana.  Besok keretaku berangkat jam 14.00. Mata ini seolah tak lelah padahal semenjak tadi sudah berolah melakukan packing. Jam berbentuk mawar sudah menunjukkan pukul 02.00. Tanganku masih asyik utak atik netbook. Melakukan browsing destinasi lebih lengkap sebagai persiapan lebih mantap.      
Backpacker sendiri kali ini memang membuatku lebih berantisipasi. Di sana aku punya Mas Fajri, sepupu yang kini berkuliah di Universitas Brawijaya. Rencananya dia yang akan membantuku selama aku berlibur di sana. Setidaknya dia bersedia memberi informasi selama aku di sana nanti. Meski dia belum libur kuliah, semoga tetap bisa menemani. Jika tidak, berarti benar-benar aku akan bertualang sendiri.
                                                ****
Pukul 11.00 aku sudah berangkat dari rumah menuju Stasiun Pasar Senen. Sebelumnya, hampir dua jam aku mendengar dan menyimpan ucapan berupa nasehat dari mama terkait perjalananku selama empat hari ini. Maklum, aku anak perempuan satu-satunya. Dua kakak laki-lakiku sudah bekerja dan berumah tangga. Sementara ayah berlaku seperti biasa tak menspesialkan diriku yang perempuan. Tapi, aku lebih suka diperlakukan seperti itu.
Pukul 13.30 aku tiba di Stasiun Pasar Senen. Pemandangan manusia yang duduk di depan pintu masuk seolah sudah menjadi biasa di depan mataku. Situasinya sama seperti waktu aku pergi ke Jogja di liburan smester lalu. Penumpang Matarmaja sudah dipersilakan masuk oleh petugas. Segera kupersiapkan KTP dan tiketku. Aku hanya membawa sebuah ransel dan tas kecil.
Kereta Matarmaja sudah dipersiapkan di peron jalur satu. Bergegas aku masuk dan mencari tempat duduk. Gerbong 6 no 4A. Dalam hati sebenarnya aku berdoa semoga orang yang akan duduk di sampingku nanti adalah anak muda seumuranku. Kalau tidak, ya minimal orang baik agar nanti perjalananku tidak kaku.
Ransel sudah kutaruh di atas. Kini hanya ada aku dan tas kecil berisi seluruh barang berharga. Meski sebenarnya aku juga menyimpan sebagian uangku di ransel. Jaga-jaga jika ada hal yag tidak diinginkan terjadi. Seorang lelaki tua berambut putih tergopoh-gopoh mendekat ke arah bangkuku. Mungkin beliau yang akan duduk di sampingku. Beliau menunjukkan tiketnya padaku. Aku mengangguk mengiyakan kalau benar bahwa nomor tempat duduknya tepat di sebelahku.
“Maaf Cu… boleh kakek tukar tempat duduk? Istri kakek duduknya beda dua bangku sama tempat duduk kakek ini. Jadi cucu duduk di tempat istri kakek” Ujar sang kakek penuh harap. Aku segera tersenyum dan mempersilakannya. Kuambil ranselku yang sempat kutaruh dan aku pun bertukar tempat duduk. Nenek dan kakek itu kini duduk bersama. Senangnya melihat kesetian kakek pada nenek itu.
Kini karcisku berubah menjadi nomor 1B. Otomatis aku berada paling depan. Depanku tak ada orang jadi, di hadapanku kini hanya dinding kereta berwarna hijau. Aku ingin sekali duduk di samping kaca. Untung penumpang 1A belum datang sehingga aku leluasa memilih duduk.
Sorry ini gerbong enam kan, ya?” Tanya seorang pemuda berkacamata  saat aku tengah asyik memperhatikan kerumunan orang lewat kaca. Segera aku menoleh dan menjawab dengan anggukan kepala. Cakep!
“Nomor tempat duduk saya 1A. Boleh saya duduk di bangku saya” Ujarnya sambil tersenyum sambil memperbaiki posisi kacamata. Lelaki ini memang memiliki paras yang dapat dikatakan luar biasa. Kulitnya putih dan memiliki senym khas yang entah kenapa membuat sedikit hatiku meletup. Namun ucapannya membuat moodku berkisut. Aku segera menggeser posisi duduk. Padahal aku ingin sekali duduk di samping kaca.
Pemuda ini segera menaruh ranselnya. Ternyata ransel kami mirip hanya saja berbeda warna. Ia duduk dengan tenang. Sementara aku terdiam. Tak lama ponselku berdering. Di layar tertuliskan “mama calling”. Bergegas aku mengangkatnya. Tak sampai tiga menit aku bercakap-cakap ponselku tiba-tiba mati. Bodoh! Semalam aku lupa ngecash.
Low batt?” Tanya pemuda di sebelahku setelah aku mengeluh karena ponselku mati. Aku mengangguk sambil tersenyum sekejap. “Kalau mau ngcash biasanya ada di restorasi.” Ujarnya memberi informasi.
“Boleh pinjem ponselnya? Saya mau sms mama saya. Mau ngasih tahu kalau ponsel saya mati. Takutnya orang rumah khawatir” Jelasku tanpa malu. Di saat seperti ini rasa malu sudah kulempar ke rel kereta. Lebih baik seperti ini daripada nanti mama heboh dan menyangka aku kenapa-kenapa. Pemuda itu segera menyodorkan ponselnya ke arahku. Segera saja aku mengutak-atik keypad huruf tersebut. Setelah asyik mengirim pesan bergegas aku mengembalikannya tentu dengan ucapan terima kasih. Tak berapa lama ponselnya berdering. Pemuda ini menengok ke arahku, lalu memberikan ponselnya. Mama menelponku.
“Makasih ya Mas. Sorry ngerepotin” Ujarku setelah selesai menerima telepon dari mama.
“Iya sama-sama. Santai aja. Btw kamu mau ke mana? Sendirian aja?” Tanya pemuda ini. Tak berapa lama kereta berjalan.
“Mau ke Malang. Iya sendirian aja.” Ujarku seadanya.
“Saya Diaz. Masih mahasiswa. Kamu?” Ujarnya memperkenalkan diri.
 “Beneran mahasiswa? Coba mana KTMnya?” Selidikku. Di mana saja harus waspada terlebih aku sendiri. Sejenak dia tertawa lalu mengeluarkan dompet di saku celana. KTMnya di sodorkan ke arahku. Fiuh lega. Ternyata dia memang mahasiswa dan tidak berdusta. Terlebih kartu mahasiswanya sama denganku. Sama-sama dari UI.
“Perlu di pamerin bukti lain? Ujarnya meledek sementara aku menggeleng.
“Syukur… ternyata beneran mahasiswa. Aman! Maklum saya sendirian. Jadi harus ekstra waspada. Iya, saya mahasiswa juga. Bahkan kita satu kampus. Saya Laras” Ujarku sambil meringis.
“Oh ya, coba lihat? Tantangnya gantian. Aku pun bergegas mengeluarkan KTMku di dalam tas kecil. Setelah kutunjukkan dia mengangguk-angguk seperti takjub. “Wah nggak nyangka sebangku sama anak UI juga. Jurusan apa? Angkatan berapa? Kalau saya Psikologi angkatan 2009” Jelasnya
“Angkatan 2010 jurusan Sastra” Jelasku lalu memasukan kembali KTMku. “Salam kenal Kak Diaz” Ujarku berusaha sopan karena ternyata dia angkatan senior.
Awal mula kami mengobrol kaku. Lambat laun mengobrol sampai tak tahu malu. Obrolan kami tak karuan ke sana ke mari. Sedikit ada kebahagiaan karena teman seperjalanan sungguh baik dan menyenangkan. Kami kenal baru beberapa jam tapi rasanya seperti kawan lama yang sudah tak lama jumpa. Aku jadi bersyukur karena bertukar tempat duduk. Kalu tidak mungkin jam segini aku akan garing dan mengering.
Saat malam Diaz mengajakku ke restorasi. Selain bertujuan untuk makan dan meluruskan kaki tujuanku ke sana juga untuk memenuhi batre ponsel. Kami banyak bertukar cerita. Dari soal kehidupan kampus hingga berbagai hal. Ternyata Diaz asli dari Malang dan kini akan pulang karena liburan panjang. Dari kisahnya aku tahu bahwa rumahnya di daerah Batu. Tak terasa kami mengobrol hingga larut malam bahkan terlampau pagi. Jam menunjukkan pukul 00.32 Diaz mengajakku kembali ke tempat duduk. Aku setuju karena batre ponselku sudah penuh.
“Kak Diaz… boleh tuker nggak?” Ujarku memelas berharap dia mengizinkan aku duduk di samping kaca. Dengan senang hati akhirnya dia memberi kesempatan itu. Sebenarnya tujuan utamaku adalah agar aku bisa tidur bersandar kaca.
Udara malam semakin dingin terlebih ac Matarmaja ini dekat dengan tempat duduk kami. Jaketku berada di ransel, seingatku berada pada bagian paling bawah. Tak mungkin aku membongkarnya. Diaz sepertinya tahu aku kedinginan lalu dia memberikan jaket kulit yang dikenakannya padaku. Tadinya aku menolak tapi karena dia memaksa jadi aku terima. Lumayanlah dari pada ribet bongkar-bongkar ransel.
                                                ****
Malang. Akhirnya aku menjejak juga. Keretaku tiba di Stasiun Malang Kota Baru tepat pukul 08.00. Mas Fajri sepupuku sudah datang menjemput. Bergegas aku pamit kepada Diaz. Entah karena terlalu senang atau karena sudah tiba di Malang aku sampai lupa meminta no ponsel Diaz. Diaz sudah keburu menghilang di telan kerumunan. Padahal jaketnya belum sempat aku kembalikan. Nasib!
“Heh! gimana perjalanan? Seru?” Tanya Mas Fajri sembari menarik ranselku mencoba mengambilnya. “Sini Mas bawain. Kasian nanti kalau sampai kamu tambah kurus bisa-bisa aku diceramahin sama Tante!” Jelas Mas Fajri lagi dan akhirnya aku menyerahkan ranselku padanya.
“Seru… seru banget. Malah aku dapat kenalan, Mas. Tapi, aku lupa minta nomor ponselnya. Jaketnya dia kebawa, Mas… Oon deh aku” Jelasku menyesal. Mas Fajri mengelengkan kepalanya. Sepertinya dia sudah hapal dengan watak sepupunya yang teledor plus ceroboh. Meski kami seumuran namun sepertinya Mas Fajri lebih dewasa dibanding aku.
“Ye… gimana sih kamu. Kebiasaan... Udahlah kalau jodoh nanti juga ketemu lagi. Eh iya nanti kamu tinggal di kosan temen mas Mas Fajri ya. Dia udah pulang kampung ke Makasar jadi kamarnya bisa kamu pakai. Udah izin juga kok sama ibu kosnya.” Ujar Mas Fajri memberi pengarahan dan aku pun mengangguk senang. “Btw rencana kamu ke mana aja nih?” Tanya Mas Fajri sambil megajakku keluar dari stasiun. Aku segera memberikan secarik kertas yang kukeluarkan dari tas kecil. “Daftar perjalanan Laras” Mas Fajri hanya geleng-geleng kepala membaca daftar perjalananku.
“Aku nggak bisa anter ke tempat ini full loh ya. Kan Aku udah bilang kalau belom libur. Jadi nanti beberapa tempat aja yang bisa aku anter. Sisanya… kamu jalan sendiri ya. Sorry banget” Jelas Mas Fajri sedikit menyesal. Aku pun mengangguk mengerti. Sudah banyak bantuan yang diberikan anak budeku ini bagiku sudah cukup dan aku sungguh berterima kasih.
                                    *****
Setelah salat Isya, Mas Fajri mengajakku ke Batu—setelah sebelumnya aku balas dendam hampir tidur seharian karena lelah tak karuan. Aku jadi ingat Kak Diaz… rumahnya kan di daerah Batu. Tapi nggak tahu Batu sebelah mana. Dia apa kabar ya? Pasti lagi asyik berkumpul dengan keluarganya.
“Woy… bengong aja. Nih, pakai!” Ujar Mas Fajri menyodorkan helem dan membuyarkan lamunanku. Aku cengengsan. Kami berangkat saat senja. Selama perjalanan sungguh kunikmati udara dingin yang menyeruak ke dalam tulang, padahal jaketku sudah dobel dua. Satunya jaketnya Diaz karena aku cuma bawa satu jaket.  Namun apa daya dingin tetap saja menusuk mungkin karena badanku terlalu kurus. Nasib!
 Sungguh keindahan kota Malang tergambar jelas di depan mata. Kami sampai sekitar pukul 19.00 dan kini aku berdiri di tempat paralayang biasa mengudara. Hamparan rumah-rumah dengan lampu-lampu terang terbentang seperti bintang begitu terlihat sempurna. Mas Fajri bilang ini tempat wisata Gunung Banyak. Memang banyak sekali gunung-gunung yang bertumpu meski samar terlihat. Banyak pemuda pemudi seusiaku yang menghabiskan waktu bersama di tempat ini. Hiy… mana rada gelap. Jadi ngeri sendiri.

Wisata Gunung Banyak

“Nih” Ujar Mas Fajri menyodorkanku secangkir cup kopi panas. Tanpa pikir panjang aku langsung menyeruputnya. Membuat badanku terasa hangat.
“Kak Fajri…” Tiba-tiba suara seorang perempuan dari arah belakang terdengar. Seketika aku dan Mas Fajri menoleh. Tepat di belakang kami kini berdiri seorang perempuan berjilbab senada seperti yang aku kenakan. Ia mengenakan kacamata putih. Cantik!
“Eh Ayu…lagi anter makanan ya?” Ujar Mas Fajri ke arahnya. Sepertinya dia temannya. Gadis itu mengangguk sembari tersenyum.
“Ras… kenalin ini Ayu. Junior Mas Fajri di kampus. Kita satu organisasi Bem.” Jelas Mas Fajri menjelaskan dan aku menyodorkan tanganku.
“Ini Laras sepupu saya. Lagi liburan dia. Jadi sebagai Kakak yang baik dan bertanggung jawab saya anter dia deh ke mana-mana” Jelas Mas Fajri memperkenalkanku. Aku menyenggol mas Fajri karena ledekannya.
Ayu menjabat erat tanganku disertai senyuman yang membuatnya nampak anggun. Kulitnya halus dan putih. Suaranya lembut sekali. Malam ini Ayu datang ke tempat ini karena mengantarkan makanan untuk warung yang buka di tempat wisata ini.
 “Kak Laras… ke rumah Ayu Yuk. Rumahku dekat sini. Sekalian makan malam.” Ajak Ayu tiba-tiba. Mas Fajri semangat mengompori. Dasar anak kost pasti mau numpang makan gratis. “Di rumah Ayu makanannya sederhana Kak. Tapi di Jakarta pasti nggak ada. Makanya kakak harus coba. Mau ya?” Pinta Ayu lagi merayu. Akhirnya aku mengangguk tanda setuju.
 Ternyata rumah Ayu benar-benar tak jauh dari tempat wisata tadi. Aku dan Ayu berjalan kaki sementara Mas Fajri di belakang membuntuti kami. Jalanan memang sedikit gelap dan sunyi. Tapi obrolan kami memecah semuanya. Dari kisahnya aku tahu bahwa Ibu Ayu penjual gorengan dan menitipkannya ke warung-warung. Salah satunya warung di tempat wisata tadi. Tapi aku salut karena meski demikian bagi kelurga Ayu pendidikan adalah nomor satu.
Rumah Ayu benar-benar sederhana tapi hangat. Terlebih kehangatan itu terasa saat aku bertemu dengan ibunya. Ibunya cantik dan ramah. Segelas teh panas disuguhkan untukku dan Mas Fajri. Tak berapa lama kami diajak duduk lesehan beralaskan tikar di ruang tengah. Makan malam.
Di depanku terdapat semangkuk makanan berkuah sepiring tempe dan kerupuk, sepertinya nikmat. Terlebih nasi yang disodorkan Ibu Ayu masih panas cocok di suasana seperti ini.
“Nak Laras, ini kalau di sini namanya “Jangan Lombok” Bahasa Indonesianya sih sayur cabe. Pokonya uenaaak… ya gini ini makanan orang ndeso” Ujar Ibu Ayu menjelaskan.
“Wah, ini udah seneng dan bersyukur banget diajak mampir terus ditawarin makan. Makasih banget loh Ibu dan Ayu. Ini menggugah selera. Aku memang suka sekali pedas” Jelasku tersenyum sembari menatap tebaran cabai rawit hijau di mangkuk sayur tersebut. Kami berempat pun makan bersama. Masakan Ibu Ayu benar-benar nikmat. Pedasnya Nampol.
“Ya ampun, bibir sampe merah gitu. Kebakaran Ras?” Ledek Mas Fajri saat melihat aku tengah menghabiskan sisa kuah di piring. Aku tersenyum meringis. Ayu dan Ibunya tersenyum senang. Selesai makan bersama kami melanjutkan obrolan di ruang tamu.
“Sekarang kuliah di mana, Nak Laras?” Tanya Ibu Ayu sambil memenuhi cangkir tehku yang sudah habis.
“Di Ui, Bu” Jawabku
“Wah sama kaya Mas Diaz dong? Kak Ayu kenal Mas Diaz nggak? Dia jurusan Psikologi angkatan 2009.” Ayu menyambar. Ucapannya membuatku tersedak.
Deg! Inikah yang dinamakan jodoh? Padahal tadi pagi aku berharap mendapatkan nomor ponselnya. Ternyata sekarang aku di rumahnya. Mas Fajri menyenggol kakiku.
“Ya ampun. Jadi Kak Diaz itu kakak kamu Yu? Tadi pagi itu aku sekereta sama dia. Baru kenal juga di kereta. Ternyata sekarang aku di rumahnya.” Ujarku menjelaskan. Seketika Ayu dan Ibunya saling bertatapan.
“Oh… jadi yang tadi diceritain Diaz itu, ternyata Nak Laras toh. Tadi sore itu Diaz cerita ke Ibu, katanya di kereta tadi teman seperjalanannya menyenangkan. Pas ibu tanya orangnya gimana-gimana eh dia ndak meneruskan ceritanya. Lha kok ternyata temannya sekarang di sini.” Jelas Ibu Ayu
“Tuh kan Ras… Mas bilang juga apa. Kalau jodoh pasti ketemu lagi. Jaketnya Diaz ini kebawa sama Laras, Bu. Kebiasaan teledor ini anak. Tadi pas distasiun dia kebingungan karena mau mengembalikan jaket. Orangnya udah nggak ada” Penjelasan Mas Fajri kali ini benar-benar membuatku malu.
“Nak Diaz lagi ke rumah temennya. Sebentar lagi juga pulang. Tunggu saja. Biar kejutan” Jelas Ibu ayu semakin membuat mukaku malu.
Benar saja kata Ibu Ayu. Tak berapa lama kemudia, Diaz datang dan kaget melihatku di hadapan. Kami seketika kaku. Aneh sekali meski sebenarnya secuil  hatiku bersorak karena bisa bertemu lagi dengannya. Ibu Ayu lalu menjelaskan semuanya. Wajah Diaz memerah kepergok karena tahu aku mendengar dari Ibunya bahwa dia menceritakan pertemuannya denganku di kereta.
“Mas Diaz… Kak Fajri ini sepupunya Kak Laras sekaligus senior Ayu di kampus.” Jelas Ayu dan  Diaz mengangguk-angguk mencoba paham. Akhirnya kami berlima mengobrol santai. Setelah mengobrol terlalu lama akhirnya aku dan Mas Fajri pamit.
“Oh iya… Laras tinggal sama Fajri satu kosan?” Tanya Diaz saat mengantar aku dan Mas Fajri ke teras depan bersama Ayu.
“Enggaklah… bisa dibunuh  aku sama tante. Dia tinggal di kosan temenku” Jelas Mas Fajri menyambar.
“Oh iya Kak Diaz… jaketnya kebawa aku. Ini aku pake buat dobelan. Gimana yak Kak?” Tanyaku jujur. Nggak enak sih sebenarnya pinjam jaketnya kelamaan lagian belum aku cuci juga.
Diaz tersenyum menatapku sesaat. Dia hanya mengangguk saja tanpa berkata apa-apa.
 “Besok rencananya saya mau ke Bromo sama Ayu. Kamu mau ikut?” Ujarnya mengajak tanpa mempedulikan pertanyaanku.
“Nah… Tuh Ras… pas banget. Lumayankan daripada kamu sendirian” Senggol Mas Fajri ke arahku. “Si Laras ini punya list perjalanan, Iaz… salah satunya Bromo itu.” Ujar Mas Fajri lagi ke arah Diaz.
“Asyik… Ayu ada temennya. Males soalnya kak kalau jalan sama Mas Diaz berdua doing. Orang suka nyangka kita pacaran. Hehehe. Kak Laras mau kan nemenin Ayu?” Tanya Ayu merajuk.
Aku pun akhirnya mengangguk setuju. Kesempatan ini tidak datang dua kali. Lagi pula jalan-jalan sendiri belum tentu lebih seru. Ternyata memang aku tidak diizinkan untuk bertualang sendirian. Buktinya Tuhan mengirim Diaz dan Ayu untuk menemaniku. Tak sabar rasanya menunggu esok.
                                                *****
Kini aku berdiri di ujung anak tangga depan Kawah Bromo. Perjalanan panjang nan indah serta menghibur mata menuju Kawah Bromo terlewati sudah. Kami pergi menggunakan mobil Jip sewaan. Kakiku kini sudah payah untuk melangkah lagi. Ternyata selain butuh kesiapan mental yang penuh persiapan tenaga lebih diperlukan. Nafasku terengah-engah benar-benar lelah.
Kak Diaz dan Ayu sudah berada di depanku. Ia bersandar pada pagar kawah dan sepertinya asyik menatapnya. Sementara aku kini terengah-engah menapaki anak tangga. Langkahku benar-benar terhenti. Sudah tidak kuat lagi.
“Ayo Kak Laras… sedikit lagi. Selangkah lagi” Semangat Ayu yang sudah selangkah mendahuluiku. Aku hanya mampu menjawab dengan senyuman meski setengah kupaksakan.
Aku membungkukkan badan sembari memegang kedua lututku. Aku menyerah. Aku berniat untuk duduk di anak tangga terakhir ini. Namun, belum sempat aku merebahkan diri seseorang menarik ke dua tanganku mengajakku untuk berdiri kembali. Ayu.
“Belum selesai, Kak. Bukan di sini istirahatnya.” Ujar Ayu membantuku berdiri. Dari depan kulihat Diaz menatap ke arah kami.
“Ayo Ras selangkah lagi” Ujar Diaz menyemangati. Ucapannya kali itu benar-benar membuatku bersemangat kembali. Hingga akhirnya kini aku berhasil berdiri di samping kawah. Pemandangan berasap putih dengan air kawah yang berwarna hijau memenuhi mata. Sungguh impaiku terlunaskan. Ini yang ingin aku lihat selama ini. Kawah Gunung Bromo yang sangat indah dan memukau. Terlebih aku menuntaskan mimpiku bersama orang-orang yang membuat hatiku senang dan tenang.
“Cantik…” Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku. Sepertinya rasa lelahku tersedot setelah melihat pemandangan itu. Ajaib.

“Secantik kalian berdua…semoga tetap istiqomah” Ujar Kak Diaz tiba-tiba membuat aku dan ayu menoleh ke arahnya. Bagi Ayu pujian itu adalah rasa sayang kakak terhadap adiknya. Namun bagiku pujian itu berarti lain. Entahlah…

Minggu, 25 Agustus 2013

Ayah 2


Aku :D
Baru saja aku menyendokan sesuap nasi berlauk telur mata sapi pada ayahku. Kami duduk berdampingan. Sambil merintih menahan sakitnya ayah mengunyah perlahan. Aku membuka cerita selepas salat magrib pada ayahku terkait kisah di hari ini. Bagiku bercerita adalah teman yang tepat di saat-saat seperti ini.

“Yah… tadi itu akad temenku keren deh. Akadnya di rumahnya. Sederhana sekali tapi khidmad luar biasa. Nanti kalau nikah aku mau setipe kaya gitu.” Ujarku sembari memotong telur dan menyuapkan nasi lagi pada ayahku. Sambil terus mendengarkan aku bercerita lagi.

Hari ini adalah hari spesial bagi sahabatku Samiah. Di hari ini ia resmi menyandang status sebagai istri dari seorang guru lulusan IPB. Aku… Rina… Inay … dan Nila mengambil bagian dalam acara sakralnya. Meski amatiran alhmdulillah Sami mepercayakan tata rias akadnya padaku dan Rina. Sementara Inay berperan sebagai fotografer dan Nila memiliki andil sebagai seksi penyalur dokumen adminstrasi antara mempelai laki-laki dan perempuan.

Acara di minggu pagi tadi sederhana sekali. Namun tak dapat kupungkiri justru kesederhanaannya itulah yang membekas di hati. Pernikahan sahabat kami seolah menjadi sebuah inspirasi bahwa menikah itu mudah. Tak serempong orang-orang yang menyiapkan lala lili yang kadang terlalu berlebih.

Hal yang paling membuatku menjatuhkan butir-butir air mata di minggu tadi adalah saat melihat ayah Sami yang biasa dipanggilnya dengan sebutan Bapak. Entahlah… saat melihat Bapak aku teringat ayahku.

Semenjak kemarin sore aku izin kepada ayah untuk pergi ke Depok guna menepati janji terhadap Sami yang memang meminta padaku untuk menjadi tata arias sederhana di acara akadnya. Ayahku masih sakit. Belum sembuh benar… tapi alhmdulillah beliau mengizinkan. Lagi pula aku sudah berjanji akan segera pulang cepat jika acara sudah selesai. Sebagai gantinya adikkulah yang bergantian menjaga ayah selama aku pergi.

“Ya… memang Islam itu tidak pernah ribet. Manusianya aja yang sekarang berlebihan. Sekarangkan banyak nikah mewah-mewah padahal dalam Islam sendiri nggak ada sunahnya merayakan secara berlebihan. Nanti kamu kalau nikah maunya di mana?” Ayah berkomentar dan melempar tanya padaku. Aku meringis lalu merajut pikiranku tentang pernikahan impian yang memang selalu kuinginkan sejak dulu.

“Aku maunya nikah di mesjid. Sekali aja selesai Yah. Yang penting ada anak yatim yang diundang.” Jelasku lalu menyuapkan nasi lagi pada ayah.

Ayah mengangguk. Sementara dalam hati aku mengaminkan sendiri.

Saat aku pulang tadi adikku melaporkan banyak hal. Sejak aku tinggal kemarin ayah tidak mau makan. Aku sih memang sudah curiga akan seperti itu. Soalnya ayah bilang sendiri kalau makan maunya aku yang suapin. Agak sebel sendiri awalnya karena alasan ayah kalau disuapin adik gak enak. Tapi aku mencoba paham. Mungkin memang berbeda rasanya. Tapi aku sedikit menarik napas lega karena meski tidak mau makan nasi… ayah masih tetap menjaga lambungnya agar terisi. Kata adik… ayah maunya makan es buah sama singkong goreng. Ya sudah alhmdulillah.

Aku tiba sekitar pukul setengah dua siang. Tadinya aku berniat merebahkan badanku sebentar. Maklum hari ini baru tidur selama tiga jam rasanya ngantuk sekali. Tapi berhubung melihat kondisi kosan yang agak berantakan jadilah aku bersih-bersih dahulu. Percaya saja kalau adikku tidak melakukan kegiatan yang biasa aku lakukan. Nyapu dan ngepel.

Selesai bersih-bersih aku segera salat zuhur lalu mencuci beberapa pakian kotorku dan ayah. Lumayan menguras tenaga. Tapi anehnya rasa kantuk hilang begitu saja. Ayah tertidur di ruang tengah jadi agaknya tidak menyadari bahwa semenjak tadi aku sudah pulang.

Saat ayah terbangun rupanya aku tengah tertidur. Lumayan sekita dua jam dapat waktu tidur yang kurasa cukup maksimal. Bangun tidur… ayah segera minta di sekoh alias di washlap. Di bersihin badannya pakai handuk basah maksudnya. Hehehe. Aku mengiyakan dan segera melakukan kegiatan rutinku. Rasanya selama tiga harian ini aku menjadi seorang perawat. Cieee

Selesai membersihkan badan ayah aku segera salat ashar. Aku baru sadar saat selesai salat bahwa kaki ayah kini agaknya membengkak. Rupanya saat aku tengah tertidur tadi ayah dan adikku pergi ke apotik untuk membeli obat. Ternyata oh ternyata… ayahku terkena asam urat.
Cess…

“Udah aku makannya” ucap ayah saat aku ingin menyendokan suapan nasi lagi.

“Habisin. Siapa yang mau makan coba?” Ujarku sedikit tegas dan ayah manyun. Biarin. Sekali-kali memang ayah perlu ditegasin seperti itu. Ayah lalu membuka mulutnya lagi. Alhmdulillah satu piring habis. :D

Selesai makan nasi aku menawari ayah untuk makan es buah. (Karena tahu ayah suka es buah… aku dan adikku membelikannya lagi)

“Aku maunya disuapin syaukat” Ujar ayah dan aku mengangguk-angguk sembari mengirim pesan kepada adikku untuk datang ke kosan. Kasihan sih sebenernya dari tadi dia udah bolak-balik. Tapi mau bagaimana lagi… kan ayah yang minta.

Adikku tak lama datang. Segera saja dia menuangkan es buahnya ke dalam mangkok dan kemudian menyuapi ayah.

“Aku maunya kalau makan disuapin Nines. Kalau makan es buah disuapin Syaukat” Ayah berkata-kata sementara aku dan adikku salng bertatap dan nyengir kuda. Kami sama-sama mengiyakan.

“Kalau sakit gini aku baru ngerasa kalau punya anak. Ada yang nyuapin… ngelapin badan…” Ujar ayah di tengah-tengah suapannya. Aku dan adikku saling pandang dan tertawa. Padahal sebelumnya aku sudah banjir air mata.

Menjelang magrib tadi aku menghubungi kakakku. Aku kabari saja keadaan yang sebenarnya. Pas lagi enak-enak berurai air mata eh… dia telepon. Aku berbicara sebentar sisanya aku kasih ke ayah. Setelah selesai bercakap-cakap aku bergegas ngibrit ke kamar mandi. Alasannya sih mandi… padahal mah… yah… tahu sendirilah…

Semoga sakit ayah menggugurkan dosa-dosanya. Semoga Allah segera angkat sakitnya dan memberinya sehat dengan cepat. Aamiin


*Saya bersyukur terlahir sebagai anak perempuan ayah :)*

Selamat pagi :)


Aku tertawa karena cinta

Dan tawaku renyah kedengarannya.

Meski terkadang kerenyahannya membuat pecah air mata.


:) 


Published with Blogger-droid v2.0.4

Jumat, 23 Agustus 2013

Gosip...


Gosip
“Woi… ngelamun aja. Hati-hati ayam tetangga bisa mati” Andre mengagetkanku  yang tengah berlayar dalam lautan pikiran semenjak tadi. Aku tersenyum menatapnya. Ia kemudian duduk di sebelahku dan memesan minuman. Aku menyeruput habis air mineralku. Berusaha meredam panas di tenggorokan sekaligus mendinginkan pikiran yang agaknya mulai kacau.

“Lo nggak mau cerita sama gue? Mumpung kerjaan gue udah kelar nih.”Andre memancing lagi. Sudah semenjak kemarin Andre memintaku bercerita terhadap masalah yang aku temui. Aku tahu maksudnya baik. Tapi entah kenapa rasanya malas membicarakan atau sekadar mengklarifikasi hal yang tak perlu.

“Lo suka kan sama Tara? Udah deh. Nggak ada yang bisa Lo sembunyiin dari gue.” Andre menyenggol lenganku. Aku tertunduk sesaat. Sudah berapa orang yang menebak seperti ini. Namun sayang tebakannya selalu tidak tepat.

Aku menggeleng perlahan. Mencoba menjawab dengan yakin terhadap apa yang aku rasakan.

“Lo seriusan? Tapi gosip yang beredar menunjukkan bahwa orang yang lo taksir itu Tara.” Andre menatapku serius. Pada akhirnya aku hanya bisa membuang napas secara perlahan. Lingkungan di kantorku memang baik. Namun untuk urusan berita burung yang tersiar ke mana-mana selalu saja tak pernah akan baik. Namanya juga gosip. Cepat menyebar luas tanpa pernah jelas. Apakah berita yang beredar itu benar atau tidak. Namun lebih banyak yang bertolak belakang dari gosip yang dibicarakan. Lebih menyedihkan lagi… sahabatku Andre kini ikut-ikutan. Padahal dulu dia tidak seperti itu.

“Jangan kemakan gosip. Nggak bener tuh berita!” Aku menjawab dengan tegas. Andre kemudian mengangguk mencoba memahami rangkaian kata yang kuberi.

Harus kuakui beberapa minggu  belakangan ini aku sering berurusan dengan Tara. Bukan karena suka atau ada segenggam rasa. Tapi karena memang pekerjaan yang memaksa untuk lebih banyak berhubungan dengan dia. Itu pun kurasa hanya sekadarnya. Obrolan tak jauh-jauh dari proyek yang tengah kami kerjakan bersama. Bahkan terkadang beberapa kali kami sampai makan siang bersama. Mungkin kedekatan ini yang ditangkap beberapa pasang mata oleh rekan kerja lainnya dan ditengarai sebagai objek pemicu lahirnya kabar burung tak tentu itu.

Seandainya saja boleh memilih rekan kerja, pastinya aku lebih memilih dengan lelaki. Namun karena atasanku sendiri yang meminta, aku tak bisa mengelak atau menolak. Aku tak pernah memilih tempat sepi untuk sekadar membicarakan proyek dengan Tara. Agar tak timbul bisik-bisik dari mulut yang teramat lincah berulah. Namun ternyata dengan berdiskusi di tempat ramai dan terang justru memantik gosip yang lebih garang. Malah kemarin sampai terang-terangan “mereka” menyangka bahwa aku sengaja berlaku demikian untuk sekadar memamerkan.

“Tapi Gra… tadi siang Tara ngomong ke gue lho. ..” Andre mulai membuka kata-kata. Aku menoleh ke arahnya.

“Ngomong apa?” Tanyaku sekadar ingin tahu. Sebenarnya pikiranku berlayar ke tempat lain.

“Dia suka sama Lo... “ Ucapan Andre membuatku terdiam. Aku menghela napas perlahan. Kecurigaanku ternyata berbuah nyata. Memang agaknya ada yang berbeda dengan Tara selama kami bekerja bersama. Dia terlihat begitu perhatian meski menurutku berlebihan.

“Andre… ini sebenarnya yang juga lagi gue pikirin. Gue takut kalau Tara suka sama gue. Ternyata kejadian.” Ungkapku terlampau jujur. Mungkin saatnya aku bercerita semua.


“Loh… kalau Tara suka sama lo emang kenapa? Dia cantik… pinter. Pun halnya dengan Lo. Ganteng.. pinter. Cocoklah Lo berdua. Terus masalahnya apa? Lo nggak suka dia?” Pertanyaan Andre membuatku tersenyum perlahan.

“Ndre… ada yang mau gue kasih tahu ke Lo dan rekan-rekan lainnya. Harusnya nggak sekarang. Tapi berhubung Lo bilang kalau Tara tadi bilang ke Lo kalau dia ada rasa sama gue sepertinya hal ini harus gue kasih tahu ke Lo.” Ujarku memulai pembicaraan.

“Lo mau ngomong apaan sih? Kok jadi serius gini.?” Andre bertanya lagi.

“Lo tahu Mbak Wina?” Tanyaku dan Andre terlihat berpikir.

“Mbak Wina bagian adminstrasi yang keluar dua bulan yang lalu dari kantor kita?” tanya Andre mencari kepastian dan aku mengangguk mantap. “Kenapa sama dia? Jangan bilang lo suka sama dia?” Andre menebak dan aku mengangguk mantap.

“Lo serius?” Andre sepertinya tidak percaya dengan anggukan kepalaku.

“Tiga minggu lagi Insha Allah gue nikah sama dia. Gue rencananya baru mau nyebar undangan H- satu minggu. Tapi berhubung gosip yang menyebar udah cukup memekakkan telinga maka sepertinya akan gue percepat di minggu ini nyebarnya. Dia keluar dari kantor karena emang gue yang minta.

“Nugraha… Lo seriusan?” Andre setengah tidak percaya mendengar pernyataanku barusan. Namun mau gimana lagi. Jika Tara sudah mengatakan itu ke Andre biar tidak terlampau jauh dia berharap lebih baik diberitahu sesegera mungkin.

“Serius Gue.. Nah gue minta tolong sama Lo. Mungkin bisa bantu nyampein hal ini ke Tara. Biar dia nggak terlalu berharap lebih sama gue.” Jelasku perlahan

“Hmm… Tapi Gra… rasa suka itu kan hak setiap orang.”

“Iya… gue tahu… Tapi hal ini memang harus segera gue sebarkan. Demi kebaikan diri dan calon gue juga. Masa jelang pernikahan gue ada gosip santer kaya gitu. Ya udah… Lo doain gue deh.” Ujarku akhirnya lalu berdiri. Setelah membayar air mineral aku pamit ke Andre untuk kembali ke ruangan kerja. Andre menyusulku. Kami berjalan beriringan.

“Gra… kalau boleh jujur nih ya… Sebenernya gue yang suka sama Tara. Makanya pas denger gosip kaya gitu gue mau cari tahu ke Lo. Lagi pula Tara bilang kalau dia suka sama Lo. Eh ternyata Lo malah mau nikah sama Mbak Wina.” Andre bercerita saat di dalam lift. Aku tersenyum saja mendengarnya. Sebenarnya aku pun sudah menduga hal itu. Namun aku menunggu sampai Andre yang cerita sendiri.

“Yaudah Lo seriusin aja. Gue doain yang terbaik buat Lo.” Nasihatku lalu pintu lift terbuka.

Tara berada di depan kami kini. Ia tersenyum ke arahku lalu masuk. Kami bertiga kini berada di dalam lift.

“Kalian habis makan siang?” Tara membuka percakapan. Aku menggeleng sembari tersenyum. Sementara Andre menjawab pertanyaan Tara.

“Eh… semuanya gue duluan ya. Mau ke ruangan Pak Setyo. Mau minta izin cuti” Ujarku lalu keluar dari lift di lantai 6.

“Cuti? Dalam rangka apa? Mau jalan-jalan ya?” Suara Tara membuatku menoleh ke dalam lift yang masih terbuka. Mungkin ini saat yang tepat.

“Cuti nikah. Doain ya” Ujarku tersenyum lalu kembali membalikan badan. Terdengar suara pintu lift yang tertutup. Semoga ini yang terbaik.

*Tamat*