Jumat, 01 April 2011

fadil

                                    Fadil …

Aku masih ingat dia. Baik bentuk muka, warna kulit, gaya berpenampilan serta cara dia berbicara. Walaupun sudah lewat 10 tahun tapi rekaman mengenai dirinya masih dengan jelas tersimpan dalam otakku. Namamya Fadil, lengkapnya Fadil Adira. 10 tahun yang lalu badanya kurus, tinggi, dengan warna kulit hitam pekat. Rambutnya selalu dimowhak dengan gel super wangi yang terkadang membuat aku merasa pusing berada di dekatnya. Parfum kids-nya selalu tercium walaupun ia berada pada jarak 2 meter dariku. Dia selalu berpenampilan layaknya orang dewasa dengan kaos lengan pendek dan celana jins ukuran 3/4, dilengkapi dengan kalung bergambar daun ganja yang selalu menggantung di lehernya melebihi ukuran sewajarnya.
Aku masih ingat dia … ya tentu saja masih ingat. Dulu, Fadil adalah salah satu murid di tempat bimbelku mengajar. Aku tak akan pernah lupa mengenai dirinya. Sedikitpun tidak akan kulupa. Bocah itulah yang pernah menggoreskan satu kenangan pada diriku selama aku mengajar. Percaya atau tidak, ia dulu pernah memintaku untuk menjadi pacarnya. Bayangkan, anak berumur 13 tahun dengan tegas dan jujur berani mengungkapkan perasaannya padaku yang saat itu menginjak usia 20 tahun. Dulu kupikir ia hanya bercanda mengenai ungkapan perasaan cintanya padaku dan tentu saja waktu itu aku hanya menyepelekan perasaan itu. Aku masih ingat mengenai pernyataan penolakanku waktu itu
“ Ya ampun Fadil … Kamu tuh masih kecil tahu, umur kamu aja baru 13 tahun. Umur Kakak tuh udah 20 tahun sayang … nanti kalau umur kamu udah nambah 10 tahun baru deh kamu bisa nembak Kakak” jawabku asal.
            Jawabanku waktu itu hanya membuat dirinya terus menatapku dengan sorotan matanya yang tajam. Sekitar 5 menit, ia sama sekali tidak berkedip memandangiku sampai akhirnya ia menunduk dan berlalu berjalan meninggalkanku di ruang kelas tempatku mengajar.
            Aku pikir jawabanku 10 tahun yang lalu akan dianggap sebagai angin lalu saja olehnya. Tapi ternyata tidak, ia benar-benar datang kembali padaku kini. Ya … kini ia berdiri dihadapanku. Fadil yang jauh banyak berubah dari Fadil 10 tahun lalu. Kini, rambutnya tersisir dengan rapi dengan belahan di pinggir kiri. Kulitnya yang dulu nampak kusam dan dekil kini terlihat lebih bercahaya walaupun tidak sekejab berubah menjadi putih besih atau kuning langsat. Badannya yang dulu kurus sepertiku sekarang telah terisi dengan daging dan otot yang dapat kukatakan macho. Kini, kemeja kotak-kotak bewarna biru yang senada dengan celana, membalut tubuhnya sehingga terlihat sangat rapi dan terlihat begitu gagah. Wangi parfumnya kini telah berubah menjadi parfum dewasa seperti yang digunakan pria dewasa kebanyakan pada umumnya. Akan tetapi, satu yang tetap tidak berubah dari dirinya, yang tentu saja tidak bisa aku lupakan. Sorot  matanya … ya sorot matanya yang kurasa terlalu tajam sehingga terkadang membuatku enggan untuk balas menatapnya. Kini, tatapan mata itu dengan penuh percaya diri teus menatapku, walaupun di matanya tersangga sebuh kaca mata tapi barang itu bukan suatu halangan baginya untuk terus menatapku.
“ Kak…Kaget ya? Ehm … Fadil  mau nagih janji Kakak.!!” Ucap Fadil sambil terus menatapku dengan senyumnya yang terlihat tulus.
“ Iya, kakak kaget. Kamu tahu dari mana kalau Kakak kerja di sini?” tanyaku penasaran. Kok bisa-bisanya ia menenmuiku di kantor tempatku bekerja.
“Kakak nggak perlu tahu Fadil tahu dari mana, Fadil Cuma mau nagih janji Kakak. Kakak mau kan jadi pacar Fadil?” ucapnya to do point.
            Sesaat aku terdiam. Tidak kusangka pembicaraanku 10 tahun yang lalu ia tuntut menjdi suatu realisasi kenyataan. Aku tercekat mendengar tuntutannya. Bagaimana mungkin aku berpacarn dengan pria yang masih berumur 23 tahun. Sedangkan umurku kini mengnjak 30 tahun. Bagiku, tujuh tahun merupakan suatu perbedaan umur yang sangat jauh. Terlebih aku seorang wanita. Memang sampai sekarang status single masih melekat erat padaku. Hal itu terjadi bukan karena aku tidak bisa mencari pendamping hidup, tapi selama sepuluh tahun ini kukorbankan masalah percintaanku demi mengejar karierku.
“ Kakak mau ingkar janji? Kakak harus inget, sekarang Fadil bukan anak kecil lagi. “ uacap Fadil serius.
            Kantin kantor yang begitu ramai sama sekali tidak dapat membuatku membuyarkan pertanyaan Fadil. Kurasa, aku terlalu fokus sehingga yang terdengar hanya pertanyaan dan tuntutan Fadil.
“ Dil … Umur Kakak tuh udah 30 tahun. Kamu yakin mau pacaran sama Kakak? Kakak rasa kamu bisa dapat yang terbaik dari Kakak. Orientasi Kakak sekarang bukan pacaran lagi Dil, tapi menikah.” Jawabku jujur dengan sedikit penekanan pada kata-kata menikah. Aku berharap Fadil mudur mendengar pernyataanku. Kupikir ia cukup pandai untuk memahami setiap kata-kataku tadi. Sesaat ia menyeruput secangkir kopi yang sempat dipesannya lalu kembali menatapku lagi.
“ Ok kak, kalau memang itu keinginan Kakak, Fadil siap Kok. Jujur, memang itu yang Fadil mau.” Ungkapnya santai tanpa keraguan sedikitpun.
            Aku tersedak mendengar ucapnnya. Kupikir ia akan mundur mendengar pernyataanku. Tapi ternyata aku salah. Kenekatannya semakin terlihat. Benar-benar tidak masuk diakal. 10 tahun yang lalu aku masih mengenalnya sebagai murid SDku, tapi kini ia datang kehadapanku secara tiba-tiba dan dengan santainya ia menyanggupi keinginanku untuk melepaskan status single ini.
“ Fadil…jangan bercanda ah… Kamu ngomong apa sih? Umur kita tuh beda 7 tahun dan jelas Kakak lebih tua dari kamu. Kamu tuh masih muda Fadil, masih banyak yang bisa kamu lakukan dan kamu raih.” Nasehatku panjang lebar. Tapi Fadil hanya menatapku santai sambil tersenyum. Benar-benar membuatku salting.
“ Fadil dengerin Kakak ngomong dong!” Ucapku sambil menarik tangannya yang menyanggga lehernya.
“Tuh kan … Kakak nggak berubah. Umur itu bukan satu-satunya alasan yang membuat seseorang itu dapat dianggap lebih dewasa Kak. Contohnya Kakak, lihat, nggak ada yang berubah Kak dari Kakak, Oh, ada … Kakak udah mewujudkan impian Kakak untuk menjadi seorang penulis terkenal kan dan menjadi Editor di kantor ini tentunya.” Jawabnya sambil tersenyum lebar.
            Aku hanya bisa mendengus kesal mendengar ucapannya kali ini. Benar-benar keras kepala. Dengan wajah segar dan sumringah, Fadil menjawab semua kekhawatiranku. Ya … ia menjawab semuanya.
“ Kakaku sayang … Semua yang Fadil cita-citakan sudah Fadil raih sekarang ini. Cuma satu impian Fadil yang belum terpenuhi … yaitu memiliki Kakak.” Ucap Fadil tegas sambil menggenggam tanganku erat. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa ia nekat menggengam tanganku di tempat umum seperti ini. Apa kata orang kantor nanti kalau mereka melihatku dengan seorang pemuda yang umurnya mungkin dapat ditaksir jauh dibawahku.
“Fadil lepas nggak!!” Ucapku memaksanya. Tapi dengan tegas ia menggeleng sambil tersenyum. “ Fadil … Kakak malu tahu,” ucapku lagi sembari berontak.
“ Kakak jawab dulu, kakak mau atau enggak. Tapi Fadil nggak mau denger jawaban “enggak”
“ Iya…Iya… tapi lepasin dong Dil…” ucapku dan akhirnya Fadil melepaskan tanganku. Tiba-tiba ponselku berdering. Ina sekertaris kantor menelponku. Dengan segera aku berjalan menjauhi Fadil dan mengangkat telpon itu.
“ Kenapa Na?” tanyaku hati-hati
“ Mbak Reisa di mana? 10 menit lagi rapat direksi Mbak, perkenalan wakil direksi yang baru jangan pulang dulu lho Mbak” ucap Ina mewanti-wanti.
“ Iya-iya… ini Mbak mau ke atas. Tunggu ya In…” ucapku mengakhiri.
            Aku benar- benar lupa kalau hari ini  ada rapat direksi. Dengan bergegas aku kembali ke meja tempat Fadil menungguku. Terlihat Fadil baru mematikan ponselnya. Sepertinya ia habis menelepon, tapi aku tidak pedui, kini yang aku pedulikan bagaimana caranya agar aku bisa pergi ke ruang rapat tanpa mendapat halangan dari Fadil.
“ Panggilan Kantor Kak?” Tanya Fadil membuatku heran.
“ Iya. Maaf ya… kamu Kakak tinggal dulu. Kalau kamu mau kamu tunggu aja di sini. Kakak ada rapat soalnya tapi paling Cuma sebentar.” Ucapku jujur dan berharap agar Fadil tidak menungguku karena tidak mungkin aku mengusirnya. Bagaimanapun juga aku telah mengiyakan keinginannya. Keinginan yang aneh.
“ Ok deh ... Kakak rapat aja, Fadil nungguin Kakak deh.” Ucapnya santai
“ Lho …kamu emang Nggak kerja Dil? Kakak sampai lupa kamu nanya kamu keja di mana?” tanyaku sambil menyanggah tas kerjaku.
“ Ya sudah, ntar aku cerita deh … udah Kakak rapat dulu gih, ntar telat lho” nasehatnya seraya mendorong tubuhku perlahan keluar kantin kantor. Dengan segera aku pun menurutinya. Selama perjalanan menuju ruang rapat aku masih memikirkan kebodohan yang aku lakukan dalam mengiyakan keinginan Fadil untuk menjadikan aku sebagai pacarnya. Tiba-tiba aku mengingat sesuatu mengenai perasaan Fadil terhadapku, Oidipus Kompleks, ketertarikan seseorang yang masih sangat muda terhadap orang yang lebih tua atau malah terkadang sebaliknya Pedopil, ketertarikan seseorang yang lebih tua terhadap seseorang yang lebih muda. Akh …
Ting … lampu lift terbuka, dengan segera aku membuyarkan pikiranku dan  melangkahkan kaki ke dalam lift. Segera kutekan tombol menuju lantai 14. aku hanya sendiri di lift mumpung tidak ada orang, aku segera merapihkan dandananku dengan berkaca pada pintu lift  yang dapat memantulkan bayanganku.
Ting … Pintu lift terbuka. Dengan segera aku mempercepat langkah kaki ke arah ruang rapat. Terlihat Ina sedang berdiri di samping pintu ruang rapat.
“Untung Mbak udah datang. Katanya Pak Adri, wakil direksi yang baru orangnya teges Mabak, trus on time gitu katanya.”
“ Memang udah datang?” tanyaku sambil melongok ke dalam dan melangkah masuk. Ina mengikutiku dari belakang dan menjawab pertanyaanku dengan menggeleng. Pak Adri selaku kepala bagian sudah asik duduk sambil menikmati kue yang terhidang di meja sedangkan yang lainnya masih sibuk dengan dandanan mereka. Aku tahu pasti mereka ingin terlihat rapi di depan wakil direksi.
“ Rapatnya lama nggak ya?? Semoga lama ya In…” harapku pada Ina. Sesaat Ina mengernyitkan dahi. Mungkin baginya pertanyaanku aneh, tapi memang itu yang aku harapkan. Aku ingin agar rapat perkenalan ini berjalan cukup lama sehingga mungkin saja Fadil bosan menungguku di kantin kantor berlama-lama dan tentu saja ia bosan sampai akhirnya meninggalkanku pulang.
            Krek … pintu ruang rapat terbuka, terlihat Pak Anton sebagai Wakil Direksi II melangkah masuk ke ruang rapat. Beliau terlihat rapih dengan jas hitam dengan dasi bergaris yang menggantung di lehernya. Seketika itu juga para peserta rapat termasuk aku berdiri sebagai bentuk penyambutan terhadap beliau dan tentu saja aku memberikan senyuman terbaikku. Akan tetapi seketika itu juga senyumanku terhenti saat melihat seseorang yang berjalan menyusul Pak Anton dari belakang menatap ke arahku sambil tersenyum dengan penuh percaya diri. Fadil …
            Rasanya selama satu menit jantungku berhenti memompakan darah ke seluruh tubuh ketika dengan tegas Pak Anton memperkenalkan Fadil sebagai wakil direksi utama kantor tempatku bekerja.
“ Saya Fadil Adira, lulusan Brumdelaide University Jurusan Jurnalistik tahun 2016 dan Zordan Universiy tahun 2018. Jujur, saya belum mempunyai pengalaman menjadi seorang wakil direksi, akan tetapi saya akan belajar menjadi seorang wakil direksi yang baik untuk anda semua dan tentu saja saya butuh kerjasama Kalian.” Ucap Fadil dengan tegas. Terus terang, Fadil yang kini berdiri dalam rapat direksi berbeda dengan Fadil yang kutemui sekitar 15 menit yang lalu. Kini kemeja biru korak-kotaknya tertutup dengan jas hitam dan ia terlihat sangat begitu dewasa dan berwibawa.
“Masih muda ya Mbak?” Bisik Ina kepadaku dan aku hanya mampu menjawabnya dengan sebuah senyuman terpaksa.
“Saya tidak akan membuang waktu saudara dalam rapat perkenalan ini karena menurut saya itu sangat membuang-buang waktu. Tapi, sebelum saya membubarkan rapat perkenalan direksi ini, Saya akan memberikan sedikit pengumuman yang sangat penting bagi kehidupa Saya, Saya akan menikah dengan saudari Reisa sekitar satu bulan yang akan datang. “ Ucap Fadil tenang sambil menatap ke arahku penuh dengan kemenangan.
Deg … Rasanya jantung ini berdetak kencang sekali. Aku benar-benar tidak menyangka jika Fadil akan berbicara seperti itu. Kini, yang kuinginkan hanyalah melangkahkan kakiku keluar dari rapat yang membuatku malu ini. Bagaimana tidak? Jika sebagian peserta yang mengikuti rapat terus-menerus memandangiku dengan tatapan yang kurasa terlalu berlebihan untuk dipamerkan.
Setelah Fadil dan Pak Anton memberikan ceramah umumnya, aku pun buru-buru melangkahkan kaki kiriku keluar dari ruang rapat.
“ Reisa … bisa saya berbicara sebentar denga Anda? Ucap Fadil setelah berhasil mengejarku yang sudah turun ke lantai dasar.
“ Fadil … maksud kamu apa sih dengan semua ini “ Ucapku tegas dan tidak bertele-tele.
“ maksud aku apanya Kak? Fadil rasa semuanya sudah jelas. Kan waktu di kantin tadi Kakak sendiri yang bilang kalau kakak mau menjadi milik Fadil dan kakak sendiri yang bilang kalau kakak orientasinya menikah. Jadi, Fadil pikir semua yang fadil katakan benar dan sesuai dengan keinginan kakak.. udahlah kak. Walaupun kakak belum bisa mencintai Fadil, tapi fadil yakin kok, kalau suatu saat nanti kakak akan cinta sama Fadil.
Deg… Entahlah semua ini hanya mimipi atau nyata yang jelas waktu berhenti sketika …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar