Kamis, 06 Desember 2012

Danish: Kisah masa kuliah



Danish

“Rul.. gue suka masa sama dia…” Ucapku setengah berbisik pada Nurul yang duduk tepat disebelah kiriku.
Mataku masih terus menatap laki-laki bertubuh tegap sedikit tambun dan berkacamata yang sedang asyik memberikan penjelasan menegenai Migrasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1950-an—mata kuliah Antropologi Indonesia.
“Rei… lo ngelihatnya biasa aja kali… jangan terlalu mantengin gitu ah… ntar ketawan aja.” Bisik Nurul sambil terus memperhatikan tingkahku yang sepertinya sudah kelewatan dalam memperhatikan mahluk Tuhan yang  menentramkan itu.
Sumpah, sepertinya baru hari ini aku bener-bener melihat cowok idamanku. Padahal mata kuliah ini udah sampai pertemuan yang ke tiga kali. Kenapa aku baru sadar sekarang ya? Kemana aja kemarin-kemarin. Mungkin karena terlalu banyak orang kali ya. Bayangin aja, satu kelas bisa sampai 90 orang. Maklum ini kan mata kuliah kelas besar. Kebetulan di semester tujuh ini, aku dan kedua sahabatku—anak Sastra—iseng mengambil mata kuliah belanjaan di fakultas tetangga. Sebenarnya sih alasanku dan ketiga temanku ngambil mata kuliah ini atas dasar pertimbangan penasaran dan ingin ngerasain kuliah di fakultas lain. Kebetulan di kampusku memang ada kewajiban untuk mengambil minimal 3 sks mata kuliah di fakultas lain. Kami pun bertiga memilih kelas Antropologi Indonesia ini.
Balik lagi ke masalah cowok yang lagi ngusik perhatianku. Kalau dipikir-pikir dan dimirip-miripin… itu cowok mirip banget sama Denis—pemain film Jomblo—yang terkenal gokil dan lucu itu. Bedanya, cowok yang lagi ngejelasin di depan kelas bersama kelompoknya ini serius banget dan yang pastinya ini cowok pinter banget.
“Rei.. Lo ngelamunin apaan sih? Senyum-senyum sendiri kaya orang gila” Suara Dicil teman sejurusan membuyarkan lamunan. Seketika itu juga aku membisikkan alasanya ke Dicil.
 “Eh… cowok kaya gitu udah punya cewek kali Rei…” Komentar Dicil membuatku  terdiam. Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga sih.Mana mungkin cowok model gitu belum punya pacar.
“Rul… bener kali ya.. kata Dicil…”
 “Kenapa?”
“Dia udah punya cewek kali ya?”
“Hmm… iya juga sih, pinter sih anaknya. Tapi siapa tahu aja belom.
“Eh lo berdua berisik aja… dengerin tuh yang lagi presentasi.” ujar Dicil mengingatkan sambil menepuk bahu kananku. Kami berdua pun akhirnya kembali menyimpak presentasi yang disampaikan laki-laki itu dan teman-temannya. Dan sekali lagi, aku masih saja  memperhatikan cowok itu. Sumpah-sumpah, ini mata nggak bisa nengok ke yang lain. Padahal yang presentasi sekitar 6 orang. Tapi hanya dia aja yang bikin aku fokus. Kacau-kacau.
Tuh kan, kepintaran dia terbukti… diantara keenam orang yang ada di depan itu, hanya dia yang bisa menjawab dan menjelaskan secara detail mengenai pertanyaan yang diajukan tentang alasan Migrasi di Indonesia melalui sudut pandang sosial ekonomi. Beuh…. Makin klepek-klepek aja ini hati.
“Rei… buset dah… masih ngelihatin aja. Emang sih pinter banget… udah ntar lo ajak kenalan aja. Alesan minta softcopy bahan presentasi ini” Ujar Dicil memberi saran pada akhirnya dan aku pun menganggukkan kepala. Ide bagus!
                                                      ****
“Eh sorry, gue boleh minta softcopy slide presentasi kelompok Lo nggak?” Ucapku sedikit ragu dan agak ketakutan—tapi rasa suka megalahkan segalanya—kepada cowok yang dari tadi menarik perhatianku setelah mata kuliah Antropologi Indonesia ini usai.
“Boleh… boleh, mana flashdisknya?” Tanyanya tersenyum dan akupun buru-buru mengeluarkan usb dengan gantungan kristal cabai kepadanya. Tidak sampai lima menit ia telah mengkopi slide presentasi kelompoknya ke usbku.
“Makasih ya...” Ujarku sambil mentapnya.
“Iya sama-sama… eh Gue duluan ya..” Ujarnya dan segera berlalu dari hadapanku.
“Cie.. kayanya sukanya beneran nih. Lo serius?”Tanya Nurul sambil menyenggol Dicil.
“Ya.. suka boleh aja kan. Nggak ada yang ngelarang ini. Sttt diem-diem ya.”
“Dasar” Ujar mereka bertiga berbarengan.
“Tapi tadi namanya siapa ya?” ucapku menyesal karena bener-bener lupa nggak sempat tanya namanya.
“Ye dasar Gue pikir lo udah tahu namanya. Ya udah minggu depan kan ketemu lagi tuh.” Ujar Nurul sedikit menenangkan. Hmmfff… padahal udah selangkah lebih maju. Kenapa sampai oon gini sih gitu aja nggak sadar untuk nanya namanaya. Payah! Sangking terpesonanya kali ya… yah… semoga minggu depan aku masih bisa ketemu dia.
                                                      *****
Minggu ini giliran aku dan kelompokku yang presentasi di kelas Antropologi. Kelompokku terdiri dari tujuh orang dan semuanya perempuan. Tiga orang dari jurusan sastra sisanya jurusan kesehatan masyarakat. Sekitar 15 menit berselang kami memaparkan informasi yang telah kami peroleh dan kami rangkum. Materi yang kami sampaikan untungnya amat sangat kami kuasai. Maklum… sebenarnya ini bukan ranah kami. Kalau saja membicarakan tentang Sastra mungkin setidaknya kami sedikit lebih tahu dibanding mereka-mereka yang memang kebanyakan dari jurusan Antropologi. Untuk mengantisipasi hal tersebut makanya H-3 sebelum presentasi kami banyak berdiskusi.
Ketika sesi pertanyaan dibuka banyak sekali orang yang mengacungkan tangan untuk bertanya. Maklum bagi yang bertanya akan mendapatkan poin ekstra dari dosen. Kelompok kami yang berhak menentukan siapa yang dipersilakan untuk bertanya dan kebetulan aku yang menjadi penentunya—maklum ketua kelompok. Mataku cepat sekali menangkap bayangan ketika ada seseorang yang mengangkat tangannya di deretan paling belakang. Cowok berkacamata itu. Segera saja aku mempersilakannya. Pertanyaan yang diajukan cukup njelimet meskipun begitu aku dibantu temanku mampu menjawab pertanyaannya dengan tenang dan setidaknya tepat.
Presentasi diakhiri dengan riuh tepuk tangan dari teman-teman sekelas. Lega. Kami senang setidaknya kami mampu menyajikan dan menjawab segala pertanyaan dengan baik meskipun tidak semuanya mampu dianggap benar. Jujur aku pun senang… karena ternyata setidaknya dia memperhatikan aku dan kelompokku tentu saja. Bergegas aku duduk di bangku barisan depan yang memang sudah kutaruh tasku. Sementara dicil dan Nurul membereskan barang-barangnya di meja presentasi.
“Eh… sorry gue boleh minta sofcopy presentasi tadi” tiba-tiba suara seorang  dari arah belakang  memecahkan konsentrasiku saat aku baru saja mematikan laptopku.
“Yah… baru dimatiin laptopnya” ujarku sambil menengok ke arah suara itu. Damn! Itu cowok berkacamata. “Eh… bisa-bisa. Sebentar ya… Gue nyalain lagi.” Ucapku salah tingkah dan segera menghidupkan komputer jinjing ini. Tiba-tiba dia sudah duduk di sampingku. Haduh. Dicil dan Nurul yang masih di depan membereskan peralatan presentasi senyum-senyum melihatku yang tengah bersanding bersama cowok ini.
“Lo bukan anak Antrop ya?” tiba-tiba ia bertanya memecah kesunyian diantara kami. Meskipun kelas ramai dengan suara anak-anak yang berlalu-lalang karena kelas memang sudah bubar.
“Eh… iya bukan. Gue anak sastra” jawabku sekenanya. Nggak berani ngelihat tampangnya. Takut ketawan kalau-kalau mukaku merah.
“Rei… masih lama nggak? Gue tunggu di bawah ya… haus nih.” Ucap Nurul sambil bergandengan dengan Dicil. Aku tahu… ini akal-akalan mereka saja.
“Ya sudah tunggu di bawah aja. Nanti gue nyusul!” jawabku sok nggak butuh. Padahal biasanya aku yang paling nggak mau ditinggal. Nurul dan Dicil akhirnya berlalu disusul beberapa anak-anak kelas yang juga keluar baik sendiri-sendiri ataupun bergerombolan. Hanya tinggal segelintir orang yang masih bertahan di dalam kelas termasuk aku dan cowok ini.
“Nih flashdisknya” ucap cowok itu sambil menyerahkan usb berbentuk kepik berwarna biru tua. Sama seperti baju yang ia kenakan. Dengan segera aku mengkopi file presentasi kelompokku. Setelah selesai akupun menyerahkannya dan mematikan laptopku.
“Eh… makasih ya… btw nama Lo siapa? Tanyanya sambil memasukkan usbnya ke dalam ransel. Pertanyaannya membuatku Geer dan melambung tinggi. Akhirnya dia ngebahas nama juga. Kesempatan untuk tahu namanya.
“Reina” jawabku sambil tersenyum simpul.
“Nish… masuk kelas Pak Rinto nggak? Yuk bareng!” Tiba-tiba seorang perempuan yang memang berasal dari kelas ini menyapa cowok di sebelahku.
“Lo duluan aja Ta. Gue nungguin dia nih. Kasian… gara-gara Gue tadi ditinggal temen-temennya.” Ujar cowok yang bikin hatiku kalang kabut ini sambil melirik ke arahku.
“Eh… kalau mau duluan duluan aja. Nggak apa-apa kok. Tinggal beresin ini doang.” Jawabku sok nggak butuh ditemenin. Habis mau gimana lagi. Nanti disangkanaya aku nggak mandiri lagi. Apa-apa minta ditemenin atau ditungguin.
“Enggak kok… santai aja. Gue tungguin. Udah Lo duluan aja Ta” kalimat cowok ini bikin hati makin bersorak kegirangan. Sementara perempuan itu akhirnya meninggalkan kami berdua.
“Makasih” jawabku sambil tersenyum simpul dan memasukkan barang-barang ke dalam ransel. “Oh iya… nama Lo siapa?” akhirnya kalimat pertanyaan itu keluar juga dari mulutku saat kami berdua berjalan meninggalkan kelas menuju lift.
“Danish. Danish Prasetya.” Ucapnya tersenyum lebar. Nama dan tampangnya benar-benar mirip dengan artis itu. Kami berjalan bersama sambil menyusuri tangga. Maklum liftnya lama dan yang antre banyak. Setidaknya ada sedikit waktu lebih untuk mengobrol  bersama Danish. Danish menayakan banyak hal tentangku dan itu membuatku benar-benar Geer.
“Rei…” suara Dicil meneriakiku. Bersama Nurul dia menghampiriku yang tengah asyik berbincang-bincang bersama Danish. Sepertinya saatnya berpisah. Dia ada kelas lagi sementara aku ada kelas di fakultasku. Semoga minggu depan bisa ngobrol-ngobrol lagi kaya gini.
“Eh… gue duluan ya. Oh iya lupa… btw… Lo kenal Anggia nggak?” Tanya Danish sebelum kami berlalu.
“Anggia Fariska?” tanyaku mencoba menerka nama teman sejurusanku. Danish mengangguk. “Kenapa memangnya?” tanyaku penasaran.
“Salam ya buat dia. Gue udah lama naksir dia” ucap Danis lancar dan meluluhlantahkan perasaanku. Dengan berat hati akupun mengangguk dan memaksakan diri tersenyum.
“Sabar-sabar” ucap Nurul dan Dicil berbarengan sambil tertawa terkekeh. Kegeeranku hari ini sia-sia.




Catatan: Kisah diinspirasi saat kuliah antropologi di FISIP UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar