Rabu, 12 Desember 2012

Daun salam untuk beli seragam



Kisah inspiratif: Daun salam untuk beli seragam

“Ibu nanti beliin aku seragam baru ya?” Ujar seorang anak kepada ibunya di tengah hiruk pikuk pasar. Sang Ibu yang bekerja sebagai penjual daun salam hanya bisa menatap wajah anaknya getir. Sudah hampir dua hari ini dagangan daun salamnya belum laku. Para penjual bumbu dapur di pasar menolak daun salamnya lantaran masih memiliki stok yang sangat banyak.

“Ibu… beliin Dito seragam yang itu” Ujar Dito sambil menunjuk ke arah patung manekin anak-anak yang mengenakan seragam merah putih. Sang Ibu hanya tersenyum melihat keinginan anaknya. Sudah hampir seminggu ini Dito bersekolah tanpa mengenakan seragam lantaran seragamnya sudah kekecilan. Seragam yang ia gunakan pertama kali semenjak kelas 1 SD bertahan hingga kini ia duduk di kelas 5 kini  sudah tak muat lagi.

“Nanti kalau hari ini daun salam Ibu laku kita pasti beli seragam.” Ujar sang Ibu sambil mengajak sang anak berjalan melewati penjual seragam. Sang Ibu masih terus berusaha menawarkan daun salamnya ke pedagang lain tapi apa mau dikata semuanya menolak. Padahal Ibu sudah membawa hampir sekarung daun salam yang mencapai berat hampir 7kg.

Hampir tiga jam sang Ibu menawarkan daun salamnya ke pasar tapi hingga menjelang siang daun salam tidak juga menarik perhatian bagi penjual bumbu dapur. Karena lelah, Ibu mengajak Dito untuk beristirahat sejenak.



“Ibu… capek ya… sini Bu Dito aja yang bawain. Siapa tahu ada yang mau beli” Ujar Dito mencoba membawa karung berisi daun salam yang dipegang sang Ibu.

“Udah nggak usah… habis ini kamu masuk sekolah. Udah mau jam 1. Sementara kamu pakai baju biasa dulu saja ya Nak” Ujar sang Ibu mencoba membujuk sang anak. Dito pun mengangguk mengerti dan paham maksud ibunya. Segera saja sang Ibu mengeluarkan selembar uang seribuan dan menyerahkannya kepada sang anak.

“Ini nanti buat naik angkot. Nanti sore kalau Ibu belum pulang kamu tunggu Ibu di rumah saja ya.” Pesan sang Ibu dan Dito pun mengangguk. Sebelum Dito pergi, Ibu sempat membeli dua buah pisang goreng dan memberikannya kepada Dito untuk mengganjal perut anaknya yang semenjak pagi belum makan.

Dito pun berangkat ke sekolah yang jaraknya lumayan dari pasar. Meski sebenarnya ia sedih karena ke sekolah tak berseragam seperti teman-temannya yang lain tapi ia tidak malu. Sudah bisa bersekolah saja baginya sudah beruntung. Di sekolah, teman-teman tidak ada yang mengejeknya karena sebagian teman-temannya tahu kondisi keluarga Dito. Lagi pula di kelas, Dito tergolong anak yang pintar.

Saat jam istirahat Dito mengeluarkan bekal makanan yang sempat dibelikan ibunya. Dua buah pisang goreng kini berada di genggamannya. Tiba-tiba Dito teringat bahwa sejak tadi pagi ia belum melihat ibunya makan. Sengaja ia hanya makan sebuah pisang goreng dan berniat menyimpan sebuah lagi untuk sang ibu di rumah nanti.

Bel pulang sekolah berbunyi. Hari sudah semakin senja. Selembar uang bergambar Kapitan Patimura dikeluarkannya. Ia ingat bahwa uang ini dibawakan ibunya untuk ia pulang menggunakan angkutan umum. Akan tetapi Dito urung menggunakan uang itu.

“uangnya disimpen aja ah… buat tambahan Ibu beli seragam aku” ungkap Dito perlahan. Dia lebih memilih untuk berjalan kaki ketimbang menggunakan uang itu untuk naik angkutan umum.

Dito berjalan cukup cepat. Ia tidak ingin sampai rumah malam hari dan tidak ingin membuat ibunya khawatir. Di tengah jalan pulang Dito melihat seorang anak kecil berpakaian lusuh merengek kepada ibunya untuk minta dibelikan gorengan. Sang Ibu dengan keras menghardik sang anak dan menyatakn kalau tidak punya uang. Dito teringat akan pisang goreng yang masih ia simpan di tasnya.

“Mudah-mudahan Ibu sudah makan” Ungkap Dito dalam hati lantas memberikan sisa pisang goreng yang tinggal satu kepada anak kecil itu. Meski sudah dingin, anak kecil tersebut menerima dan segera melahap  pisang goreng yang diberikan Dito mungkin karena memang sudah lapar.
Dito tersenyum melihat wajah anak kecil itu lalu kembali melanjutkan perjalanan pulangnya.

“Dek permisi numpa tanya… ini rumah adek?” ucap seorang pria menyapa Dito ketika ia baru sampai di halaman rumahnya. Dito pun mengangguk. Sepertinya sang Ibu belum pulang karena lampu di rumah masih belum menyala.

“Maaf Dek… itu daun salam bukan?” tanya laki-laki itu sambil menunjuk pohon salam yang memang tumbuh di depan rumah Dito.

“Iya Pak. Kenapa Pak?”

“Begini… saya lagi nyari daun salam untuk pengobatan ayah saya. Jam segini pasar sudah tutup. Saya boleh minta daun salamnya?” Ujar laki-laki itu dengan penuh harap. Sepertinya dia terlihat begitu panik dan terburu-buru.

“Boleh Pak ambil saja.” Ujar Dito lalu berjalan mengambil galah kayu yang biasa digunakan ibunya untuk mengambil daun salam kepada laki-laki itu. Dengan bergegas laki-laki itu pun mengambil berlembar-lembar daun salam. Dito segera mengambil kantung kresek di dalam rumahnya dan memberikannya untuk laki-laki tadi. Laki-laki tadi bergegas memasukan daun salam ke dalam kantung plastik yang  sempat diberikan Dito.

“Dek… makasih ya. Daun salam ini berguna untuk obat kolestrol dan diabetes ayah saya. Mohon doanya ya Dek. Oh iya ini tidak seberapa semoga bermanfaat buat adek.” Ujar laki-laki itu sembari memberikan dua lembar uang bergambar Pak Karno dan Bung Hatta kepada Dito. Bergegas laki-laki itu berlalu sebelum Dito sempat mengucapkan terima kasih karena sepertinya dia sedang terburu-buru.

“Dito…” suara Ibu membuyarkan pikiran Dito yang masih terkaget menerima uang sebanyak itu.

“Ibu… ini” Ujar Dito sambil menyerahkan uang pemberian laki-laki tadi dan menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya.

“Alhmdulillah… daun salam Ibu tadi juga ada yang beli. Besok kita beli seragam ya, Nak. Ini uangnya kamu tabung saja” Ujar Ibu tersenyum sambil mengusap rambut anaknya perlahan dan memberikan uang yang sempat diberikan Dito kepadanya.



-RD-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar