Senin, 26 November 2012

hujan: Ada kisah







Hujan. Aku paling suka menikmatinya di kala sore menjelang. hujan itu bisa membuatku terlihat cantik dan membuatku tak kalah dengan bidadari.

Setelah hujan saat senja aku biasa menikmati pelangi. Tapi tidak untuk hujan kali ini. Jam 8 pagi aku harus interview di daerah Sudirman. Biasanya aku memuji hujan kini aku memarah-marahinya. Hal ini disebabkan hujan datang secara keroyokan dan merajalela. membuat kemeja biru mudaku basah dan celana hitamku tak kalah. Bayangkan angkutan umum dan mobil-mobil pribadi mentereng dengan leluasa berlalu-lalang dan menghardik kubangan air. Alhasil warna coklat kini melekat dengan beberapa butitran pasir.

Dengan keadaan rambut dan tubuh yang basah tersiram air aku tetap masuk ke dalam sebuah gedung gagah perkasa yang menunjukan kepongahannya. Orang-orang berjas melihatku seketika terlebih saat akan masuk aku sempat dihalangi oleh seorang resepsionis. Ia menanyakan kehadiranku untuk bertemu dengan siapa dan mempunyai kepentingan apa.

Segera saja kuperlihatkan print-an prihal informasi wawancaraku dengan seorang manager HRD yang tidak kuketahui namanya karena tidak disebutkan. Dengan segera resepsionis itu mengangguk dan segera menghubungi seseorang. hampir sekitar dua menitan dia berbicara ditelepon dan setelah menutupnya dia segera mengantarkanku menuju lift. Sebelumnya aku bertanya tidakkah perlu menggunakan ID Card yang biasanya dilakukan oleh kantor-kantor jika ada tamu. Respsionis itu tersenyum dan menggeleng.

"Sebenarnya sih harus pakai Mbak. Tapi khusus untuk Mbak beda" Jelasnya sambil tersenyum penuh arti yang sebenarnya aku tak mengerti.
"Beda kenapa ya Mbak?" tanyaku penasaran dan Mbak resepsionis yang kulihat menggunakan ID Card bernama Retno hanya tersenyum saja. Tak menjawab.

"Habis kehujanan Mbak?" Tanyanya selama di lift dan aku pun tersenyum. Dia melihaku dalam keadaan kacau balau. Tapi yasudahlah memng begini kondisi keadaanku. Salah sendiri tak membawa payung di musim hujan seperti ini. Tapi sekali lagi kuperingatkan bahwa aku suka hujan... tapi tidak seperti pagi ini.

"Nanti Mbak masuk aja di pintu kedua. Ruangan Bapak Chairul. Saya tinggal dulu Mbak." Ujarnya sambil menunjuk ke arah lorong setelah kami sampai di lantai 23. Akupun mengangguk mengiyakan ucapannya. 

Kini aku berada di depan pintu berkayu cokelat. Di sana tertulis Chairul Fadlan. akupun segera mengetuknya tiga kali. Terdengar suara berat dari arah dalam yang menyuruhku masuk. Seketika itu juga aku merasakan ruangan AC yang begitu menususk-nusuk seluruh kulitku. Maklum bajuku sebagian basah sehingga rasa dingin begitu menyergab.

"Permisi Pak. Selamat Pagi" Ucapku sambil meringis saat berhadapan dengan seseorang berdasi coklat yang sedang sibuk membaca kertas-kertas di mejanya. Ia Menatapku sekilas dan segera saja mempersilakanku duduk. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih. Suasana hening ini malah tetap membuat diriku bingung. Ini harus apa?

"Maaf Pak... hari ini saya wawancara. ini print-an yang waktu itu di suruh dibawa" ucapku setengah khawatir kalau-kalau orang yang kuajak bicara ini cuek dan tidak peduli. Saat aku menyodorkan kertas ke arahnya  dengan segera dia menolaknya.

"tidak perlu. Saya sudah tahu siapa kamu?" Jelasnya dingin. tak bersahabat. Kutaksir usianya hampir 50an. rambut putih sudah banyak tumbuh di atas kepalanya. Akupun seketika menunduk. Tak berani menatap wajahnya. Seketika ia berdiri melewatiku. Entah apa yang dilakukan tapi yang jelas AC diruangan itu tiba-tiba mati.

"Kamu kehujanan?" Tanyanya dari arah belakang dan akupun menoleh sambil mengangguk.
"Dia segera kembali ke meja kerjanya dan menekan tombol telefon

"tolong sediakan teh manis hangat dan kue ke ruangan saya. Sekalian juga minyak kayu putih" Ujarnya 

puluhan tanya tiba-tiba memenuhi isi kepalaku. Orang ini mau apa? bukannya harusnya aku interview? tapi baik juga sih kalau aku disediakan teh. maklum aku memang belum sempat sarapan.

"Pak Saya ke sini mau wawancara kan Pak?" Tanyaku berusaha tenang. Bapak Chairul itu tersenyum sambil membenarkan posisi kacamatanya.
"Kalau saya tidak mau mewawancara kamu bagaimana?" Tanyanya sambil melipat ke dua tangan di atas meja dan menatapku penuh selidik.
"Ya... saya mendingan pulang. Daripada nggak jelas" Kata-kata yang kukeluarkan suadah tiadak ada lagi baku-bakunya. Entah kenapa aku mersa sedang dipermainkan. Belum sempat Pak Chairul menjawab terdengar suara pintu diketuk. Seorang OB berseragam biru masuk membawa secangkir teh hangat  dan roti serta minyak kayu putih. setelah menyuguhkannya di depanku diapun langsung pamit dan keluar dari ruangan yang kini mulai terasa hangat.

"Silakan diminum dan dinikmati snacknya" Ujar Pak Khairul lalu kembali ke kesibukannya membca kertas-kertas di hadapannya. Aku makin bingun. antara takut minum kalau diracun atau ada niat terselubung bapak-bapak ini. Akupun memilih diam.

"Tenang saja... saya tidak punya niat buruk untuk memanfaatkan kamu atau meracuni kamu. Kamu terlalu muda untu mati" Jawabnya sambil terkekeh dan segera mendekatkan cangkir hangat itu ke arahku. Akupun akhirnya menyerah dan meminumnya. Aliran air secara perlahan masuk ke dalam tubuhku. Hangat.

"Sudah? silakan dinikmati rotinya. Saya tinggal dulu sebentar" Ucap Pak Chairul lalu pergi meninggalkanku di ruangan itu begitu saja. Tanpa basa basi lagi aku segera mengunyah roti berisi selai coklat dan kacang. Alhmdulillah rezeki di pagi hari. Tapi aku masih bingung kenapa situasinya membingungkan seperti ini. Jujur aku melamar kerja di perusahaan ini dibagian Hrd. Sudah hampir dua minggu aku mencari pekerjaan. Sebelumnya aku keluar di perusahaanku karena sudah merasa bosan dan ingin mengganti suasana baru maklum sudah hampir 3 tahun aku bekerja.

Setelah selesai mengunyah bagian terakhir roti aku segera menggunakan minyak kayu putih yang tadi sempat dibawakan oleh OB. Hangat. mudah-mudahan masuk anginku segera lewat. Tak berapa lama kemudian terdengar suara seseorang masuk dalam ruangan ini diikuti suara langkah kaki lagi. Akupun menoleh.

"Gimana sarapannya enak? Tanya seorang lelaki yang berdiri membelakangi Pak Chairul. Arva! segera aku terbangun dari kursi. Pak Chairul tertawa melihat keterpesonaanku terhadap kedatangan laki-laki yang kini berjalan mendekatiku.

"Kaget ya?" Pak Chairul segera mempersilakanku untuk duduk. Dan Arva bersambut duduk di sebelahku. Aku meringis tak karuan.

"Jadi Begini Bapak Arva ini yang berwenang untuk menerima kamu bisa kerja di sini atau tidak. Saya sih hanya tinggal acc saja kalau Beliau Oke" Ujar Pak Chairul lalu tersenyum ke arah Arva.
"Oke... wawancara bisa kita lakukan sekarang" Arva tiba-tiba mengeluarkan berlembar-lembar kertas dari map yang ia bawa tadi. Antara kaget dan setengah tidak percaya dia mulai mewawancaraiku secara serius. Akupun menjawab sekadarnya sesuai apa yang ada di pikiranku. Sesekali Pak Chairul ikut nimbrung dan melemparkan pertanyaan yang menurutku nggak penting dan nggak nyambung.

"Bagaimana Pak Arva?" Pak Chairul seketika bertanya setelah hampir 20 menitan melakukan tanya jawab denganku. Arva seketika tersenyum ke arahku.
"Bagaimana Ya... karena dia masih single dan kinerjanya di perusahaan terdahulu bagus terlebih dia dulu adalah sahabat saya selama di kampus jadi mau nggak mau saya oke Pak" Jelas Arva seenaknya dan aku hanya terdiam.

"Oke... baik. Selamat kamu diterima di perusahaan ini. Besar harapan saya kamu membawa kontribusi yang bermanfaat dan nyata" Ujarnya sambil menyodorkan tangan memberikan ucapan selamat. Dengan ragu-ragu akupun menyalaminya dengan tersenyum. Aneh

"Kok diem. harusnya seneng dong?" Ujar Arva sambil menyenggol lenganku. Akupun menoleh. Bener-bener rasanya aku ingin menarik dan mencakar tangannya tapi posisinya di sini nggak mungkin. Aku benar-benar merasa aneh sendiri.

"Ini sebenarnya apa sih Pak? Tanyaku menyerah ke arah Pak Chairul. Pak Chairul hanya menjawab dengan mengarahkan pandangannya ke Arva.

"Hei... Kamu tuh diterima kerja di sini. kenapa kelihatan bingung sih? Oke...Oke... nanti jam makan siang aku jelasin. yang penting sekarang kamu udah jadi bagian dari perusahaan ini." Jelas Arva memberi penjelasan yang sebenarnya masih menggantung di awan-awan.

"Ya Sudah. saya permisi kalau begitu Pak. Saya pamit pulang. Sepertinya saya sakit" Ucapku segera bersalaman dengan Pak Chairul dan bergegas meningglkan ruangan dan sebenarnya aku berusaha menghindar dari Arva. Belum sempat aku menyentuh knop pintu segera saja Arva menarik lenganku.

"Sabar Tar... sebentar-sebentar. Nanti aku jelasin" Jelasnya bagitu saja. Kejadian ini persis mengulang kejadian 5tahun lalu. Bayangan itu berjalan begitu saja. Kejadiaan saat di kampus saat aku menarik lengan Arva ketika dia memutuskan pindah kuliah mengikuti kemamuan om nya.

Saat itu dia bilang kalau dia tidak mengikuti kemauan om nya makan ia tidak bisa melanjutkan kuliah karena selama hidupnya ia bergantung pada omnya. Aku menjelaskan bahwa ada banyak beasiswa yang bisa ia dapatkan di kampus. Tapi dia malah pergi begitu saja. Dia bilang ini adalah pilihan hidupnya. Dan ya sudah sebagai sahabat terbaiknya jujur aku merasa kehilangan. Tak pernah ada kontak hingga pada hari ini setelah 6 tahun berselang aku bertemu dengannya dalam kondisi yang tak pernah kuduga.
                                                                                 *****

Hujan.... kehadiranmu membawa sepegal kisah dan imajinasi
Bintaro 26 November 2012  30 menit saat jam istirahat dan setelah hujan






Tidak ada komentar:

Posting Komentar