Jumat, 05 Juni 2020

Allah Masih Sayang Kami

*Allah Masih Sayang Kami*
(Tragedi sore ini)


Oleh Reisa Dara Rengganis


Jam menunjukan pukul 14.00. Mata ini rasanya berat untuk terbuka. Rasa lelah karena berkutat dengan dapur dan bersahabat dengan pisau serta aneka sayur dan lauk sejak pukul 06.00 tadi seolah menyerap habis tenaga tanpa sisa. Terlebih sebelum zuhur tadi sembari berjalan kaki aku mengantarkan hasil olahanku kepada tetangga dari ujung ke ujung dengan pakaian super lengkap tanpa lupa mengenakan masker.


Namun menjaga mata tetaplah menyala rasanya perlu sedikit dipaksa karena silih berganti tamu yang datang tak mungkin untuk diindahkan begitu saja. 


Berkali-kali sanak saudara dan tetangga dekat bertamu mengucapkan selamat atas khitan Nusa yang terlaksana sembari menyelipkan salam tempel pada sang anak. Berkali-kali pula aku mengucapkan terima kasih atas kedatangan dan apresiasi mereka  terhadap Nusa di tengah perasaan "Wow" karena sedikit surprise mereka datang ke rumah di saat masih pandemi macam ini. (Harusnya kan gak perlu 😅)



Di antara mereka ada yang datang membawakan ikan untuk keluargaku, Alhamdulillah.




Langkahku bergegas menuju kamar, melihat Amurwa anak bungsuku masih lelap tertidur. Kupikir sayang sekali jika aku tertidur juga karena sebentar lagi Ashar. Kumanfaatkan waktu untuk menggoreng bandeng pemberian sang tamu dengan tenaga sisa yang sedikit dipaksa. Usai menggoreng aku ke rumah ibu di belakang rumah untuk berbagi ikan karena banyak sekali. 


Dengan langkah gontai aku melangkah kembali ke dalam rumah. Dan seketika netraku nanar menatap komporku mengeluarkan api yang cukup besar.


Sepersekian detik aku beristighfar, antara ingin berteriak dan minta tolong namun urung kulakukan. Aku harus berpikir jernih di situasi mencekam macam ini. 




Kutarik napas perlahan dan bergegas mengambil handuk yang sudah kutenggelamkan dalam bak mandi. Kukibaskan sambil berteriak 


"Allahhu Akbar... Allahuakbar" berharap seketika api padam. Namun api semakin berkobar dengan tinggi dan cukup mumpuni.


Segera kubopong Amurwa yang lelap karena posisi kamar kami tepat berhadapan dengan dapur. Aku harus selamatkan Dia! Pikirku kala itu.



Bergegas aku berlari ke belakang rumah dan menyerahkan Amurwa pada Ibu.


"Titip Adik, Bu. Komporku kebakar. Kebakaran!" pekikku sembari menyerahkan Amurwa lalu kembali berlari ke rumah. 


Bergegas aku menuju kamar mandi dan mengambil air dengan gayung merah, semerah api yang menyala. 


Kuguyurkan berkali kali berharap api segera mati. 


"Blap" suara api padam tersiram air benar-benar menjadi surara yang kuharap. Alhamdulillah setelah guyuran ke lima api padam juga. 



"Alhamdulillah" sembari bersujud karena syukur api padam dan lelah yang sudah tak terelakan. 


Berbondong-bondong orang datang ke rumah memastikan keadaan. Aku hanya tersenyum saja memandangi mereka satu persatu karena rasanya tak perlu kujelaskan lagi kondisi saat itu, toh mereka bisa lihat sendiri hasilnya.


Ibu mengelus punggungku perlahan.

"Alhamdulillah, Nduk masih disayang Gusti Allah, slamet" Ujarnya dan aku mengangguk.



Alhamdulillah... 
Rasa-rasanya api tadi teguran Allah untukku agar aku tak lebai dalam merasakan lelah. Buktinya aku masih bisa melakukan banyak hal termasuk menyelamatkan anak dan rumahku.


Alhamdulillah Allah masih sayang kami. Menyelamatkan kami dari api. Begitu takutnya aku pada api dunia yang menyala tadi. Dan jujur aku terbayang api di akhirat kelak. 


Pelajaran terbaik dalam hidupku di hari ini. Manusia benar-benar tidak ada apa-apanya. Tidak ada daya dan upaya kecuali atas pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.




Alhamdulillah, catatan Mabun NusaNTara 


4 Juni 2020
18:05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar