Kamis, 13 Juni 2013

Undangan dari George

Seminggu, dua minggu, sebulan sudah berlalu. Semua terasa cepat bahkan terlampau sekejap. Secercah sinar yang didapatkan atas nama kenangan berpendar membesar. Entahlah, ini baru pertama kalinya. Aneh!


Aku berjalan mendekati cahaya yang terletak di atas meja kayu dari pohon mahoni. Pendarannya semakin melebar, menciptakan segumpal lubang hitam pekat di tengahnya.


Seperti daya magnet, lubang hitam pekat di antara sinaran ini tarik menarik dengan diri. Seakan memaksa agar tubuh ringkih ini masuk ke dalamnya.


Semua serba cepat tanpa tenggat. Rasanya tubuh ini terpecah menjadi ribuan serpihan partikel atom yang tersedot dalam lorong lubang hitam. Meski demikian yang terasa di mata hanyalah hal yang sangat menyilaukan. Dan ah, apa ini semua?


Berjejer bangunan raksasa dengan kaca-kaca memantul dalam pandangan. Aku terduduk di atas aspal jalan raya, tapi entah ini di mana. Banyak orang berlalu lalang dengan pakaian serba tebal berbulu. Mereka seakan tak sadar bahkan tak peduli kepadaku. Apakah karena mereka tidak bisa melihatku, ataukah memang pandangan mereka hanya dihantarkan pada sesuatu yang memang ingin mereka lihat, bukan aku tentunya!


Aku bergegas berdiri, memperbaiki posisi diri agar bisa tegap menatap mantap. Orang-orang di sekeliling asing, wajah mereka bercorak sama, bukan dari ras mongoloid. Entahlah mereka semua seperti orang-orang Eropa. Aha... aku ingat, wajah mereka setipe dengan George! Apa sekarang aku di tempatnya? Ataukah ini hanya mimpi yang kubangun sendiri? Ataukah... jangan-jangan George kehabisan cahaya. Tapi, rasa-rasanya tidak mungkin. Dia sendiri yang mengatakan bahwa cahaya itu akan tetap ada selama hati ingat pada Rabbi. Mungkinkah?


Bergegas aku berjalan menyusuri jalan yang tak kukenal. Untuk membuktikan bahwa aku tidak sedang mimpi, aku menginjak kakiku sendiri. Aww... sakit. Padahal aku menginjaknya pelan. Berarti aku sungguhan nyata!


"Permisi... saya mau tanya ini di mana ya?" Ujarku pada seorang lelaki tua bertopi hitam. Dia menoleh lalu pergi begitu saja. Aneh, rasa-rasanya dia melihatku tapi kenapa menghindariku.


"Permisi..." ujarku pada seorang perempuan cantik dengan rambut pirang yang tergerai. Sekilas dia tersenyum. Lalu memberhentikan langkahnya.


"Yes, can i help you?" Ujarnya padaku sambil memasukan kacamata hitamnya yang kemudian ia masukan ke dalam tas. Oke, aku ada di luar Indonesia kali ini. Tapi di mana?


"Hello... ?" Gadis itu membuyarkan lamunanku.


"Sorry, ehm... Im from Indonesia, and i don't know, where Iam now. Can you explain, about this country?" Jelasku terbata-bata. Semoga ia paham apa yang aku katakan. Bahasa Inggrisku payah!


"OH, GOD! Indonesian? Your country its so awesome! Dear, now you are ini New Zeland" Ujarnya tersenyum sumringah. Sementara aku menganga tak percaya. Oh Tuhan, apa ini tidak salah? Kupikir aku berada di Inggris. Tapi, syukurlah. Pikiran aneh yang muncul tiba-tiba.


"Are You George's friend?" Ujar perempuan itu semakin membuatku pucat. Dia sebut nama george. Apakah george yang dimaksud adalah george milikku? Segera saja aku mengangguk. Tak mampu aku bercakap-cakap terlalu lama dengan bahasa yang tak kukuasai.


Gadis cantik itu memperkenalkan dirinya sebagai Wina. Aku jadi teringat akan sebuah negara romantis dengan musik klasik. Ah sudahlah, yang pasti aku bersyukur bertemu dengan gadis ini. Kalau tidak mungkin aku sudah terlantar. Tapi aku yakin sih, ada rahasia atau kejutan yang ingin diberi Rabbi untukku.


"George!" Teriakku memanggil kawan yang sudah hampir sebulan kembali pada tempatnya. George menoleh, menatapku secara dalam. Memastikan siapa yang memanggilnya.


"Kalau kau lupa, aku pergi saja" ujarku setengah mengancam. Kau setengah berlari menghampiriku.


"Dara, Im glad to meet you again. And now youre in here. Its amazing. Thanks God" kau berteriak senada dengan teriakanku tadi. Syukurlah ingatanmu terjaga. Alhmdulillah


"Aku yakin jika saatnya tiba kau akan di sini" Jelasmu membuatku tak mengerti. "Apa lingkaran hitam dari tengah cahaya yang berpendar itu menarikmu?" Kau bertanya dan memastikan. Sepertinya kau pernah mengalami hal serupa.


"Itu terjadi padaku saat menghampirimu. Dan tahukah kau, Rabbi selalu di sini... di hati." Ujarmu menjelaskan namun sayang aku gagal mencoba paham. Mungkin karena terlalu lelah dan cepat semua ini terjadi.


"Dara, stay ini here. I mean... tinggalah beberapa hari saja." Kau mengajak tapi tak memberikan solusi. Tinggal di mana aku nanti? Ini bukan tempatku. Aku ingin pulang.


"Kau pernah bilang, Bumi Allah luas, kau bisa tinggal di mana saja. Trust me" ujarmu melempar senyum dan aku menelan kalimatku sendiri. Baiklah jika memang itu pilihan, toh rumah Rabbi banyak berdiri di sini. Memang aku belum melihat secara jelas dengan pandangan mata, namun azan yang berkumandang menjawab itu semua.


"Thank you, kau terima undanganku" jelasmu sembari mengajakku berjalan, menuju suara penyeru Tuhan.


"Undangan?" Tanyaku semakin tak paham, tapi kubiarkan.


"Ya, aku undang kamu lewat doa di kala sepertiga malam dengan temaram. Hey... kosa kata bahasa Ibumu meningkat tajam dalam diriku." Ucapanmu membuatku tertawa senang. Aku tak khawatir dengan apapun selama ini adalah rencana Tuhan. Toh, Allah bersamaku


Published with Blogger-droid v2.0.4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar