Kamis, 06 Februari 2014

Bang Dito

Petuah Bang Dito

“Kamu kenapa? Ngelamun kok wajah ditekuk gitu! Udah kaya badut gagal manggung aja?” Bang Dito membuyarkan lamunanku.

Sebenarnya aku sedang tidak melamun, hanya saja memikirkan sesuatu yang sudah hampir dua minggu mendekam di pikiran. Duh!

“Suka-suka kali, Bang. Wajah-wajah aku!” Ketusku sambil berlalu meninggalkan Bang Dito yang baru saja duduk manis di sampingku.

“Ye… Abangnya mau ngajak ngobrol malah ditinggal ngeloyor!” Suara Bang Dito terdengar sampai kamar. Aku menutup pintu rapat-rapat dan menguncinya.

***

“Ma… Dini kenapa sih? Akhir-akhir ini Dito lihat kebanyakan melamun?” Tanyaku pada mama yang sedang asyik menggoreng pisang di dapur. Hari ini aku pulang kantor lebih cepat, selain karena pekerjaanku di kantor sudah usai, hari ini aku ada janji dengan mama dan Dini untuk menonton film nanti malam.

“Adikmu itu sepertinya lagi patah hati.” Ujar mama santai sambil terus mengaduk adonan pisang yang berwarna putih pucat.

“Waduh… hatinya rapuh amat sampai mudah patah. Siapa yang patahin, Ma?” Aku bertanya sembari mengamati pisang-pisang yang telah siap diangkat dari wajan dan ditiriskan.

“Udah sana kamu ganti baju dulu. Kamu kan tahu sendiri, adikmu itu nggak bisa kalau nggak di-ontime-in. Nanti kalau kamu kelamaan dan lelet semenit aja dia pasti nggak mau berangkat.” Nasehat Mama dan aku segera menurutinya setelah sebelumnya berhasil mencomot sebuah pisang goreng yang masih panas.

Baru saja aku ingin masuk kamar, kulihat Dini sudah kembali menjelma seperti adik yang tak pernah kukenal. Sambil terdiam dia berdiri di depan pintu dan kembali melamun seperti lalu.

“Dorrr” Teriaku mencoba mengagetinya. Biasanya kalau kukagetkan seperti ini dia akan langsung mencubitku dan lapor ke mama kalau abangnya sedang usil. Tapi kenapa kali ini tidak. Dia hanya melirik sengit ke arahku lalu melengos pergi menuju kamarnya.

"Kamu kenapa sih, Dek? Kaya bukan adiknya Abang!” Aku berteriak sambil mengetuk-ketuk kamarnya. Namun tak kunjung ada suara balasan.

“Bentar lagi magrib… jamaah di ruang tamu!” Ujarku memberi tahu

“Lagi nggak solat, Bang. Abang solat sama mama aja! Sekalian doain Dini. Biar kembali waras!” Ujarnya begitu saja. Mendengar kata waras membuatku tambah penasaran. Apa yang terjadi sama Dini? Tidak biasanya dia seperti ini.

“Oh… adikknya Abang sedang tidak waras ya? Pantes dari beberapa hari ini Abang perhatikan kamu seperti orang lain. Ternyata sedang nggak waras tho. Duh, mesti hati-hati ini. Takut menular” Ujarku lagi berusaha mendapat sahutan kalimatnya. Aku memang selalu usil dengan Dini, adikku satu-satunya.

“Udah abang nggak usah deket-deket Dini, daripada Dini tularin.” Ujarnya dari dalam kamar. Setidaknya aku masih bisa berlega hati karena dia masih menyahuti keusilanku.

“Kamu jangan bunuh diri ya kalau sedang tak waras, nanti abang sama mama bingung! Bingung nyelametinnya” Nasehatku bercanda tapi aku serius. Entah kenapa pikiran semacam itu bisa terlintas di pikiranku.

“Nauzubilah Bang. Dini masih berminat masuk surga kali!” Ujarnya dan mampu membuatku menghela napas lega.

***

“Dini sama Bang Dito nonton berdua saja ya. Mama lupa kalau hari udah janji sama Bu Endang mau rapat PKK.” Ujar Mama sembari mengenakan jilbab bergonya saat di ruang tamu.

“Yah mama… masa Dini sama Bang Dito berdua doang. Males ah! Bang Dito usil, nanti Dini diusilin terus” Ujar Dini sambil menarik lengan mama.

“Rapatnya nggak bisa ditunda besok, Ma?” Tanyaku sembari mengenakan jam pada pergelangan tangan kananku. Mama menggeleng perlahan.

“Mama melangar komitmen deh. Kan perjanjiannya setiap sebualan sekali kita jalan bareng” Ujarku mengingatkan kesepakatan yang kami bertiga buat setelah ayah berpulang.

“Maafin mama ya, untuk kali ini aja mama nggak bisa. Soalnya mama kan bendahara PKK. Besok akan ada acara penggalangan amal untuk korban banjir. Ini acara kemanusiaan. Jadi ini lebih penting” Ujar mama menjelaskan.

“Oh… yaudah kalau gitu alasannya, Ma. Dito nggak bisa larang-larang mama. Masa mama mau nolongin orang Dito larang. Yaudah Dito sama Dini berdua saja.” Ujarku sembari tersenyum.

“Ih kegiatannya mama nggak mau kalah sama kegiatan Dini di kampus. Yaudah Ma… Mama rapat gih nanti ditungguin lagi” Ujar Dini yang akhirnya merelakan izin mama.

“Bang Dito kalau usil aku tinggal pulang pokoknya!” Ujar Dini memperingatkanku. Aku terkekeh mendengarnya.

“Iya deh, hari ini janji nggak akan ngusilin kamu. Yuk ah berangkat. Keburu malem” Ujarku lalu pamit pada mama.

****

“Dini sekarang sudah waras?” Tanya Bang Dito setelah kami usai menonton film dan melanjutkan makan di restoran cepat saji yang menjual gorengan ayam. Pertanyaan Bang Dito benar-benar membuatku malas. Aku diam saja tidak menjawab.

“Eh, kata mama kamu patah hati ya? Siapa yang matahin? Kok kamu masih hidup?” Pertanyaan Bang Dito semakin membuatku malas. Lagi-lagi senjataku hanya diam saja.

“Din… diam itu ada kalanya memang emas. Tapi ada kalanyanya juga diam itu bisu. Kakak lihat kamu nggak bersinar jadi emas. Atau jangan- jangan adik semata wayang Abang sudah berubah jadi bisu. Hikssss” Ujar Bang Dito dengan ekspresi kesedihan yang sangat berlebihan.

“Bang… janjinya tadi nggak usil lho. Aku tinggal pulang nih!” Gertakku cuek lalu Bang Dito kembali pada ekspresi datar yang dia punya.

Duh, punya abang yang selera humornya tinggi benar-benar membuatku pada akhirnya kalah. Kami sama-sama diam, tapi wajah abangku selalu goyang-goyang. Akhirnya aku tertawa juga, padahal sudah sekuat tenaga aku menahannya.

"Udah Bang ah. Dilihatin orang tuh. Disangka aku gila kali dari tadi ketawa terus” Ujarku sembari mencubit lengan Bang Dito.

“Lha… tadi di rumah ada yang bilang sedang tak waras. Bukannya itu kamu? Atau jangan-jangan itu suara hantu yang menyerupai kamu? Alamak! Mimpi apa telinga Abang semalam.” Ujar Bang ditto lagi kali ini membuatku benar-benar melepas tawa.

“Din… Abang beri kamu nasehat ya! Kemarin sore kamu bilang kalau wajah yang kamu ekspresikan dengan cemberut adalah wajah kamu. Kamu salah! Itu adalah wajah milik Tuhan yang sedang kamu pinjam. Kamu udah dipenjemin wajah sama Tuhan jangan nggak disyukurin gitu. Tersenyum, cerialah. Biar Tuhan tahu kalau kamu bersyukur sudah dipinjamkan wajah yang cantik sama Dia. Badan yang sedang kamu pakai juga punya Tuhan, sayang ih kalau kamu habiskan dengan tersia. Pakai acara melamun segala. Mending kalau kamu ngelamunnya semenit dua menit. Ini hampir sejam, udah kaya patung. Udah gitu kamu pakai buat malas-malasan. Abang sedih kalau punya adik yang kufur nikmat.” Kata-kata Bang Dito tercerna dengan mudah dalam hati dan pikiranku.

“Terus kalau kata mama tadi sore, kamu lagi patah hati. Din…hati itu diciptakan Tuhan dengan kuat. Jadi nggak mungkin patah, kecuali kamu potong hatimu kaya potong hati ayam. Baru deh bisa patah! Enggak patah juga sih… yang ada terbelah. Kalau kamu nggak mau cerita ke abang tentang masalahmu sih nggak apa-apa. Kamu bisa cerita ke Tuhan. Tapi abang nggak suka lihat perubahan sikap kamu jadi aneh bin ajaib. Nanti kalau kamu tiba-tiba hilang. Abang sama mama susah nyari penggantinya” Nasehat Bang Dito lancar sekali terucap. Meski nasehatnya banyak disisipi canda dan keusilan namun sejatinya aku sangat terkesima dengan petuah bijak dari abangku ini.

“Iya, Bang. Makasih untuk nasehatnya yang sangat berharga. Sepertinya nasehat abang mampu menggips hatiku yang sempat patah” Sahutku asal tak mau kalah.

“Syukurlah kalau demikian. Untuk merayakan hatimu yang sudah sehat kembali, bagaimana kalau pulangnya kamu traktir Bang Dito beli martabak. Buat oleh-oleh mama juga. Sebagai bentuk rasa syukur” Ujar Bang Dito sambil melirik dompetku yang sedang kubuka. Aku berniat menunjukkan sesuatu pada abangku.

“Ish si Abang mah…gaji Dini mengajar sudah buat acara sosial yang diadain kampus. Jadi, Abang yang traktir Dinilah. Kan Abang yang ngobatin” Ujarku lagi dan Bang Dito mengangguk-angguk.

Aku jadi enggan menunjukan sesuatu itu.

“Terus kamu buka dompet mau menunjukan apa ke Abang?” Tanya Bang Dito yang sepertinya sudah paham gerak geriku. Akhirnya aku menunjukkan sesuatu yang memang sudah lama ingin aku tunjukkan ke Bang Dito.

“Ini foto siapa? Kamu nggak pacarankan?” Mimik wajah Bang Dito seketika berubah seperti mimik wajah almarhum ayah. Bang Dito terlihat kaget dan was-was saat melihat sebuah foto seorang lelaki yang baru saja kusodorkan padanya.

“Enggaklah Bang. Dengerin Dini dulu cerita. Jangan main prasangka!” Ujarku mengutip kalimatnya yang sempat dilontarkan padaku saat beberapa bulan lalu—saat aku curiga padanya karena saat pulang membawa seorang anak kecil ke rumah yang ternyata adalah anak teman sekantornya yang dititipkan. Bang Dito bergegas salim pada tanganku. Kebiasannya dalam meminta maaf tak pernah berubah.

“Dini ini gadis normal Bang. Dini naskir dia. Dia senior Dini. Dia ikhwan-ikhwan gitu kaya Abang. Bedanya, kalau Bang Dito itu nggak pernah gombal ke perempuan selain ke mama sama Dini. Eh dia… sebulan terakhir ini
ngegombal ke Dini. Sebel.” Ujarku pada akhirnya bercerita juga. Bang Dito terkekeh mendengar ceritaku. Sebenarnya sih aku sudah bisa menebak itu.

“Emang dia ngegombalin kamu gimana?”

“Waktu itu, Dini terpaksa sms dia untuk koordinasi acara sosial. Eh lama-lama kok dia keterusan. Malah dia sempet bilang ke Dini, katanya kalau Dini punya masalah Dini boleh cerita ke dia. Dini waktu itu terlena Bang. Jadi Dini menikmati itu semua. Eh nggak lama kemudia tiba-tiba dia menghilang. Jadi berubah gitu Bang. Malah kaya orang nggak kenal. Sebel deh. Maunya apa sih?”

“Oh.. jadi ada yang sempat terlena dalam hubungan gak jelas.” Bang Dito menyindir kejujuranku.

“Yaudah sih Bang… nggak usah pakai nyindir. Nggak Asik!” Ujarku melengos kesal karena sebenarnya aku tahu yang kulakukan itu salah. Bang Dito segera salim lagi padaku.

“Maaf deh maaf. Kamu harusnya bersyukur dia tiba-tiba berubah gitu! Itu mungkin tanda kalau dia sadar bahwa kemarin-kemarin dia
sedang khilaf! Mungkin dia sedang lupa sama Tuhan. Dan tugasmu sekarang adalah banyak-banyak istighfar. Mohon ampun sama Sang Empunya Segala.” Kata-kata Bang Dito membuatku terdiam.

“Dini juga tahu Bang. Makanya dari kemarin-kemarin tuh Dini resah dan gelisah. Mikirin dosa. Kelakuan Dini benar-benar di luar kendali kemarin.

“Manusia itu ya manusiawi. Tempat salah dan alpa. Tapi ya jangan terlena. Tobat!, Berubah ke arah yang lebih baik. Tapi kalau boleh
jujur, Abang salut lho sama kamu. Jarang-jarang kamu mau cerita hal kaya gini ke Abang. Malah baru kali ini.” Ujar Bang Dito membuatku tersipu mau malu.

“Biasanya Dini cerita ke ayah. Tapi ayahkan udah nggak ada. Jadi Dini cerita ke siapa lagi kalau bukan ke Abang?” Ujarku lagi lalu menyuruput minuman jerukku. Bang Dito merespon alasanku sembari mengangguk-anggukan kepalanya.

“Seperti kata kamu Din, kamu normal kok. Malah Abang akan merasa was-was kalau sampai kamu nggak naksir cowok. Hehehe Tapi ya itu tadi, naksirnya dibungkus pakai doa saja dulu. Kalau Dini sudah benar-benar
siap menikah, nanti abang bantuin deh.” Ujar Bang Dito membuat wajahku sepertinya mulai memerah.

“Dini masih mau selesaikan kuliah dululah, Bang. Abang saja yang menikah dulu.” Ujarku melempar usul.

“Ya sudah selesaikan dulu yang mau kamu selesaikan. Kalau kamu masih naksir sama ikhwan itu ya… kamu doa saja. Minta yang terbaik sama Allah. Doakan Abang juga ya, agar Abangmu yang paling ganteng se-rumah ini segera dipertemukan dengan bidadari cantik hati dan budi pekerti kiriman Gusti Allah.” Ujar Bang Dito dan kami pun koor berucap aamiin. Entahlah, tiba-tiba saja hatiku merasa lega. Rasanya lebih plong setelah menceritakan ini semua ke Bang Dito. NikmatMu yang mana yang kudustakan, Rabb? Terima kasih atas segala nikmat yang telah dan akan hamba terima dari dulu, kini, sampai nanti.

-6 Januari 2014-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar