Rabu, 04 Juli 2012

Sepenggal kisah Bu'e



Sepenggal kisah Bu’e

oleh Reisa Dara Rengganis

Bu’e, sepurane yo. Kulo nggak bisa bantu ngarit saiki. Soale’ enten acara pelatihan ndek saung sampe malem” (Ibu maaf ya, saya nggak bisa bantu ngarit sekarang, soalnya ada acara pelatihan di saung sampai malam)” Ujarku sambil duduk di samping Mbok Yoto, ibu Angkatku selama tinggal di Desa Glagaharjo ini. Ibu yang tengah sibuk menggoreng ikan asin sesaat menatapku.
Ndak opo-opo. Sing penting makan dulu” Ujarnya campur dengan bahasa Indonesia. Bu’e segera mengeluarkan nasi dan sayur dari lemari kecil. Dengan gesit akupun segera membantunya. Kebetulan Inay temanku, yang juga mengikuti pelatihan IADP di Merapi bersama ketujuh temanku yang lain sedang berkunjung ke rumah untuk sekadar menumpang mandi. Bu’e dan aku mengajaknya untuk turut bergabung menyantap sarapan pagi bersama-sama.
“Bu’e… kakinya masih sakit?” tanyaku sambil menyendokan nasi ke dalam piring.
Yo… lututku cekit-cekit. Linu. Tapi ndak opo-opo. Wis ora usah dipikir.” Kata Bu’e berusaha membuatku tenang. Kata-kata yang keluar dari mulut beliau justru tidak membuatku tenang.  Aku jadi ingat kemarin.
Kemarin saat mengambil rumput bersama Bu’e, beliau tidak mengenakan celana panjang seperti hari sebelumnya. Bu’e hanya mengenakan baju terusan selutut dan balutan sweter bludru  berwarna merah. Saat itu aku melihat dengan jelas kulit kaki ibuku yang mengering pecah-pecah,  ditambah dengan urat yang menggerenjal atau biasa kusebut dengan istilah varises.
“Bu’e kakinya nggak sakit?” tanyaku sambil berjalan mengikutinya. Ibu hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.  Setelah selesai mengarit dan mengikatnya, seperti biasa Bu’e mengajakku ke arah kidul untuk langsung mengakut hasil aritan menuju kandang sapi. Ibuku memang memiliki seekor sapi perah. Akan tetapi karena tak memiliki kandang, ibu terpaksa menitipkannya ke  kandang tetangga meskipun jaraknya tidak dapat dikatakan dekat.
Di tengah perjalanan ibu mengeluhkan kalau lututnya sakit.  Beliau mengajakku beristirahat sebentar. Aku pun mengikutinya. Jujur, aku saja yang mengakut seperdelapan rumput yang dibawa di atas kepala ibu merasa sangat keberatan. Bagaimana dengan ibu yang membawa rumput tersebut dengan kondisi usia yang kurasa sudah terlalu payah. Mau bagaimana lagi, mengarit rumput merupakan satu-satunya pekerjaan ibu untuk terus melangsungkan hidupnya. Meskipun ibu memiliki anak, tapi ibu tidak mau terlalu bergantung pada anak-anaknya.
“Ayo nambah” Ujar ibu membuyarkan lamunanku. Tanpa pikir panjang lagi aku segera menyendokan nasi dan kering tempe ke piringku meskipun piringku masih penuh. Aku tak ingin mengecewakan Bu’e. Apalagi semenjak kedatanganku selama emapt hari ini Bu’e selalu meliwetkan nasi untukku. Biasanya Bu’e makan nasi jagung. Aku tidak pernah tahu seperti apa rasanya makan nasi jagung. Bu’e bilang sama saja, tapi Bu’e tidak mau memasakan nasi jagung untukku.  Bu’e selalu beralasan “Wes… makan nasi saja. Beras Bu’e akeh” (Sudah makan nsi saja. Beras ibu banyak).
Saat ini yang ada di pikiranku hanya satu, kalau kaki ibu masih sakit siapa nanti yang akan mengarit rumput. Anak ibu, Mas Maryanto, sibuk mengeruk pasir di jurang dari pagi sampai senja.  Apalagi kalau besok aku pulang. Siapa yang bantu ibu?
Besok sudah pulang yo? Yo engko lek ono waktu maen-maen nang kene. (Besok sudah pulang ya? Besok kalau ada waktu ya main-main ke sini)” ucap Bu’e sambil menyndokkan nasi ke mulutnya.
“Insya Allah Bu’e” jawabku. Semoga saja Allah memberikan aku kesempatan suatu saat nanti agar aku bisa tidur sekasur lagi dengan Bu’e, dipeluk Bu’e, melihat Bu’e senyum, memetik cabai dan sebagainya dengan situasi dan kondisi yang berbeda. Aamiin. Semoga kaki Bu’e cepat sembuh.




                                                                                                         Yogyakarta, 19 Juni 2012




Untuk Bu'e di Desa Glagaharjo. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar