Rabu, 21 Agustus 2013

Dua Sisi

Dua Sisi

Matahari masih terik menyinari. Namun suasana saat ini tengah dirajam sepi. Pembantaian yang dilakukan oleh manusia-manusia berkedok pemerhati keadilan di Rabiah kemarin seolah menjadi penggugah rasa akan kesemerawutan di depan mata.

Mesir berdarah oleh tumpah darah militer yang merah. Entah makhluk macam apa yang menghinggapi jiwa mereka ataukah mereka hanya semacam robot yang digerakkan oleh remot dibawah kendali atasan semata?

Tahukah kalian apa yang mereka lawan? Ketakutan terhadap diri sendiri dengan modal berbagai senjata salah satunya senapan aktif laras panjang.

Senapan itu siap membedil siapa-siapa saja yang menghadang. Tak pandang asal usul dan latar belakang semua ikhwan yang berjenggot ditangkap dengan asas praduga bersalah. Bahkan anak-anak kecil sekalipun turut menjadi  korban kebiadaban  yang semestinya tak dilakukan.

10… 100..200?Salah! hampir lebih 6000 jiwa yang telah tiada. Dibantai secara habis dengan cara yang bengis. Dibakar secara hidup-hidup…  bahkan jasad para syuhada dibakar untuk sekadar menyembunyikan angka kematian sebenarnya.

Apa salah bagi mereka yang berdemo damai? Hingga halal darahnya untuk dibunuh? Demokrasi dinegeri ini memang lucu. Orang-orang yang berlainan pendapat harus menemui ajalnya dengan cepat.

Aku masih memandang jalanan yang sepi. Jauh di sebrang sana tragedi itu terjadi. Sementara aku pelajar Indonesia di sini hanya bisa menyusun doa dan menguntainya untuk mereka semua. Memberi kabar secara  nyata terhadap apa yang terjadi di sini. Tempatku menuntut ilmu. Mesir…

Aku… tidak tahu apa yang akan dilakukan negeriku melihat negara sahabatnya kini porak poranda. Terlebih situasi ini menjelang detik-detik kemerdekaan negeriku yang jelas bisa merdeka oleh pengakuan dari  negara sahabatnya yang kini tengah dirundung duka.

Entahlah… semoga negeriku tidak menutup mata… Bahkan kalau perlu aku berharap negeriku menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan  “kemerdekaan” yang sesungguhnya . (pelajar Indonesia di Mesir)

                                  ****
Detik-detik jelang kemerdekaan Indonesia. Setiap ruas jalan digang-gang sempit kini berhias dua warna dominan. Merah dan Putih.  Ada sebuah acara yang katanya hebat dan tak salah jika dilangsungkan. Perayaan hari kemerdekaan. Entah kemerdekaan mana yang digunakan. Dan entah pula merdeka untuk siapa? Dan oleh apa? Penjajah? Sudah pasti telah pergi di usir habis oleh pahlawan negeri.

Namun penjajah di dalam negeri sendiri tetap bercokol bahkan hidup subur dan makmur. Hanya orang Ngelantur yang bilang bahwa merdeka sudah benar-benar berterima dan di depan mata. Sudah! Lupakan saja kemerdekaan dalam arti sebenarnya. Kemerdekaan sekarang masih semu dan abu-abu jika putra bangsa tak tahu malu menggerogoti Ibu pertiwinya sendiri.

Masih banyak rakyat dipelosok yang terus memekik kemerdekaan meski tak merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya. Tapi jiwa mereka masih merah dan putih.

Tak ada yang salah jika merayakan kemerdekaan terutama jika kita mendoakan manusia-manusia yang punya andil dibalik kemerdekaan yang kita punya. Mendoakan para pahlwan Indonesia pun juga mendoakan negara-negara yang mengakui kedaulatan NKRI.

Namun apa? Perayaan itu masih tetap sama dari tahun ke tahunnya. Melaksanakan upacara kemerdekaan dengan gegap gempita dihadiri ratusan atau ribuan manusia-manusia rapi dengan pakaian elok nan bersahaja. Melancarkan tembakan ke udara. Lalu bersikap hormat dengan Sang saka merah putih!

Sedih…  Sayangnya tidak ada yang tahu kalau Merah Putih kita saat itu hanya ingin dikibarkan setengah tiang. Turut berduka atas gejolak yang terjadi pada negara sahabat di sana. Negara pertama yang mengakui kedaulatan NKRI.

Sedih…  Sayangnya tidak ada yang tahu kalau Burung Garuda kita di saat itu ingin mengudara membantu Burung  Elang Saladin yang tengah berusaha memadamkan bara yang tengah menyala di sana. Namun sayang lambang negara kita begitu tersemat kuat di dada para pejabat. Tersemat karena terpaksa diikat hingga tak ada rasa bebas mengudara menolong sesama.

Mesir… Merah putih hitam… kini menetes darah. Sementara kita tetap membahana menyanyikan lagu-lagu perjuangan dengan suara lengkingan dan dentuman senapan. Bukan sebagai perjuangan tapi hanya sebagai penanda dalam acara upacara protokeler semata.

Tidakah malu dengan para pahlawan di waktu dulu? Kita merayakan kemerdekaan kenegaraan sementara negara sahabat yang mendukung kemerdekaan didera lara yang kian memanjang.

Seandainya wajah ruh para pejuang kita  bisa dilihat dan dirasa. Mungkin mereka malu melihat tingakah dan polah semcam itu. Atau bahkan mereka sudah tidak punya wajah untuk sekadar dikenakan?

Tunggu… jangan berkecil hati pada negeri sendiri…

Mungkin iya… para pejabat di atas sana lupa dengan budi…

Tapi tidak untuk kita… sebagian rakyat yang masih ingat sejarah dan punya hati nurani.

Terlepas dari mereka muslim atau tidak… karena di sini saya nyatakan sebagaian rakyat Indonesia. Tentu lagi-lagi saya ingatkan yang punya mata… hati… telinga dan ingatan.

Mereka merayakan kemerdekaan dengan mengadakan salat bersama. Dilanjutkan dengan doa untuk para pahlawan kita dan para masyarakat Mesir di sana.  Mereka menyuarakan kepeduliannya terhadap negara sahabat tercinta. Mereka melakukan AKSI damai solidaritas peduli Mesir. Mereka merayakan kemerdekaan dengan cara yang lain. Cara yang indah! Cara inisetidaknya mampu membuka dan menyejukan hati para pahlawan kita terdahulu.

Kami tidak akan lupa dengan sahabat yang selalu memotivasi

Kami tidak akan lupa dengan sahabat yang selalu bersanding di kanan kiri.

Dalam perayaan kemerdekaan yang ini… untaian doa mengakar kuat dibawa oleh sang Garuda untuk menemui Elang Saladin di sana. (saya)


Doa selalu untuk rakyat Indonesia dan rakyat Mesir.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar